BAGIAN 23 - GADIS KECIL LAIN
📍Malang, Jawa Timur
Sorot mata Jefri menangkap wajah istrinya yang tengah tertidur pulas. Layaknya ia paham jika istrinya itu tengah kelelahan karena menempuh perjalanan yang lumayan jauh. Ia tak tega juga karena perjalanan yang memakan waktu dua hari membuat istrinya kelelahan. Jefri sengaja menempuh perjalanan Jakarta-Semarang terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan ke Malang. Di Semarang kemarin, kebetulan Jefri mempunyai kerabat disana jadi ia lebih mudah untuk mencari penginapan agar Ayana dan dua anak kembarnya bisa sejenak mengistirahatkan tubuhnya.
Dan dini hari seperti ini, Jefri dan Ayana baru saja sampai di Malang. Lima belas menit yang lalu, Jefri sengaja sholat di Masjid dekat rumahnya, membiarkan Ayana masih istirahat di ranjang kamar dulu. Di rumahnya yang ia tempati saat ini, Jefri hanya bersama Ayana dan kedua anaknya. Sebelumnya, rumah itu dihuni Kakak dari orang tua Jefri jika orang tua Jefri tak ada di rumah.
Ayana menggeliat kecil saat Jefri ikut merebahkan tubuhnya di atas ranjang seraya memeluknya dari belakang. Ia merasakan tangan kekar itu mengelus perutnya yang setengah membesar. Dengan mata setengah terbuka Ayana membalikkan tubuhnya mengubah posisinya menjadi miring ke arah Jefri. Dilihatnya suaminya itu tengah memejamkan matanya. Namun tangan suaminya masih betah bertengger di pinggangnya.
"Udah bangun?" pertanyaan itu mencuat dari bibir Jefri yang membuat Ayana mengerutkan dahinya. Ternyata suaminya masih belum tertidur sepenuhnya.
Ayana lantas mengusap pelan pipi yang dipenuhi bekas cambang tipis yang baru saja dicukur oleh suaminya. Salah satu tangannya juga bertengger di dada bidang yang ada di depannya. Mengamati penuh guratan letih yang tercetak di wajah laki-laki dewasa yang ada di hadapannya itu, "Kamu habis sholat subuh, Mas?" tanyanya pelan.
"Iya," jawab Jefri masih dengan mata setengah terpejam.
Seulas guluman senyum tipis tercetak dari bibir Ayana. Meskipun ia sendiri juga lelah karena perjalanan jauh, tapi lelahnya tak sebanding dengan suaminya yang menyetir sendirian selama berjam-jam. Tangan Ayana lantas tanpa aba-aba bersemayam di pinggang Jefri, dan mengerat disana beberapa menit. Tak lupa memberi jarak di sela-sela pelukan kecilnya, agar Si Calon Bayi yang ada dalam perutnya tak ikut terhimpit. Kepalanya pun juga tak kalah lama bersandar di dada bidang suaminya, mendengarkan degup jantung yang beraturan dalam pendengarannya. Rasanya Ayana masih ingin berlama-lama dalam posisi ini. Tak ingin beranjak sedetikpun. Tapi dini hari seperti ini kan ia juga tak lupa harus bermunajat dengan Sang Pencipta untuk merapalkan semua doanya. Jadi ia tak bisa berlama-lama bertukar kasih dengan suaminya. Ada kewajiban yang harus ia lakukan.
"Ya udah kamu tidur lagi aja. Aku paham kamu kecapekan nyetir sampai diri hari. Aku juga nggak bisa maksimal nemenin kamu nyetir karena kondisiku hamil. Ditambah lagi anak-anak rewel kecapekan juga. Aku mau sholat subuh dulu terus nyiapin alat mandi buat anak-anak." seru Ayana seraya menguraikan tangannya yang ada di pinggang Jefri. Sebelum beranjak, ia tak lupa mendaratkan bibirnya di pipi suaminya.
Ayana beranjak turun dari ranjang, netranya masih mengamati wajah tenang suaminya yang tengah tertidur. Tangannya lantas ia pakai untuk menarik selimut agar setengah tubuh dari suaminya itu tertutupi.
"Mama," suara nyaring tiba-tiba terdengar dari belakang tubuh Ayana saat Ayana menutup pintu kamarnya. Sorot matanya menangkap anak laki-lakinya yang tengah menarik-narik ujung bajunya. Siapa lagi kalau bukan Aidan. Anak laki-lakinya itu lebih dulu terbangun daripada anak perempuannya yang masih tertidur pulas di kamarnya, "Aidan kok udah bangun?"
"Aidan nggak bisa tidul lagi. Kamalnya beda sama kamal Aidan biasanya," protes Aidan pada Ayana yang membuat Ayana mengacak-acak pucuk kepala milik anak laki-lakinya itu dengan gemas. Jelas saja Aidan protes, kamar yang ditempatinya sementara ini adalah kamar milik Abi dan Umi. Berbeda dengan kamarnya, banyak terjejer berbagai jenis mainan robot di rak. Sedangkan kamar yang ia tempati saat ini penuh dengan buku-buku milik Kakeknya, yang jelas ia tak paham buku apa yang terjejer disana.
"Aviola belum bangun?"
Bibir Aidan mengerucut saat Sang Ibu menyebut nama kembarannya. Ia pun juga menggeleng-gelengkan kepalanya cepat, "Belum. Apiola tidulnya jelek. Kaki Apiola nendang-nendang punggung Aidan. Aidan nggak mau tidul sama Apiola," protesnya lagi pada Ayana.
Spontan saja Ayana terkekeh. Memang cara yang paling benar adalah memisahkan mereka berbeda ranjang, sama seperti yang ia lakukan di rumah. Untuk meminimalisir pertengkaran kecil dari kedua anaknya, "Iya. Nanti Aidan dikasih tempat tidur sendiri sama Papa ya? Biar tidurnya nyaman. Papa sekarang masih istirahat," ucapan lembut dari Ayana ini membuat Aidan mengangguk menyetujui.
Tangan Ayana sontak menarik tangan Aidan dan mengajaknya duduk di kursi ruang tengah. Sembari ia menyiapkan alat mandi milik anaknya, ia mengisyaratkan Aidan untuk duduk di ruang tengah, "Aidan nonton tv dulu disini ya? Mama mau sholat subuh."
"Mau ikut Mama," jawab Aidan pelan sembari tangannya menarik ujung baju Ayana saat Ayana selesai menyiapkan alat mandi miliknya.
Ayana dan Aidan masuk ke dalam kamar mandi untuk mengambil sepercik air mengalir untuk ia basuhkan ke sebagian tubuhnya yang wajib untuk dibasuh. Pun tak lupa Ayana mengajari Aidan bagaimana melakukan kewajibannya mengambil air wudlu sebelum melaksanakan dua rakaat wajibnya.
Tak berlangsung lama, Aidan mengamati Sang Ibu yang tengah bermunajat dengan Sang Maha Agung. Tak hanya kali ini ia melihat Ayana tengah bermunajat dengan Sang Pencipta. Ia pun juga kerap ikut Jefri ke masjid saat Jefri menawarinya. Terlalu sering memperhatikan orang tuanya tengah merapalkan sebuah doa. Tangan Aidan pun juga saat ini mengikuti gerakan Ayana yang tengah menangkupkan kedua tangannya usai melaksanakan dua rakaatnya. Dengan peci yang sedikit miring Aidan menangkupkan dua tangan mungilnya setara dengan dadanya. Memohon doa agar Sang Adik bisa keluar lebih cepat lagi karena ia tak sabar. Pun juga memohon doa agar setiap hari ia dibelikan mainan baru.
Ayana tak pernah memaksa kedua anaknya. Ia lebih senang mengajarkan bagaimana ia dan Jefri harus mempunyai kebiasaan baik, karena sebenarnya perilaku anak seusia Aidan dan Aviola itu cenderung meniru. Meniru apa yang orang-orang sekitarnya lakukan. Pemikiran mereka juga cenderung melakukan hal-hal baru yang baru saja ia temukan di sekitar. Kalau lingkungannya baik, dia akan menjadi baik juga. Sebaliknya, kalau lingkungan itu buruk ia akan terpengaruh tanpa sadar karena mereka sejatinya belum bisa memilah mana yang baik dan buruk. Hanya meniru, dan sedetik saat itu juga akan ia lakukan jika hal itu menarik baginya.
"Mama adik bayinya gelak-gelak lagi?"
"Hm?"
"Adiknya gelak-gelak?"
Sembari melepas mukena yang ia pakai, Ayana memposisikan tubuhnya menghadap Aidan. Ia pun juga mengambil tangan laki-laki kecil itu untuk duduk lebih mendekat ke arahnya, "Coba Kakak Aidan yang pegang!" pintanya seraya mengisyaratkan Aidan memegang perutnya.
Aidan ikut menurut apa yang Ayana katakan. Tangan kecilnya ia letakkan di perut Ayana. Menunggu Sang Adik bergerak di dalam sana. Dan tak menunggu waktu lama, setiap pagi seperti ini, calon bayi yang ada di perut Ayana bergerak bebas menimbulkan tendangan kecil disana. Aidan seketika bersorak, "Iya, gelak-gelak. Tapi .... Tapi gelak-gelaknya gak cepet kayak lalinya Aidan,"
Sontak saja Ayana terkekeh lagi memperhatikan anak laki-lakinya yang khidmat dalam mengamati gerak calon adiknya, "Adik kan masih belum besar kayak Kakak Aidan, nanti kalo udah besar larinya juga cepet kayak kakak Aidan." jelasnya.
"Belalti nanti Aidan lalinya balap-balapan sama adik?"
"Iya, nanti kalo adiknya udah besar kayak Kakak Aidan, balapan lari sama adik ya? Sama Papa sama Mama sama Aviola juga,"
Aidan mengangguk cepat. Ia bersorak kegirangan sebelum ucapan dari bibirnya terlontar, "Pasti Aidan yang menang,"
"Oh iya?"
"Iya, soalnya Aidan pakai sepatu loda lalinya, Mama, Papa, Adik sama Apiola lalinya pakai kaki." jawabnya seraya terkekeh geli mengarah ke Ayana. Membuat Ayana tertular ikut terkekeh juga.
"Anak Mama lucu banget, yang pinter ya kalau sama Aviola? Jaga dua adiknya Aidan. Jangan nakal!" Usai bertukar canda dengan anak laki-lakinya, Ia mengajak anak itu untuk ke kamar mandi. Meskipun suhu udara di Kota Malang sangat tidak bersahabat, namun anak kecil itu tetap mau membersihkan tubuhnya pagi-pagi buta seperti ini. Dengan alasan iming-iming dibelikan mainan baru ia mau melakukan apa saja yang Ayana katakan.
Hanya lima belas menit lamanya Ayana membersihkan tubuh Aidan. Aidan keluar kamar mandi sudah dengan pakaian lengkapnya. Setelan celana jeans abu-abu dengan kaus biru bergambar Spiderman. Ia mendudukkan tubuh Aidan di ruang tengah. Sedangkan saat ini adalah gilirannya untuk membersihkan tubuhnya.
Pun juga tak memerlukan waktu yang lama Ayana di kamar mandi, tubuhnya telah bersih dengan baluran sabun mandi miliknya. Aroma Cherry yang terkandung dalam sabun itu menyeruak dalam tubuh Ayana. Ayana pun keluar kamar mandi dengan balutan dress panjang yang sedikit longgar karena menutupi perutnya yang makin hari makin membesar.
"Habis mandi beli mainan balu?" tanya anak laki-lakinya saat Ayana tengah memoleskan krim wajah tipis di guratan wajahnya. Anak laki-lakinya itu tak pernah absen menanyakan mainan dan mainan. Seolah-olah mainan adalah kesenangannya tiap saat.
"Nanti. Papa masih istirahat, Papa capek nyetir. Aidan sabar dulu ya? Nanti jalan-jalan cari sarapan," jawab Ayana.
"Cali mainan juga?"
"Iya Sayang," Aidan bersorak kegirangan lagi saat ia mendapati Ayana menjawab pertanyaan yang ia harapkan. Tubuhnya ia loncat-loncatkan karena sangking senangnya mendapatkan mainan baru dimana pun ia berada. Ayana hanya berharap jika hadiah-hadiah kecil yang ia berikan ke anaknya itu punya sisi baik yang bisa diambil. Meskipun Aidan terus menerus menagih. Tapi semua bisa diambil dari sisi baiknya, tanpa harus membatasi dan menghakimi kemauan anaknya.
"Aidan disini dulu ya? Mama mau mandiin Aviola," pesan Ayana dijawab Aidan dengan anggukan pelan.
Saat Aidan mengangguk menyetujui, ia lekas membangunkan gadis kecilnya. Meskipun Aviola sedikit menolak karena cuaca yang terlalu dingin, tapi paksaan Ayana berhasil membuat Aviola berubah pikiran. Lagi-lagi sama. Dua anak kembarnya itu harus disogok iming-iming hadiah, baru mau menyetujui permintaan Ayana untuk mandi.
Ayana membersihkan tubuh Aviola tak lama. Sama seperti ia membersihkan tubuh anak laki-lakinya. Hanya saja tambahan lima menit untuk ia menata rambut gadis kecilnya itu. Pun juga Ayana tak lupa mengenakan kerudung instan yang senada dengan dress panjangnya, memberikan kesan meneduhkan saat dilihat Jefri nantinya.
Perut Ayana sedikit nyeri usai ia menyisir surai hitam milik gadis kecilnya. Ia baru sadar jika kegiatannya pagi ini telah menguras tenaganya. Tapi mau bagaimana lagi? Tak mungkin ia meminta bantuan pada Jefri sedangkan suaminya itu sendiri juga kelelahan. Tak apa. Ini mungkin tak seberapa. Sebisa mungkin Ayana menyemangati dirinya sendiri bahwa hari ini ada yang jauh lebih letih darinya. Iya, Almarhum Ibunya dulu jauh lebih letih dibanding hidupnya saat ini saat menjadi seorang Ibu. Ayana dengan bantuan Jefri dimanapun ia berada. Sedangkan Ibunya dulu? Mungkin Sang Suami tak peduli dengannya. Menelantarkan Ayana kecil dan Sang Ibu sendirian berjuang.
Bagaimana aku harus bertemu dengan sosok Ayah tiap hari? Sedangkan dulu saat aku menikah saja, aku harus dihadapkan kenyataan bahwa yang seharusnya menjadi wali nikahku telah meninggal dengan segudang kasus yang rumit untuk diselesaikan. Batin Ayana mengingat kejadian yang seharusnya tidak ia ingat lagi. Dan menutup buku lama itu dalam tepian hati kecilnya. Lembaran buruk itu memang tak seharusnya ia ingat saat ia telah bahagia dengan hidupnya saat ini.
"Maaf ya aku tidurnya lumayan lama. Anak-anak udah siap?"
Ayana menyeka air matanya cepat-cepat saat telinganya mendengar seruan dari Jefri yang berjalan mendekatinya. Untung saja Jefri tak mengetahui jika matanya meloloskan cairan bening beberapa tetes tadi, "Udah."
"Ayo berangkat!"
"Tempatnya jauh nggak?"
"Nggak terlalu."
Tangan Ayana menggandeng tangan Aidan berjalan ke arah mobilnya yang terparkir di depan rumah. Sedangkan Jefri menggendong gadis kecilnya. Keduanya mempercepat langkahnya menuju mobil.
Dan benar saja, Jefri mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedikit tinggi. Tak sampai berjam-jam lagi, hanya lima belas menit dari rumahnya mobilnya telah masuk ke area parkir rumah makan yang terletak di dekat Taman Wisata Sengkaling Malang. Rumah makan yang menyediakan banyak menu makanan disana. Pastinya makanan lokal. Karena kekentalan budaya dari tempat Ini memang banyak rumah makan yang masih mengandalkan menu-menu rempahan yang ada di dalamnya. Tak baik juga kan Ayana hamil harus memakan makanan cepat saji? Jadi Jefri sengaja memilih rumah makan itu untuk ia mengisi perutnya bersama istrinya.
Dua anak mungil itu turun sedikit berlarian masuk ke dalam rumah makan bernuansa joglo. Ayana manggut-manggut mengamati rumah makan itu. Kagum akan nuansa budaya yang kental di rumah makan yang ia singgahi saat ini. Para angklung dan gong tradisional memenuhi sisi sudut rumah makan. Memberi aksen klasik seisi ruangan. Tak lupa juga para pegawai yang mengenakan pakaian adat Jawa pun ikut menghampiri Jefri dan Ayana yang tengah terduduk di salah satu bangku makan.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya salah satu pegawai rumah makan itu.
"Saya pesan Ayam kremes aja ya empat, terus yang dua porsinya nasinya sedikit aja. Minumnya jus alpukat empat sama air putih botol aja dua. Nanti kalau istri saya mau pesan lagi, notanya disatukan saja." tutur Jefri pada pelayan yang berdiri di hadapannya. Tanpa membuka buku menu, Jefri sudah lebih hafal karena memang dulu ia sering diajak Abi dan Umi untuk makan disini. Nuansanya tak pernah berubah sedikit pun. Rumah makan ini tetap sama, sama seperti dulu.
Ayana bergeming. Hanya mengamati tuturan-tuturan menu yang suaminya sebut. Toh makan apa aja, selama ia hamil 20 minggu ia tak banyak protes dengan makanan. Anaknya tak terlalu rewel saat kehamilannya masuk di usia hamil tua. Berbeda sekali dengan saat ia hamil Aidan dan Aviola, ia lebih sering memuntahkan semua isi perut dalam kondisi hamil muda ataupun tua, "Emang Mall dari sini jauh ya, Mas?" tanya Ayana yang tak tahu semua tempat yang ada di Kota Malang.
"Enggak, paling 15 menit."
"Kalo gitu untuk makan malam, kita sekalian beli bahan masak aja, Mas? Nanti aku masak di rumah aja."
"Nggak usah, nanti pesan antar aja. Kamu nanti kecapekan kalo masak,"
"Nggak, justru kalo aku rebahan terus malah capek,"
Jefri menggeser duduknya mendekat ke arah Ayana yang duduk di depannya. Sedangkan dua anaknya itu tenang di sampingnya. Dua anak mungil itu tak banyak bicara saat ini, karena asik dengan mainan yang bertengger di tangan keduanya.
"Nanti setelah sarapan, kita ke Mall buat beli keperluan kamu yang kurang. Beli yang butuh aja. Nanti anak-anak dibujuk biar nggak minta ke tempat bermain. Malamnya, aku mau ngajak kamu ke post ketan," seru Jefri pada Ayana.
"Post Ketan?"
Jefri mengangguk pelan, "Nanti coba sendiri. Biar kamu puas jajan kuliner disini. Anak Papa juga nggak ngidam-ngidam lagi minta ini itu. Anak Papa pagi ini udah nendang berapa kali? Banyak ya? Jangan keras-keras kalo nendang, kasian Mama." jawabnya seraya setengah berbicara dengan calon bayinya.
Ayana yang melihat interaksi suaminya yang tengah berbicara dengan janinnya, lantas terkekeh geli. Ia juga tak kalah ikut menanggapi seolah-olah bibirnya adalah bibir calon bayinya, "Nggak papa, Pa! Sekarang aku nendang perut Mama. Besok kalau udah gede aku nendang kaki Papa," sahutnya terkekeh.
Jefri setengah mendelik mendengar sahutan dari Ayana. Bisa-bisanya anak yang belum sepenuhnya lahir ke dunia harus mendapatkan hasutan tak mengenakan dari bibir Ibunya. Sontak saja Jefri menarik ujung hidung istrinya. Sampai-sampai membuat Ayana sedikit terlonjak kaget, "Jangan mau disuruh Mama nendang kaki Papa. Nanti kan kamu jadi tim Papa kalau lahir," jawabnya tak mau kalah.
Bibir Ayana tak henti-hentinya tersungging karena candaan yang keluar dari bibir suaminya. Tangan laki-laki dewasa yang tergeletak bebas di atas meja ia raih dan ia mainkan manja. Dengan mata yang masih menelisik sudut rumah makan dan mata yang menghadap lurus ke arah pintu rumah makan, membuat Ayana bisa mengamati bebas para pengunjung rumah makan yang baru saja masuk. Berbanding terbalik dengan posisi suaminya yang duduk menghadapnya.
Nyeri di perut Ayana sedikit menghilang. Ya, mungkin tadi itu adalah efek dari hamilnya. Ia sangat paham dengan kondisi ini. Yang jelas, saat ini Ayana bahagia. Bisa menjelajah bebas di Kota Kelahiran suaminya.
"Papa!"
Ayana tiba-tiba menajamkan sorot matanya saat salah satu anak kecil yang ada di ambang pintu rumah makan tiba-tiba menyebut seruan 'Papa'. Netra hitam milik gadis kecil itu mengarah ke Jefri. Ayana dibuat membeku beberapa detik, menetralkan pikirannya.
"Papa pulang kesini?" seruan kecil itu menggema lagi dari bibir gadis itu. Jefri tak sadar, jika ia dipanggil oleh gadis itu. Hanya Ayana yang menyadari saat gadis itu berlari mendekat ke arahnya. Sedangkan Jefri masih dalam posisi memunggungi. Tanpa sadar lagi-lagi gadis kecil yang ada di ambang pintu itu memanggilnya.
"Papa?" batin Ayana berkecamuk. Yang gadis kecil itu maksud dengan panggilan 'Papa' adalah suaminya?
Bersambung ....
Jangan mengumpat dulu kalau belum baca sampai ending ya? 🤣 Jangan berprasangka buruk pada apa yang tertulis. Karena jawaban jawaban dari tebakan akan terupdate setelah ini.
Dibilangin jangan suudzon dan mikir macem-macem wkwk. Pasti kalian tim negative thinking wkwk. Author yakin 100% persen. Jefri yang disalahkan 🤣
Pokoknya terima kasih udah betah baca sampai sejauh ini. Aku mau berterimakasih banyak ke kalian yang udah meluangkan baca cerita ini. Catat baik-baik ya? Cerita ini tidak akan memiliki konflik yang sangat berat. Jangan khawatir! Nikmati aja sampai ending ya? Tapi sebelum ending, aku mau ngajak suudzon endingnya 15 part lagi masih lama kok wkw tapi ini udah masuk ke konflik kecil sebelum klimaks🤣
See you sayang. Doakan aku update cepet ya? Kemarin mau update tapi aku sakit, terus ini juga sebenernya masih sedikit sakit tapi karena cerita ini udah bersarang jadi aku sempatkan. Sampaikan salam aku ke Keluarga kalian jaga kesehatan selalu ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top