BAGIAN 22 - PERSIAPAN KE MALANG
Sebelum baca part ini. Yang belum baca part 21, silahkan baca dulu ya? Yang kemarin belum dapat notif, baca part 21 dulu baru baca ini. Kalau ada typo dan kalimat rancu silahkan dikoreksi komen di bawah ya?
💜💜💜
Ayana mengelus-elus perutnya yang belum membesar sepenuhnya. Tapi tonjolan itu mulai terlihat agak besar saat ia memakai daster yang biasanya ia pakai sebelum tidur. Di usia kandungan yang telah mencapai 20 minggu. Pada usia ini, biasanya janin juga sudah mulai bergerak. Ayana pun bisa merasakan beberapa kali. Terlebih saat Jefri memegang perutnya. Janin itu seakan-akan tahu jika signal Ayahnya telah menunggunya.
Malam ini Ayana sengaja tak tidur lebih awal. Bukan karena ia tak mengantuk. Namun karena ia ingin membantu Jefri merapikan beberapa barang yang dibawa besok ke Malang. Ia sengaja menata beberapa pakaian milik Aidan dan Aviola. Ia juga memasukkan pakaian-pakaian itu ke dalam satu koper untuk barang-barang anaknya. Tangannya beralih ke dua koper besar berwarna hitam yang ia isi dengan barang-barang Jefri dan miliknya. Sengaja hanya tiga koper yang mereka bawa untuk persiapan berangkat ke Malang.
Usai belanja kebutuhan, tak lupa Ayana juga merapikan beberapa snack yang anak-anaknya beli. Keperluan suaminya yang masih berserakan di atas ranjang juga ia bantu bereskan, "Mas," panggilnya pelan mengarah ke Jefri yang masih berkutat dengan laptopnya.
"Hm?"
"Ini kita jadi berapa hari disana?" tanya Ayana pada Jefri.
Jefri menghentikan kegiatannya. Ia menoleh ke arah Ayana yang masih sibuk menata barang-barang yang akan dibawa kesana. Padahal Jefri sudah mengingatkan jika tak perlu membawa barang banyak, "Seminggu. Kebetulan hari libur dan di rumah sakit juga aku bisa ambil cuti." jawabnya.
"Ya udah, ini kamu jadi bawa baju berapa?"
"Bantu masukin kemeja sama kaus biasa aja beberapa, nggak usah terlalu banyak. Sisanya bisa beli disana. Kamu juga jangan bawa barang banyak. Lebih baik beli disana aja kalau kurang. Kamu kalau capek jangan beres-beres. Nanti biar aku aja yang beresin barangnya." tuturan Jefri itu membuat Ayana tak juga menghentikan kegiatannya. Tangannya masih tetap lihai membereskan semuanya. Padahal ibu hamil seharusnya tidur lebih awal dan tak melakukan pekerjaan yang membuatnya cepat letih.
Jefri hanya mengulum senyumnya. Membiarkan Ayana membereskan sesukanya. Jika Ayana dilarang pun ia juga akan tetap bersikeras untuk membereskan barang-barang. Lebih baik ia menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk di laptop. Setelah itu baru membantu istrinya agar istrinya itu tak terlalu kelelahan.
Entah apa yang dipikirkan Ayana, ia menunggu saat-saat ini juga. Berkunjung ke rumah keluarga Jefri yang ada di Malang. Selama berbulan-bulan, usai Jefri ditugaskan Abi untuk kesana, Ayana selalu memikirkan, ia harus ikut juga kesana. Meskipun terkadang ada keraguan beberapa kali, tapi dalam hatinya tak bisa dibohongi. Ayana ingin ikut Jefri kemana pun suaminya itu pergi.
Pernah ada perasaan seperti dikejar waktu dalam merangkum rumah tangganya, tapi Ayana tak tahu perasaan apa yang membuatnya seperti itu. Kenapa akhir-akhir ini ia kerap sekali mengkhawatirkan hal-hal yang mungkin belum saja terjadi? Kenapa pikirannya tak pernah bisa selaras. Apa ketakutan Ayana itu yang membuatnya sering sekali terkadang merasa pusing? Apa kekhawatiran Ayana membuatnya seringkali merasa tak enak badan dan berakhir kesehatannya terganggu meskipun ia tengah mengandung saat ini? Ayana pun tak ingin seperti ini sebenarnya. Tapi ia selalu merasa seperti ini secara tiba-tiba. Tak pernah ia ceritakan pada Jefri. Takut Jefri merasa terbebani dengan perasaanya. Ia hanya akan menceritakan hal-hal baik saja, tanpa kejanggalan sedikitpun. Demi merangkum kebahagiannya agar tak terlepas begitu saja.
"Mama," panggilan-panggilan kecil menggema di kamar Ayana. Tiba-tiba dua anak kembar itu tengah berlari ke arahnya. Ayana hampir mengerutkan dahinya saat melihat dua anaknya memasuki kamarnya. Hampir jam sembilan malam, dua anaknya itu belum tertidur. Padahal tadi saat Ayana menidurkan kedua anaknya, ia tahu pasti jika mereka terlelap.
Tangan dua anak mungil itu mengerat di pinggang Ayana saat Ayana tengah merapikan baju-baju yang akan dimasukkan ke koper, "Kok kalian belum tidur? Besok pagi berangkat, Nak!"
"Apiola tidul disini ya? Apiola gak bisa tidul."
"Aidan juga. Aidan tadi tiba-tiba bangun. Ada suala gendeluwo."
Mendengar ucapan dari anaknya, Ayana lantas melirik ke arah Jefri. Suaminya itu ternyata juga tengah meliriknya. Sontak saja Ayana terkekeh pelan. Netra perempuan yang tengah mengandung lima bulan itu beralih ke arah anaknya lagi. Dan mengisyaratkan dua anak kembarnya untuk duduk di tepi ranjang, dekat dengan Sang Papa.
Ayana ikut mengambil duduk di sebelah Jefri yang masih berkutat dengan laptopnya, "Coba sini Aviola sama Aidan pegang perut Mama, adik bayinya tidur apa nggak?"
Aidan mengubah posisinya untuk beranjak berdiri. Begitupun juga dengan Aviola. Agar tangannya bisa meraih perut Sang Mama yang tengah menggelembung di balik daster yang dipakai, "Adik bayinya kok nggak gelak-gelak?" tanya Aidan.
Jefri atapun Ayana terkekeh sembari saling beradu pandang melihat tingkah anak balitanya itu berebut ingin menempelkan telinganya di telinga Ayana. Sampai terkadang Jefri takut jika tangan anaknya tak sengaja melukai janin yang Ayana kandung, jika mereka berdua saling berebut satu sama lain, tak mengerti jika itu akan membahayakan Ayana, "Iya kan nggak setiap menit adiknya gerak-gerak terus. Ada saatnya tenang, kadang ada juga saatnya dia aktif gerak. Adik bayinya tenang di perut Mama. Nggak pernah nakal," tutur Ayana lembut seraya ikut mengusap perutnya.
"Belalti adik bayinya nggak nakal kayak Aidan?"
"Apiola juga nggak nakal,"
Bibir ranum milik Ayana terkekeh lagi, "Iya nggak nakal. Sekarang Aidan sama Aviola tidur ya? Besok kan perjalanan jauh,"
Aidan beranjak berdiri dan mendekat ke arah Ayana. Sedangkan Aviola masih sibuk menguping suara-suara samar dalam perut Ayana. Sampai-sampai saking seringnya ia menempelkan telinganya di perut Ayana, suara yang disebabkan karena Ayana lapar, Aviola pernah mengira suara itu adalah suara adiknya kentut di dalam perut Ayana.
"Besok ke lumah Kakek?" tanya Aidan memastikan yang ada dalam benaknya.
Ayana memberikan anggukan singkat sebagai sebuah balasan dari pertanyaan anak laki-lakinya itu. Bibirnya menyungging dan jari jemarinya mengusap pipi Aidan lembut, "Iya, ke rumah kakek."
"Telus disana ada yang jual mobil-mobilan?" Aidan lagi-lagi menanyakan hal yang membuat dahi Ayana mengerut. Untuk apa menanyakan penjual mobil-mobilan?
Tak hanya dahi Ayana saja yang berkerut. Pria dewasa yang tengah terduduk di samping Ayana ikut mengerutkan dahinya seraya menahan senyumnya, "Emangnya kalo ada yang jual mobil-mobilan, Aidan mau apa?" tanyanya langsung pada anaknya.
"Mau beli. Mobil-mobilan Aidan lusak. Aidan beli mobil-mobil balu ya, Pa? Aidan janji makan sayul. Telus Aidan janji Aidan nggak belantem sama Apiola." cicitnya kecil dengan tatapan memohon ke arah Jefri. Karena biasanya Jefri yang mengeluarkan uang untuk mainan Aidan.
Jefri mengacak-acak rambut milik anak laki-lakinya itu. Meskipun ia lebih dekat dengan Aviola, dan Ayana lebih dekat dengan Aidan. Namun ia tak pernah bisa mengikis rasa kasih sayang yang ia torehkan. Keduanya berhak memiliki. Tidak ada kata sepihak. Dua anak mungil itu berhak mendapatkan hal yang sama, tanpa harus membanding-bandingkan satu sama lain, "Ya udah, boleh."
"Holle!" sorak Aidan bak macan yang mengaum seisi ruangan membuat saudara kembarnya itu menggerutu iri. Ia spontan bangkit dari duduknya. Pendengarannya sedari tadi menajam saat tuturan Aidan memohon ingin dibelikan mainan. Aviola adalah Aviola. Ia tetap tak mau kalah dengan kembarannya, "Apiola juga mau plincess," tandasnya ke arah Jefri yang membuat Jefri mengangguk pasrah.
"Kalian tidur ya? Besok bangun pagi." titah Ayana pada Aidan ataupun Aviola yang masih bersorak karena keinginannya dikabulkan Jefri. Aidan mengangguk semangat. Begitupun juga dengan gadis kecil bersurai hitam lembut itu. Ia juga tak kalah semangat saat iming-iming mainan terlontar di bibir Sang Papa.
Dua anak mungil itu naik ke atas ranjang. Meskipun bisa dikatakan ranjang Ayana dan Jefri itu luas, namun bagi Jefri lebih baik anaknya itu di kamar yang berbeda. Jefri lebih senang jika anaknya terbiasa tidur sendiri. Katanya agar mereka mandiri, padahal punya maksud lain. Tapi apalah daya, saat ini Ayana menyetujui permintaan anaknya untuk tidur bersama.
Aviola sengaja memunggungi Aidan yang merebahkan tubuhnya di sampingnya. Ia juga tak segan menata guling milik Ayana untuk diletakkan di tengah-tengah mereka. Sebelum netranya benar-benar terlelap, tangan Aidan mendorong pelan tubuh Aviola agar tidak mendekat dengannya. Pun juga Aviola spontan langsung membulatkan matanya saat pundaknya di dorong Aidan. Gurat wajah keduanya sama-sama memiringkan bibirnya sembari mendelik satu sama lain.
Ayana dan Jefri hanya bisa menghela napas melihat tingkah keduanya. Mereka kehabisan cara untuk mempersatukan keduanya agar tak saling bertengkar. Janji yang terapal di bibir keduanya pun hanya bersemayam lima menit saja. Selebihnya mereka berdua tetap sama. Kembar yang tak pernah bisa akur.
Ayana berjalan mendekat ke arah suaminya yang masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya. Di tepian ranjang, Jefri masih belum menyelesaikan pekerjaannya yang ada di laptop. Jari-jarinya menari-nari di atas keyboard untuk memindai beberapa tulisan.
"Mas, besok berangkat naik apa?" tanya Ayana sembari tangannya mulai memegang pundak Jefri dan membantu memijitnya pelan. Sadar jika suaminya itu sedari tadi tak beristirahat sama sekali. Mengurus istri, mengurus anaknya, hingga mengurus pekerjaannya, sampai suaminya tak sempat mengurus dirinya sendiri.
Salah satu tangan Jefri memegang pundak yang dipijit istrinya, sampai Ayana menghentikan kegiatannya. Kepalanya menoleh pelan, seraya mengulas senyum tipis, "Mobil aja,"
"Emang kamu kuat nyetir?"
"Asal kamu jadi tukang pijet tiap jam, kuat!"
"Tangan aku mana kuat mijitin kamu. Kan aku lagi hamil," alibi Ayana seraya mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. Begitupun juga bogeman pelan dari tangan Ayana mendarat di lengan Jefri. Sontak Jefri mengiris setengah terkekeh. Tangan kanannya ia tenggerkan di pucuk kepala Ayana dan mengacak-acaknya pelan, "Hamilnya di perut. Bukan di tangan,"
Ayana tak menanggapi. Ia justru tengah mengamati guratan di wajah Jefri yang kembali serius saat berkutat dengan pekerjaannya. Dalam hati Ayana sebenarnya ingin menanyakan hal yang mengganjal, yang ia simpan beberapa bulan. Tapi saat melihat Jefri yang tengah sibuk, ia takut menggangu suaminya.
Tentang Fatih. Ia masih setengah penasaran dengan sosok Fatih. Ia masih belum memastikan dan bertanya pada Jefri sampai saat ini. Meskipun ia sering mendapati suaminya itu tengah bertukar kabar dengan Fatih tapi Jefri tak pernah bercerita siapa Fatih. Yang ia duga, Fatih hanya rekan kerja Abi. Tapi kenapa sangat akrab? Seperti sosok saudara sendiri? Hanya praduga dalam hati Ayana saja. Tanpa tahu kebenarannya.
"Aku masih pengen tanya sama kamu," ucap Ayana pelan yang membuat Jefri mengalihkan pandangannya untuk menatap istrinya.
"Apa?"
"Fatih itu siapa, Mas? Kenapa akhir-akhir ini aku sering banget lihat kamu telfon dia?"
Jefri termangu beberapa detik. Netranya beradu pandang dengan Ayana. Tak berkedip. Bibirnya pun ikut selaras mengulum senyum yang tak biasa dengan ukiran senyum yang tercetak saat bertatapan dengan Ayana. Sampai-sampai Ayana bingung menunggu jawaban dari bibir Jefri yang akan keluar, "Mas?" panggil Ayana lagi.
Jefri menghela napas sebelum bibirnya mencuatkan rentetan kalimat, "Fa-Fatih itu orang kepercayaan Abi dari dulu. Dia kayak kakak sendiri. Dari dulu dia yang bantu Abi ngurus pesantren, ngurus panti asuhan, dan ngurus usaha milik Abi di Malang. Dia ngurus di bagian Malang Jawa Timur. Sedangkan Abi di bagian Jakarta."
"Aku kadang merasa bersalah sama Abi. Sampai sekarang juga rasa bersalah itu masih bersarang. Aku anak tunggal tapi masih sering mengecewakan Beliau. Aku jarang ikut mengurus apa yang Abi miliki, dan Beliau nggak mempermasalahkan sama sekali. Kadang nggak enak sendiri, Ayana!" lanjut Jefri meyakinkan Ayana.
Bibir Jefri berusaha mengulum senyum. Ia juga menetralkan detak jantungnya yang sedikit gak normal, "Abi mungkin dari dulu pengen banget aku kuliah di Kairo, tapi aku egois malah kuliah di Indonesia ngambil kedokteran yang kuliahnya lama. Untungnya dulu waktu sekolah, ada kesempatan program akselerasi SMP sama SMA jadi aku bisa mempertimbangkannya. Kuliah, koas, UKMPPD, internship, sampai pendidikan spesialis, aku dulu nggak bisa main-main biar nggak buang-buang waktu dan uang. Setidaknya satu impian buat mereka bangga itu ada. "
"Setidaknya apa yang aku pilih, itu bisa membanggakan Umi sama Abi meskipun belum sempurna. Jadi selama aku ngurus pendidikanku, Kak Fatih yang menghandel semuanya. Semua usaha yang Abi bangun. Aku minta, untuk kali ini pembangunan Rumah Panti, kita ikut andil ya? Bantu aku berbakti sama Beliau," lanjut Jefri lagi.
Dari jawaban Jefri, Ayana sedikit lega. Apa yang ia tanam dalam pikirannya perlahan mulai pudar. Bukan apa-apa, Ayana hanya ingin Jefri lebih terbuka. Entah itu mengenai keluarga dekatnya ataupun rekan kerjanya, itu tak menjadi masalah. Ayana malu, jika ia menyandang status istri Jefri. Tapi keluarga Jefri sendiri ada yang tak ia kenal. Cukup ia yang tak mempunyai keluarga lengkap. Ia tak mau jika satu nama dari keluarga Jefri yang terlewatkan. Ayana hanya ingin mengenal lebih jauh keluarga besar Jefri ataupun sahabat-sahabat suaminya itu, "Ya,"
"Aku kira tadi rekan kerja kamu atau saudara kamu. Maaf ya, Mas! Aku nanya-nanya yang nggak penting." sesalnya pada Jefri.
Aku yang seharusnya minta maaf, aku takut kamu kecewa lagi. Batin Jefri.
"Di Malang nanti ada Abi sama Umi, ada keluarganya Abi juga. Kamu jangan sungkan buat minta bantuan ya?" pesan Jefri seraya mengecup pelan pipi istrinya yang mengganti bak kue bakpao.
"Iya. Ya udah ayo tidur! Nunggu apalagi?"
"Kamu tidur aja dulu. Bentar lagi selesai, nanti aku nyusul."
Ayana menggeleng. Kakinya seakan-akan tak mau diajak untuk beranjak. Ingin mematung disana. Di dekat suaminya seraya tangannya terus menerus bertengger di perut buncitnya, "Aku temenin aja,"
"Kasian dia nggak dapat istirahat penuh kalau kamu ikut nemenin," sahut Jefri dengan mata yang menatap perut Ayana.
"Dia sendiri yang mau nemenin Papanya,"
Jefri tersenyum miring mengarah pada Ayana. Tangannya spontan menekan tombol close pada laptop ia pegang dan menutup semua program di dalamnya. Pekerjaan nomor dua, istri nomor satu.
Laptop yang ia pegang ia lipat seperti sedia kala dan menaruhnya ke atas ranjang, samping ia terduduk. Netra Jefri yang meneduhkan itu menatap Ayana yang juga ternyata menatapnya. Bibirnya reflek mendarat lagi di kening Ayana, "Dia atau kamu yang mau nemenin?"
"Dua-duanya." sahut Ayana sembari mengulas senyum simpul. Tangan perempuan itu sontak melingkar di pinggang Jefri. Ayana pun tak lupa melirik kedua anaknya yang telah terlelap sedari tadi. Sebelum pelukan itu lebih mengerat dalam dekapan Jefri.
Bersambung....
Hiye, aku update cepet. Akhirnya kita sampai part ini say wkwkwk selangkah lebih dekat avv .... Kemarin flop banget gara-gara aku kepencet publish gak sengaja jadi banyak yang gak dapat notif 😭🤣 sekarang aku tebus dah ya update cepet biar selangkah lebih maju sama ending wkwk semoga gak flop wkwk punten punten kalo misal suka sama ceritanya bisa di klik itu tombol bintangnya, kalo berkenan juga bisa spam spam komen. Aku jauh lebih seneng.
See you sayang selamat hari Valentine gausah kasih author coklat, kasih vote sama komen aja yang banyak. Kalau kalian berkenan dan suka sama karya yang di-update disini kalian juga bisa follow.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top