BAGIAN 2 - NAFKAH ALBUM
Jefri yang tampak berbaring di atas ranjang dan menjadikan paha Ayana sebagai bantalnya, menatap perempuan berambut panjang yang tergerai bebas disana. Perempuan yang dulu hampir sempat ingin bercerai dengannya. Karena kesalahannya yang tak tegas dengan perasaannya sendiri. Karena ia tak bisa menyadari perasaannya terhadap Ayana, dan hanya bersembunyi dengan luka masa lalunya saja. Tanpa menyadari pernikahannya yang akan menjadi bencana.
Bibirnya tertarik membentuk sebuah simetris kecil seraya mengedipkan satu matanya saat mendapati Ayana tengah menatapnya tiba-tiba. Ia terkekeh geli saat istrinya itu memutar bola matanya malas karena mendapatkan kedipan maut darinya. Benar-benar menyebalkan Bapak dua anak ini. Lupa umur!
Mungkin jika Ayana tak memberikannya kesempatan untuk melanjutkan pernikahan lagi. Netranya tidak akan pernah melihat dua sosok anak kembar yang ada di sampingnya sekarang. Aidan dan Aviola. Ia juga mungkin tidak akan pernah merasakan hal bahagia sesederhana ini. Dan hanya terkungkung dalam masa lalunya yang tidak jelas itu.
Setiap malam Ayana, Jefri, dua anaknya itu selalu menyisihkan waktu bersama di atas ranjang tempat tidur mereka. Bak ritual sebelum tidur yang selalu ia sisipkan, dan tak pernah terlewatkan beberapa tahun belakangan ini. Hanya menemani anaknya bermain sebelum mereka benar-benar terlelap tidur. Namun kali ini, hanya Aidan yang belum tertidur. Aviola sudah lebih dulu tertidur di samping Ayana.
Sebenernya, mempunyai anak kembar itu benar-benar anugerah yang besar. Tidak semua orang bahkan bisa mendapatkannya. Terlebih, dua anak mungil ini yang selalu menjadi alasan untuk tetap melanjutkan hidup dan berdamai dengan takdir.
Kembar fraternal. Orang-orang biasanya menyebut kembar ini adalah kembar tidak identik. Sama seperti yang dirasakan Ayana saat mengandung Aviola dan Aidan. Mereka benar-benar tidak identik. Mulai dari wajah hingga kepribadian pun Aidan dan Aviola benar-benar berbeda. Hanya lahir pada waktu yang sama tanpa adanya kesamaan lainnya.
Nenek Ayana yang mewariskan gen kembar padanya. Meskipun Ayana dan Jefri adalah anak tunggal, namun karena ada gen kembar dari Sang Nenek, kemungkinan besar gen kembar itulah yang diwariskan ke Ayana sehingga ia bisa mengandung dua anak mungil itu.
"Telulnya milip pipi Apiola," celetuk Aidan sembari terkekeh kecil. Sudah menjadi hal yang wajar ketika anak laki-lakinya itu meledek saudaranya. Bahkan saat Aviola sudah terlelap seperti ini, ia masih sempat-sempatnya menertawakan.
Sontak kedua netra Jefri yang tadinya memperhatikan wajah Ayana kini beralih menatap anak laki-lakinya yang tengah duduk bersila di sampingnya, Aidan sibuk dengan hasil mewarnai di bukunya. Tak sempurna memang. Karena tangan Aidan bahkan masih mulai belajar mewarnai. Sesekali ia berceletuk sembari tertawa kecil.
Ayana yang mendengar kekehan kecil dari putranya sontak ikut tertawa juga, kedua bola matanya melirik Jefri sekilas yang masih betah berbaring dengan bantal pahanya, dan beralih memerhatikan Aidan lagi.
"Mama milip plinces," puji Aidan sembari mengulum senyum ke arah Ayana.
"Makasih sayang," ujarnya tersenyum manis ke arah putranya.
"Papa mana?" tanya Jefri saat dirinya tak disebut oleh Aidan.
Aidan tampak membolak-balikkan bukunya dan memilih gambar yang ada di buku, yang menurutnya mirip dengan Papanya. Beberapa detik kemudian, sorot matanya berbinar saat matanya menangkap sebuah gambar yang sering disebut Mamanya, mirip dengan Sang Papa.
"Ini milip Papa ya, Ma?" tanyanya ke arah Ayana sembari menunjukkan sebuah gambar Badak.
Raut wajah Jefri berubah setengah penasaran saat tawa Ayana pecah tiba-tiba karena melihat gambar yang ditunjukkan anaknya itu, "Mana mirip Papa?" Jefri mengulangi pertanyaannya.
"Ini," jawab Aidan dengan gelak tawa kecilnya, namun beberapa detik kemudian Ayana menempelkan jari telunjuknya di bibir, mengisyaratkan Aidan untuk tidak tertawa terlalu keras karena adiknya tengah tertidur.
Jefri mulai beranjak dari tidurnya dan ikut duduk bersila menghadap Aidan sembari mulutnya terus menggerutu, "Semua aja yang jelek-jelek mirip Papa,"
"Tapi Aidan sayang Papa,"
"Tipi idin siying pipi," ucapnya menyeye menirukan ucapan Aidan.
Tangan Jefri menarik tubuh Aidan dan mengisyaratkan Aidan untuk duduk di pangkuannya. Sedangkan Ayana yang duduk di samping Jefri tengah mengusap-usap rambut Aviola pelan, "Diajarin siapa kamu ngomong gitu?" tanya Jefri seraya mengacak-acak rambut putranya.
"Kata Mama, Papa jelek. Tapi Aidan halus sayang Papa." seru Aidan mendongak, menatap Jefri yang tengah memangkunya.
"Yang bilang Papa mirip Badak juga Mama?" tanya Jefri menatap sekilas ke arah Ayana. Padahal dia sendiri juga sudah tau dari dulu kalau Ayana yang memanggilnya dengan sebutan itu.
Aidan mengangguk cepat seraya meringis pelan. Menampakkan gigi susu yang belum tumbuh sempurna. Karena terlalu sering makan coklat yang menyebabkan giginya banyak yang rusak, "Papa kalo malah-malah tanduknya goyang-goyang," ucapnya dengan gelak tawa ringan sembari menggoyang-goyangkan kepalanya bak menirukan Badak.
Ayana ikut terkekeh geli saat Aidan menjahili Jefri. Sedangkan Jefri tak menyahuti candaan putranya itu. Ia hanya menghela napas panjang. Bisa-bisanya putra satu-satunya itu sangat dekat dengan Ayana. Dan terdoktrin untuk memanggilnya dengan sebutan 'Badak', sama seperti panggilan yang diberikan Ayana. Padahal jelas-jelas dia tidak ada miripnya sama sekali dengan Badak. Terserah anaknya saja lah mau bilang apa.
"Dan, kamu nggak tidur? Aviola aja udah tidur dari tadi." tanya Jefri ke arah Aidan.
"Aidan belum ngantuk,"
"Besok kamu sekolah, besok kalau dibangunin nggak bangun-bangun. Papa tinggal,"
Aidan mendengus kesal saat mendengar ancaman dari Jefri, bibirnya mengerucutkan sembari tangannya bersendekap dada, "Aidan belum ngantuk!"
Jefri terkekeh pelan saat mendengar gerutu sebal dari bibir mungil Aidan. Ia semakin mengeratkan dekapannya pada tubuh Aidan, dan menghujani ciuman singkat di pipi anaknya itu, "Jangan nakal kalau jadi kakak! Kamu nggak mau punya adek baru selain Aviola?"
🌹🌹🌹
"Buku mewarnai yang kamu pakai tadi malam kamu taruh mana, Dan?" tanya Ayana pada Aidan yang tengah sibuk bermain robot mainan di tangannya dan duduk di tepi ranjang.
Aidan mendongak dan menatap mata Mamanya yang tengah mencari bukunya untuk dimasukkan ke dalam tas sekolahnya, "Di pinggil tas Apiola," jawabnya.
"Tas Aviolanya sekarang dimana?" tanyanya lagi saat netranya tak menemukan buku milik Aidan di meja belajar.
Ia menggelengkan kepalanya pelan dengan memasang raut wajah polos dan tangan yang masih betah memegang mainan robot-robotannya, "Enggak tau, Ma! Kemalin Aidan taluh bukunya di pinggil tas Apiola,"
Ayana menghela napas panjang saat ia masih tak menemukan buku mewarnai milik anaknya. Sebenarnya ini bukan hanya sekali terjadi setiap pagi. Namun, beberapa kali. Aidan, Aviola, bahkan Jefri sendiri pun terkadang suka lupa menaruh barang-barang penting miliknya, yang kemudian saat barangnya dibutuhkan, entah kemana sulit untuk dicari.
"Nyari apa sih?" tanya Jefri yang baru saja keluar dari kamar mandi. Ia hanya mengenakan celana panjang hitam yang biasanya ia kenakan untuk kerja. Dan, tubuh bagian atasnya belum terbalut pakaian. Bisep nan kokoh dan perut atletis terekspos bebas disana. Sudah tidak asing lagi bagi Ayana melihat pemandangan yang ada dihadapannya itu.
"Buku mewarnainya Aidan kemarin malam," ujarnya ke arah Jefri.
"Buku itu ada di meja kerja saya,"
"Kenapa bisa ada di meja kamu?"
Jefri mengambil kaus putih polos miliknya di lemari dan perlahan mengenakannya, "Aidan habis mewarnai, bukunya ditaruh sembarangan di lantai. Jadi saya taruh di meja kerja saya sementara," serunya sembari tangannya menelisik beberapa kemeja yang ada di lemari, dan memilih satu kemeja biru untuk ia kenakan.
Ayana hanya mengangguk saat mendengar jawaban dari Jefri. Ia kemudian beranjak menuju meja kerja suaminya itu. Dan benar, buku Aidan ada di meja kerja Jefri. Bertumpukan dengan buku-buku milik Jefri disana.
"Mama," panggil Aviola seraya menarik-narik ujung baju Ayana. Ayana yang tengah sibuk menyiapkan tas Aidan dan tas Aviola, perlahan menoleh ke arah anaknya perempuannya itu.
"Apiola nanti kalau pulang sekolah mau beli es klim ya?" pintanya dengan memasang tampang memohon ke arah Ayana.
Aidan yang mendengar ucapan dari Aviola juga tak kalah ikut menimpali permintaan kembarannya itu, "Aidan juga, Ma!"
Ayana terkekeh saat memperhatikan kedua anaknya yang saling tak mau kalah. Ia mengangguk, menyetujui permintaan kedua anaknya. Satu minta dibelikan sesuatu. Satunya pasti juga tak mau ikut kalah dibelikan juga. Hal yang wajar, yang sering terjadi antara Aidan dan Aviola, "Dan, cepet pakai sepatunya! Terus langsung ke meja makan." serunya ke arah Aidan yang masih sibuk dengan mainan Robot di tangannya.
"Aidan tulun baleng Mama," sahutnya sembari beranjak dari tepi ranjang dan berjalan ke arah Aviola yang tengah memberi makan kucing milik Ayana.
"Apiola juga tulun baleng Mama," timpal Aviola menambahi.
Jefri hanya menggeleng-gelengkan kepalanya memperhatikan tingkah kedua anaknya itu. Ia mengenakan kemeja miliknya tanpa ia kancing terlebih dahulu dan berjalan ke arah Ayana, "Yang ke Macarolove kamu atau Umi hari ini?" tanyanya ke arah Ayana yang selesai membereskan buku milik anaknya.
"Aku aja,"
"Umi udah kamu kasih tau? Kalau kamu yang kesana?"
Jefri meletakkan dasinya di atas meja kerjanya sedangkan Ayana reflek membenarkan kancing kemeja milik Jefri, dan mengancingkannya satu per satu, "Nanti aku kasih tau Umi. Sekalian mau ambil rekapan keuangan," jawabnya.
"Cari waiters lagi aja lah. Biar kamu nggak kecapekan,"
Ayana mengangguk mendengar saran dari suaminya itu. Kedua tangannya beralih mengambil dasi yang ada di meja dan mengalungkannya ke leher Jefri perlahan, "Nanti aja dipikirin,"
"Tunda aja ya ambil program pascasarjana?"
"Dulu kamu sendiri yang nyuruh cepet-cepet ambil program pasca sarjananya dan nyuruh lanjutin kuliah, sekarang malah nyuruh nunda. Untung otak aku lagi mode nurut," jawabnya yang masih sibuk merapikan dasi milik Jefri. Sesekali menepuk-nepuk dada bidangnya untuk merapikan kemejanya.
"Kondisinya beda. Sekarang ada Aviola sama Aidan," sahutnya seraya kepalanya sedikit menunduk untuk menatap Ayana.
"Saya nggak keberatan kamu nunda. Setidaknya jaga mereka dulu sampai sekolah dasar. Banyak yang keberatan jauh dari kamu-" ucapannya menggantung saat kepala Ayana mendongak untuk membalas tatapannya.
"Termasuk saya," lanjutnya lagi seraya mengulum senyum.
Ayana memutar bola matanya saat mendengar ucapan dari Jefri. Tangannya reflek mencubit pinggang suaminya itu sedikit keras sampai-sampai terdengar erangan dari mulut Jefri, "Sakit!"
"Nggak papa kan kalau kamu nunda?" tanya Jefri lagi memastikan. Dan dibalas Ayana dengan anggukan pelan.
"Cari ilmu nggak ada kata terlambat. Kapanpun bisa kamu ambil program pasca sarjananya. Nunda nggak papa kan? Yang penting nggak berhenti. Tapi kalau jaga mereka? Nggak bisa ditunda. Kasihan mereka masih terlalu kecil," tutur Jefri lagi pada Ayana yang masih sibuk menali-simpulkan dasi milik Jefri.
Kepala Ayana mendongak, menatap Jefri yang sedari tadi menatapnya, "Iya, aku paham. Mereka tetep butuh pengawasan. Kalaupun kita sewa pengasuh juga, nggak bisa semaksimal diasuh orang tua sendiri."
"Saya akan pulang lebih awal kalau urusan pekerjaan saya selesai. Biar jagain mereka bisa gantian. Dan kamu nggak terlalu capek sendiri, nggak papa kan kalau kamu nunda pendidikan kamu?" Jefri mengulangi pertanyaannya lagi untuk kesekian kali memastikan kalau Ayana menyetujuinya untuk menunda pendidikannya.
Dulu memang Jefrilah yang sangat ingin istrinya melanjutkan program pasca sarjana. Meskipun otak Ayana bisa dibilang pas-pasan, tak sebanding dengannya. Namun, mungkin pernyataan itu berlaku ketika ia belum mempunyai Aidan dan Aviola. Dan saat ini, pilihan yang tepat memang harus menunda terlebih dahulu sampai setidaknya anaknya menginjak sekolah dasar. Menunda bukan berarti tidak belajar sama sekali kan? Hanya berhenti sejenak.
"Nggak papa, otak aku juga butuh refreshing." sahut Ayana cepat seraya mengulas senyum tipisnya.
"Yang penting duit ngalir ya?" lanjutnya diiringi kekehan geli.
Spontan mata Jefri menatap tajam ke arah Ayana. Persis tatapan tajam yang dulunya pernah memyemburat di mata Jefri saat Ayana membuatnya naik darah, "Becanda, ih!" Ayana masih terkekeh geli. Tatapan ini sudah hampir tidak pernah ia lihat, jadi ia mengetesnya lagi, tangannya masih betah mengalung di leher Jefri usai menata dasi milik suaminya itu.
"Udah," Ayana menurunkan tangannya yang mengalung di leher Jefri. Sedikit merapikan kerah suaminya sekali lagi.
"Makasih," seru Jefri sembari mencetak senyum tipis di bibirnya.
Bibir tipis Jefri beberapa detik kemudian mendarat di dahi Ayana untuk memberikan kecupan singkat disana, "Nanti uang bulanan saya transfer lebih,"
"Cuma hari ini? Bulan berikutnya enggak dikasih lebih, Mas?"
Jefri mengerutkan dahinya saat Ayana baru saja menyelesaikan kalimatnya, sorot matanya masih menangkap Ayana yang tengah tersenyum, "Matre juga kamu," gerutunya dengan tangannya yang menarik bebas telinga Ayana.
"Nggak matre. Itu namanya realistis. Kan apa-apa sekarang juga butuh duit. Lagian, yang prioritas kan tetep didahulukan. Kalo lebih, ya baru beli yang lain,"
Kedua tangan Jefri menangkup di pipi Ayana, jari-jarinya mengusap-usap permukaan lembut dari pipi istrinya, "Ya udah, mulai hari ini sampai bulan-bulan berikutnya uang bulanan kamu saya kasih lebih. Buat kebutuhan Aviola sama Aidan juga,"
Mata Ayana sontak berbinar saat Jefri dengan mudah mengatakan kalimat itu. Tak seperti dulu, apa-apa yang keluar dari mulut Jefri membuatnya naik darah, "Aku nggak usah dijatah album deh mulai sekarang, Uangnya buat Aviola sama Aidan aja," paparnya.
Jefri mengerutkan dahinya saat jatah album sudah tidak keluar dari mulut Ayana, "Tumben. Dulu aja ngelunjak minta cepet-cepet dibeliin album, padahal saya nggak keberatan ngasih kamu nafkah album,"
Dahi Ayana ikut berkerut, "Nafkah album?"
"Hm, tiap bulan jatah album kamu melebihi jatah yang lain," sahutnya menahan senyum tipis yang akan mencuat di bibir Jefri.
"Kan beda-beda grub, ya wajar lah banyak yang comeback. Tapi kan sekarang aku udah ngurangin. Nggak minta-minta album lagi. Sekarang uangnya buat kebutuhan Aidan sama Aviola. Tapi kalo sekali-kali Mas mau beliin album lagi ya nggak papa-" kalimatnya terpotong, saat beberapa detik manik-manik mata Ayana menatap mata Jefri.
"Nggak nolak juga," lanjutnya dengan kekehan geli.
Tangan Jefri beralih melingkar di pinggang ramping Ayana sembari masih menahan senyumnya, "Nggak nolak yang mana?"
Ayana mengerutkan dahinya lagi tak mengerti maksud pertanyaan yang Jefri lontarkan tadi, "Maksudnya?"
"Nafkah album apa nafkah batin?"
Ayana terperanjat saat mendengar pertanyaan yang samar-samar ia dengan dari telinganya. Jefri benar-benar paling bisa membuat jantungnya berpacu tidak normal. Spontan tangan Ayana mendorong tubuh Jefri agar sedikit menjauh darinya, "Nggak denger! Kuping aku ketutup kaki gajah," gerutunya menutup telinganya agar tak mendengar candaan dari Jefri.
Jefri terkekeh geli melihat Ayana yang menggerutu bebas di depannya. Dengan tangan yang masih betah menutup telinganya. Ayana mendelik ke arahnya, "Nggak usah ketawa,"
"Gimana nggak ketawa? Pipi kamu dari tadi-" ucapan Jefri terpotong karena kalimat Ayana mendahului kalimatnya yang belum selesai ia katakan, "Bodo amat! Besok tidur sendiri aja,"
🌹🌹🌹
To be continue....
Makasih banyak udah mampir di sekuel Bapak Badak. Udah nyari mereka sampai sini. Aku dah baca komen di Thalassophobia dan komen di Macarolove. Kenapa rata-rata nyari Badak 😭😭 wkwk
Kalau kalian suka sama sekuelnya jangan lupa pencet vote sama komen yang banyak. Nanti aku lanjut sesuai jadwal update. Atau nanti kalau aku nggak sibuk-sibuk amat aku percepat update seminggu 3x. Menyesuaikan aja lah nanti. Makasih banyak btw udah suka sama keluarga Badak.
See you next chapter.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top