BAGIAN 19 - EMBRIO KECIL
INI 3300 KATA GUYS, TERIMA KASIH UDAH ENGGAK PEGEL SCROLL SAMPE HABIS WKWKWK HAPPY READING!!! Kasih tau typo dan kalimat rancu ya?
💜💜💜
Jefri yang baru keluar dari kamar mandi usai membersihkan sedikit cambangnya, berjalan pelan ke arah ranjang. Sorot matanya menangkap Ayana yang masih terbaring. Usai sholat subuh tadi Ayana merebahkan tubuhnya lagi di atas ranjang, karena merasa tubuhnya tidak baik-baik saja. Jefri membiarkan istrinya itu untuk istirahat. Sejak kemarin malam, lagi-lagi suhu tubuh Ayana naik.
Ketika langkahnya sampai di tepi ranjang sebelah sisi yang Ayana tempati, ia mendudukkan tubuhnya. Menatap kelopak mata Ayana yang masih terpejam. Untung saja, hari ini ia tak ada keperluan di rumah sakit. Jadi, pasiennya saat ini adalah istrinya sendiri.
Tangan Jefri bertengger meraba pipi lembut milik Ayana. Menyaksikan paras ayu yang terpatri di wajah milik istrinya. Meskipun bibir ranum itu telah berubah warna pucat sementara ini, namun parasnya tak pernah membuat Jefri merasa bosan menatapnya. Andai ia tak ditemukan takdir dengan cara perjodohan, mungkin Jefri tak akan bisa merasakan polesan kebahagiaan bersama Ayana sampai saat ini.
Jefri menghentikan tangannya yang menyapu di wajah Ayana, ketika matanya melihat istrinya menggeliat kecil. Kelopak mata setengah sayu itu tiba-tiba terbuka perlahan. Membuat Jefri menyingkirkan tangannya dari wajah Ayana, "Kamu dari tadi lihatin aku Mas?" cicit Ayana pelan dengan suara setengah seraknya.
Jefri yang tampak ditatap Ayana dengan tatapan intimidasi lantas mengalihkan pandangannya sekilas sebelum menatap mata istrinya itu lagi, "GR!"
Ayana tersenyum miring. Jari jemarinya memukul pelan lengan suaminya yang tengah terduduk di depannya. Dengan mengubah posisinya menjadi bersandar di kepala ranjang, Ayana menatap Jefri seraya tersenyum sekilas saat suaminya itu juga menatapnya lembut, "Udah ketangkep basah. Nggak mau ngaku lagi,"
"Iya. Tadi kamu ngorok," jawab Jefri enteng, tanpa sadar membuat dua sungut Ayana yang tak kasat mata menjulang tinggi. Bibir pucatnya mengerucut panjang dan tangannya spontan melayangkan bogeman keras di lengan suaminya. Tak peduli Jefri merintih kesakitan.
Ayana sebenarnya tak tega melihat suaminya itu kesakitan karena pukulannya. Tapi, salah sendiri bibir Jefri tak pernah lepas dari cibiran yang membuat Ayana berkali-kali ingin melayangkan bogeman di tangannya.
Netra Jefri yang melihat Ayana masih dalam keadaan mengerucutkan bibirnya, lantas mengeluarkan sebuah tespack digital yang tersimpan dalam saku celananya. Benda yang ia pegang itu ia letakan di telapak tangan Ayana, "Mumpung masih pagi, kalau kamu mau pakai, pakai aja!" Jefri berusaha mengalihkan pembahasanya.
"Kamu beli ini lagi buat apa? Kan aku udah punya stok," protes Ayana pada Jefri. Ya, memang salah Jefri juga. Hampir setiap Minggu usai menjalankan program hamil suaminya itu selalu membelikan berbagai macam testpack. Namun hasilnya tetap masih negatif. Lalu ini apalagi?
"Udah lah nggak papa. Di simpen aja stoknya. Pakai itu aja," sahut Jefri.
Ayana mengangguk, menuruti saja apa yang suaminya mau. Ini juga untuk kebahagiaan ke depannya kan? Orang-orang di sekitarnya berhak bahagia. Ia tak ingin kebahagiaan yang bernaung di rumah tangganya tiba-tiba dihempas oleh badai yang tak bisa ia perbaiki lagi. Ia tak mau itu terjadi. Ia tetap harus egois merangkum kebahagiaan itu. Jefri yang ia cintai tak akan merampas kebahagiaannya kan?
"Aku mau ngecek anak-anak dulu di kamarnya udah bangun apa belum," tangan Ayana ditahan oleh Jefri saat ia berniat beranjak dari duduknya, "Udah bangun. Mereka udah main sama Umi di pekarangan rumah tadi pagi-pagi,"
"Gara-gara aku nggak enak badan kemarin malam. Yang ngurus anak-anak malah Umi." sesal Ayana saat mengetahui bahwa ia merasa tak bisa menjaga kedua anaknya.
Jefri yang melihat guratan suram dari wajah istrinya lantas mengulum senyum. Mengusap pelan bibir Ayana dengan jari jemarinya, "Nggak perlu menyalahkan siapapun. Sakit itu udah takdir,"
"Udah sana cek!" perintah Jefri seraya tangannya mengisyaratkan Ayana untuk menggunakan alat tes kehamilan yang baru saja ia beli kemarin. Berharap jika kali ini Ayana berhasil mengandung buah hatinya lagi. Dan besar harap kali ini mereka berdua tak gagal lagi, saat berminggu-minggu menanti dambaan makhluk kecil yang akan bersemayam di perut Ayana.
Ayana masih tak beranjak. Sorot matanya menatap Jefri beberapa detik sampai Jefri mengeluarkan suara seraknya yang membuat Ayana tersenyum kegirangan, "Aku nunggu kamu disini," sahut Jefri.
Bagaimana tak senang? Suaminya itu mau mengubah kata 'saya' lagi. Dan percakapannya tak sekaku seperti biasanya. Sudah berjalan beberapa minggu Jefri menggunakan kata 'aku' saat bertukar kata dengan Ayana.
"Kenapa malah senyum-senyum?" ucap Jefri sembari menyentil dahi Ayana yang tertutup poni miringnya.
"Masa senyum-senyum gak boleh? Kamu aja sering senyum-senyum terus kalo lihat istri sengsara dulu," tandas Ayana sebelum ia beranjak pelan berjalan ke arah kamar mandi.
Jefri sempat ingin membantu Ayana dan memapah istrinya itu ke kamar mandi, tapi Ayana mengisyaratkan kalau ia bisa sendiri. Jadi Jefri memilih untuk menunggunya di atas ranjang. Sedari tadi bibirnya pun tak pernah absen merapalkan barisan doa agar makhluk mungil yang diidam-idamkan itu benar ada di perut Ayana. Tak apa jika tak kembar, yang terpenting bagi Jefri adalah anak dan istrinya tetap sehat.
"Jangan lama-lama ngeceknya!" ucap Jefri sedikit teriak saat Ayana telah masuk ke dalam kamar mandi. Ia menghela napas. Gemuruh dalam dadanya menggema. Ada rasa takut jika alat test kehamilan itu tak bekerja dengan baik.
Helaan napas berkali-kali keluar dari bibir Jefri. Ia berusaha menetralkan detak jantungnya ketika Ayana menggunakan alat test kehamilan itu. Berminggu-minggu, ia telah dihadapkan hasil yang membuatnya berkecil hati. Dan besar harapannya ada di Minggu ini.
Sampai terhitung dua puluh menit lebih Ayana masih belum keluar dari kamar mandi. Jefri tampak tak tenang. Kakinya spontan beranjak menyusul Ayana. Namun kamar mandi itu terkunci saat ia memegang gagang pintunya, "Ayana," panggilnya.
"Gimana hasilnya, Ayana?" ucapnya lagi saat Ayana belum juga keluar dari kamar mandi. Panggilan ketiga dari Jefri di balik pintu, Ayana baru membuka pintu kamar mandinya dengan wajah yang tidak bisa diartikan.
Dahi laki-laki dewasa itu berkerut saat menatap istrinya yang tengah menatapnya juga. Keduanya saling beradu pandang. Sampai Jefri dibuat terperanjat saat istrinya tiba-tiba memeluknya, "Kenapa?"
Jefri masih tak berani mengambil alat tes kehamilan itu di tangan Ayana. Ia takut jika hasilnya tetap sama seperti kemarin-kemarin. Pun Ayana, ia masih bungkam di hadapan Jefri. Membuat Jefri sudah bisa menebaknya jika hasilnya tetap sama, "Negatif lagi?"
"Ayana kenapa, hm?" Jefri menanyakan lagi keadaan Ayana saat Ayana tak menjawab pertanyaannya dan malah semakin mengeratkan pelukannya. Netra perempuan itu telah penuh dengan buliran bening. Tanpa berujar, Ayana semakin menenggelamkan kepalanya di dada bidang suaminya.
"Positif," ucap Ayana samar. Hampir tak tersaring di pendengaran Jefri.
"Kamu nggak becanda kan?" Jefri spontan menguraikan pelukannya. Menatap Ayana dengan tatapan penuh arti. Sedangkan tangannya cepat mengambil alih alat test kehamilan itu untuk ia pindai sendiri dalam penglihatannya.
Pregnant
Tenggorokan Jefri semakin tercekat. Saat satu kata itu tertera dalam sebuah benda panjang berbentuk pen yang ia pegang saat ini. Usahanya berjalan dengan apa yang ia inginkan. Takdir berbanding lurus dengan apa yang ia rapalkan dalam doa. Meskipun, menunggu berminggu-minggu itu cukup melelahkan.
Jefri mendekap lagi tubuh ringkih istrinya. Membisikan sesuatu yang lembut di samping telinga kiri Ayana. Jari jemarinya menyelipkan beberapa anak rambut yang menutupi telinga Ayana dan kemudian bibirnya menyapu pelan bibir ranum yang ada di depannya, "Terima kasih, istriku."
Ayana menahan senyumnya saat Jefri lagi-lagi mengatakan kata 'aku' dalam pembicaraannya. Iya. Lebih tepatnya ini yang Ayana harapkan. Suami dan orang-orang disekitarnya harus bahagia akan kabar baik ini. Kalau ditanya, mengapa Ayana dulu langsung memberi kesempatan ke Jefri padahal Jefri berkali-kali melakukan kesalahan yang sama. Ayana tak tahu alasannya. Memang, kecewa itu pasti ada. Tapi keinginan untuk merangkum kebahagiaan jauh lebih besar daripada ia harus terkungkung lebih lama lagi karena sebuah kekecewaan. Ayana ingin merasakan bagaimana ia dicintai sesungguhnya. Bagaimana rasanya dicintai laki-laki, setelah ia menelan banyak luka yang ditorehkan Sang Papa. Dan ia ingin suaminya yang melakukannya. Bukan orang lain.
Kepala Ayana tiba-tiba berdenyut lagi tanpa sebab. Mungkin karena efek demamnya. Jadi sesekali sakit di kepalanya meruap seisi kepala. Namun Jefri tak sadar jika istrinya itu menahan denyutan di kepalanya. Terkadang ada rasa khawatir ketika mengambil langkah program hamil lagi, takut jika ia tak bisa menjaga janinnya. Itu yang Ayana rasakan selama ini.
Tapi ia tetaplah Ayana. Apapun yang menjadi penghambat kebahagiaannya, ia tetap akan menepisnya. Bagaimanapun caranya, jika ia tak banyak pikiran pasti ia akan baik-baik saja. Jadi tak perlu mengkhawatirkan hal-hal yang belum pernah terjadi. Yang jelas, Jefri dan orang-orang baik di sekitarnya tak terbebani akan itu. Ayana memilih bungkam.
"Sehat-sehat ya di perut Mama?" Ayana tersenyum simpul di bibir pucatnya saat tangan suaminya itu meraba pelan sisi perutnya yang belum mengembung sepenuhnya. Masih terbilang rata. Namun, telah dihuni makhluk kecil didalamnya.
"Besok langsung ke dokter buat cek kandungan," saran Jefri lagi yang dibalas Ayana dengan anggukan kecil.
"Mama,"
Ayana dan Jefri sontak menoleh bersamaan ke arah pintu kamar yang setengah terbuka. Disana ia menangkap sosok laki-laki kecil yang berdiri di ambang pintu. Aidan, ia setengah berlari ke arah Ayana, "Aidan,"
"Udah pulang? Aviola sama Nenek mana?" tanya Ayana seraya membelai pucuk kepala Aidan dengan lembut.
Anak laki-lakinya itu mengisyaratkan Jefri untuk menggendongnya agar sejajar dengan tinggi Sang Mama. Jefri yang tau kode itu, lantas mengambil tubuh Aidan dan menggendongnya, "Apiola ada di dapul sama nenek. Apiola tadi habis mandi lagi. Soalnya bajunya basah semua. Apiola main-main lumpul. Telus kepalanya kena lumpul. Aidan disuluh panggil Mama sama Papa buat salapan baleng-baleng,"
Ayana terkekeh geli saat mendengar rentetan kalimat dari putranya. Ia tidak akan memarahi Aviola. Ia justru membiarkan kedua anaknya bermain apapun yang ia suka. Tak ada batasan. Selagi itu tak membahayakan anaknya, Jefri dan Ayana tetap mengizinkan kedua anaknya itu mengeksplor kemampuannya sejak usia dini, "Aidan nggak ikut main lumpur?"
"Aidan main lobot-lobotan di gazebo," jawab Aidan pelan.
Jefri dan Ayana mengangguk menanggapi cuitan dari anaknya. Sesekali bibir Jefri mengusap pelan pipi Aidan yang menggantung bebas, "Harusnya aku yang masak Mas, Umi kan di rumah kita udah bantu jagain anak-anak," sesal Ayana saat tahu selama ia sakit, mertuanya yang mengambil alih pekerjaan rumah. Mau meminta bantuan ART pun, sampai saat ini ART yang ada di rumah Jefri tak ada kabar ingin melanjutkan bekerja ataupun tidak.
"Umi nggak bakalan tega nyuruh menantunya yang lagi sakit masak makanan buat sarapan orang satu rumah," Jefri menanggapi ucapan istrinya dengan tenang.
"Ayo makan! Nggak usah ganti baju, pakai itu udah cantik." perintah Jefri pada Ayana dengan pujian yang membuat Ayana memutar bola matanya. Jefri terkekeh pelan saat memperhatikan Ayana yang tak kunjung beranjak dan malah memperhatikan tubuhnya yang memakai daster satin biru muda dengan tali spaghetti strap yang melekat di pundaknya. Tangan lentiknya pun ikut meraba-raba wajah pucatnya. Memastikan kalau penampilannya tak seburuk yang ia kira karena semalaman dalam kondisi demam.
"Dibilangin cantik ya cantik. Mau sakit mau nggak tetep cantik," ucap Jefri lagi seraya tanpa aba-aba tangannya menggandeng tangan Ayana untuk ikut beranjak dengannya. Sedangkan lengan yang satunya, ia gunakan untuk menggendong Aidan.
Tak perlu waktu lama, Jefri dan Ayana turun dari tangga dan berjalan ke arah ruang makan yang terletak di samping dapur. Aviola dan Umi sudah lebih dulu disana. Jefri mengambil duduk di kursi yang biasa ia pakai, dekat dengan Ayana. Sedangkan kedua anak mungilnya itu duduk saling berdampingan di kursinya masing-masing. Pun juga Umi. Ia ikut duduk di samping cucunya. Tepat di depan Ayana juga.
"Udah sembuh, Ay?" tanya wanita paruh baya itu lembut, memperhatikan menantunya yang terduduk setengah lesu di depannya. Umi pun tau, jika Ayana masih belum sembuh sepenuhnya dari demamnya.
"Udah lumayan, Mi." sahut Ayana tak kalah lembut menanggapi mertuanya. Mertua paling baik yang mungkin banyak diidam-idamkan wanita di luar sana karena sikap baiknya ke menantunya.
Umi mengulum senyum, tangannya menarik sebuah mangkuk berisi bubur penuh yang ia buat untuk menantunya, "Umi buatin bubur buat kamu, dihabisin ya?" ujarnya.
"Makasih banyak Mi," Ayana menerima satu mangkuk bubur itu di tangannya. Ia sebenarnya masih malas untuk mengisi perutnya yang hampir terasa mual. Entah itu mual karena faktor hamil ataupun mual karena sakitnya. Ayana tak tahu.
"Apiola nggak mau sayul, Nek!" cicit Aviola yang membuat semua mata tertuju padanya. Umi sontak menghentikan tangannya yang menuangkan sayur ke piring cucunya itu. Memang, mau bagaimana bentuk sayurnya. Aviola tetap tak bisa makan makanan sehat itu. Sampai Jefri dan Ayana terkadang kuwalahan membujuk anaknya. Beda sekali dengan Aidan, apapun makanannya ia tidak pernah protes sedikitpun. Hanya saja, terkadang Aidan meminta imbalan pada Jefri dengan sogokan mainan jika ia mampu makan sayur-sayuran terus menerus. Sama saja seperti Sang Mama, anak laki-lakinya itu pandai memeras Papanya.
"Sayur itu sehat, Nak! Kakak Aidan aja mau. Masa Aviola nggak mau sehat?" bujuk Umi lagi agar Aviola mau memasukkan satu sendok saja sayur ke dalam mulutnya.
"Sayul nggak enak," protes gadis kecil itu lagi dengan bibir yang mengerucut panjang dan netra yang menatap Sang Papa dengan tatapan memohon.
Jefri hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saat gadis kecilnya itu menolak lagi makan sayur. Ia mengisyaratkan Umi untuk menghentikan bujukannya. Biarkan Jefri sendiri yang membujuk. Karena anak perempuannya itu hanya bisa luluh pada Jefri ataupun sesekali pada Ayana, "Sini makan sama Papa," bujuknya lagi, membuat Aviola mengangguk pelan dan beranjak ke arah Jefri.
Aviola naik ke atas pangkuan Jefri. Duduk disana dengan Jefri yang berniat untuk menyuapi anaknya itu. Namun, dengan sigap Aviola menggeleng-gelengkan kepalanya lagi. Pun tak lupa, bibirnya ia tutup rapat-rapat dengan jari jemarinya agar Jefri tak menyuapinya, "Nggak enak sayulnya, Pa!" protesnya.
Jefri menghela napas. Ia menatap Ayana sekilas yang juga ternyata menatapnya. Dan kemudian beralih menatap putrinya lagi untuk membujuk kesekian kali, "Aviola sama Kak Aidan mau Papa kasih hadiah nggak?"
Pendengaran Aidan menajam seketika, mendengar kata hadiah dari Jefri. Anak mana yang tidak senang jika orang tuanya memberi iming-iming hadiah? Pun juga Aidan. Ia salah satunya yang sangat antusias jika Papanya membahas soal hadiah. Dengan bibir mungil yang masih belepotan nasi, ia meninggalkan piring setengah penuh yang ada di hadapannya. Kaki kecilnya ingin diajak bekerja sama untuk beranjak berlari ke arah Ayana dan Jefri, "Aidan mau hadiah. Aidan udah makan sayul. Aidan mau hadiah sekalang. Aidan mau hadiah lobot Ailon Men, Aidan mau hadiah ya, Ma?" ucapnya bertubi-tubi menghujani kalimat itu pada Ayana dan Jefri. Ia pun lantas ikut naik ke pangkuan Ayana.
"Apiola juga mau Putli Lapunsel hadiahnya, Pa?" Giliran Aviola yang berucap tak mau kalah dengan Aidan.
Jefri mengacak-acak pucuk kepala Aviola dan Aidan secara bergantian. Sebelum bibirnya mengeluarkan rentetan kalimat. Ia menatap istrinya sekilas sebelum netranya mengarah ke kedua anaknya lagi, "Bukan mainan hadiahnya. Tapi adik. Di perut Mama sekarang udah ada adik bayinya. Adik kalian,"
Mata kedua anak kembar itu seketika melebar. Tak percaya dengan apa yang Jefri katakan. Aidan, ia lebih dulu memeluk Ayana karena posisinya memang sudah dalam pangkuan Ayana. Sedangkan Aviola, ia memantul-mantulkan tubuhnya kegirangan dalam pangkuan Jefri, "Aidan mau punya adik?" tanya Aidan memastikan pada Ayana.
"Benelan? Apiola mau punya adik?"
Ayana ataupun Jefri mengiyakan pertanyaan kedua anak kembarnya, "Holle, Aidan punya adik. Apiola nggak punya adik," sorak Aidan tanpa sadar dirinya ditatap Aviola dengan tatapan tajam.
Aviola mengerucutkan bibirnya sebal menerima cibiran dari Aidan, "Punya. Aidan nakal, Pa! Katanya Apiola nggak punya adik," rengeknya pada Jefri.
"Itu adik Aidan bukan adik Apiola," ucap Aidan lagi menimpali seraya memeluk tubuh Ayana dengan tangan kecilnya.
Ayana menggeleng-gelengkan kepalanya. Memperhatikan tingkah kedua anaknya yang tak pernah berubah mencibir satu sama lain, "Adik kalian berdua. Jangan berantem! Kalian kan kakak, jagain adiknya biar sehat di perut Mama,"
Umi yang sedari tadi bergeming. Hanya menyaksikan tingkah kedua cucunya itu seraya tersenyum simpul menanggapi ocehan-ocehan kecil. Gurat di wajahnya sudah bisa menggambarkan jika ia bahagia melihat pemandangan yang tersorot di depan matanya. Melihat anak tunggalnya yang telah memiliki rumah tangga, dan dua anak mungil yang melengkapi kehidupan anaknya. Ibu mana yang tak bahagia melihat pemandangan itu? Hanya saja, Umi menyayangkan peristiwa membahagiakan ini. Ia tak bisa mengubah takdir. Takdir lebih dulu membawanya tak pernah bisa bertemu Ratih lagi, Ibu Ayana. Mungkin jika waktu bisa diputar. Ia akan sangat senang jika anaknya telah menikah dengan anak sahabatnya yang telah tiada. Itu menjadi alasan bahwa ia harus menganggap Ayana seperti anaknya sendiri, "Kamu hamil lagi, Ay?" ucapnya ikut menimpali pembahasan rumah tangga anaknya.
"Iya Mi, empat bulan yang lalu Ayana ikut program hamil, dan sekarang baru positif."
"Cepet ya? Alhamdulillah, nggak papa deh Umi cuma punya anak tunggal. Yang penting punya cucu banyak, makasih banyak ya Ay? Kamu jangan sungkan kalo mau minta bantuan sama Umi. Umi itu ibu kamu sendiri," tawarnya pada Ayana.
"Iya Mi,"
Netra Umi beralih menatap anak tunggalnya yang masih memangku cucu perempuannya, "Jefri hebat banget ya Ay mainnya? Tembusnya cepet," sindirnya halus ke arah Jefri dan cepat-cepat memindai matanya menatap Ayana lagi seraya terkekeh geli.
Jefri yang merasa sangat peka dengan ucapan Umi itu lantas mendelik beberapa detik ke arah Umi yang tengah terkekeh, sampai Umi menghentikan tawanya, "Kamu sama Umi sendiri kenapa mlotot-mlotot gitu?" ucap Umi lagi.
Jefri tak menanggapi lagi ledekan dari Umi. Ia melanjutkan menyendok makanan yang terhidang di depannya sembari masih memangku Aviola. Ayana pun hanya mengulas senyum saat membalas candaan dari Umi. Untuk menertawakan Jefri seperti Umi pun ia masih sangat lemah.
"Oh iya Jef, tadi Abi telfon Umi. Pembangunan rumah pantinya katanya dua bulan lagi, tapi kamu bisa berangkat dua atau tiga bulan lagi aja. Nggak harus kesana tepat waktu. Soalnya disana Abi udah dibantu sama Fatih. Jadi kamu nyusul aja nggak papa, kalau masih belum sempat." ucapan Umi spontan membuat Jefri menghentikan aktifitasnya. Ia melirik sekilas ke arah Ayana yang tengah sibuk menyendok makanan juga untuk ia suapkan ke Aidan.
Beberapa detik menatap Ayana, netranya memindai ke arah Umi lagi, "Fatih?"
"Iya Fatih. Dari dulu Fatih sama Abi kamu paling pro kalau urusan kerja sama," jawab Umi.
"Ayana nanti jadi ikut kesana?" Pertanyaan Umi membuat Ayana menatap Jefri. Entah apa yang membuatnya tak nyaman. Saat ini ia malah berubah pikiran tak ingin kemana-mana. Hanya di rumah. Ataupun di Jakarta saja. Untuk keluar kota, ia mendadak tak ingin pergi kesana. Tapi bagaimana dengan urusan Jefri? Jika ia tak ikut. Ia juga tak akan rela hamil dan jauh dari suaminya. Semua istri pun jika hamil, menjerit ingin selalu ada suami yang menjadi penolong pertama. Sungguh, Ayana dibuat bingung dengan kondisi ini.
Jefri yang tak tahu perasaan yang dialami Ayana pun menjawab pertanyaan Umi. Jefri dari dulu sudah mempunyai rencana untuk mengajak Ayana bagaimana pun caranya, "Ayana ikut. Ayana berangkat sama Jefri nanti,"
"Apiola ikut juga,"
"Aidan juga ikut,"
Cicitan dari kedua anak kembar itu ikut masuk ke dalam pembahasan orang dewasa dan sukses membuat dahi Umi berkerut, "Ikut kemana?"
"Beli mainan," sahut Aidan tak tahu apa yang dibicarakan neneknya dan orang tuanya.
"Emang Aidan punya uang?"
"Punya,"
"Aidan kan nggak kerja. Uang darimana?"
"Uangnya Papa. Aidan minta uangnya Papa telus Aidan mau beli keleta dolong buat adik Aidan. Nanti kalo uangnya kulang, Aidan minta Mama. Jadi uangnya pas buat beli keleta dolong," Ucapan Aidan membuat Ayana menarik sudut bibir pucatnya. Jika tak ada Aidan yang memotong pembicaraan itu. Ayana tak tau apa yang ia pikirkan. Apa semua faktor hormon Ibu hamil mengarah pada psikis seseorang yang tengah mengandung? Apa yang membuat Ayana bimbang tiba-tiba? Kehamilan pertama dulu ia tak seperti ini. Waktu 'tiga bulan' yang diucapkan Umi memang terbilang masih lama. Tapi 'waktu' itu seakan-akan mengejar Ayana.
Bersambung.....
Akhirnya aku update setelah seminggu absen gak update. Maaf ya nunggu lama. Btw, jangan lupa vote dan ramaikan kolom komentar ya? Ayukk bantu aku update cepet. Wkwkwk
Btw makasih banyak guys, Thalassophobia udah 1,01 M kali dibaca. Berkat kalian, aku gak bakal bisa buat sekuel ini dan bisa ngembangin narasiku yang mungkin di series 1 masih buruk. Makasih banyak guys, untuk grub badak universe yang aku umumin di grub sebelah. Masih boleh masuk siapapun. Aku udah ada niatan kalau udah 1M ngadain GA. Tapi recehan dulu ya? Karena aku juga masih belum kerja, nanti kalau punya penghasilan lebih aku tambah nominalnya. Semoga bermanfaat. Aku taruh di grub WA pengumuman GA nya. Kalau kalian mau ikut gapapa, ikut aja. Grub WA link aku taruh di wall/percakapan profil aku. Kalian bisa gabung disana.
See you next chapter.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top