BAGIAN 18 - HERE I AM
Ini panjang banget. Semoga suka. Jangan lupa ramein kolom komen dan vote ya? Maaf baru update.
💜💜💜
Sorot mata Ayana memperhatikan dua ranjang kecil yang saling sejajar, dihuni oleh dua anak mungil yang tengah terbaring disana. Bibir Ayana mengulas senyum simpulnya saat memperhatikan anak laki-lakinya tengah menggeliat disela-sela tidurnya. Langkah kakinya yang masih mematung di ambang pintu itu mulai beranjak mendekati salah satu ranjang. Tepatnya ranjang milik Aviola.
Aviola setengah menguap. Namun belum sepenuhnya tertidur. Mata kecilnya menangkap sosok Ayana yang tengah berjalan ke arahnya. Tangannya menarik ke atas, sebuah selimut tebal yang menutupi sebagian tubuhnya, "Mama," panggilnya nyaring.
Ayana yang mendengar panggilan kecil itu lantas tersenyum lagi. Ia tahu, sebenarnya gadis kecil itu kesulitan untuk tertidur. Entah apa yang menjadi penyebab anaknya itu kesulitan untuk memejamkan matanya, "Hm?" gumamnya.
"Adik bayinya kelualnya masih lama?" Aviola menagih lagi. Terhitung lebih dari ribuan kali ia menagihnya pada Ayana. Ia benar-benar tak sabar. Tubuhnya bergerak, mengubah posisinya untuk duduk bersandar di ranjangnya saat Ayana mengambil duduk di tepi ranjang.
Tangan Ayana membelai pucuk kepala gadis kecilnya dengan lembut. Jari jemarinya menyisir pelan surai hitam itu, "Masih. Sabar ya sayang?" jawabnya tenang pada anaknya. Sebenarnya selama tiga bulan ini Ayana hampir lelah menjawab pertanyaan kedua anaknya yang selalu menagih. Mereka masih terlalu dini untuk mengerti proses perkembangan program hamil Ibunya. Wajar jika anak kembar itu selalu menangihnya setiap saat. Padahal kenyataan sebenarnya dalam perut Ayana masih belum dihuni makhluk kecil yang diidamkan-idamkan.
"Adek bayinya pelempuan apa laki-laki?" tanya Aviola lagi seraya tangannya memeluk pinggang ramping Ayana, mengelus pelan perut Ayana dengan tangan mungilnya.
Ayana setengah bergumam. Ia merasakan semburat menggelitik saat tangan gadis kecil itu mengusap-usap perut rata Ayana, "Aviola suka yang perempuan apa laki-laki adik bayinya?" tanya Ayana.
Tak berpikir panjang Aviola menjawab pertanyaan Ayana dengan mantap, "Pelempuan. Kalo pelempuan Apiola punya temen main-main," jelasnya dengan mata setengah melirik tajam ke arah Aidan yang pulas tertidur di ranjang sampingnya.
"Kak Aidan kan juga temen main Aviola," Ayana terkekeh saat lirikan gadis kecil itu semakin menajam. Sorot matanya yang setengah menahan kantuknya kini beralih menatap Ayana lagi, "Aidan nakal. Nggak mau main boneka sama Apiola," timpalnya mengadu pada Ayana.
Tak henti-hentinya netra milik gadis kecil itu menyembur tajam ke arah kembarannya yang tengah tertidur. Ayana sudah bisa menebak, jika Aidan bangun Aidan juga akan membalas cibiran dari Aviola lebih tajam lagi. Ia tak akan membiarkan Aviola mencibirnya habis-habisan.
Ayana sendiri terkadang terlihat semakin kewalahan. Bagaimana tidak? Semakin lama umur pernikahan, semakin ia dibebani banyak tekanan dalam hidup. Entah itu masalah mengurus anak, ataupun perbedaan pendapat dengan suami. Ia mengalaminya. Untung saja saat ini, keduanya bisa mengatasi masalahnya dengan baik. Ayana tak perlu khawatir lagi. Entah itu akan bertahan sampai kapan? Masalah itu pasti akan datang.
"Kak Aidan itu nggak nakal, mungkin Kak Aidan lebih suka main robot daripada berbie, nggak papa ya? Aviola main yang baik. Kan Mama pernah bilang, kalau sama Kakak jangan suka berantem. Mama sama Papa nggak suka lihat kalian berantem." jelasnya pelan pada Aviola
"Aviola sekarang tidur ya? Kakak Aidan aja udah tidur. Aviola kan mau punya adek lagi, yang pinter ya jadi Kakak?" kalimat itu menjadi penutup malam Aviola dan Ayana. Gadis kecilnya mengangguk dan tak lama memposisikan tubuhnya berbaring lagi, dengan mata yang hampir terpejam sempurna.
"Mama tidul sini ya?" tahan Aviola saat Ayana berniat beranjak. Ayana yang merasa tangannya ditahan oleh Aviola lantas terduduk kembali di tepi ranjang.
Bibir tipis setengah ranum dengan balutan lipbalm tanpa warna itu mengulum senyum ke arah anaknya. Tangannya mengusap lembut pucuk kepala Aviola, "Ya udah Mama temenin tidur," jawab Ayana menyetujui.
Beberapa menit Ayana menidurkan Aviola, tanpa ia sadari Jefri berdiri diambang pintu kamar milik anaknya. Masih dengan kemeja kerja yang melekat di tubuhnya. Iya, Jefri pulang larut hari ini. Bukan karena urusan pekerjaan. Tapi karena Abi memintanya untuk mampir ke rumahnya.
Ayana hanya tau Jefri mengurus pekerjaannya. Bukan bertemu Abi saat ia pulang agak malam seperti ini. Pembicaraan Umi dan Jefri tiga bulan yang lalu yang melibatkan Ayana di rumah Umi usai pulang dari reuni, pun tak pernah diketahui Ayana. Jefri sengaja tak memberitahu Ayana. Ia khawatir jika Ayana berpikiran yang tidak-tidak.
"Anak-anak udah tidur semua?" pertanyaan Jefri sontak membuat Ayana menoleh ke arah suaminya yang masih berdiri disana.
"Udah. Tadi Aviola susah tidur, jadi aku temenin." jawab Ayana pelan. Takut jika kedua anaknya terbangun karena suaranya.
"Kenapa susah tidur?"
Ayana beranjak. Ia berjalan mendekat ke arah Jefri. Mengisyaratkan suaminya itu untuk kembali ke kamar bersamanya. Tak ingin menganggu waktu tidur kedua anaknya, "Katanya mikir adik bayinya perempuan apa laki-laki. Dia nggak mau kalo laki-laki. Takut dia nggak diajak main dan adiknya milih Aidan. Aviola nagih lagi kapan adiknya keluar,"
Jefri terkekeh pelan. Tangannya merangkul pundak polos istrinya yang lembut usai Ayana menutup pintu kamar anaknya, "Ada-ada aja anak kamu, kembaran sendiri jadi saingan,"
"Kamu baru pulang, Mas?" pertanyaan Ayana ini dibalas Jefri dengan anggukan pelan. Keduanya sudah ada di kamar, kamar yang terletak di samping kamar milik kedua anaknya. Jefri yang memperhatikan istrinya tengah membantu melepaskan dasi yang melingkar di lehernya, tiba-tiba tersenyum simpul. Ia membayangkan kejadian beberapa tahun silam, saat keduanya masih terkungkung dalam tahun pertama pernikahan.
Dulu, rasa canggung kian mendekam erat hampir semua bagian hati Jefri. Gengsi yang harusnya ia kesampingkan, mencuat setiap saat. Ayana yang dulu membantunya memasangkan dasi untuk kali pertamanya saja, ia tak berani menatap netra hitam milik istrinya itu. Takut jantungnya berdegub tak terkendali. Dan sekarang? Lihatlah sendiri, senyum lebar itu tak pernah sobek dari bibirnya.
"Cepetan mandi!" perintah Ayana membuyarkan lamunan Jefri. Jefri melepas dua kancing bagian atas kemejanya usai Ayana membantu melepaskan dasi miliknya. Kakinya masih mematung, bibirnya masih tak menanggalkan senyum yang tercetak itu. Membuat Ayana mengerutkan dahinya melihat tingkah Jefri, "Nunggu apalagi sih, Mas?" tanya Ayana penasaran.
Jefri menyeringai sebelum langkahnya beranjak ke arah kamar mandi, "Kamu nggak sekalian ikut?"
Ayana yang melihat suaminya mulai menggodanya sontak menyahut cepat, "NGGAK! CEPETAN MANDI UDAH MALEM,"
Pria dewasa itu tak henti-hentinya terkekeh saat melihat respon istrinya yang terlonjak. Ia baru menyadarinya, bahwa menggoda Ayana adalah kesenangan setiap malam. Andaikan waktu bisa berputar lebih lama menjaring kenangan dahulu yang tak mengenakan, dan melepasnya secara utuh. Pasti ia lebih dulu mencintai Ayana, dan tak akan terikat dengan masa lalu. Akan lebih mudah mencintai satu sama lain seperti ini.
Netra Ayana memperhatikan punggung Jefri yang berjalan ke kamar mandi, menenteng satu handuk dan pakaian yang ia siapkan di atas ranjang. Sembari menunggu suaminya, ia duduk di depan meja rias. Memperhatikan wajahnya yang terpatri dalam pantulan cermin. Tangannya sedikit memoles wajahnya dengan cream yang biasanya ia gunakan untuk perawatan wajah setiap malam.
Satu menit, dua menit, hingga lima belas menit waktu yang terhitung untuk Ayana mengoleskan beberapa rangkaian produk perawatan di wajah dan bibirnya. Ia menoleh ke arah pintu kamar mandi saat suaminya itu keluar dari sana.
Sudah menjadi kebiasaan Jefri. Bagian atas pria dewasa itu tak terbalut sehelai benang pun. Mnampakkan tubuh atletis yang tercetak disana. Sengaja, pamer otot di depan istrinya atau memang lupa memakai baju? Padahal saat ia masuk ke kamar mandi tadi ia menenteng baju itu. Tapi tetap saja, ia keluar dari kamar mandi dengan memakai celana pendek abu-abu saja, kaosnya ia pakai usai ia mengeringkan surai hitamnya yang basah dengan handuk.
Dengan balutan kaos putih polos yang mencetak bagian otot lengannya dan setelan celana pendek abu-abu, tangan Jefri bertengger di kepala kursi yang diduduki Ayana. Netranya menatap paras ayu milik istrinya. Beberapa detik tak berkedip, "Ngapain lihatnya gitu?" tanya Ayana dengan sorot mata mengintimidasi.
"Baju aku kebalik?" Ayana memindai pandangannya ke arah baju yang ia pakai. Lebih tepatnya black chemise yang saat ini ia pakai.
Jefri mengulum bibirnya seraya menahan tawa saat tangan istrinya itu memainkan tali spaghetti strap yang ada di pundaknya, "Nggak," jawabnya lembut.
Ayana semakin dibuat bingung. Suaminya hanya menampilkan senyum yang tercetak di bibirnya. Tanpa memberitahu ia tersenyum karena apa. Ia lantas bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah Jefri yang masih berdiri di balik kursi, "Muka aku ada yang aneh ya, Mas?"
Suaminya itu menggeleng lagi, "Nggak juga,"
"Skincare aku ada yang nggak rata?" tangan Ayana reflek meraba wajahnya yang baru saja terpoles cream yang menempel disana. Curiga jika suaminya menertawakannya karena itu.
Jefri menggeleng ketiga kalinya. Bibir yang terlipat itu meletupkan tawa nyaring. Hingga Ayana dibuat menggerutu kesal karena ulah tak jelas dari suaminya, "Terus kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" cerca Ayana sebal pada Jefri.
Tangan kekar itu spontan meraup pinggang ramping milik Ayana. Netra hitam bak mata elang milik suaminya memindai satu per satu celah mata Ayana, "Emang nggak boleh lihat istri sendiri sambil senyum?"
"Muka kamu kayak Badak, nakutin!" cibir Ayana berusaha lepas dari kungkungan tangan Jefri yang masih bertengger di pinggang rampingnya.
Mata Jefri melebar saat kata 'Badak itu terucap dari bibir istrinya lagi. Tangannya reflek menghujani tarikan demi tarikan pada hidung Ayana. Tak peduli istrinya merintih kesakitan, tangannya tetap menjamah hidung bangir milik Ayana. Salah siapa titisan Badak dibangunkan dari tidurnya? Rasakan akibatnya, "Dulu waktu saya masih jadi pemateri sosialisasi di KKN, ada mahasiswi yang baunya kayak kebo. Jarang mandi, disuruh kerja ngurus banner sosialisasi aja nggak bisa diandalkan. Pagi-pagi malah masih tidur," balas Jefri mencibir Ayana.
"Nyindir?" Ayana langsung bisa menebaknya. Suaminya itu tak akan membiarkan ia mencibir terus-menerus. Akan banyak balasan cibiran yang terlontar di bibir suaminya, jika ia mencibirnya satu kali. Tidak ada bedanya dengan anak kembarnya.
Jefri perlahan melepas kungkungan yang ada di pinggang ramping Ayana, "Coba kalo kamu dulu nggak jadi istri saya. Nggak bakalan cantik kayak sekarang. Pasti makin jelek," jawab Jefri menyeringai dengan nada songong yang terlontar dari bibirnya.
"Kalo mau muji istri cantik tuh nggak usah ada embel-embel menghina," Ayana memutar bola matanya malas. Ia menutup perdebatan tak penting itu dengan suaminya. Langkahnya mulai beranjak naik ke atas ranjang. Sedangkan Jefri masih sibuk menyemprotkan Jo Malone di beberapa sisi tubuhnya sebelum beranjak ke atas ranjang menyusul Ayana.
Sudah menjadi rutinitas tiap malam, Ayana menghirup aroma vanilla dan kokoa yang bercampur jadi satu di tubuh Jefri. Suaminya itu tak akan terlepas dari parfumnya setiap malam. Aroma Jo Malone Agave n Cacao selalu meruap di tubuhnya. Memberi kesan sensual di tubuh atletisnya, "Udah mau tidur?" suara bariton itu menyaring saat Ayana berniat memunggunginya.
"Belum," jawab Ayana yang mulai memiringkan tubuhnya menghadap Jefri.
Jefri ikut memposisikan tubuhnya menghadap istrinya. Dengan salah satu lengan kekar sebagai tumpuan untuk menyangga kepalanya. Memperhatikan paras istrinya yang tengah beradu pandang dengannya. Posisi ini yang membuat jantung Ayana berpacu tak normal. Padahal sudah ribuan kali ia beradu pandang dengan Jefri. Tetap saja rasanya sama seperti kali pertama.
"Mas,"
"Hm?"
"Kamu jadi ke Malang?" pertanyaan ini tanpa aba-aba muncul dari bibir ranum Ayana. Selama tiga bulan ini ia sebenarnya memikirkan ingin ikut ke Malang bersama suaminya. Namun takut jika Jefri tak mengizinkannya.
Jefri menggeleng, "Belum tau. Kata Abi, masih nunggu kabar baru berangkat kesana."
"Aku pengen ikut kesana. Nggak papa kan kalo aku ikut?"
"Nggak papa,"
"Kamu nggak keberatan?"
"Nggak,"
"Takutnya kamu nggak ngizinin,"
"Kamu sama anak-anak boleh ikut," Jefri menarik tubuh Ayana mendekat ke arahnya. Membagikan lengannya untuk dijadikan bantal Ayana. Saat ini kepala Ayana sejajar dengan dada bidangnya.
"Aku belum pernah kesana. Aku juga pengen kenal lebih dekat sama keluarga kamu yang ada disana. Aku juga pengen main-main sama anak-anak panti. Karena aku sama mereka sama. Waktu kecil sama-sama nggak punya keluarga yang lengkap," ucapan pelan dari bibir Ayana itu serasa menghantam jantung Jefri. Jefri bergeming beberapa detik. Mencerna kalimat istrinya untuk meluapkan jawaban yang membuat Ayana tak berpikiran yang macam-macam lagi.
Sungguh. Jefri paling lemah jika harus dihadapkan dengan ucapan Ayana tentang itu. Ia sudah berjanji dengan Umi untuk tidak mengungkit tentang kematian mertuanya agar Ayana tak terlalu berlarut dalam masalah itu. Meskipun, sampai kapanpun trauma itu pasti ada. Sulit untuk disembuhkan. Dan Jefri adalah kuncinya. Jika ia melukai Ayana satu kali lagi. Trauma lainnya akan menyusul, menghujani hidup Ayana.
"Siapa yang bilang keluarga kamu nggak lengkap? Kamu punya saya. Punya Aviola, punya Aidan, punya Umi sama Abi. Mereka sama-sama keluarga kamu. Dimana letak nggak lengkapnya, hm?" jelasnya tegas pada Ayana sembari tangannya mengeratkan dekapannya.
"Saya nggak suka kamu mikir yang nggak-nggak, Ayana!" serunya lagi dengan mata setengah terpejam. Benar kata Umi, berapapun usia pernikahan itu pasti ada badai yang meruak. Meninggalkan bekas angin yang mungkin manusia tak mengetahui, angin itu baik atau buruk setelah badai itu merampas.
"Mas,"
"Hm?"
"Aku boleh minta satu hal,"
"Apa? Album?"
Ayana menggeleng pelan. Sudah terlalu banyak album yang terjejer di rak milik Ayana. Album yang ia kumpulkan semasa kuliah sampai ia menikah dengan Jefri. Hasil malak ke suaminya juga ia kumpulkan disana. Untuk saat ini ia masih belum ada keinginan membeli lagi.
"Skincare?" Jefri terlalu paham dengan kebutuhan istrinya. Kalau bukan album, ya satu set kosmetik untuk menyenangkan mood Ayana. Jefri pikir semua wanita juga akan senang jika dikasih barang-barang itu.
Namun, tebakan Jefri salah. Saat ini Ayana menggeleng. Ia tak menginginkan album. Pun juga rangkaian satu set kosmetik. Gelengan Ayana membuat Jefri menautkan kedua alisnya, "Terus apa? Nafkah batin?" godanya pada Ayana.
Ayana spontan memukul pelan dada bidang suaminya itu yang membusung di depannya, "Bukan itu, kenapa jadi bahas nafkah batin sih pikiran kamu,"
Melihat Ayana yang menggerutu sebal, Jefri ikut terkekeh geli, "Cuma nebak aja. Emangnya kamu mau minta apa?"
"Mas, kamu kenapa masih pakai kata 'saya' di depan istri kamu sendiri? Aku pernah denger, kamu telfonan sama temen lama kamu, kamu bisa pakai kata 'aku' dan itu akrab banget. Sedangkan aku istri kamu sendiri, kamu masih pakai kata 'saya'. Udah lima tahun menikah, aku pengen kita sama-sama nggak kaku masalah panggilan. Ini mungkin masalah sepele. Tapi jujur aku nggak nyaman," keluhnya pada Jefri dengan bibir yang ia kerucutkan panjang.
Jefri juga tidak tau kenapa ia masih kaku menggunakan kata 'aku' saat berbicara pada istrinya. Sedangkan terkadang saat ia berbicara pada orang lain, terlebih teman dekatnya ia sangat fasih mengenakan kata 'aku', "Maaf!"
Ayana mendongak. Netranya berhenti pada netra hitam yang tengah menatapnya, "Kamu beneran kan mau belajar ubah kata 'saya'?"
Lega. Ketika suaminya itu lagi-lagi mau menuruti keinginannya dengan satu anggukan. Bibirnya tertarik membentuk senyum simpul saat Jefri tengah menatapnya hangat. Pria dewasa itu lagi-lagi membuat kupu-kupu diperut Ayana menggelinjang.
"Minggu kemarin jadwal menstruasinya udah lancar, hm?" Jefri tiba-tiba menanyakan hal itu lagi. Sampai Ayana sendiri heran suaminya begitu tau mengenai jadwal ovulasinya.
"Udah, tapi waktu aku cek masih negatif." sahutnya pelan.
Jefri membalasnya dengan anggukan mengerti. Netranya seolah-olah memberi kode pada Ayana bahwa ia saat ini membutuhkan tempat untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya. Pun Ayana, sangat paham dengan apa yang suaminya pikirkan. Keduanya beranjak duduk, beradu pandang satu sama lain.
Hampir tak ada cela, sedari tadi jarak dikikis oleh Jefri. Tangan pria dewasa itu meraup leher istrinya. Mendekatkan wajahnya dengan wajah Ayana. Hidung bangir keduanya saling beradu. Titik ranum dibawah hidung itu tertaut sama lain. Pun tangan Jefri tanpa permisi meloloskan tali spaghetti strap dari pundak polos itu. Menyisir surai hitam milik istrinya yang tergerai bebas disana. Hingga bibirnya mendarat di leher jenjang milik istrinya. Chemise yang Ayana kenakan memang sangat berhasil membuat mata Jefri terobrak-abrik. Tapi ia menyukainya ketika istrinya memakai itu setiap tidur.
Mata Ayana sengaja dibiarkan terpejam. Sentuhan lembut membuat Ayana merasakan bagaimana rasanya benar-benar dicintai. Jefri selalu memperlakukannya dengan lembut. Keduanya menaburkan kasih sepanjang malam. Meluapkan apa yang seharusnya diluapkan untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya satu sama lain.
Jefri, ataupun Ayana. Mereka seharusnya seperti ini dari awal pernikahan. Namun, pernikahan atas dasar perjodohan tak seindah yang ada dalam cerita fiktif. Berapapun usia pernikahan, badai akan terlempar bebas. Ayana memilih untuk egois demi kebahagiannya. Tak apa kan? Jika ia harus merangkum kebahagiaannya saat ini demi umur pernikahan yang akan lama. Ia sangat takut jika harus dihadapkan masa-masa dimana ia harus mengakhiri hidupnya, karena kebahagiaan tak kunjung ia dapatkan sedari kecil. Pun Jefri, ia saat ini telah memiliki Ayana. Yang menjadikannya pilihan. Sekali ia melakukan kesalahan yang sama. Badai itu tanpa permisi akan datang, dan Ayana tak tau sampai kapan ia bisa bertahan demi merangkum kebahagiaannya.
Bersambung....
Akuuu kembaliiii bawa ini 😘 semoga suka ya? Jangan lupa vote woyy wkwk terus komen dibawah sebanyak banyaknya wwwkwk. Ayana belum hamil karena emang belum rejeki 🤣 nanti deh ya? Wwkwkwk
Ini btw panjang banget semoga suka aku gamau terlalu banyak bacot di author note. Wkwkwk
See you next update 😚
Tebak hayuk
Jefri jadi ke Malang waktu Ayana hamil atau udah melahirkan?
Atau malah ia tak jadi ke Malang?
Terus apa yang dibicarakan Umi sama Jefri dulu?
Terus Ayana punya rahasia apa yang belum dikatakan ke Jefri? Kalau rahasia ini dipendam bagaimana?
Terus... Terus terus mulu wkwkw. Sebenarnya alur ini ngalir kok. Jadi enggak berat meskipun aku main tebak-tebakan gini wkwkw. Jangan overthinking ya? Nikmati kebucinan Bapak Jefri disini wkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top