BAGIAN 16 - DISKUSI PROGRAM HAMIL
Jefri masuk ke dalam rumah berjalan beriringan dengan Ayana usai pulang dari acara reuni teman kuliah Ayana. Mereka masuk ke dalam rumah yang belum sepenuhnya dikunci oleh Umi. Iya, saat ini mereka memutuskan untuk menginap di rumah Umi. Sebelum berangkat ke reuni teman-teman kampus Ayana, Jefri menitipkan anak-anaknya di rumah Umi. Hanya dua jam, mereka ke acara reuni. Sengaja tak berlama-lama. Takut jika Aidan dan Aviola merengek ingin menyusul Ayana.
Dilihatnya Umi yang tengah berjalan ke arah Jefri dan Ayana. Ia tampak membawa selimut tebal yang ada di tangannya. Entah, selimut itu untuk dibawa ke kamarnya sendiri ataupun di letakkan ke kamar cucunya yang sudah pulas bersama kembarannya, "Kalian udah pulang?" tanya Umi pelan.
Jefri maupun Ayana sama-sama membalas pertanyaan Umi dengan anggukan pelan, "Anak-anak mana, Mi?" tanya Ayana pada Umi seraya matanya menelisik beberapa sudut ruangan.
"Udah tidur dari tadi anak-anak kamu," Wanita paruh baya itu tersenyum simpul ke arah Jefri dan Ayana dengan kelopak mata yang sayu dan dahi yang sedikit mulai berkeriput, menjawab pertanyaan menantunya dengan jawaban serak khas seorang wanita paruh baya yang tengah menahan kantuknya.
"Mereka udah makan, Mi?" tanya Jefri.
"Udah, cuma Aviolanya tadi hampir susah makan. Anak kamu mintanya mie terus nggak mau makan sayur," adunya pelan.
Sudah bisa ditebak memang. Siapa yang tak pandai menduganya, terutama Jefri. Anak perempuannya itu memang memiliki kharakter yang sama persis dengan Ibunya. Karakter mengenai selera makan. Bisa-bisa kalau seperti ini terus Aviola bisa jadi pecandu mie instan kalau ia tidak dipaksa makan sayur, "Yang ditiru Mamanya," gerutunya pelan, membuat Ayana sontak menoleh ke arahnya, "Kenapa bawa-bawa aku?" protesnya pada Jefri.
"Udah nggak usah ribut. Orang anak kalian juga udah pada tidur. Tadi juga Aviola udah makan, Umi paksa makan sayur. Ya lama kelamaan dia mau, cuma bujuknya harus ekstra keras." Umi menengahi dengan jawabannya. Dengusan pelan berderu dari mulut Umi. Netra sayunya menatap anak dan menantunya yang berdiri di hadapannya, "Kalian sendiri udah makan?"
"Mas Jefri yang belum makan," jawab Ayana seraya menatap sekilas ke arah suaminya.
Umi mengangguk mengerti seraya netranya menatap menantunya itu dengan tatapan hangat. Bagaimanapun juga Ayana sudah ia anggap bagai anak sendiri, mengingat Ibu Ayana adalah sahabat dekatnya, "Ayam kecapnya ada di rak dapur, kamu panasin ya, Ay? Kamu makan berdua sama Jefri. Umi mau ke kamar dulu," ucapnya pelan.
Perintah Umi itu kemudian dibalas Ayana dengan anggukan lagi seraya mengulas senyum simpul sebelum kakinya beranjak ke dapur untuk menyiapkan makanan untuk suaminya, "Iya Mi,"
Jefri menatap punggung Ayana yang mulai berjalan ke arah dapur. Kakinya sengaja masih terpaku. Tak ikut beranjak ke ruang makan. Membiarkan Ayana mulai berkutat di dapur terlebih dahulu. Sorot mata hitamnya itu beralih menatap Umi yang sudah berniat beranjak ke kamarnya, "Mi," tahannya.
Umi menoleh saat mendengar panggilan dari anak tunggalnya itu, "Apa?"
"Abi mana?" tanyanya pelan dengan sorot mata penasaran akan jawaban Umi.
Bibir wanita paruh baya itu menyunggingkan senyumnya ke arah Jefri, "Abi nggak pulang hari ini. Tadi Abi pamit sama Umi katanya mau ke Malang tiga hari. Makanya Umi nyuruh kamu nginep disini. Sekalian kan Umi juga kadang kangen sama cucu-cucu Umi," jelasnya.
Dahi Umi setengah berkerut saat anaknya itu tak menanggapi ucapannya dan malah tampak melamunkan sesuatu. Jefri masih larut dalam lamunannya, membuat tangan Umi menyenggolnya pelan agar anaknya tersadar, "Kenapa?"
"Jefri mau ngomong sama Umi, berdua."
"Ya udah ngomong aja sekarang, sebelum Umi masuk ke kamar," sahut Umi pelan seraya netranya masih mengamati raut wajah anaknya yang sedikit gusar. Entah apa yang dipikirkan anaknya itu.
"Nunggu Ayana tidur. Kasihan dia kemarin demam tinggi gara-gara kecapean," jawabnya pelan, pelan sekali. Hanya terdengar di telinga Umi karena memang jarak Ibu dan anak itu terbilang dekat. Namun tak mungkin terdengar oleh Ayana.
Benar-benar dibuat teka-teki oleh anak tunggalnya itu. Kenapa bicara sesuatu harus menunda-nunda? Apa tidak lihat jika kelopak mata wanita paruh baya itu semakin menciut karena menahan kantuknya?
Alis Umi semakin bertaut menatap anaknya yang berdiri di hadapannya, "Mau bicara apa sih? Kayak penting banget. Biasanya juga blak-blakan sama Umi,"
"Nanti aja Mi, Jefri nyusul Ayana ke dapur dulu ya?" izinnya pada Umi dengan sorot mata memohon.
"Ya udah terserah kamu. Kalo nanti Umi ketiduran juga, ngobrolnya besok aja,"
Jefri mengangguk. Ia membiarkan Umi untuk masuk ke dalam kamarnya. Ditatapnya punggung renta wanita paruh baya itu, yang tak pernah menghakiminya saat ia mempunyai kesalahan. Satu waktu wanita paruh baya itu benar-benar marah padanya saat ia tak sadar menyakiti hati menantunya beberapa tahun silam. Dan beruntungnya ia masih diberi kesempatan oleh orang-orang baik yang ada di sisinya.
Jefri mulai beranjak lagi menyusul Ayana yang masih sibuk di dapur. Ia berjalan mendekat ke arah Ayana. Mengambil duduk di kursi ruang makan seraya matanya terkunci pada istrinya yang tengah mengaduk secangkir minuman di meja dapur.
"Aku buatin green tea sekalian ya Mas?" Ayana berbalik dengan memegang secangkir minuman yang suaminya suka. Ia meletakkan minuman itu di meja depan suaminya. Terlihat seperti sikap istri pada umumnya yang lihai melayani suaminya. Beda sekali saat tahun pertama mereka menikah. Apa-apa dipeributkan.
"Makasih."
Ayana mengangguk. Tangannya tak lupa menyiapkan hidangan yang baru saja ia panaskan. Apalagi kalau bukan ayam kecap kesukaan suaminya. Sampai terkadang ia bosen sendiri melihat hidangan itu hampir setiap hari di rumahnya ataupun di rumah mertuanya, hidangan ini tak pernah absen dari meja makan.
"Kamu nggak makan sekalian?" tanya Jefri ke arah Ayana yang mengambil duduk di sampingnya.
"Aku udah makan tadi,"
Jefri menghela napasnya pelan mendengar jawaban Ayana. Ia tahu jika istrinya itu hanya memakan makanan ringan selama di acara reuni tadi. Ia bisa menebak jika istrinya menghindari makan terlalu banyak. Takut berat badannya bertambah. Padahal Jefri tidak mempermasalahkan hal itu, "Udah nggak usah diet. Diet itu sepenuhnya juga nggak sehat kalo kamu terlalu memaksa, saya nggak bisa lihat kamu demam tinggi kayak kemarin gara-gara pola makanmu nggak sehat,"
"Makan!" perintah Jefri pelan yang dibalas Ayana dengan gelengan kepala, "Aku minum jus aja," jawabnya seraya beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah kulkas untuk mengambil jus alpukat.
Jefri memilih untuk mengalah. Ia tak menanggapi lagi kalimat Ayana. Sembari menikmati ayam kecap porsi sedikit masakan dari Sang Ibu, Jefri sesekali memainkan ponselnya. Ia tampak mengunduh sebuah aplikasi ke dalam ponselnya. Netranya tampak fokus memindai rentetan kalimat yang ada dalam aplikasi itu, "Kamu lagi ngapain Mas?" ujar Ayana pelan seraya kembali mengambil duduk di samping Jefri lagi.
Satu detik dua detik pertanyaan dari Ayana tak disahut oleh Jefri karena netranya asik memindai beberapa kalimat yang tertera di layar ponselnya. Sampai-sampai tangan Ayana kesal mencubit bahu Jefri, karena tak direspon, "Mas!" pekiknya.
Jefri spontan menghentikan aktivitasnya memainkan ponsel miliknya saat istrinya menghujani cubitan-cubitan keras di lengannya, "Akkhhh! Apa?" erangnya.
Bibir ranum milik Ayana masih mengerucut bebas, "Ngapain sih? Makanannya nggak dimakan malah main hp kayak anak kecil," gerutunya.
Jefri terkekeh. Ia kemudian menunjukkan layar ponselnya ke arah Ayana agar ia tak salah sangka, "Lagi download aplikasi kalender ovulasi biar tahu masa subur kamu," cengirnya menunjukkan gigi ratanya.
Bola mata Ayana membulat seketika Sang Suami dengan terang-terangan mengatakan kalimat itu. Bukan apa-apa karena memang tidak ada yang salah dari kalimat Jefri. Hanya saja, menurutnya Jefri terlalu berlebihan, "Ngapain download aplikasi itu di hp kamu?"
"Emang kenapa? Dulu waktu kamu hamil pertama juga saya pernah download, apa salahnya didownload lagi," jawabnya enteng.
"Tapi kan buat pengingat masa subur nggak harus pasang alarm sama download aplikasi Mas, bisa tanya ke dokter atau pakai kalender biasa aja," protes Ayana.
Jefri membalas kalimat Ayana dengan tarikan sudut bibir yang membentuk sudut simetris tipis seraya mengacak-acak pucuk kepala istrinya, "Takut lupa. Lagian lebih praktis pakai aplikasi, saya bisa tau kapan jadwal ovulasi kamu, jadi lebih gampang tau juga tanggal mana aja yang jadi peluang kehamilan tinggi,"
Ayana mendengus. Kepalanya menggeleng pelan, "Konsultasi ke dokternya aja baru besok pagi. Belum lagi aku mulai lepas metode kontrasepsinya. Jadi masih lumayan lama prosesnya, Mas!" tandasnya.
"Konsultasi ke dokter itu sebenarnya hanya perantara, Ayana. Selebihnya takdir dan usaha kita. Barangkali usaha kita tinggi, peluang untuk cepat hamil juga tinggi," seru Jefri berusaha meyakinkan Ayana.
Lagi-lagi Ayana menghela napasnya. Tak tau apa yang ada dipikiran suaminya saat ia menyetujui program hamil lagi. Dilihatnya suaminya semakin protektif dari biasanya. Netranya terpaku pada suaminya lagi yang tengah menyantap hidangan di hadapannya, sesekali meneguk segelas air.
Saat selesai menyantap makanannya dengan porsi kecil, Jefri mengambil tisu yang terletak di sebelah gelasnya. Menyapu pinggiran bibirnya usai makan, kemudian beberapa detik sorot matanya menatap istrinya juga, "Saya punya kenalan, dokter Spesialis Kandungan. Dia cantik dan terbilang cerdas—" Belum selesai dilontarkan semuanya, kalimat Jefri dipotong Ayana, "Cantik?"
Jefri terkekeh pelan seraya jarinya menyentil pelan dahi istrinya, "Ibunya Aidan sama Aviola lebih cantik dari dia, kayak anak ABG kamu. Udah punya anak masih cemburuan."
"Dia pernah bilang ke saya, sebenarnya jika seseorang memutuskan untuk melakukan program hamil, untuk mengembalikan hormon kesuburan wanita setelah lepas metode kontrasepsi itu pasangan suami istri perlu usaha keras juga. Beberapa orang bisa menunggu bertahun-tahun dan ada juga yang beberapa bulan sudah ada tanda-tanda kehamilan lagi setelah memutuskan lepas metode kontrasepsi. Jadi intinya sebenarnya tergantung kondisi tubuh masing-masing orang," jelas Jefri pada Ayana.
Ayana terdiam. Tak menanggapi penjelasan suaminya. Ia lebih memilih bungkam dan menyimaknya. Memang, semenjak ia menyetujui permintaan Jefri. Jefri semakin gencar memperoleh informasi untuk program hamil Ayana. Ia bahkan tak segan konsultasi secara pribadi dengan rekan kerjanya. Demi keberhasilan program hamil yang ia idamkan, "Oh iya, tadi saya coba untuk konsultasi online secara pribadi ke Dokter Anggi, katanya dia besok pagi bisa ditemui untuk konsultasi lagi sama kamu," jelasnya lagi pada Ayana.
"Setelah lepas metode kontrasepsi, kamu harus banyak makan makanan yang mengandung zat besi, folat, protein, sama kalsium. Lebih banyak makan sayur dan buah. Jangan mie terus yang kamu makan, sampai Aviola ikut-ikut kebiasaan nggak sehat kamu," paparnya setengah mengomel, membuat Ayana mendelik ke arahnya karena mendengar kalimat tak mengenakan di akhir.
Jefri maupun Ayana saling beradu pandang. Ayana yang perlahan bisa menerima permintaan suaminya meskipun ada sedikit keraguan dari titik hatinya yang belum bisa ia utarakan pada suaminya sepenuhnya tentang alasan ragunya untuk mengambil program hamil. Dan Jefri, yang tengah menatap istrinya itu dengan tatapan dalam. Entah, tatapan itu tak bisa Ayana baca. Tatapan setengah hangat dan juga tatapan resah. Namun keduanya sama-sama bisa menyembunyikan satu sama lain. Entah sampai kapan.
"Untuk vitamin prenatalnya nanti saya coba konsultasikan lagi," lanjut Jefri sebelum mengalihkan pandangannya ke sembarang arah.
Ayana hanya membalasnya dengan anggukan. Iya, ia juga tak paham apa-apa mengenai masalah program hamil kalau bukan ilmu yang didapat dari suaminya ataupun konsultasi dari Dokter Kandungan. Suaminya lebih tahu dalam mengetahui masalah hal ini dibandingkan ia. Tapi kali ini Jefri lebih bersikap dewasa saat mempersiapkan program hamil, berbeda jauh saat Ayana hamil pertama. Ah, tidak bisa dibayangkan bagaimana recoknya pria dewasa ini sempat melakukan hal bodoh karena panik istrinya kontraksi.
"Ya udah sekarang cepet tidur!" perintah Jefri saat Ayana hendak beranjak dari duduknya untuk membereskan makanan yang ada di meja makan.
"Aku mau nonton drakor dulu, episode kemarin masih sampai 8 episode, nanggung. Aku genepin 16 episode malam ini," jawabnya sembari membereskan satu persatu hidangan yang ada di hadapan Jefri.
Jefri ikut beranjak. Berjalan mendekat ke arah Ayana yang tengah mencuci tangannya di wastafel dapur. Tangan Jefri setengah membalikkan tubuh istrinya untuk menghadapnya, "Tidur! Untuk hari ini nggak ada drakor-drakoran," tegasnya lembut.
"Nonton drakor boleh, tapi saya nggak ngizinin kamu begadang demi nonton drakor," lanjutnya lagi memperingati Ayana.
Mau tidak mau Ayana harus menyetujuinya. Meskipun dalam benaknya rasa ingin menonton drama Korea itu sudah menggebu-gebu. Ia terpaksa mengangguk pasrah. Dari pada harus berdebat malam dengan suaminya di rumah mertuanya. Lebih baik Ayana sudahi dengan anggukan. Kapan lagi kan? Ayana nurut. Memang akhir-akhir ini terbilang lebih penurut daripada saat tahun pertama menikah.
Jefri tersenyum tipis saat melihat anggukan setuju dari Ayana. Netranya mengunci pandangannya ke arah netra hitam milik istrinya, "Kita lakukan besok aja. Malam ini kamu cepet tidur! Saya nggak mau menganggu jam tidurmu,"
Ayana spontan menajamkan pendengarannya saat Jefri tiba-tiba mengatakan kalimat terakhirnya. 'Lakukan apa?' Ayana sempat berpikir keras mencerna kalimat yang keluar dari bibir Jefri. Sampai ia tau maksudnya sendiri saat seulas benda lembut itu mendarat di bibir ranumnya. Sekilas. Namun sukses membuat Ayana terperanjat karena Jefri melakukannya dengan tiba-tiba.
"Terima kasih," ucap Jefri pelan usai menyapu bibir ranum milik istrinya.
Ketika Jefri melakukannya, pacuan jantung milik Ayana tak berjalan secara normal. Padahal, sudah hampir lima tahun ia menikah. Rasanya tetap sama. Ayana tak bisa mengendalikan detak jantungnya. Sama seperti pertama kali, "Ma-makasih untuk apa?" tanyanya balik pada Jefri.
"Ya untuk rencana program hamil. Kamu akhirnya mau menyetujui permintaan saya,"
"Aku cuma pengen lihat Aidan sama Aviola seneng punya adek," jawab Ayana seraya memiringkan senyumnya.
Jawaban Ayana itu membuat Jefri menautkan alis tebalnya, "Cuma Aidan sama Aviola yang disebut? Yang ikut berkontribusi menanam, nggak?"
Bogeman keras terhantam di lengan Jefri sampai ia spontan meringis pelan. Kalimatnya itu membuat Ayana ingin memaki suaminya. Bisa-bisanya mengatakan kalimat itu tanpa merasa berdosa. Semburat malu dari pipi Ayana tak henti-hentinya terpancar. Suaminya itu memang tak tahu malu, kalau mertuanya mendengar pembicaraannya bagaimana?
Kekehan demi kekehan menggelitik di perut Jefri. Ia mengamati guratan merah meruap di pipi istrinya. Tangannya menarik tubuh istrinya dan mengisyaratkan Ayana untuk naik ke lantai atas rumah Umi. Jefri sengaja meminta Ayana untuk tidur terlebih dahulu. Sedangkan ia? Ia masih menunggu Ayana tertidur lelap sebelum kakinya melangkah ke kamar Umi untuk membicarakan sesuatu hal bersama Umi. Entah hal apa yang ingin Jefri bicarakan empat mata dengan Sang Ibu. Kenapa harus hampir larut malam seperti ini? Sepenting apa pembicaraan itu sampai harus menunggu Ayana terlelap?
Bersambung....
Sepotong author note untuk yang sudah membaca sampai sejauh ini.
Hiyeee aku bisa update!!! Typo kasih taunya Hyung wkwk Asique part ini di luar dugaan pas kemarin bingung nulis apaan wkwk dan akhirnya. Aku nulis part ini.
Oiya gaess, aku memperbarui deskripsi cerita ini. Tengok yuk kalo mau tau wkwkwk. Tadinya tuh aku mau buat cerita ini ringan tanpa konflik. Dan aku gabisaa bor 😭 bawaannya pengen obrak-abrik.
Pernah ada pikiran kalo cerita tanpa konflik pasti ngebosenin. Akupun juga termasuk reader yang bosen kalo ceritanya gada konfliknya. Apalagi kalo responnya kurang. Aku berasa overthinking sendiri wkwk 'Ini dapat feel gak ya?' 'Kayaknya jelek deh ini makanya sepi' 'Aduh pasti gagal aku nulis ini' dan beberapa pernyataan overthinking lainnya yang sering meronta-ronta di otakku awowkwok. Makanya aku putar setir buat ngecover cerita ini dengan konflik yang 'Agak berat' bukan berat banget ya? Tapi 'Agak berat' wwkwk. Kalo kalian berkenan, terima kasih sudah setia baca meskipun aku berubah pikiran putar alur biar mendapatkan hasil yang maksimal dan gajadi konflik ringan wkwk.
See you guys. Semoga tetap betah dengan keluarga ini. Apapun kondisinya 💜 love you. Kalau memang suka cerita-ceritaku. Silahkan follow aku dan semua sosial mediaku wkwk. Dan juga vote komen ramaikan lapak untuk memberi apresiasi untukku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top