BAGIAN 15 - BERUBAH PIKIRAN
Numpang lewat wkwk sebelum baca cerita Pak Badak. Ini aku mau kasih rekomendasi cerita marriage life juga penulisnya kebetulan temen sendiri wkwk. Dah pada tau belum nih Kang Ghibah di Twitter wkwk orangnya asik tapi sok asik 🤣 candaa wkwk beneran asik orangnya. Readernya dah mayan bejibun Bund wkwk _missdandelion
Judul : Dia (Omku) Suamiku
Penulis : Miss Dandelion ( IG : @missdandelionishere, Wattpad : _missdandelion)
Genre : Romance (Marriage Life)
Status : Completed
Sinopsis cerita :
Nadia paham betul bagaimana sakitnya dikhianati. Rasanya berkali-kali lipat sakit karena pengkhianatan itu dilakukan oleh dua orang tersayangnya, kekasih dan sahabatnya.
Setelah lulus kuliah, Nadia langsung melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Salah satu upaya pengalihan dan self healing, katanya.
Sepulangnya ke tanah air, Nadia dihadapkan kenyataan tentang siapa yang menjadi pengagum rahasianya. Pengagum rahasia yang kerap kali mengamatinya secara diam-diam.
Sudah takdir Nadia memiliki 2 orang Om dengan dengan status duda berkualitas tinggi. Bagus rupa, bagus harta dan bagus agamanya.
Dengan siapakah Nadia berakhir?
Yuk, yang kepo boleh langsung cussssss. Sudah terbit spin-off dari Dia (Omku) Suamiku yang berjudul Dia Jodohku. Untuk yang nanti sudah selesai baca Dia (Omku) Suamiku, silahkan lanjut ke Dia Jodohku. Selamat membaca, fellas. Penulisnya selalu punya mimpi semoga kelak tulisannya bisa memeluk banyak pembaca dan ada ilmu yang bisa diambil dari tulisannya. Dah lah kalo penisirin langsung tancap gass kepoin lapaknya langsung. Follow dia yuk gass. Tante Badak dah cantumin sosmednya sekaligus akun wp-nya semoga bermanfaat 😚
🌹🌹🌹
Happy reading! Kasih tau mana yang typo atau kalimat rancu.
Ayana berjalan ke arah Jefri yang tengah duduk di meja makan. Sendirian. Hanya ditemani suara dentingan piring dan sendok yang saling bergesekan. Dengan piring yang masih penuh nasi goreng di hadapannya. Dilihatnya, suaminya itu tengah memainkan ponselnya seraya menyendok hidangan yang tercetak di meja makan.
Ayana mengambil duduk di sebelah Jefri. Menarik kursinya lebih mendekat ke arah suaminya. Kursi yang biasanya ia pakai untuk makan bersama. Netranya masih betah memerhatikan suaminya yang tengah lahap menyendok hidangan kecil itu. Sayang sekali, kali ini ia tak bisa ikut makan bersama karena Jefri telah meletakkan lebih dulu jatah bubur di meja samping ranjang kamarnya untuk Ayana makan. Tapi bubur itu tak kunjung Ayana habiskan.
"Udah bangun?" tanya Jefri melirik sekilas ke arah Ayana.
Ayana membalasnya dengan anggukan lemah. Netranya masih terkunci pada suaminya yang lahap menghabiskan makanannya, "Hm. Kamu baru mau sarapan jam segini?"
Jefri mengangguk. Ia memang sengaja sarapan di jam yang sebenarnya sudah telat untuk makan pagi. Ia tak punya pilihan, kemarin malam ia hampir tak tidur karena harus menidurkan dua bocah mungil yang terkadang rewel karena Ibunya sakit. Ditambah ia juga harus merawat Ayana. Berjaga-jaga jika Ayana terbangun tengah malam karena demam yang cukup tinggi sepanjang malam. Mau meminta bantuan ke asisten rumah tangganya pun Jefri tak bisa karena ART-nya sedang berlibur. Mau tidak mau, Jefri sendiri yang menanganinya. Bayangkan bagaimana susahnya ia mengurus semuanya.
Netra Ayana memindai ke arah hidangan yang ada di meja makan lagi. Ia sudah bisa menebaknya, suaminya pasti memesan makanan dari aplikasi pesan-antar. Tak mungkin, jika Jefri yang memasak sendiri. Skill memasak suaminya itu kan masih meragukan.
Lagi-lagi helaan napas dari bibir Ayana berhembus pelan saat netranya melihat Jefri melahap makanannya. Rasanya Ayana juga ingin melahap semua makanan yang ada di hadapannya. Sayangnya, Jefri tak akan mengizinkannya untuk memakan makanan itu saat ini. Ia bahkan hampir tersiksa karena setiap detik kerongkongannya mengering. Untuk sekedar mencicip saja, bibir Ayana masih meluapkan rasa getir.
"Buburnya udah kamu habiskan?" tanya Jefri seraya menggeser kursi yang ia duduk menjadi setengah miring menghadap istrinya.
"Belum," jawab Ayana pelan.
"Gimana mau sembuh?"
"Udah sembuh," elak Ayana meyakinkan Jefri. Padahal sebenarnya, demamnya masih belum turun sepenuhnya.
Jefri hanya menggeleng pelan, saat Ayana bersikukuh mengatakan kalo dirinya sudah sembuh, "Tekanan darah kamu 90/60. Sembuh dari mana? Bibir kamu masih kayak mayat hidup,"
"Aku udah sembuh Mas, udah lebih baik dari yang kemarin. Nanti malam aku ikut reuni ya.?" harapnya pada Jefri agar diizinkan ikut kumpul bersama teman-temannya.
"Nggak,"
"Sekali doang,"
"Istirahat di rumah, Ayana!" tegas Jefri.
Ayana menghela napas panjang saat Jefri tak menyetujui permintaannya. Bibir pucatnya juga tak henti-hentinya berdecak sebal pada suaminya yang masih santai melahap makanan-makanannya. Bagaimana tidak, semasa lulus kuliah, ia jarang ikut acara-acara seperti itu. Jadi Ayana tak mau melewatkan kesempatan itu lagi. Tapi saat kesempatan ada di depan mata, suaminya malah tak mengizinkannya.
"Mas .... Please! Aku udah terlanjur bilang ke Rafi, menawarkan kafe Macarolove aja buat acara reuni. Jadi nggak bakal jauh-jauh juga tempatnya. Mumpung masih pagi, biar disiapin tempatnya buat nanti malam," jelasnya memohon pada Jefri untuk mengizinkan permintaannya.
Bagai anak kecil yang merengek, Ayana menghalalkan semua cara agar Jefri mengizinkannya. Ia bahkan tak segan bergelayutan manja di lengan suaminya, membentur-benturkan kepalanya pelan di lengan suaminya. Dengan bibir yang kian mengerucut, membuat Jefri menyambungkan dua alis tebalnya karena tingkah Ayana tak ada bedanya dengan dua anaknya. Astaga Ayana kamu umur berapa?
"Ya udah,"
"Ya udah apa?" sahut Ayana cepat.
Pertanyaan dari Ayana membuat Jefri memindai pandangannya, mengamati gurat wajah istrinya yang sebenarnya masih terlihat pucat. Selama tiga tahun berlalu, Jefri memang tak tega menuntut terlalu keras. Ia lebih sering membebaskan Ayana, apa yang Ayana inginkan. Selagi permintaan istrinya itu bisa dituruti, ia sulit untuk menolak, "Boleh ikut," jawabnya singkat.
Tak bisa dilepas, bibir Ayana spontan langsung mengembang mendengar dua kata yang keluar dari mulut Jefri. Hatinya bersorak. Ia bisa bernapas lega saat ini. Kalau dipikir-pikir, kenapa Jefri tak bersikap seperti ini sedari dulu? Kalau awal pernikahan seperti ini kan tidak akan pernah ada rasa saling membunuh satu sama lain.
"Beneran?" Ayana memastikan lagi bahwa suaminya itu tak berubah pikiran. Dan beberapa detik ia benar-benar bernapas lega karena Jefri mengangguk menyetujuinya, "Pulangnya jangan lama-lama," pinta suaminya itu.
Dreet...dreett..dreett...
Jefri mengalihkan pandangannya ke arah ponselnya yang ia letakkan di tepi meja. Ponsel itu bergetar, menandakan sebuah panggilan masuk dari seseorang. Ia lantas mengambilnya dan mengangkat sambungan telepon tersebut, "Hallo Bi," ucapnya saat menerima sambungan telepon dari Ayahnya.
"Bulan depan kamu free nggak Jef?" terdengar suara berat sama-samar dari sambungan telepon saat Jefri mengangkatnya. Suara khas, pria paruh baya itu tampak bertanya pada Jefri.
"Belum tau, ada apa?"
"Abi mau minta bantuan ke kamu. Kamu kan donatur tetap di rumah panti yang ada Malang. Bulan depan Abi minta temani Abi buat urus pembangunan rumah panti yang baru ya? Belum pasti bulan depan juga. Bisa jadi dua bulan atau bahkan tiga bulan lagi. Tergantung laporan dari pihak sana. Nanti Abi kabari lagi kelanjutannya. Udah lama juga kan kamu nggak ke Malang? Sekali-kali berkunjung kesana, biar nggak jadi donatur ghaib yang cuma transfer materi, tapi belum pernah main-main kesana."
Detak jantung Jefri berdetak beberapa detik. Berganti dengan detakan cepat saat Sang Ayah mengutarakan sebuah permintaan. Bukan apa-apa, jika Ayahnya meminta bantuannya. Karena kebetulan, ia adalah donatur tetap disana. Hanya donatur yang menyalurkan sebagian materi untuk perkembangan sarana dan prasarana kebutuhan panti. Bukan seorang yang mengelolanya cukup jauh. Karena sudah ada seseorang yang ditugaskan untuk itu di rumah panti milik Ayahnya. Namun, ada satu alasan yang membuat pacuan jantungnya tidak normal. Satu alasan yang tidak bisa ia utarakan ke Ayahnya untuk menolak permintaan itu.
Jefri masih mengunci mulutnya. Sorot matanya ia jatuhkan pada raut wajah pucat istrinya yang tampak penasaran dengan isi percakapannya. Dahi wanita yang ada di hadapannya itu mulai berkerut saat netranya masih terkunci pada istrinya. Ayana tak mengetahui pembicaraan dari mertuanya, karena Jefri tak mengaktifkan loudspeaker-nya, "Bu-bulan depan ini?" tanya Jefri memastikan.
"Iya, kamu nggak keberatan kan? Nanti disana, Abi juga udah minta temen lama kamu buat bantu urus juga,"
"Ng-nggak," jakun Jefri kian naik-turun. Entah, apa yang bergulat dalam benaknya. Secepat mungkin harus segera ia netralkan dihadapan istrinya. Sorot matanya menatap mata Ayana yang juga ternyata memperhatikannya sedari tadi. Tak pernah memindai ke arah lainnya. Keduanya saling beradu pandang, sampai Jefri lupa untuk menjawab pertanyaan Ayahnya.
"Apanya yang nggak, Jef?" tanya Abi mengulangi saat Jefri tak kunjung menjawabnya.
Jefri merasa gelagap lagi. Rasanya ia ingin menolak permintaan Ayahnya untuk ikut ke Malang. Namun, ia tak bisa egois saat ini. Ia sudah sangat sering mengecewakan permintaan Ayahnya, "Ng-nggak papa Bi, Jefri usahakan bisa bantu." ucapnya kemudian.
"Abi nggak bisa menghandel semuanya Jef, jadi kamu tolong Abi ya bulan depan," pinta pria paruh baya itu. Samar-samar hanya terdengar suara pelan, sangat amat pelan. Bahkan hampir tak terdengar di telinga Ayana namun masih bisa terdengar di telinga Jefri.
"Iya,"
"Ya udah Abi tutup telfonnya. Assalamualaikum,"
"Waalaikumussalam," Jefri menutup sambungan telepon itu dan kemudian menaruh lagi ponselnya di atas meja seraya melirik Ayana sekilas yang masih betah menatapnya. Kalau seperti ini kan, Jefri sendiri yang merasa bersalah lagi pada istrinya. Padahal, belum tentu yang ada dibenaknya akan berakhir seperti apa yang ia pikirkan. Ia benar-benar harus mencuci otaknya agar tak berkutat pada hal-hal buruk saja.
"Siapa?"
"Abi,"
"Aku denger samar-samar tadi, nyebut Kota Malang, kamu mau ke Malang Mas?" tanya Ayana memastikan.
Jefri mengulum bibirnya. Berusaha menatap wajah istrinya yang masih meminta jawaban darinya, "Iya, Abi bulan depan nyuruh kesana buat bantu-bantu ngurus pembangunan rumah panti,"
"Berapa lama?"
Pertanyaan Ayana dibalas Jefri dengan gelengan pelan. Seraya bibir miliknya masih berusaha menyunggingkan senyum simpulnya, ia mengacak-acak pucuk kepala Ayana untuk menetralkan detak jantungnya, "Belum dikasih tau, mungkin seminggu? Atau 4 harian, belum pasti sepenuhnya." jawabnya.
Sorot mata Ayana tampak redup. Iya, di satu sisi, Ayana menyadari jika Jefri pergi ke Malang, pastinya ia akan berjauhan dengan suaminya. Namun, di sisi lain, ia tak tahu kenapa hatinya seolah-olah tak rela jika Jefri pergi kesana, "Lama ya?"
"Kamu ikut kesana," sahut Jefri cepat.
"Emang aku boleh ikut?"
Jefri menangkupkan tangannya di pipi Ayana. Netranya jatuh terkunci pada netra sayu milik istrinya. Satu detik dua detik, Jefri masih terpaku disana. Ia berusaha menepis semua yang berkecamuk dalam benaknya, "Belum pasti jadwalnya. Makanya sebelum itu, saya harus menyesuaikan jadwal di rumah sakit sama jadwalnya Abi. Kalau jadwal pekerjaan saya agak renggang dan ada kemungkinan ambil cuti, ya saya bisa kesana. Masih sebulan atau dua bulan lagi, jadi masih lama. Nggak perlu kamu pikirin," paparnya.
Ayana sedikit menelisik ruang-ruang kosong yang terlihat di mata Jefri. Benaknya berkutat pada satu pertanyaan, kenapa raut wajah suaminya tak seperti biasanya jika menerima telepon dari mertuanya, "Kenapa wajah kamu tadi nggak kayak biasanya, pas nyebut Kota Malang? Agak beda. Ada masalah ya?"
Jefri yang tadinya memindai pandangannya ke piring yang ada dihadapannya, sontak berpindah menatap Ayana lagi, "Ma-Maksud kamu?" Istrinya itu memang pintar sekali menebak sesuatu. Sampai terkadang tebakannya hampir tak pernah meleset, "Dari dulu wajah suami kamu juga gini. Ganteng. Beda dari mananya?" ujarnya mengalihkan pembicaraan.
"Kayak ada beban,"
"Sok tau,"
Ayana mendengus, "Kenapa sih Mas? Ada masalah ya? Kota malang ada apa? Selama menikah, aku belum pernah kesana sama kamu. Belum pernah berkunjung ke kota yang katanya juga jadi tempat Abi bangun rumah panti. Aku .... Aku cuma taunya rumah panti yang dibangun di Jakarta aja. Kamu belum pernah ajak aku ke rumah panti yang ada di Malang," protesnya panjang lebar pada Jefri.
Ya, memang benar. Ayana belum tau soal panti asuhan yang ada di Malang. Jefri juga belum pernah mengajaknya kesana. Ia sama sekali belum pernah tau keluarga suaminya itu sebagian ada di Malang. Barangkali alasan Jefri belum bisa mengajak Ayana kesana karena tak bisa melewatkan kesibukan yang ada di rumah sakit. Tidak tau juga, Ayana tak pernah menanyakan hal itu. Baru hari ini ia sempat menanyakan pertanyaan yang berkecamuk tadi.
Jefri tersenyum simpul mendengar protesan dari istrinya, "Iya banyak beban kemarin,"
"Kenapa?"
"Gendong kamu, mindahin ke kamar! Berat. Berat kamu-"
Belum selesai mengucapkan kalimat lengkapnya, Jefri sudah dihadapkan bogeman keras di lengannya secara spontan. Membuat ia memekik kesakitan, "Aaakhhhhh! Sakit,"
Ayana semakin berdecak sebal saat Jefri malah mengalihkan pembahasan lagi, "Bodo amat. Pertanyaanku belum dijawab,"
Suaminya itu hanya membalasnya dengan kekehan saat dirinya menggerutu sebal. Diusapnya lagi, pucuk kepala Ayana seraya jari jemarinya berakhir menjamah pangkal hidung bangir milik Ayana, "Kalau jadi, kamu tetep ikut ke sana,"
Ayana mengangguk, dan menyingkirkan tangan Jefri agar tak bertengger di hidungnya. Ia sedikit lega, namun ada satu titik yang membuatnya belum sepenuhnya lega, "Nanti siang saya ada keperluan di rumah sakit. Cuma bentar. Obatnya jangan sampai telat diminum," pinta Jefri lembut sebelum ia beranjak mengambil air hangat untuk merendam kaki milik Ayana. Ia mengambil air hangat yang ada dalam termos dan menuangkannya ke dalam baskom berukuran sedang.
Ayana hanya diam saat Jefri mulai berjongkok, dan memindahkan kakinya untuk masuk ke dalam baskom yang berisi air hangat. Jefri tampak membasuh lembut kaki istrinya itu dengan sentuhan-sentuhan yang membuat detak jantung Ayana berpacu tak normal, layaknya baru pertama kali. Padahal ini bukan kali pertama. Jefri bahkan melakukannya hampir saat Ayana sakit, "Udah selesai," ucapnya.
Bibir ranum milik Ayana tertarik, ikut membentuk senyum simpul tipis saat Jefri terlihat telaten melakukannya. Ia memerhatikan suaminya yang telah selesai mencuci kakinya dengan air hangat. Merendamnya lembut, hingga memberi sentuhan yang membuat Ayana ingin berlama-lama disana. Karena perlakuan lembut yang Jefri lakukan. Sangat berbeda saat ia pertama kali bertemu dengan suaminya itu. Jangankan lembut, manis saja hampir tak pernah tercetak, "Mas," panggilnya pada Jefri yang tengah membereskan air bekas rendaman kaki milik Ayana.
"Apa?"
Ayana sengaja beranjak menyusul Jefri yang masih berdiri di pinggir wastafel dapur. Ia menarik lengan suaminya agar menghadapnya, "Aku .... Aku mau-"
"Mau apa?"
"Coba ikut program hamil lagi."
Jefri menatap Ayana hampir tak percaya. Dari bibir istrinya itu baru saja terlontar kata-kata yang sangat ia tunggu. Bukan apa-apa, Jefri saat ini benar-benar dibuat menganga, takut jika istrinya berubah pikiran lagi, "Kamu beneran siap?"
"Iya,"
"Kenapa cepet berubah pikiran?"
Bukan. Sebenarnya Ayana masih belum sepenuhnya berubah pikiran. Kenapa susah sekali mengatakan sebenarnya pada Jefri mengenai rasa ragunya. Ia takut mengecewakan suaminya karena ketidaksiapannya. Ayolah Ayana! Jangan mengulangi kesalahan yang sama dengan tidak mengedepankan komunikasi yang baik sesama pasangan. Jangan membuat celah untuk melukai sebuah pernikahan. Semoga esok, Ayana bisa mengatakan pada Jefri alasan keraguannya.
Ayana menatap Jefri dengan tatapan setengah samar. Buliran tipis menyelimut dalam kelopak matanya. Tak jatuh, karena ia berusaha menahannya. Membuat Jefri yang menatapnya ikut menautkan dua alisnya, bingung. Tak mengerti apa yang Ayana pikirkan.
"Aku berubah pikiran karena kemarin malam aku baru saja melihat sosok Ayah yang pengen banget punya buah hati lagi. Ayah yang mengidam-idamkan buah hati. Aku nggak mau mengecewakan sosok Ayah baik yang ada di depanku. Ayah yang rela diganggu anak-anaknya masak bubur buat Ibu anak-anaknya yang lagi sakit kemarin. Ayah yang rela punggungnya dinaikin dua anak sekaligus kemarin malam. Sampai kesakitan. Ayah yang hampir nggak tidur karena jagain istrinya yang kesulitan tidur karena sakit,"
"Meskipun kemarin kamu sempat merintih kesakitan karena punggung kamu dinaikin Aidan sama Aviola. Tapi kamu nggak marah sama mereka. Kamu malah ketawa-ketawa, jahilin mereka balik. Aku udah sembuh, nggak perlu obat-obat medis dari kamu. Cukup melihat kamu dan anak-anak di sampingku kemarin. Main bareng-bareng sebelum tidur," cairan bening dari kelopak Ayana lolos begitu saja. Tanpa diberi aba-aba. Namun, bibir ranumnya masih berusaha ikut tersenyum.
"Aku belum pernah merasakan itu dari kecil. Tapi melihat Aidan sama Aviola ketawa-ketawa, aku ikutan seneng. Makasih. Rasanya terlalu egois ya aku? Menunda apa yang suamiku inginkan. Kamu terlalu banyak mengalah akhir-akhir ini. Aku belum bisa jadi istri dan ibu yang benar-benar layak untuk dicintai," paparnya seraya melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Jefri. Mengeratkan pelukannya. Membuat Jefri paham apa salah satu alasan istrinya berubah pikiran.
"Besok pagi bisa antarkan aku ke Dokter Anggi buat konsultasi program hamil?" tanya Ayana seraya semakin mengeratkan pelukannya.
Jefri masih bungkam. Ia juga ikut mengeratkan pelukan istrinya itu. Netranya asik terpejam, dan kepalanya mengangguk pelan menyetujui permintaan Ayana tanpa aba-aba. Tanpa tau alasan lainnya yang belum Ayana sebutkan.
Bersambung....
Aku gak tahan pengen update tapi signal kemarin ngebadutin. Maklum pakek teri :( sebenernya pengen triple update karena kemarin ultah ceritanya 🤣 tapi yaudahlah dah terlanjur writers block.
Aku nunggu nunggu vote nyampe 500 tapi lama banget keburu ide ilang wkwk. Jadi aku trabas aja belum 500 tetep aku update. Baca pelan-pelan. Ini udah aku kasih clue konfliknya wkwk. Makasih udah vote sama komen ya? Kalo penasaran bisa vote sama komen yang banyak biar aku gak narget narget lagi dan bisa update cepet.
Aku udah nyiapin konfik sekaligus ending buat cerita ini. Kalo penasaran, tungguin aja ya? Nanti tbtb aku kasih boom nagasaki wkwk. Canda. Pokoknya makasih udah setia anjay wkwk. Maaf kalo ceritanya seadanya 😚
Aku tunggu komen dan vote nya. Jangan lupa follow juga yang belum follow. See you.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top