BAGIAN 14 - 80/60

Selamat tahun baru 2021
Maaf ya baru bisa update. Selama satu Minggu lebih aku writes block dan bingung mau unpublish cerita atau aku lanjutkan. Berakhir aku update lama.

Maaf kalau selama tahun 2020, aku punya banyak salah. Terus karyaku masih belum sempurna untuk dibaca. Maaf ya? Semoga siapapun yang baca ini tetap sehat selalu. Terima kasih udah baca semua ceritaku.

Oiya, sebelum baca part ini. Boleh aku minta apresiasi vote 500+ komen 100? Kalau boleh jangan lupa vote dibawah ya? Kalau misalkan udah capai angka itu aku akan usahakan update cepet karena part selanjutnya tinggal sedikit lagi selesai nulisnya. Kalau kalian suka jangan ragu untuk beri dukungan cerita Bapak Badak.

Terima kasih semua. Happy reading. Kasih tau mana typo dan kalimat rancunya ya?

💜💜💜

Aidan langsung turun dari mobil usai Pak Aryo memarkirkan mobil milik Ayana di garasi samping rumah, disusul Aviola yang juga tengah turun tergesa-gesa karena langkah Aidan terlalu cepat untuk masuk ke dalam rumah. Hari ini Ayana memang sengaja tak ikut menjemput anak-anaknya. Ia memilih untuk merapikan beberapa pekerjaan rumah dan menyelesaikan laporan keuangan kafe Macarolove,  sementara tugas menjemput anaknya diserahkan ke Pak Aryo sepenuhnya.

Dua anak mungil itu setengah berlari saling mengejar satu sama lain untuk masuk ke dalam rumah. Sesekali tas sekolah yang bertengger di punggung Aidan, ditarik Aviola agar dirinya lah yang masuk terlebih dahulu sebelum Aidan. Sampai-sampai langkah Aidan terpental ke belakang karena tarikan keras dari Aviola.

Aidan mendengus sebal saat langkah adiknya mendahuluinya. Bibirnya kian menggerutu. Dan langkah kakinya berlanjut masuk ke dalam rumahnya tersoyong-soyong. Matanya mengabsen beberapa sudut ruangan untuk mencari keberadaan Sang Mama yang biasanya sudah menunggunya di bilik pintu.

"Mamaaaa!" panggian-panggilan kecil yang diiringi dengan nada setengah berteriak tak terdengar balasan dari Ayana. Dua anak mungil itu tampak berlari dari pintu utama rumahnya. Dengan tas kecil di punggung yang masih bernaung disana.

"Mamaaaa!" panggil Aviola lagi saat tak menemukan Sang Mama yang biasanya langsung menghampirinya usai pulang sekolah.

Sorot mata Aidan mengabsen beberapa ruangan lagi seraya berlari mondar-mandir mencari Ayana, namun naas. Ayana tetap tak bisa ia tangkap dalam sorot matanya, "Mama mana, Apiola?" tanyanya pada Aviola yang juga tengah mencari Ayana.

"Di dapul?" tanya Aviola balik. Ia sendiri pun tak tahu keberadaan Ayana. Sedari tadi netranya berkeliling menelisik seisi ruangan. Namun Ayana tetap tak ada di hadapannya.

Aidan menggeleng cepat. Sedari tadi pandangannya telah mengabsen seisi ruang dapur. Namun Ayana tetap tak ada disana. Ia mulai terlihat sedikit panik, "Di dapul sepi,"

"Telus dimana?"

"Enggak tau. Lumahnya sepi Apiola,"

Aidan mencoba menaiki anak tangga seraya tangan mungilnya menggandeng tangan adiknya untuk ikut mengecek keberadaan Ayana di kamar. Kakinya sedikit berjinjit untuk meraih gagang pintu, dan membukanya. Matanya lagi-lagi memicing mencari keberadaan Ayana. Sampai Aviola juga ikut menelisik kamar mandi milik Ayana.

"Aidan, Mama kenapa nggak ada?" ucapnya sebal saat ia tak menemukan Ayana. Bibirnya terkatup-katup, takut jika ia ditinggal Ayana dan berakhir di rumah, hanya dengan Aidan.

"Ayo kelual cali Mama?" Aviola mengangguk, saat mendengar ajakan dari Aidan. Kakinya mulai mengikuti langkah Aidan yang keluar dari kamar.

Langkah Aidan tiba-tiba terhenti, "Apiola," panggilnya dengan nada pelan seraya kepalanya menoleh ke arah Aviola yang berdiri di belakangnya, "Apiola itu Mama?" tanyanya lagi memastikan saat pandangannya terjatuh pada seorang wanita yang tengah terbaring lemah di sofa ruang tengah. Ia melihatnya dari atas balkon sebelum mengisyaratkan Aviola untuk melihatnya juga.

"Mamaaaa!" Avola sedikit berteriak. Kakinya spontan menuruni anak tangga dengan hati-hati, disusul Aidan yang juga mengikutinya dari belakang. Bibir Aviola mengerucut. Bingung ketika melihat wanita yang ia sebut Mama tak menyahut saat ia berteriak. Ia berjalan setengah berlari ke arah Ayana yang masih tak menyahuti panggilannya, "Aidan. Mama kok tidul disini?" tanyanya pada Aidan yang juga tak mengerti. Ia hanya bisa membalas pertanyaan Aviola dengan gelengan-gelengan kecil.

Jari jemari Aviola jatuh di atas dahi milik Ayana. Sengatan hangat menyatu disana. Aviola merasakan ada sesuatu aneh dari tubuh Sang Mama. Detak jantungnya mulai khawatir, ketika Ayana tak menyahuti dirinya sedari tadi, "Aidan, Mama kok panas?"

Dahi Aidan ikut berkerut. Ia mengambil duduk di tepi sofa ikut memegang sisi lengan Ayana, dan menggoyang-goyangkan pelan lengan Mamanya, "Mama," panggilnya pelan dengan bibir yang mulai bergetar. Ia setengah takut karena hanya ada Aviola dan Mamanya di rumah. Takut Ayana kenapa-napa.

Aviola sedikit melebarkan matanya saat tangan Ayana mulai bergerak. Bibir pucat milik Ayana perlahan tertarik sudut simetris, dan netranya setengah terbuka memperhatikan kedua anak mungilnya yang duduk di hadapannya. Rasanya kepalanya semakin berat, entah apa sebabnya. Pandangannya serasa kabur saat netranya ingin mempertajam penglihatannya, "Ka-kalian pulang sama siapa?" tanyanya lesu.

"Sama Pak Alyo. Tapi Pak Alyo udah pulang lagi ke lumahnya," jawab Aviola pelan seraya mengusap-usap punggung tangan Ayana, "Mama sendilian?" tanyanya kemudian yang dibalas Ayana dengan seulas senyum tipis.

"Kalian mainnya yang baik ya? Jangan nakal. Mama mau istirahat dulu," ujar Ayana pelan, nyaris tak terdengar dalam telinga kedua anaknya. Sungguh, saat ini kepala Ayana rasanya semakin berat. Ia bahkan sulit untuk melihat kedua anaknya di hadapannya. Bahkan untuk menghubungi Jefri saja Ayana tak bisa mengambil ponselnya.

Sorot mata Aidan tampak sayu melihat Sang Mama yang biasanya mengajaknya bermain malah tertidur. Tubuhnya berangsur turun dari tepi sofa dan berjalan menjauh, ke arah ruang tamu. Takut menganggu Ayana yang tengah tertidur dengan badan yang masih terasa panas.

"Aidan," bisik Aviola pelan dari belakang. Aidan yang mendengar suara samar dari Aviola lantas menoleh ke arah adiknya. Ia spontan menghentikan langkahnya, "Hm?"

"Telpon Papa?" tanya Aviola dengan tangan yang menyodorkan ponsel ke arah Aidan. Lebih tepatnya ponsel milik Ayana yang ia bawa.

Aidan memperhatikan ponsel yang Aviola pegang, "Kamu dapat dali mana Hp Mama?" tanyanya saat tangan Aviola masih menyodorkan ponsel itu padanya.

"Dali meja. Ayo telpon Papa!" sahut Aviola cepat. Sedangkan Aidan tetap menggeleng. Ia justru memilih melangkahkan kakinya lagi ke arah pintu utama rumahnya. Membuka pintu itu pelan, dan memilih duduk di anak tangga kecil yang menghubungkan pintu dengan teras rumahnya.

"Aidan, ayo telpon Papa!" Aviola sedikit berlari menyusul Aidan yang tenang duduk disana. Dengan kaki kecil yang dihentak-hentakkan pelan dan sorot mata yang menelisik beberapa tanaman yang menancap di taman kecil depan rumah, "Aidan nggak bisa baca. Takut hp Mama lusak," jawab Aidan pada Aviola.

Aviola mendengus saat tawarannya ditolak Aidan. Pandangannya terjatuh pada ponsel Ayana yang ia pegang, "Telus gimana?" tanyanya pada Aidan lagi yang dibalas Aidan dengan gelengan kepala.

Aviola semakin mendengus melihat ekspresi Aidan yang mengabaikannya. Ia lantas ikut duduk di samping Aidan. "Ada potonya Papa, Aidan!" teriaknya saat tangannya mencoba menggeser layar ponsel milik Ayana. Dalam layar tersebut menampilkan wallpaper yang berisi foto Jefri tengah merangkul pundak Ayana.

Sorot mata Aidan melebar, "Pencet pencet," serunya yang sebenarnya tak mengerti juga cara menggunakan ponsel milik Ayana.

Begitu mendengar seruan dari Aidan, Aviola spontan menggeleng cepat. Ia memang tadinya berniat menggeser layar ponsel Ayana, namun tiba-tiba hatinya gusar saat Aidan menyuruhnya memencet layar yang ada di ponsel Sang Mama, "Kalo lusak nanti Mama malahin Apiola,"

"Nggak lusak. Aidan pelnah lihat Nenek pencet poto Papa kalo mau telpon. Pencet yang ada gambal telponnya," sahutnya mencoba memberi tahu Aviola.

"Nggak mau—" ucapan Aviola terpotong saat netranya menangkap sosok laki-laki bertubuh tegap yang tengah memarkir mobilnya di depan rumah. Siapa lagi kalau bukan Jefri. Sang Papa itu tengah berjalan ke arahnya dengan senyum merekah saat Aidan dan Aviola beranjak dari duduknya, "Papaaa!"

"Kalian kenapa di luar? Mama mana?" tanya Jefri dengan penampilan khas setelan kemeja abu-abu dan dasi biru tua yang melingkar di lehernya. Matanya memicing saat netranya tak melihat sosok istrinya. Dahinya juga setengah berkerut saat sorot matanya melihat ponsel Ayana bertengger di tangan anak perempuannya itu, "Anak kecil nggak boleh main hp sembarangan. Mama mana?" ucapnya lembut seraya mengecup pipi Aviola dan mengambil ponsel Ayana dari tangan anaknya.

"Papa, Mama panas. Telus sekalang Mama tidul-tidulan di kulsi depan luang tengah. Di lumah nggak ada olang. Pak Alyo udah pulang ke lumahnya. Mbak Kinan enggak kelja." Jefri spontan menautkan alisnya saat mendengar paparan dari anak laki-lakinya. Ia seketika langsung menggandeng kedua anaknya dan mengisyaratkan mereka untuk ikut masuk ke dalam rumah.

Dengan langkah cepat, Jefri berjalan ke arah ruang tengah disusul kedua anaknya yang berlarian di belakangnya. Suara televisi masih menggema disana. Tak ada yang mematikan saluran tersebut sampai tangan Jefri menekan tombol power pada remote itu.

Jefri mematung beberapa detik. Sepasang netra hitamnya menangkap Ayana yang tertidur dengan bibir yang terlihat pucat. Ia lantas mengambil posisi berjongkok dengan mata yang masih terkunci pada wajah Ayana, "Kenapa tidur disini kalo sakit?" tanyanya setengah bergumam seraya jari jemarinya mengusap lembut pipi milik istrinya.

Dengan sigap, Jefri membopong tubuh Ayana dan memberitahu kedua anaknya yang berdiri tepat di belakangnya untuk ikut mengikutinya menaiki anak tangga yang menghubungkan ruang tengah dengan kamar. Ia membawa Ayana ke kamar untuk memudahkan mengecek tekanan darah istrinya.

Sampai di kamar, Jefri perlahan merebahkan tubuh Ayana di atas ranjang. Napas Ayana masih berderu tak menyadari jika Jefri telah memindahkan tubuhnya, "Mama," panggil Aviola pelan. Ia ikut Aidan naik ke atas ranjang, duduk bersila di sisi kiri Sang Mama. Sedangkan Jefri duduk di tepi ranjang sisi kanan.

Mata Ayana perlahan setengah terbuka dan melihat Jefri yang ada dihadapannya sedang memasang alat tensi meter di lengannya. Bibir suaminya itu tertarik tipis saat melihat Ayana perlahan membuka matanya. Ia membiarkan tangan Jefri mengecek tekanan darahnya seperti biasa ketika ia sakit, "Tekanan darah kamu rendah. Lebih rendah dari biasanya," jelasnya pada Ayana.

Tangan Jefri menaruh kembali alat tensi meter itu usai memeriksa tekanan darah Ayana. Jari jemarinya mengusap pelan pipi Ayana, "Kamu kurang tidur, jangan kebiasaan begadang! Kecapean juga bisa jadi penyebab. Kalau kecapean, nanti saya carikan asisten rumah tangga lagi buat bantu ngurus pekerjaan rumah. Kamu udah terlalu banyak bantu Umi ngurus Macarolove,"

Ayana menggeleng pelan, ia tampak tak menyetujui tawaran Jefri, "Nggak. Aku bisa sendiri. Kamu nggak perlu nyari ART lagi. Lagian nanti malam juga udah sembuh,"

"Minum air putih yang banyak. Nanti saya siapkan obatnya. Sekalian saya siapkan bubur buat makan malam. Nggak usah ikut reuni besok. Kesehatan kamu lebih penting. Nggak perlu terlalu memaksa. Anak-anak khawatir sama kamu .... Saya juga," petuah Jefri lagi yang membuat bibir Ayana mengerucut saat menatap suaminya, "Aku udah janji sama temen-temen Agro B," serunya.

"Temen-temenmu pasti ngerti kondisi kamu. Kalau emang besok demammu udah turun, kamu boleh ikut. Kalau bisa tempatnya suruh di Macarolove aja. Nggak perlu jauh-jauh," Jefri berusaha tak memberi izin saat Ayana ingin menyangkal lagi. Suaminya itu tak akan membiarkan Ayana larut dalam sakitnya. Memang, terkadang Ayana masih suka membangkang jika Jefri memerintah ini itu demi kebaikannya. Tapi namanya juga Ayana, perintah Jefri pun terkadang ia tebas. Dan berakhir Jefri sendiri yang mengalah.

"Papa, Mama sakit apa?" celetuk dari Aviola membuat kepala Jefri sedikit menoleh ke arah putrinya, "Mama kecapean. Aidan sama Aviola jangan nakal. Jagain Mama biar sembuh," pintanya pada kedua anak mungilnya itu.

Aviola mengangguk menandakan ia mengerti akan perintah dari Papanya. "Aviola mau cium Mama boleh?" tanyanya pada Ayana.

Ayana sedikit menggeser tubuh ringkihnya ke arah Aviola agar Aviola bisa memeluknya dengan berbaring, "Sini," perintahnya pelan menepuk-nepuk sisi ranjang yang kosong di sampingnya untuk ditempati Aviola.

Aviola akhirnya menurut. Ia berbaring di samping Ayana, membuat Aidan yang duduk di sampingnya ikut tergeser ke belakang karena kakinya sedikit mendorong tubuh Aidan, "Aidan juga mau," ujarnya seraya mengerucut sebal pada Aviola yang dengan enaknya berbaring di samping Ayana.

"Aidan di pipi kanan Mama sini!" ucap Ayana yang membuat Aidan tanpa berpikir panjang kakinya beranjak cepat turun dari ranjang dan berlari ke arah Jefri yang masih duduk di tepi ranjang sisi kanan samping Ayana. Jari kecilnya ia keratkan melingkar di leher Ayana yang tengah berbaring seraya bibir kecilnya menghujani ciuman di pipi Ayana, bersamaan dengan Aviola.

"Papa nggak kebagian cium Mama?" tanya Aviola seraya melirik Jefri yang sedari tadi hanya memperhatikan kelakuan dua anak mungilnya itu.

"Nggak Apiola. Soalnya pipi Mama ada dua. Yang ini Apiola yang ini Aidan," sahut Aidan cepat seraya menunjuk pipi kanan dan kiri Mamanya yang diklaim bahwa dua benda lembut itu adalah miliknya dan milik saudaranya, tanpa mau dibagi dengan Papanya.

Jefri hanya tersenyum miring saat Aidan memaparkan kalimat yang baru saja keluar dari bibir kecilnya, "Kata siapa Papa nggak kebagian?"

"Tapi kan pipi Mama ada dua," elak Aidan menatap Sang Papa yang masih tersenyum miring.

"Papa kebagian cium Mama kalo kalian tidur .... Di bibir," bibir Jefri menyunggingkan senyum lebarnya. Kedua tangannya meraup tubuh kecil Aidan dan Ayana. Menghimpit Aidan yang ada ditengah-tengah mereka, mengeratkan pelukannya. Disusul Aviola dari sisi kiri ranjang yang juga melingkarkan tangannya di pinggang ramping Ayana. Tanpa mereka menyadari Ayana menahan napas sesak saat suami dan anaknya itu keasikan saling memeluk satu sama lain.

"Papa jangan kenceng-kenceng, Aidan kejepit," protes Aidan seraya mendorong tubuh Jefri agar menyingkir karena ia hampir kehabisan napas karena pelukan Papanya, membuat Jefri spontan menguraikan pelukannya dan terkekeh tanpa berdosa. Aviola dan Ayana ikut terkekeh saat melihat raut wajah Aidan yang memberengut kesal ke arah Jefri.

Tangan Jefri mengacak-acak pucuk kepala Aidan. Ekspresi anaknya itu mengingatkannya pada Ayana yang terkadang marah padanya, sama persis. Aidan itu bak kloningan istrinya, "Papa ke dapur dulu," pamitnya berniat menyiapkan bubur untuk Ayana.

"Aidan ikut,"

"Aviola juga,"

Jefri menghela napas panjang. Cicitan dari bibir kedua anaknya itu tak bisa ia tolak. Kalaupun ditolak satu kali mereka akan lebih rewel, dan ia tak yakin bisa mengatasinya karena Ayana juga sedang sakit, "Ya udah ayo!" serunya mengalah, mengisyaratkan kedua anaknya ikut beranjak turun dari ranjang.

"Papa,"

"Hm?"

"Apiola jadi punya adik?"

Jefri reflek terdiam. Pertanyaan dari Aviola tak bisa ia jawab sekarang. Netranya sekilas saling beradu pandang dengan Ayana. Mereka bak pasir yang terkikis ombak. Hanya ada desisan tanpa ada sepatah kata yang keluar saat anaknya menanyakan kalimat itu lagi.

"Kalau Apiola jadi punya adik. Apiola mau jadi kakak yang baik. Apiola nggak akan nakal. Apiola janji jagain adik Apiola. Jaga Mama juga bial nggak sakit,"

"Aidan juga Pa, Aidan nggak mau Mama sakit. Nanti kalau udah besal. Aidan mau jaga Mama sama Adik Aidan,"

Sudut bibir Jefri terpaksa ia tarik membentuk garis lebar ke arah kedua anaknya. Bagaimanapun juga ia belum siap membuat anaknya kecewa. Tapi keputusan Ayana juga tak bisa ia tolak. Jujur saat ini Jefri bimbang, "Aidan sama Aviola tetap jadi anak Papa yang baik. Ada atupun tidak ada adik. Ayo masak!" kalimat itulah yang ia susun untuk menjawab jikalau kedua anaknya menagih janjinya.

Gurat wajah Ayana semakin merasa bersalah mendengar jawaban dari Jefri. Tangan Ayana perlahan menahan tangan Jefri untuk beranjak. Sedari tadi memang netranya tak bisa lepas dari pandangan Jefri. Ia saat ini setengah mengalihkan pandangan, tak menatap Jefri yang tengah menatapnya. Rasanya sulit ya? Ketika pernikahan dihadapkan dengan perbedaan pendapat mengenai momongan. Ayana harus bagaimana? Ia bahkan telah mengecewakan banyak orang atas ketidaksiapannya memiliki momongan lagi, "Mas,"

"Hm?"

Panggilan itu tak diteruskan oleh Ayana. Ia masih bungkam beberapa detik. Netranya beralih menatap kelopak mata Jefri yang terlihat sayu sepulang bekerja. Bibirnya mengulum senyum simpul, senyum yang sebenarnya dipaksakan Ayana, "Kenapa senyum-senyum? Suami kamu kelewat ganteng?"

Baru saja mau mengucapkan rasa terima kasih, Ayana dihadapkan dengan lontaran kepercayaan yang terlalu tinggi dari mulut suaminya Decakan sebal keluar dari bibir Ayana  dengan bola mata kian memutar saat alis Jefri saling bertaut, sesekali dinaik-turunkan secara sengaja, "Kalau habis masak. Piringnya ditata lagi. Jangan diberantakin!" dengusnya.

Entah Jefri mengalihkan pembicaraan untuk mencairkan suasana atau Jefri ingin menutupi kekecewaannya. Jikalau ketidaksiapan Ayana membuatnya kecewa. Ia tetap tak bisa mementingkan keegoisannya. Namun apa jadinya nanti jika Ayana telah siap dengan segalanya, barangkali takdir menghadapkannya dengan fakta yang membuat Ayana kecewa kedua kalinya? Semoga tidak. Ayana tak siap akan hal itu.

Bersambung....

Semoga banyak yang komen dan vote. Biar aku semangat cepet updatenya. 💜🥂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top