BAGIAN 13 - GAGAL PACARAN

📢 Hayo! Ini juga 18 coret lagi. Bijak menanggapi bacaan yang disedia author ya wkwk. Semoga pesan yang aku sampaikan lewat cerita ini masuk ke yang baca wkwk.

💙💙💙

Jefri menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Dengan satu buku yang biasanya ia baca bertengger di salah satu tangannya, ia membolak-balikkan lembar demi lembar saat matanya menelisik beberapa deretan tulisan yang ada di buku itu. Sudah menjadi kebiasaan, dari dulu ia tak bisa lepas dari kebiasaannya sebelum tidur, selalu membaca minimal seperempat halaman dalam satu buku. Sampai ia menikah pun kebiasaanya itu tak pernah berubah. Sangat berbeda jauh dengan istrinya yang memiliki kebiasaan menonton drama Korea sebelum tidur.

Ayana yang baru saja keluar dari kamar mandi telah mengganti pakaian tidurnya dengan silk chemise yang pernah Umi berikan empat bulan yang lalu. Gaun tidur itu berwarna merah jambu dengan panjang di atas lutut, namun masih nyaman dipakai Ayana untuk tidur. Tak lupa aksen renda berukiran deretan bunga putih yang melintang di leher bawahnya dan tali spaghetti strap yang bertengger untuk menautkan sisi pundak depan dan belakang. Membuat beberapa sisi pundak dan leher istrinya itu terlihat bebas dalam sorot matanya.

Hey, Jefri juga laki-laki normal. Matanya dibuat tak berpindah memperhatikan istrinya dalam pantulan cermin saat istrinya itu mengurai rambutnya dan menyisirnya ke belakang dengan jari jemarinya. Membuat helai demi helai rambut Ayana yang tergerai itu terjatuh bebas di punggungnya. Sampai buku yang Jefri pegang tak dilihat sama sekali karena ulah istrinya yang selalu memporak-porandakan pikirannya tengah malam seperti ini. Ia malah fokus memperhatikan istrinya dalam pantulan cermin rias. Dan bukan malah fokus ke buku yang ia baca. Kenapa baru tersadar selama tiga tahun belakangan ini? Kalau istrinya itu cantik. Selisih dua tahun pernikahan kemana saja dia sampai tak menyadari istrinya yang tak kalah cantik dari wanita-wanita luar sana?

Ayana beranjak dari kursi riasnya usai memoles wajahnya dengan beberapa rangkaian perawatan wajahnya sebelum tidur. Mataya setengah sayu saat kilatan itu melirik Jefri sekilas. Ia berjalan ke arah sisi ranjang samping Jefri. Dengan langkah perlahan, tubuhnya ia baringkan miring membelakangi Jefri membuat alis suaminya itu saling bertaut, "Tumben tidurnya miring kesitu?" protes Jefri.

Ayana tak membalas pertanyaan dari suaminya. Pikirannya masih berkecamuk mengenai program kehamilan yang ia batalkan sepihak, tanpa memberitahu Jefri jika ia tak ingin mengambil program kehamilan itu. Dalam hatinya ia hanya ingin Aviola dan Aidan. Tanpa menambah lagi rencana memiliki buah hati. Padahal Jefri menginginkan lebih dari dua. Dan saat ini yang Jefri tau, Ayana hanya menunda sementara dan akan mengambil program itu jika ia siap. Ayana bahkan bingung jika suaminya tau keputusannya itu. Takut, Jefri kecewa.

"Ayana," panggilnya lagi saat pertanyaan yang keluar dari mulutnya tak kunjung dijawab oleh istrinya.

"Nggak papa. Pegel aja miring ke kamu terus. Pengen ganti posisi," jawabnya serak, masih dalam posisi memunggungi Jefri.

Jefri mendengus saat tubuh Ayana masih memunggunginya. Ia benar-benar tak nyaman jika harus tertidur saling memunggungi satu sama lain. Jefri sangat hapal jika Ayana bersikap dingin seperti ini. Istrinya itu pasti sedang memikirkan sesuatu yang ia pendam sendiri. Sulit untuk diajak komunikasi, "Saya nggak terbiasa kamu posisinya miring kesana,"

"Ayana,"

"Ada masalah?"

"Ada masalah apa? Hm?"

Jefri meletakkan bukunya di atas nakas samping ranjangnya. Ia merebahkan tubuhnya miring sejajar dengan tubuh Ayana yang masih memunggunginya. Tangan kekarnya memegang pundak polos Ayana dan berakhir bertengger nyaman di pinggang istrinya yang masih belum mengubah posisinya itu. Ia lantas memeluknya dari belakang, "Kalau ada masalah yang melibatkan kita berdua. Tolong berbagi! Kalau kamu ada masalah, sebelum tidur ayo selesaikan!" bisiknya pelan, masih bisa terdengar di telinga Ayana karena memang dia belum memejamkan matanya sepenuhnya sedari tadi.

Ayana memegang tangan Jefri yang masih betah bertengger di pinggangnya. Ia perlahan mengubah posisinya menghadap suaminya. Tak mau lama-lama berkutat dengan pikiran yang belum bisa ia selesaikan sendiri, tanpa suaminya. ia lantas menatap sorot mata Jefri yang menunggu jawabannya sedari tadi, "Kamu bakalan kecewa ya? Kalau aku pengen cukup Aviola sama Aidan aja. Nggak nambah momongan," akhirnya kalimat yang ia simpan ini ternyata keluar dari bibirnya.

Ayana tak berani menatap Jefri. Ia lebih memilih menatap dada bidang suaminya yang tertutup kaos putih polos. Tanpa menatap wajah Jefri usai melontarkan ungkapan itu. Takut jika Jefri kecewa lebih banyak lagi, "Kamu dari tadi mikir itu?" tanya Jefri pada Ayana seraya tangannya mengambil dagu Ayana untuk meminta menatap wajahnya.

Ayana tak menjawab lagi. Netra keduanya semakin beradu pandang beberapa detik. Berkecamuk dengan pikiran masing-masing. Jefri yang sebenarnya sedikit kecewa dengan keputusan istrinya yang baru memberitahunya sekarang. Namun, ia juga tak bisa melampiaskan kekecewaannya pada istrinya saat ini, "Kalau kecewa enggak. Karena dasarnya yang terlibat kita berdua. Kalau saya pengen A dan kamu pengen B, kita nggak satu frekuensi. Saya nggak mau hanya karena satu masalah, perdebatan diantara kita nggak selesai-selesai," terangnya pada Ayana berusaha menyembunyikan hatinya yang masih merasakan sedikit rasa kecewa karena keputusan istrinya yang tak sejalan dengannya.

Tangan Jefri menangkup pipi istrinya itu dengan lembut. Jari jemarinya mengusap-usap pelan seraya menyunggingkan senyum simpulnya ke arah Ayana, "Jangan karena masalah ini, kita berkubang pada keegoisan masing-masing. Saya nggak keberatan kalau menyetujui pendapatmu. Saya nggak bisa mementingkan perasaan saya dan mengorbankan perasaan kamu lagi," jelasnya lagi.

Netra Ayana menelisik rasa kekecewaan yang membekas di mata Jefri. Kenapa suaminya menyetujui pendapatnya padahal ia bisa menolaknya? Sebegitu menjaga janjinya kah suaminya itu sampai ia harus lebih ekstra mengalah pada dirinya? Sampai Ayana merasa tak enak jika lagi-lagi Jefri harus mengalah lagi.

"Gimana jelasinnya ke Aidan sama Aviola? Kalau mereka tau. Mereka juga akan kecewa," cicit Ayana pelan.

Jefri menghela napas panjang. Bibirnya masih mengulum senyum lembut menatap wajah Ayana yang masih terlihat sayu, "Mereka akan mengerti dengan sendirinya. Nanti kita pelan-pelan jelaskan bareng-bareng. Jangan kamu sendiri, tapi sama-sama."

"Gimana kalau Umi juga kecewa?"

"Umi bisa mengerti,"

"Sini!" tangan Jefri menarik tubuh Ayana mendekat. Menyandar ke dada bidangnya. Lengan kirinya sengaja ia biarkan ditindih istrinya untuk memudahkan ia memeluknya, "Kalau kamu dulu nggak kasih kesempatan, mungkin kita nggak bisa lihat Aviola sama Aidan main bareng. Nggak bisa meluk kamu terang-terangan kayak gini kalau tidur. Nggak bisa cium-cium kamu terang-terangan kalau tidur. Nggak bisa lihat nakalnya Aviola. Nggak bisa lihat Aidan sama Aviola jahilin Badak. Nggak bisa—"

Ucapan Jefri sengaja menggantung membuat Ayana ikut menunggu kalimat yang belum terselesaikan itu, "Nggak bisa lihat kamu pakai pakaian sexy di ranjang," lanjutnya terkekeh geli yang dibalas Ayana dengan bogeman keras yang mendarat di lengan suaminya.

"Aaakhhhhh! Sakit!" Jefri spontan merintih kesakitan saat Ayana tiba-tiba memukulnya terus-menerus tanpa memperhatikan raut wajah suaminya yang meringis kesakitan karena pukulannya. Ia menarik bebas hidung istrinya dengan dua jari yang mengapit di hidung milik Ayana, "Apa salahnya kan di depan suami sendiri? Wajar, saya juga laki-laki normal."

Ayana beranjak dari tidurnya, ia beralih menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang. Dengan sedikit membenarkan salah satu tali gaun tidurnya yang sudah meluncur di pundaknya, "Tapi nggak usah disebutin juga yang terakhir. Malu-maluin," gerutunya sebal.

Jefri ikut beranjak. Duduk bersandar di kepala ranjang menatap Ayana yang masih menggerutu sebal, "Siapa yang malu?"

"Aku yang malu," sahut Ayana cepat dengan decakan sebal yang tak henti-hentinya keluar dari mulutnya membuat Jefri gemas dengan ekspresi wajah istrinya sebelum tidur.

"Kenapa kamu malu? Biasanya juga pakai pakaian itu kalau tidur. Di depan suami sendiri,"

"Tau ah, Mas! Bodo amat!"

Decakan sebal dari istrinya itu membuatnya semakin terkekeh geli. Bagaimana tidak? Semakin istrinya itu memberengut kesal semakin ia dibuat gemas dengan guratan lucu yang ada di wajah istrinya. Bibir ranum yang biasanya bertaut dengan bibirnya kini mengerucut panjang sama seperti anaknya yang sering mengerucutkan bibirnya ketika sebal dengan sesuatu, "Udah ayo tidur!" perintahnya pada Ayana yang dibalas cepat dengan gelengan kepala membuat Jefri tak jadi beranjak untuk tidur.

Ayana menangkap netra Jefri yang sedari tadi menatapnya, "Empat tahun yang lalu, aku kasih kesempatan kamu karena aku pengen ngerasain gimana rasanya punya keluarga yang lengkap. Gimana rasanya bahagiain Mama. Karena Mama pernah bilang kalau aku udah menikah, aku nggak boleh mengambil keputusan yang salah dan menghancurkan pernikahan. Aku nggak pengen Mama kecewa kalau ternyata pernikahanku takdirnya sama seperti pernikahan Mama."

"Aku mencintai kamu. Tapi sampai saat ini aku masih takut kalau kamu mengulang kesalahan yang sama. Masih takut kalau kamu mencintai orang lain. Dan bukan aku. Saat ini aku cuma punya kamu, Aidan, sama Aviola. Aku nggak tau, kedepannya kalau pernikahan kita—"

Jefri menempelkan telunjuknya di bibir Ayana, mengisyaratkan istrinya itu untuk tidak bicara lagi dengan bayang-bayang buruk yang belum tentu terjadi, "Nggak perlu mikirin yang belum terjadi. Maaf, kalau dulu saya sering buat kamu kecewa. Saya sering mengorbankan perasaan kamu juga. Kalau ada apa-apa jangan diam dan pendam sendiri. Berbagi! Saya suami kamu, saya nggak mau ada kesalahpahaman lagi." titahnya pada Ayana.

"Kita punya Aidan sama Aviola. Jangan sampai kita dianggap gagal sebagai orang tua. Karena kita mementingkan keegoisan masing-masing," lanjutnya mengunci sorot mata Ayana yang perlahan mengendapkan cairan bening yang menempel di sela-sela kelopak mata istrinya itu.

Tangan Jefri menyisipkan beberapa anak rambut ke belakang telinga yang menutupi pipi Ayana. Tangannya menangkup di kedua pipi istrinya. Dan perlahan Jefri mendekatkan wajahnya sampai hidung bangir keduanya saling bertemu. Sorot mata Ayana terkunci pada tatapan lembut Jefri. Seolah-olah pikirannya mengerti akan maksud suaminya yang terpancar dari matanya, "May I—"

"Sure," Ayana mengangguk menyetujui maksud dari suaminya. Beberapa detik setelah anggukan itu lolos dari kepala istrinya, Jefri lantas mengulum bibir ranum milik Ayana dengan lembut. Memberinya kecupan hangat disana. Ayana sengaja membiarkan Jefri yang memulai. Ia tampak diam, memejamkan kedua matanya. Memberi celah kecupan-kecupan hangat dari bibir suaminya itu bersarang di bibir ranumnya. Benar kata Umi, segala masalah akan terselesaikan sebelum tidur jika jalan komunikasi lebih dekat dengan pasangan.

Jefri menatap Ayana yang masih memejamkan matanya. Beberapa detik kemudian, ia memiringkan kepalanya dan ikut memejamkan matanya juga merasakan tautan yang ada di bibirnya semakin dalam. Bertaut satu sama lain. Bak surga dunia yang mengukung keduanya. Tangan Jefri berpindah melingkar di pinggang ramping milik Ayana yang masih tertutup silk chemise tipis dengan bibir yang masih saling menyatu.

"Mamaaaa!" Ayana terperanjat saat panggilan keras terdengar dari balik pintu kamarnya. Ketukan keras dari luar pintu juga tak kalah cepat masuk dalam pendengarannya. Ayana cepat-cepat mendorong tubuh Jefri kuat dan melepaskan tautan yang ada di bibir keduanya. Mengisyaratkannya Jefri juga untuk ikut beranjak karena anaknya terbangun dari tidurnya.

Jefri mendengus sebal. Bisa-bisanya anaknya terbangun hampir tengah malam seperti ini, menganggu ritual malamnya. Ia lantas ikut menyusul Ayana yang lebih dulu beranjak dari ranjang untuk membukakan pintu kamar.

"Mamaaaa!" tangis Aviola pecah saat pintunya tak kunjung dibukakan oleh Ayana. Saat pintu kamar itu terbuka, Aviola spontan memeluk pinggang Ayana sembari menangis. Ayana dengan cepat menggendong tubuh Aviola dan mengusap-usap sisa-sisa buliran bening yang ada di pipi anaknya, "Aviola? Kenapa belum tidur?"

Pertanyaan Ayana tak kunjung dijawab Aviola dan malah memeluk leher jenjang Sang Mama. Ia mengusap-usapkan wajahnya di leher Mamanya, "Aidan ngompol, Apiola nggak bisa tidul. Kasulnya basah semua. Aidan makan apa? Kasulnya baunya nggak enak, Ma! Apiola mau tidul di Kamal Mama. Nggak mau di Kamal itu,"

Mata Jefri dan Ayana beradu pandang memberi kode satu sama lain. Jefri membalasnya dengan dengusan pelan. Memang, sudah sangat sering ia digagalkan anaknya sendiri. Padahal saat ia membuatkan kamar sendiri untuk kedua anaknya, dengan penuh harap agar waktu bersama Ayana lebih lama lagi. Nyatanya tak seindah harapan. Kapan pun itu bisa digagalkan anaknya sendiri, "Aku ganti sprey kamar anak-anak dulu ya?" ucapnya Ayana pada Jefri.

"Apiola mau tidul sama Mama. Nggak mau sama Aidan," ucap Aviola dengan nada serak. Karena sebenarnya gadis kecil itu sudah lelap tertidur. Namun terpaksa terbangun karena air kencing saudaranya itu meleber membentuk pulau di sprey-nya.

"Papa kan udah buatin kamar sendiri buat kalian," protes Jefri.

Aviola semakin mengeratkan tangannya yang memeluk leher Ayana. Seakan-akan tak mau terlepas dari Ayana, "Tapi, Apiola mau tidul sama Mama. Aidan ngompol,"

"Kasur kita kan muat berempat, nggak papa lah sekali-kali tidur sama mereka sementara," ucap Ayana menengahi anaknya dan suaminya itu.

Dengusan serta decakan pelan keluar dari bibir Jefri saling beriringan, membuat Ayana terkekeh melihatnya, "Ya udah, saya ke kamar mandi dulu. Kamu bersihkan Aidan dulu, nanti saya bantu ganti sprey-nya," ucapnya yang akhirnya mengalah tak jadi meloloskan ritualnya di tengah malam.

"Bilang maaf dulu sama Papa," ucap Jefri pada Aviola yang dibalas Aviola dengan kerutan tebal di dahinya, "Kan Apiola nggak salah. Kok Apiola minta maaf sama Papa?"

Bersambung....

Selamat membaca uyungie wkwk. Dah aku update seusai janji. Yuk komen yuk. Biar aku sehari bisa double up terus menerus sampai ending.

Kasih tau mana yang typo. Spam komen sangat diharapkan wkwkw karena aku senang bacanya wkwk. Jangan lupa follow vote sama komen ya?

Oiya, ini konfliknya dah mulai kelihatan sebenarnya menuju klimaks. Cuma kalian baca pelan-pelan aja. Nikmati, santuy tau-tau ending wkwk.

Selamat malam Senin. See you next chapter dari aku. Makasih banyak. Bye luv.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top