BAGIAN 11 - MAMA MALAH-MALAH TELUS
📢 Warning, ini 18 coret. Bagi siapa yang belum punya KTP harap membaca dengan bijak ya? Wkwk sekali lagi ini marriage life. Jadi pasti beberapa part, aku selipin kehidupan suami istri. Yang belum menikah, harap dengan sangat jangan meniru adegan. Tunggu nanti menikah aja biar halal. Oyi? 😚 Silahkan komen dan vote dibawah huhu.... Kasih tau mana yang typo 😚🍻
💙💙💙
Sorot mata Ayana dan Jefri menangkap Aviola yang tengah membawa alat cukur untuk mencukur bulu yang ada di punggung Kucing Badak. Bukan alat cukur saja ternyata yang dibawa Aviola, namun gunting dan sisir juga ia bawa. Anak kecil itu benar-benar tidak tau seberapa besar dampak buruk barang-barang yang ia pakai. Kucing Badak yang ada di pangkuannya pun tak meronta sekalipun, sebab ia tengah tertidur pulas di pangkuan gadis kecil itu. Tak sadar jika Aviola telah menggunting sedikit bulunya di bagian punggung. Jika ia sadar, mungkin kucing itu akan mengalami stress berlebihan karena kehilangan bulunya.
Netra Ayana yang menyorot pada satu genggam bulu kucing di tangan Aviola, spontan tubuhnya tampak begidik ngeri. Bulu kucing di bagian perut dan punggung telah hilang dilahap gunting. Ia cepat-cepat berlari menuju anaknya disusul Jefri yang juga berlari di belakang Ayana, "AVIOLA!" pekiknya keras yang membuat Aviola sedikit terperanjat kaget. Pun Kucing Badak ikut reflek melompat dari pangkuan Aviola tak sengaja menyenggol pisau cukur yang dipegang gadis kecil itu sampai mengenai salah satu jari kecil Aviola.
"Mama," spontan Aviola berteriak. Tangisan cukup kencang. Matanya setengah menyipit tak berani memandang jarinya yang tersayat. Ia lantas mengibas-kibaskan tangannya. Ayana yang melihat insiden itu spontan berlari untuk menggendong Aviola. Jefri tak kalah kagetnya saat putrinya itu tergores pisau cukurnya.
Ayana menggendong tubuh Aviola menuju dapur. Ia cepat-cepat membersihkan tangan gadis kecilnya itu dengan air mengalir di wastafel. Sedangkan Jefri menyusulnya, membawa sebuah kotak obat yang ada di laci lemari dekat dengan kursi ruang tamu. Aviola tak henti-hentinya menangis saat tangannya diobati Ayana dengan salep antibiotik.
"Obati Aviola! Saya ke kamar mandi dulu," ucap Jefri pada Ayana sebelum ia beranjak ke kamar mandi untuk buang air kecil.
Ayana menatap tajam Aviola yang tengah menangis sesenggukan. Semburat merah yang ada dalam netra gadis kecil itu pun tampak jelas. Ia paling takut jika dirinya terluka. Melihat darah seolah-olah melihat momok menyeramkan, "Kamu kenapa nggak bilang sama Mama kalo mau ambil barang punya Papa?" tanya Ayana pada putri kecilnya itu.
"Tangan Apiola beldalah," jawabnya dengan bibir yang masih bergetar hebat. Membuat Ayana menahan amarahnya, namun tetap tidak bisa. Ayana ingin meluapkan semua kekesalannya pada Aviola karena berkali-kali anaknya itu tak menuruti permintaannya, "Mama nggak mau tau kamu harus izin dulu sama Mama mulai sekarang! Kalau mau main ataupun pinjam barang Papa," hardiknya lagi membuat bibir Aviola semakin bergetar. Takut Ayana memukulnya.
"Lihat tangan kamu. Berdarah gini kan? Gimana kalau kucing Badak juga berdarah, Aviola?" tangan Ayana mengolesi krim antibiotik ke jari Aviola yang tersayat pisau tadi dengan melontarkan nada tegas pada Aviola. Namun, Aviola menganggap nada tegas itu adalah bentakan. Aviola meritih kesakitan dalam tangisnya, pun juga takut jika Ayana semakin memarahinya.
"Kamu bisa nggak sih nurut dikit sama Mama? Jangan main sembarangan yang nggak Mama izinin,"
Tanpa Ayana sadari lontaran-lontaran tegas yang keluar dari mulutnya membuat Aviola semakin mendesis takut, dibalik tangisan kencangnya. Nada-nada isakan pun tak kalah beriringan yang keluar dari mulutnya, "Mama kok malah-malah telus sama Apiola?"
"Karena Aviola nggak minta izin mau ambil barang Papa. Barang Papa itu untuk orang dewasa. Aviola belum boleh main-main sama barang orang dewasa. Aviola itu masih kecil. Kucing Badak itu hampir celaka. Mau Kucing Badak berdarah? Kamu kenapa nggak pernah mau dengerin omongan Mama?"
Jefri yang baru saja selesai keluar dari kamar mandi tertegun saat melihat Ayana memarahi Aviola sampai Aviola sedikit ketakutan dalam gendongannya. Bagaimana tidak? Kali pertamanya ia melihat Ayana semarah itu pada Aviola, "Kamu harusnya minta izin—"
"Ayana!" panggilan Jefri sukses membuat Ayana menghentikan ucapannya. Mata suaminya itu mengisyaratkannya untuk menghentikan kalimat-kalimat yang terlontar dari bibir istrinya lagi.
Aviola menggerak-gerakan tubuhnya untuk lepas dari gendongan Ayana. Dan cepat-cepat berlari ke arah Jefri dengan nada suara serak, yang sedari tadi tersengal-sengal beriringan dengan pecahan tangis kecilnya, "Papaaaa .... Mama malah-malah telus. Apiola takut,"
Pandangan Jefri terkunci pada istrinya. Pun juga Ayana yang spontan menghentikan teguran-tegurannya pada Aviola. Seakan-akan ia baru menyadari apa yang ia lakukan pada Aviola saat Aviola lepas begitu saja dalam gendongannya.
Tangan mungil gadis kecil itu melingkar di paha Sang Papa, membuat Jefri sedikit berjongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan anak gadisnya itu, "Udah. Nggak usah nangis lagi," ujarnya menenangkan Aviola sembari tangannya mengusap-usap sisa buliran bening yang ada di pipi gadis kecil itu.
"Udah gede kok nangis, anak Papa! Hm?" ujar Jefri lagi seraya mengacak-acak ujung kepala Aviola, sesekali mendaratkan bibirnya ke pipi lembut gadis kecilnya.
Bibir gadis kecil itu masih bergetar, tangan mungilnya melingkar erat di leher Jefri, "Mama malah-malah, Pa!" serunya dengan tangis yang kian pecah lagi. Membuat Ayana yang melihatnya ikut merasa bersalah.
Sungguh, ini kali pertamanya Ayana reflek memarahi Aviola seperti tadi. Bukan maksud apa-apa. Ayana benar-benar tak sadar jika yang melontarkan kalimat-kalimat yang menyakiti Aviola tadi.
Sorot mata Jefri menatap Ayana yang masih berdiri mematung di hadapannya. Ia tahu jika istrinya itu tak sadar telah mengingkari janjinya, sebab dua pasangan ini memang pernah berjanji untuk tak menghakimi keras anak ketika anaknya salah. Dan saat ini terjadi pada Ayana. Ia hilang kendali sampai membuat anaknya takut.
"Mau ikut jalan-jalan sama Papa nggak?" tawaran dari bibir Jefri membuat Aviola yang menyandarkan kepalanya di lehernya, ikut menggeleng pelan, "Apiola takut sama Mama," ucapnya lagi.
Jefri mengeratkan pelukannya, membiarkan gadis kecilnya itu merasa tenang terlebih dahulu, "Mama nggak marah, Kenapa Aviola takut?"
Perlahan tangan Jefri menguraikan pelukannya menatap gadis kecilnya itu dengan ukiran senyum merekah yang terpancar dari bibirnya. Sesekali bibirnya pun ikut mendarat, menyapu pipi Aviola, "Mau ikut Papa nggak?"
Mata mungil dari gadis kecil itu terpancar menatap Jefri yang tengah menahan senyumnya. Dalam benak gadis itu Sang Papa ingin mengajaknya jalan-jalan, "Beli mainan?" tanyanya pada Jefri.
"Beli makanan aja. Aviola kan udah punya banyak mainan di rumah," sahut Jefri.
Aviola menggeleng-gelengkan kepalanya. Bibirnya tipisnya mengerucut panjang, dan mata sembabnya menatap Jefri penuh harap, "Tapi Apiola mau beli mainan balu,"
Jefri yang tak tega melihat putri kecilnya itu menatapnya, lantas mengacak-acak pucuk kepala gadis itu gemas. Helaan napas berhembus keluar dari bibir Jefri. Permintaan anaknya itu tak bisa ditolak. Sekali pun ditolak, anak gadisnya itu akan merengek terus-menerus, "Ya udah, terserah Aviola." jawabnya mengalah.
"Ayo sekalang belangkat!" cicitan kecil itu keluar dari bibir Aviola dengan tangan yang mulai menghapus sisa tetesan buliran bening yang merambat di pipinya.
Jefri mengerutkan dahinya menatap Aviola yang memaksanya ingin berangkat sekarang. Sedangkan ia? Mandi saja belum. Netranya kemudian beralih menatap Ayana yang masih betah berdiri mematung di hadapannya dengan tatapan bersalah. Dengan sorot mata samar yang tertutup sedikit cairan bening, "Tanya Mama kamu," ucap Jefri pada Aviola.
Aviola kian menggeleng cepat. Tangan mungilnya kembali melingkar di leher Jefri, "Nggak mau,"
Jefri menghela napas panjangnya lagi saat Aviola masih tak mau menatap Ayana. Mau tidak mau ia yang harus menggerakkan hati Aviola, dan membujuknya kembali. Ia lantas menggendong Aviola dan mulai beranjak dari duduknya, "Aviola,"
"Mama itu nggak pernah marah sama kamu. Tadi Mama cuma takut dan panik, tangan kamu makin berdarah. Kalau nggak ada Mama yang ngobatin, tangan Aviola makin parah kan?" bujuk Jefri pada Aviola yang masih bergelayutan manja dalam gendongannya.
Tangan Jefri menarik jari jemari Ayana dan mengisyaratkannya untuk mendekat. Dengusan napas pelan keluar dari bibir Ayana. Ia berjalan mendekat, ke arah Jefri. Ada titik rasa bersalah dalam batinnya saat melihat putri kecilnya itu menolak untuk ia gendong. Sebegitu besarkah pengaruhnya yang dirasakan Aviola?
"Maafin Mama, ya? Tadi Mama udah bentak kamu. Mama bukan marah sama Aviola. Mama cuma khawatir sama Aviola. Mama nggak mau Aviola kena pisaunya. Mama juga nggak mau Kucing Badak berdarah kayak tangan Aviola tadi. Mama sayang Aviola,"
Mendengar jawaban dari Ayana, bibir Aviola masih betah mengerucut sedari tadi. Sorot mata yang terpancar sebenarnya terlihat ingin sekali ada dalam gendongan Ayana. Semarah apapun ia, ia tak bisa jauh dari Sang Mama juga. Namun, gadis kecil itu sama seperti Sang Papa, mempunyai gengsi yang terlalu tinggi tak berani memeluk Mamanya terlebih dahulu, "Tapi Mama malah-malah telus. Apiola takut sama Mama,"
Sampai mata Jefri sendiri yang mengisyaratkan Ayana untuk menggendong gadis kecilnya itu. Dan Ayana spontan langsung menerima tubuh Aviola untuk ia dekap, "Mama minta maaf. Aviola janji ya jangan buat Mama khawatir lagi kayak tadi. Aviola ataupun Kakak Aidan harus izin Mama atau Papa dulu kalau mau pinjam barang-barang Papa. Kamu masih kecil. Terlalu bahaya menggunakan barang-orang orang dewasa,"
"Mama jangan malah sama Apiola," cicitnya lagi.
Ayana menggeleng pelan. Bibirnya menyapu pipi gadis kecilnya yang ada dalam gendongannya, "Enggak. Mama nggak marah sama Aviola. Mama cuma khawatir tadi," serunya lembut.
"Jadi jalan-jalan nggak?" ucapan Jefri membuat kepala Aviola spontan mendongak, menatapnya penuh semangat, "Jadi Pa," jawabnya.
Ternyata sedari tadi Aidan berdiri memperhatikan kedua orang tuanya beserta adiknya itu dari kejauhan. Dari bilik pintu ruang keluarga, Aidan tak berani mendekat. Ia masih mematung disana. Takut dimarahi juga.
"Kakak Aidan diajak nggak?" pertanyaan dari Ayana membuat Aidan spontan terbirit-birit menghampiri Sang Mama. Tidak peduli ketakutannya tadi, yang penting ia ikut jalan-jalan, "Aidan ikuuuutt!"
Jari jemari Aidan menarik ujung baju Jefri dan sesekali menarik-narik ujung kimono mandi Ayana dengan tatapan penuh harap juga. Tak mau kalah dengan Adiknya, "Aidan ikut! Aidan mau ikut,"
"Apiola mau beli mainan banyak, Pa!"
"Aidan belum punya Tobot velsi telbalu,"
"Apilla juga mau beli belbie Alexa Liana,"
Sorot mata Ayana dan Jefri saling beradu pandang, menatap kedua anaknya yang tak sabar jika diberi janji untuk liburan bersama, "Nggak jadi berangkat. Mama kalian belum ganti baju," ujar Jefri sebagai alasan agar kedua anaknya itu mau sedikit sabar.
"Papa kalian juga belum mandi," tandas Ayana menimpali.
Ayana menurunkan Aviola dalam gendongannya dan mendudukkannya di salah satu sofa kecil, "Apiola mau jalan-jalan, Ma!" serunya dengan bibir mengerucut saat Sang Mama masih tak mau mengajaknya berangkat cepat.
"Aidan mau beli mainan," timpal Aidan kemudian.
Ayana mengangguk, menyetujui permintaan kedua anak mungilnya itu. Sorot matanya kemudian menelisik beberapa sudut ruangan, dan menemukan Badak tengah tertidur melingkarkan tubuhnya di sudut lemari. Ia menerka-nerka, pasti saat ini Badak mengalami stress yang berlebih. Bulu-bulu halusnya hilang. Meskipun hanya sedikit, namun tetap saja. Kucing tidak bisa sembarangan dipotong bulunya. Mau tidak mau ia juga harus membawa Kucing Badak ke dokter hewan langganannya karena insiden tadi, "Kalian tunggu sini. Mama sama papa ke kamar dulu siap-siap," perintahnya yang disetujui langsung kedua anaknya.
Ayana menarik tangan Jefri untuk ikut menaiki tangga menuju kamarnya. Jari jemarinya bertaut saling melekat. Sampai di ambang pintu kamarnya, Ayana cepat-cepat masuk dan menutup pintunya. Tangannya berpindah melingkar di pinggang suaminya itu. Menempelkan kepalanya di dada bidangnya, "Maaf, tadi aku nggak sengaja bentak Aviola,"
Jari jemari Jefri menepuk-nepuk punggung Ayana. Tangannya membalas pelukan istrinya itu, dan mendekapnua erat. Sesekali membelai rambut istrinya pelan, "Kendalikan emosimu kalau marah kayak tadi. Aviola sampai takut gara-gara kamu terlalu tinggi nadanya," paparnya lembut.
"Aku nggak sadar marahin Aviola. Aku .... Aku nggak tau kalau Aviola bakalan takut kayak tadi. Aku cuma takut mereka kenapa-napa. Badak ataupun Aviola, Mas!" sesalnya. Ayana tau ia dan Jefri pernah mengukir janji saat Ayana hamil, mereka tak akan menghakimi anak terlalu keras sampai membentak, meskipun anaknya bersalah. Dan saat ini terjadi pada Ayana, ia lepas kendali. Ia tak sadar jika nada bicaranya terlalu tinggi, sampai Aviola takut.
"Lain kali saya ataupun kamu harus sebisa mungkin kontrol emosi kalau marah di depan anak-anak. Terkadang anak-anak seusia Aviola belum mengerti maksud orang dewasa. Yang ia tahu, ketika lawan bicaranya dengan nada tegas pada mereka. Mereka menganggap kita membentaknya ke mereka. Saya nggak mau Aviola salah pengertian. Jadi tolong, kita sama-sama saling belajar mengontrol emosi di depan anak-anak," Jefri memaparkan kalimat yang membuat Ayana mengangguk mengerti.
"Tolong ingatkan saya juga kalau saya ada di posisi kamu tadi. Saya paham, kamu nggak bermaksud bentak Aviola. Tapi nggak papa, semoga ke depannya nggak ada kejadian-kejadian yang buat Aidan atau Aviola merasa kita gagal sebagai orang tua." lanjutnya lagi.
Ayana mengangguk lagi. Tangannya kian mengerat di pinggang suaminya. Ia sengaja semakin dalam menenggelamkan kepalanya di dada bidang milik Jefri, dan berusaha menenangkan rasa bersalahnya, "Aku minta maaf,"
Jefri mengangguk pelan saat cicitan maaf dari bibir istrinya itu terucap kembali. Dekapannya perlahan terurai. Matanya menangkap gurat polos wajah istrinya, "Hm. Kamu ganti baju dulu!" perintahnya saat netranya beralih menatap kimono mandi yang sedari tadi Ayana pakai.
Jefri berniat ingin beranjak, namun tangannya ditahan oleh Ayana, "Mau kemana?"
"Ke kamar mandi. Belum mandi dari tadi. Cepet ganti baju kamu! Dandanmu lama. Anak-anak ngomel kalo nunggunya lama. Punya istri kalau dandan lama banget. Nggak sadar kalau ada suaminya yang tampan kelamaan nunggu?" cibirnya pada Ayana.
"Dari pada kamu, mandinya lama banget. Ngapain aja sih? Jualan jamu di kamar mandi?" tukasnya balik pada Jefri yang baru saja mencibirnya lama dalam berdandan. Padahal kalau istri cantik, buat siapa kalau bukan buat dia?
Cibiran dari bibir Ayana sontak membuat Jefri terkekeh geli. Ayana memang tidak pernah berubah. Satu cibiran keluar dari mulut suaminya, ia akan melontarkan seribu cibiran untuk membalasnya, "Nanti malam begadang lagi?" tanyanya pada Ayana. Oh, bukan pertanyaan sebenarnya. Namun sebuah kode dari bibir Jefri.
"Iya. Nonton drakor. Nggak ada begadang-begadang yang lain selain nonton drakor," sahutnya cepat, yang sebenarnya kode itu sudah Ayana ketahui maksudnya. Namun, ia pura-pura tidak tau saja.
Jefri mendengus. Bibirnya mengulas senyum miring. Dengusan dan desisan dari bibirnya saling bersahutan, "Emang siapa yang mau minta 'begadang yang lain'?" sindirnya.
Kerutan di dahi Ayana semakin jelas saat menatap suaminya itu bersikap gengsi seperti biasanya, "Yakin? Emang kuat puasa sebulan?" tantangnya pada suaminya sembari menahan senyum, "Sok-sokan gengsi,"
Bola mata Jefri hampir keluar saat pendengarannya baru saja menangkap tantangan yang baru saja keluar dari bibir Ayana, "Ya jangan sebulan dong! Durhaka kamu sama suami sendiri,"
"Katanya tadi nggak min—" kalimat Ayana yang belum selesai ia ucapkan terpotong cepat saat bibir Jefri mendarat di bibir ranum miliknya. Kecupan sececah itu memberi signal pada Ayana bahwa sampai kapanpun ia akan menggenggam istrinya dan kedua anaknya. Dan tak akan membiarkan Ayana berlama-lama berdiri di tepian hatinya. Ayana berhak masuk dan menghuni seluruh ruang yang ada dalam hatinya. Sudah tidak ada orang lain lagi dalam ruang kosong itu. Tidak tahu kedepannya seperti apa, yang jelas saat ini hanya ada anaknya dan Ayana. Sapuan lembut bibirnya itu kian bertautan satu sama lain. Mata Ayana sengaja terpejam. Membiarkan suaminya semakin lama memberi kehangatan disana.
Cklekk!!!
Pintu kamar terbuka. Tampak dua anak mungil berdiri diambang sana. Memperhatikan dua orang yang sangat mereka kenal berdiri dengan bibir yang saling bertautan, "Papa!" panggilnya kecil.
Jefri yang mendengar panggilan familiar itu spontan menghentikan aktivitasnya. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal bak seseorang yang baru saja ketahuan mencuri, "Ka-kalian ngapain ikut nyusul kesini?"
"Papa sama Mama kok belum ganti baju? Tokonya mau tutup. Aidan udah pegel-pegel nunggu Papa sama Mama," tanya Aidan polos.
"Papa kok cium-cium Mama. Tapi Apiola nggak dicium?" giliran Aviola yang melontarkan pertanyaannya. Membuat Ayana dan Jefri saling bertatapan satu sama lain.
Bersambung....
Ini sebenarnya part yang harus aku update beberapa hari yang lalu. Tapi baru sempat update. Maaf ya nunggu lama. Semoga kedepannya bisa seminggu dua kali. Maaf banget baru bisa update karena ada beberapa kesibukan yang belum aku selesaikan.
Selamat menikmati sampai ending.
See you.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top