BAGIAN 10 - BUCIN DETECTED

💚 Warning permirsah! Ini bukan scene iya iya aneh-aneh ya? Wkwk Tapi bagi yang jomblo dan belum menikah, mohon jangan iri wkwk tolong jangan salah paham juga wkwk kasih tau yang typo seperti biasa.

💙💙💙

Ayana menggeliat kecil. Ia sedikit menggeser tubuhnya ke samping agar bisa lebih leluasa bergerak di atas ranjang. Namun, lagi-lagi lengan kekar milik pria berusia tiga puluh tahunan itu mengunci tubuhnya. Siapa lagi kalau bukan suaminya?

Jefri sengaja mengunci tubuh Ayana dengan lengannya dan seolah-olah tak membiarkan istrinya bergerak kemana pun. Ia memposisikan tubuhnya miring ke arah istrinya dengan lengan kuat yang bertengger di atas perut istrinya. Jarak antar keduanya sedari tadi dikikis oleh Jefri.

"Ayo bangun!" seru Ayana berusaha lepas dari kungkungan lengan Jefri. Namun, suaminya itu tak kunjung membiarkan Ayana bergerak bebas dan malah menarik selimut putih tebal sampai ke leher. Menutup hampir seluruh bagian tubuh keduanya. Membuat Ayana mendengus kesal karena ulah suaminya itu.

Sebenarnya tadi pagi mereka sudah bangun seperti biasa. Namun menginjak pukul sembilan, Jefri memutuskan untuk kembali ke tempat tidur. Hanya sekedar ingin bermalas-malasan karena hari libur, "Bentar lagi. Nanggung," jawabnya dengan nada serak dan netra yang masih setengah terpejam.

Ayana berusaha menyingkirkan lengan Jefri yang masih bertengger di perutnya, erat. Namun, Jefri malah membalikkan tubuh Ayana untuk menghadapnya. Dan meletakkan lagi lengannya di pinggang milik istrinya. Memang Bapak dua anak ini tidak tau diri. Harusnya sedari tadi Ayana tak menuruti Jefri untuk ikutan bermalas-malasan sampai ketiduran seperti ini, "Kita udah dua jam males-malesan kayak gini. Aku mau ke dapur, manasin sayurnya Aidan,"

Tak ada sahutan dari Jefri saat Ayana menggerutu. Hanya seulas ukiran senyum simpul yang tercetak dari bibir suaminya. Tanpa melontarkan kata-kata apapun. Sampai-sampai Ayana dibuat geram sendiri dengan kelakuan manja suaminya, "Mas?" serunya lagi.

Jefri perlahan membuka matanya. Sedikit. Karena jujur ia masih malas untuk bangun dari ranjang. Waktu libur seperti ini memang jarang ia lakukan. Jadi ia harus memanfaatkan kesempatan ini.

Mata Jefri sedikit memicing, menangkap wajah Ayana yang kini menghadapnya. Hidung bangirnya ia gesekkan sejajar dengan hidung istrinya. Sebelum bibirnya mendarat di salah satu pipi sang istri, "Hm?" gumamnya serak.

"Malu dilihat tetangga," cicit Ayana dengan tangan sedikit menyentil dahi Jefri.

Reflek Jefri terkekeh. Kalimat yang baru saja terucap dari bibir istrinya itu sontak membuatnya terkekeh geli, "Ngapain tetangga lihat kita? Nggak ada kerjaan," sahutnya diiringi dengan kekehan pelan, tak lupa lengannya yang kian erat mendekap istrinya.

"Aku nggak bisa napas," protes Ayana saat ia tak bisa lepas dari dekapan suaminya.

Jefri sedikit memudarkan dekapannya, agar istrinya itu bisa bernapas. Bibirnya sedari tadi tak bisa menahan senyum. Memang, hari libur ini bak surga bagi Jefri. Ia bisa sedikit melepas penat dari semua masalah pekerjaan yang menyita waktunya setiap hari. Hari libur ini adalah secarik bonus pagi, ia bisa bermanja-manjaan di atas tempat tidur dan melihat paras cantik istrinya, "Mumpung libur,"

"Biasanya kamu jam segini udah berangkat nge-gym, udah lari pagi, udah-" kalimat Ayana yang belum selesai ia ucapkan dipotong Jefri dengan kecupan singkat di pipinya yang membuat ia menghentikan kalimatnya, "Hari ini skip,"

Ayana beranjak dari tidurnya saat tangan Jefri sudah terlepas dari pinggangnya. Ia lantas duduk bersandar di kepala ranjang diikuti Jefri yang juga ikut bersandar di kepala ranjang, "Aidan sama Aviola kemana? Habis sarapan main pergi aja." tanyanya menoleh ke arah Ayana.

"Mereka ikut Mbak Kinan sama Pak Aryo,"

"Kemana?"

"Beli tanaman baru buat ditaruh di taman kecil belakang rumah."

Jefri hanya mengangguk, mengisyaratkan ia mengerti akan jawaban dari istrinya. Hembusan napas keluar dari bibirnya saat pikirannya mulai berkecamuk lagi,
"Khawatir sama mereka,"

"Khawatir kenapa?"

"Khawatir mereka aneh-aneh lagi. Kasian Pak Aryo kalo mereka aneh-aneh. Takut disana ngerusak tanaman yang dijual sama penjualnya," pikiran-pikiran buruk itu tiba-tiba terlintas di otak Jefri. Tau sendiri bagaimana kelakuan kedua anak kembarnya itu. Hampir setiap saat perilakunya tak bisa dikendalikan dengan nalar. Ada aja yang dilakukan.

Berkali-kali Ayana memperingati anaknya untuk menurut dan melakukan hal-hal wajar bak anak-anak pada umumnya. Namun, tetap sama. Keingintahuan kedua anaknya itu sangat aktif. Besoknya Aidan ataupun Aviola akan melakukan hal-hal aneh yang membuatnya geleng-geleng kepala. Kalau seperti ini bisa saja membahayakan kedua anaknya itu. Dan Ayana akan lebih khawatir, "Aku tadi udah bilang sama Mbak Kinan, titip pesan juga ke Pak Aryo buat jaga mereka biar nggak aneh-aneh kalo ikut kesana,"

"Kamu dulu ngidam apa sih? Aidan sama Aviola kelakuannya random gitu?"

Tangan Ayana spontan memukul pelan lengan Jefri, "Gimana kelakuannya nggak aneh-aneh. Bapaknya aja juga gitu,"

"Kayaknya gen kamu masuk semua ke mereka. Makanya mereka susah diatur," cibir Jefri lagi yang membuat Ayana melengos tak menatap suaminya itu yang tengah tersenyum miring. Menyebalkan memang, padahal dirinya juga ikut berkontribusi mencampuradukkan gen untuk menerbitkan dua anak mungil itu. Kenapa malah mencibir gen menyebalkan dari istrinya saja?

"Halah, susah diatur juga kamu tetep bucin sama Ibunya," tukas Ayana yang membuat Jefri menahan senyum simpulnya, dan tak bisa membalas uraian kalimat yang terlontar dari bibir Ayana. Ya memang benar, pria itu sangat amat terpesona dengan istrinya sendiri. Hampir setiap hari. Kalau ditanya sejak kapan? Jawabannya sejak ia menyadari jika ia benar-benar mencintai istrinya. Bukan mencintai orang lain lagi. Tapi, kita lihat saja nanti. Seberapa jauh ia bisa menggenggam cinta yang terpatri dalam dirinya itu.

"Kamu udah mandi?" tanya Jefri mengalihkan pembicaraannya.

"Belum,"

"Jorok,"

Netra Jefri menoleh ke arah istrinya, menangkap tubuh istrinya yang masih terbalut daster satin merah jambu dengan aksen renda yang menaung di bawah lehernya. Lengan dan pundak istrinya pun terbuka bebas karena model dasternya memang bak lingerie, namun agak sopan sedikit jika dipandang oleh mata Jefri. Untungnya di rumahnya, tak ada laki-laki lain yang bisa memandang bebas paras cantik istrinya. Pak Aryo, ia jarang masuk ke rumah Jefri jika tak ada kepentingan. Pak Aryo lebih memilih tinggal di Paviliun kecil belakang rumah Jefri sembari sesekali merawat beberapa tanaman di pekarangan belakang rumah.

"Cepet mandi dulu. Ganti baju terus dandan!" perintah Jefri.

Ayana sedikit membenarkan rambutnya. Menyelipkan beberapa anak rambut ke belakang telinganya yang membuat Jefri ikut menahan senyumnya lagi. Ah jika dihitung, sudah berkali-kali ia menahan senyumnya saat matanya menyorot ke arah paras istrinya. Ayana pun sudah sangat terbiasa, memakai daster seperti ini di hadapan Jefri. Tanpa disuruh Jefri sekalipun, ia lebih suka memakai daster satin dibanding piyama tidurnya dulu, "Mau ngapain sih nyuruh dandan segala? Ngajak kondangan?"

"Kencan," sahut Jefri cepat, membuat bibir Ayana ingin mencebik mulut suaminya.

"Kayak anak ABG baru pacaran aja ngajak-ngajak kencan," cibir Ayana dengan senyum miring yang merekah di bibirnya.

Bibir Jefri tersungging membentuk simetris panjang. Netra hitamnya menatap bibir istrinya yang baru saja mencibirnya, "Nggak ada undang-undang yang ngatur kalo kencan harus diusia muda kan?"

"Mau keluar kemana?" tanya Ayana yang seolah-olah malas jika ia mengganti bajunya.

"Ganti baju kamu dulu. Terus dandan. Percuma saya belikan skincare mahal, nggak pernah kamu pakai." lagi-lagi bibir Jefri melontarkan satu persatu nada protes.

Ayana menghela napas saat mendengar protesan dari suaminya itu. Ia perlahan menguncir kuda rambut panjangnya yang tadinya tergerai menjadi sedikit rapi, menyisakan poni miring yang menaungi dahinya, "Bukan nggak pernah dipakai. Emang banyak nggak sempetnya aja. Lagian nggak pakai skincare juga kan istri kamu udah cantik dari lahir. Wajah aku masih kayak anak kuliahan juga. Meskipun udah punya anak dua juga kayaknya masih banyak yang naksir," paparnya percaya diri.

Jefri semakin memiringkan senyumannya mendengar pengakuan dari istrinya yang sangat percaya diri. Fakta macam apa itu? Tidak akan Jefri biarkan sedetik pun ucapan itu terjadi pada istrinya, "Emang ada yang berani naksir?"

"Ad-"

"Kalo emang ada. Cari mati dia," ucapan ini bak peringatan tajam dari mulut Jefri. Ayana yang belum selesai mengatakan kalimatnya saja dipotong cepat olehnya. Apalagi orang lain? Ah, Bapak dua anak ini sedang terobsesi pada istrinya? Atau memang sedang melindungi istrinya dari laki-laki lain?

"Cuma ada Jefri," ucapnya sembari mengetuk-ketuk dada Ayana.

"Lebay. Udah tua. Nggak usah gombal-gombalan," tandas Ayana cepat saat suaminya itu mulai bersikap berlebihan dan seakan-akan lupa jika umurnya sudah tidak pantas mengatakan gombalan-gombalan khas anak muda.

Jefri terkekeh. Jari jemarinya menjelajah tempat favorite-nya sedari dulu. Iya, hidung bangir Ayana. Ia menariknya bebas, gemas akan hidung istrinya itu, "Cepet ganti baju kamu!" perintahnya.

Bibir Ayana tak henti-hentinya berdecak sebal sembari tangannya menyingkirkan jari suaminya yang masih bertengger di hidungnya, "Kalo kita keluar. Anak-anak gimana?"

"Ya nanti diajak sekalian," jawab Jefri yang mulai beranjak dari ranjangnya. Pun Ayana juga ikut beranjak dan melangkahkan kakinya ke kamar mandi.

Jefri menatap pantulan wajahnya yang terpatri dalam pantulan cermin rias milik Ayana. Ia sedikit memperhatikan wajahnya, dan mengusap-usap pelan area dagu. Tempat tumbuh kembang cambangnya. Ada sekumpulan cambang yang sudah tumbuh dan bernaung di area dagu milik Jefri. Dan Jefri berniat untuk sedikit merapikannya. Agar lebih tampan.

Jari jemarinya perlahan mulai meraba meja rias Ayana untuk mengambil alat cukur elektrik yang biasanya ia pakai untuk merapikan cambangnya. Dahinya berkerut saat tangannya hanya menemukan alat cukur yang manual saja. Dan belum menemukan alat cukur yang ia maksud.

"Ayana. Kamu lihat alat cukur elektrik milik saya di meja rias kamu nggak?" panggilnya pada istrinya yang masih ada di kamar mandi.

Tak ada sahutan. Ayana kalau di kamar mandi kan memang seperti orang kesetanan yang sedang konser. Mau dipanggil dengan cara apapun tak akan bisa mendengarnya.

"AYANA," teriaknya sedikit kencang saat Ayana tak kunjung menyahut panggilannya.

"AYANA!"

"BUDEG BANGET JADI ISTRI!"

"AYANA!"

Selang beberapa menit usai Jefri memanggil istrinya dengan susah payah karena kepanikannya mencari alat cukur. Ayana keluar dari kamar mandi mengenakan kimono mandinya dengan rambut yang masih basah tertutupi oleh handuknya, "Apa sih? Teriak-teriak. Tadi suruh cepet-cepet mandi. Sekarang teriak-teriak," gerutunya sebal.

"Kamu lihat alat cukur saya disini?" tanya Jefri seraya menunjuk meja rias milik Ayana.

"Emang kamu taruh mana?"

Tangan Jefri masih menunjuk meja rias milik Ayana. Tempat ia menyimpan alat cukur dan parfum miliknya, "Disini. Yang elektrik yang nggak ada. Yang manual ada,"

"Ya udah sementara pakek yang manual aja. Siapa tau kamu lupa naruh. Nanti juga ketemu," jawab Ayana sembari mulai mengeringkan rambutnya yang masih terlihat basah dengan hair dryer miliknya.

"Masalahnya yang manual pisaunya udah agak tumpul," sahut Jefri ikut sebal karena tak kunjung menemukan pisau cukur elektrik miliknya.

Ayana menghentikan aktivitasnya yang tengah mengeringkan rambut basahnya. Matanya memperhatikan suaminya yang masih terus-menerus mengobrak-abrik meja rias, hanya untuk mencari pisau cukurnya, "Ya terus gimana? Biarin aja gitu,"

"Masih tetep ganteng," lanjutnya. Lagi pula, mau Jefri brewok ataupun tidak wajah tampannya tetap terpancar. Jangan khawatir! Orang ganteng mau diapa-apakan juga tetap ganteng.

Helaan napas juga keluar dari bibir Ayana usai mengeringkan rambutnya. Suaminya itu sedari tadi tak kunjung ke kamar mandi. Hanya karena mencari pisau cukur yang hilang, "Jadi berangkat apa nggak? Kalo jadi aku juga sekalian siap-siap."

"Jadi, tapi nunggu alat cukurnya ketemu." jawab Jefri yang masih berkutat mencari pisau cukur elektriknya. Kebiasaan Jefri. Lupa jika menaruh barang. Sekalinya hilang, panik sendiri.

"Emang kamu taruh mana sih kemarin?"

"Taruh di meja rias kamu. Nggak pernah mindahin kemana-mana,"

"Kalo ditaruh disitu, harusnya ada. Aku tadi habis dari kamar mandi, juga nggak ada apa-apa di wastafel,"

"Coba minta tolong cariin di laci nakas," perintah Jefri pada Ayana. Istrinya itu menurut. Perlahan tangan Ayana membuka beberapa laci nakas yang ada di pinggir ranjang. Namun, sama sekali tak ia temukan barang milik suaminya itu.

"Nggak ada, Mas!" adunya saat netranya tak menemukan pisau cukur milik suaminya.

"Ya udah lah, sementara gitu aja dulu. Nanti keluar sekalian beli alat cukurnya," ucap Ayana pada Jefri yang masih sibuk berkutat mencari barangnya yang hilang.

"Mamaaa," teriak Aidan yang berlari ke arah Ayana usai membuka pintu kamar milik orang tuanya. Untung tidak dikunci. Jadi Aidan bisa bebas membukanya.

Ayana mengusap-usap pelan pucuk kepala milik anak laki-lakinya itu dan menciumnya pelan. Sedangkan Jefri masih sibuk mencari barangnya yang hilang, "Kamu udah pulang?" tanya Ayana.

"Udah."

"Aviola mana?"

"Di luang tamu,"

Jefri berjalan menghampiri Aidan yang duduk di tepi ranjang bersama Ayana, "Dan, kamu tau alat cukur Papa? Yang elektrik. Yang biasanya Papa pakai. Warna hitam," tanyanya pada Aidan.

"Oh, yang walna hitam? Tau." jawab Aidan enteng yang membuat Ayana dan Jefri mengerutkan dahinya secara bersamaan, menunggu kalimat Aidan yang akan terucap kemudian.

"Dimana?" sahut Jefri cepat.

"Tadi Aidan lihat Apiola bawa alat cukul Papa. Telus Aidan lihat Apiola gendong Kucing Badak. Apiola masih di luang tamu. Katanya sepulang pelgi beli bunga, mau lanjutin main salon-salonan sama kuc-" belum sempat Aidan meneruskan kalimatnya, spontan dipotong oleh teriakan Jefri dan Ayana yang membuat Aidan ikut terperanjat kaget karena suara orang tuanya.

"AVIOLA!" Jefri menarik tangan Ayana untuk beranjak dari duduknya. Menyusul Aviola yang tengah bermain di ruang tamu dan meninggalkan Aidan di kamar. Degup jantung keduanya terpacu cepat dan jantungnya nyaris keluar dari tubuhnya. Bagaimana tidak? Anak seusia Aviola tak boleh bermain dengan benda tajam. Namun, anaknya itu tetap saja mengambil barang orang tuanya untuk sekedar dibuat mainan. Padahal Ayana berkali-kali memperingatinya.

Bagaimana nasib bulu kucing Badak? Apakah akan bernasib botak seperti Aidan? Ayana tak bisa membayangkan kucing kesayangannya itu kehilangan bulu lembutnya, dilahap pisau cukur karena ulah Aviola.

To Be Continue...

Akhirnya aku update ueueueue. Jangan mikir aneh-aneh ya wkwk itu bukan scene iya-iya. Juga bukan scene habis iya-iya wkwk. Resiko buat genre marriage life ya pasti ada jokes suami istri. Yang belum menikah, harap ambil baiknya buang buruknya. Mari membaca dan memaknai parenting disini wkwk aslinya juga aku sekalian belajar nulis ini wkwk. Baca santuy aja, jangan terburu-buru. Konfliknya baru akan muncul di part 10-an.

Lembut banget awalnya. Santuy. Tapi jangan kaget kalo tbtb aku puter stang menuju ending nyelipin konflik menguras jiwa wkwk canda wkwk. Pokoknya baca santuy aja wkwk

Oiya guys, terlepas dari banyaknya isu plagiarism. Aku mau minta tolong bolehkan? Untuk para pembaca Keluarga Badak, tolong kasih tau aku jika kalian menemukan cerita di lapak iim khoiria yang diplagiat orang lain. Kalo misalkan ada atau kalian menemukan, harap jangan sungkan DM aku ya? Aku akan senantiasa membuka DM 24 jam untuk ini. Karena kasusnya udah banyak banget. Dan tindakan plagiarism itu bener-bener merugikan banyak pihak salah satunya author.

Terima kasih semua. See you next chapter.

Bonus potonya dua tuyul kita

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top