BAGIAN 1 - DUPLIKAT AYANA

Memberi sebuah kesempatan ketika seseorang telah mengecewakan adalah hal tersulit. Ada rasa keraguan beberapa kali meskipun kata maaf telah terucap di bibir sang empu. Berdamai dengan takdir pun hanya menutupi luka. Bukan menyembuhkan seutuhnya.

Kelahiran dua anak mungil dari rahimnya tiga tahun yang lalu adalah bukti bahwa ia tengah berjuang berdamai dengan takdir. Takdir yang dulu membuatnya tak bisa menoreh kebahagiaan semasa ia muda. Ia hanya tidak ingin kebahagiaan yang ia genggam saat ini pergi lagi. Pergi dengan kekecewaan yang membekas.

Seperti beberapa tahun lalu, ketika ia bertengkar hebat dengan seorang laki-laki yang ia sebut suami, dalam ikatan pernikahan perjodohan dan permintaan mendiang sang Mama. Tampak egois bukan? Dalam pernikahannya ia ternyata telah menyimpan perasaan terhadap suaminya. Namun, dengan egoisnya, seseorang yang ia cintai malah masih mencintai masa lalunya. Dan suaminya bahkan tak bisa menyadari akan perasaanya sendiri.

Kenangan buruk itu, traumanya, dan pengalaman pahit bersama Sang Papa. Saat ini tidak ingin ia bahas lagi. Ia hanya ingin berdamai dengan takdir. Dan mencintai kebahagiaannya. Ia ingin menepis pikiran-pikiran buruk itu. Dan berharap tak datang lagi.

Hampir menginjak tahun ke lima pernikahan. Baik-baik saja bukan? Jefri yang lebih mencintainya dan telah menghapus rasa bersalahnya dengan selalu memberikan perlakuan-perlakuan lembut padanya. Jefri yang tak pernah melarang apa yang ia suka selagi ia masih punya batasan dalam hobinya. Dan dua anak kecil yang selalu membuatnya tersenyum dengan kelakuan yang mirip sekali dengan Sang Papa.

"Dan, airnya jangan sampai kena celana kamu," Jefri lagi-lagi memperingati anak laki-lakinya itu untuk tidak bermain-main dengan air.

Tangannya masih fokus membilas tubuh bagian bawah anaknya usai mengompol. Anak seusia itu, memang sangat aktif dan tidak mau diam. Sampai-sampai tangan Jefri ikut kewalahan membersihkannya.

"Patat Aidan belum belsih, Pa!" teriaknya seraya berusaha meraih gagang shower yang ada di tangan Jefri dan menggoyang-goyangkan pantat miliknya.

Jefri menghela napas panjang. Kalau berhubungan dengan anak laki-lakinya ini, ia rasanya ingin menyerah meladeninya. Susah sekali hanya sekedar untuk menenangkan anaknya, "Tangan kamu diem aja. Biar Papa yang bersihkan," tegasnya. Tangannya yang memegang shower sengaja ia tinggikan agar anaknya tak bisa meraihnya.

Anaknya itu menggeleng-gelengkan kepalanya cepat seraya berusaha meraih gagang shower yang dipegang Jefri, "Tapi Aidan mau belsih-belsih sendili,"

"Besok-besok aja kamu bersih-bersih sendiri, sekarang biar Papa yang bersihkan," sahut Jefri cepat sembari tangannya masih fokus membersihkan bagian bawah tubuh Aidan.

"Tapi habis ini beli mainan ya?"

Jefri lagi-lagi menghela napas panjang. Kebiasaan sama yang diungkapkan Aidan adalah kebiasaan yang sama saat Ayana meminta album padanya, "Bulan depan. Mainan terus kamu yang diingat,"

Bibir Aidan semakin mengerucut, menatap Jefri yang masih fokus membersihkan tubuhnya, "Nggak mau! Aidan mau hali ini," jawabannya dengan penuh penekanan.

"Papa belum punya uang,"

Aidan masih menatap Jefri tajam. Sedari tadi sorot tajam yang berkilat dari matanya tak berpindah. Sorot mata itu tampak memerah. Perlahan bibir mungil itu sedikit bergetar dan matanya tampak berkaca-kaca, "Kemalin Apiola dibeliin belbie. Hari ini Aidan nggak dibeliin Lobot Cal Poly," ucapnya kecewa menatap Papanya.

"Aidan nggak mau belteman sama Papa," lanjutnya menatap Jefri acuh yang hanya dibalas Jefri dengan helaan napas lagi dan masih fokus memakaikan celana dalam pada tubuh anaknya usai mengompol di celana.

Langkah kecilnya keluar dari kamar mandi kamar. Ia tampak tak memakai celana panjangnya. Hanya memakai kaus berwarna merah bergambar Robot dan memakai celana dalam. Ia mempercepat langkahnya berlari ke arah Mamanya.

"Mau kemana kamu, Dan!" teriak Jefri yang kewalahan mengejar Aidan.

"Mamaaaaa!" Ia berlari menuruni anak tangga menuju dapur. Dengan langkah yang sedikit hati-hati karena ia sangat takut jika terjatuh. Dan mata yang sedari tadi mengalirkan buliran bening miliknya.

"Aidan, celana kamu belum kamu pakai," panggil Jefri berkali-kali yang tak disaut Aidan sedikitpun.

"Dasar! Duplikatnya Ayana," gerutunya frustasi saat melihat Aidan menghampiri istrinya di dapur.

Tangan mungil itu memeluk erat tubuh Ayana dari belakang. Bibir kecil yang masih bergetar terlihat sedikit mengerucut. Ayana tampak gelagapan melihat anaknya tiba-tiba memeluknya dari belakang dengan kondisi menangis seperti ini.

Ia perlahan berjongkok. Menyejajarkan tingginya dengan Aidan yang berdiri. Kedua tangannya mengusap pelan pipi Aidan yang dipenuhi buliran bening dari kelopak matanya yang menetes, "Anak Mama kenapa?"

Ia tak menjawab pertanyaan dari Mamanya. Netranya masih memerah karena marah dengan Papanya. Bibir mungilnya juga masih betah mengerucut, "Celana kamu mana? Kenapa nggak pakai celana sih? Nggak boleh gitu,"

Usai Ayana mengatakan kalimat itu. Tangis dari bibir mungil anaknya pecah lagi. Aidan menangis sembari memeluk Mamanya, yang membuat Ayana semakin kebingungan, "Kenapa nangis? Mana Papa?"

"Nggak mau sama Papa," ucapnya dengan nada bergetar dan tubuh mungil yang masih memeluk erat Ayana.

"Kenapa?" tanya Ayana lembut. Ayana sudah menebak, pasti Jefri menjahili Anaknya lagi. Sudah biasa pemandangan seperti ini baginya.

Tangan Ayana perlahan menguraikan pelukan Aidan dan menatapnya penuh tanda tanda, "Aidan marah kenapa sama Papa?"

"Pakai dulu celananya, Dan!" celetuk Jefri dari belakang sembari membawa celana pendek milik Aidan yang tadi belum sempat dipakai. Bibirnya mengulas senyum tipis saat melihat istrinya tengah menenangkan anaknya.

Ayana hanya mendelik ke arah Jefri saat ia menatapnya tanpa rasa bersalah, "Aidan nggak boleh kayak tadi. Nggak sopan kalau dilihat orang, pakai celanamu dulu,"

Jefri melangkahkan kakinya mendekat ke arah Ayana dan Aidan. Ia mengulurkan celana yang ia pegang ke arah Ayana untuk dipakaikan ke Aidan. Sedangkan Aidan? Masih tak ingin menatapnya sedikitpun. Bibirnya masih betah mengerucut saat Ayana memakaikan celana miliknya.

"Kenapa marah sama Papa?" tanya Ayana lagi.

"Papa sayang Apiola tapi Papa nggak sayang sama Aidan," ujarnya sembari sesekali melirik Jefri tajam namun pandangannya langsung teralih lagi ke arah Ayana.

"Kata siapa Papa nggak sayang kamu?" sahut Jefri seraya menahan senyum tipisnya.

Aidan memberengut kesal melihat Papanya tengah tersenyum ke arahnya. Kakinya ia hentakkan sembari tangannya bersendekap dada, Ia lantas beralih menatap Mamanya lagi, "Kemalin Apiola dibeliin belbie, Ma! Tapi Aidan mau minta dibeliin Lobot Cal Poly, tapi nggak dibolehin sama Papa,"

Jefri ikut menyilangkan tangannya ke dada bidangnya dan bersandar di sisi meja dapur, "Bulan depan, Dan! Bukan nggak boleh," koreksinya.

"Nggak mau bulan depan. Mau hali ini," sahut Aidan ke arah Jefri yang membuat Jefri menggeleng-gelengkan kepalanya karena tingkah anaknya.

Ayana hanya bisa menghela napas. Jefri yang harusnya lebih bisa menenangkan anaknya kala anaknya marah. Namun sebaliknya, umur tidak menjadi patokan. Jefri tetaplah Jefri yang dulu ia kenal. Tetap menyebalkan ada atau tidak ada anak, "Mama yang beliin, mau?" bujuknya ke arah Aidan.

Raut wajah mungil yang tadinya memberengut kesal kini perlahan terurai menjadi binar yang sangat sumringah. Perasaan anak kecil cepat berubah ya? Baru saja beberapa menit terlihat tampak sebal. Ketika diiming-iming hal yang ia sukai, ia akan luluh juga. Pastinya dengan strategi yang baik saat meluluhkan hatinya, "Benelan Mama mau beliin Aidan?" tanyanya balik ke arah Ayana.

"Bulan depan kan di sekolah Aidan ada ulangan, kalau Aidan dapat nilai A+ nanti Mama beliin Robot Car Poly," iming-iming Ayana berhasil membuat Aidan melupakan masalahnya dengan Jefri.

Iya. Aidan dan Aviola baru saja masuk PAUD. Awal pertama pendaftaran sekolah Aidan dan Aviola tampak tak sabar ingin sekolah. Ingin cepat-cepat masuk sekolah. Namun, yang terjadi di hari-hari berikutnya ketika Ayana tak menemaninya sekolah, mereka merajuk tak mau sekolah juga karena Mamanya tidak menemaninya.

"Benelan?" tanya Aidan lagi dengan nada bersorak.

"Tapi bulan depan bareng sama hadiahnya Papa," bujuk Ayana lagi sembari sesekali melirik Jefri yang masih bersandar di meja dapur.

Ia mengerucutkan bibirnya lagi saat Ayana juga tak mau membelikan mainan kesukaannya sekarang-Ralat, maksudnya hari ini, "Tapi Aidan mau sekalang,"

"Kan ulangan sekolahnya bulan depan, hadiahnya Robot Car sama jalan-jalan bareng. Gimana? Terserah Aidan sama Aviola deh mau kemana aja. Mama sama Papa ikut," bujuknya dengan pasti seraya menatap Aidan dengan tatapan meneduhkannya, khas tatapan tulus seorang ibu.

"Aidan mau hali ini, Ma!" jawabnya kecewa.

Ayana mengucap-usap pipi Aidan pelan, "Kalau hari ini Mama nggak bisa. Papa juga nggak bisa," bibirnya tertarik membentuk sebuah simetris lebar disana sebelum ia melanjutkan kalimatnya, "Atau gini deh, hari ini baca buku bareng-bareng di kamar sambil makan Makaron, mau? Nanti Mama bacakan dongeng yang banyak buat Aidan,"

Ia menggeleng pelan. Lalu beberapa detik mengangguk. Hatinya telah berhasil diluluhkan Ayana. Namun, hati kecilnya masih sangat ingin membeli mainan kesukaannya, "Tapi Aidan nggak mau dongeng," balasnya pelan.

"Terus apa?"

"Mewalnai,"

"Oke, mewarnai. Aidan ke kamar dulu ya? Nanti Mama nyusul," perintah Ayana sembari mengacak-acak rambut anak laki-lakinya itu.

Ia mengangguk. Mengecup pipi Ayana sekilas, "Tapi Mama nyusulnya jangan lama-lama! Jangan sama Papa telus! Nanti Papa-" ucapannya terpotong saat Jefri menyahut cepat kalimatnya, "Iya,"

"Iya, nanti Mama sama Papa nyusul ke kamar. Kamu kesana dulu ya?" perintah Ayana pada Aidan yang dibalas Aidan dengan anggukan kecil sebelum ia berlari ke kamar.

"Jangan lari-lari, Dan!" teriak Ayana saat Aidan tampak berlari kecil hampir terjatuh namun badan kecilnya masih bisa menopangnya.

Ayana beralih menatap Jefri. Netranya menatap Jefri dalam, "Dibilangin kalo bujuk anak jangan gitu. Dia ngambek lagi. Aku nggak mau kalau Aidan ataupun Aviola merasa dibanding-bandingkan,"

Kata 'aku' dan bukan 'saya' memang sudah lama keluar dari mulut Ayana saat tengah berbicara dengan Jefri. Namun, Jefri tetap sama. Ia tidak bisa meninggalkan kata 'saya' saat berbicara dengan orang lain. Termasuk istrinya sendiri.

"Biarkan dia melakukan apa yang dia suka. Jangan dibatasi! Meskipun mereka kembar, tapi kita juga perlu beri dia kebebasan," seru Ayana lagi.

"Lama-lama bangkrut kalo Aidan kamu turuti terus," balas Jefri tak setuju dengan Ayana.

"Ya setidaknya dengan cara kasih reward ke dia kalau nilai sekolahnya bagus kan juga ada sisi positifnya, Mas!" gerutunya seraya mendelik ke arah Jefri saat Jefri tak paham cara mendidik anaknya sendiri.

"Kamu sama anak sendiri pelit banget," lanjutnya pelan.

Ia meraih tangan Ayana yang ada di hadapannya, "Bukan pelit. Buat ngasih batasan ke Aidan aja. Takutnya gedenya terlalu manja, karena sering dituruti," sangkalnya.

"Masalahnya kemarin kamu beliin Aviola Barbie, tapi Aidannya nggak kamu beliin sekalian."

"Kemarin Aviola sakit-"

Ucapan Jefri terpotong cepat oleh kalimat Ayana, "Sekarang kesepakatan. Anak kita kembar. Aidan sama Aviola. Kalau satu dikasih hadiah. Yang satu juga iya. Apapun itu alasannya. Meskipun juga barangnya nggak sama. Tapi setidaknya mereka mendapatkan apa yang mereka mau tanpa harus merasa dibanding-bandingkan,"

Ayana menatap Jefri penuh harap agar cara mendidiknya tak rumpang ketika mereka menjadi orang tua. Ia tidak mau gagal dalam mendidik anak. Tidak ingin kedua anaknya mengalami perlakuan yang sama seperti dirinya sewaktu kecil, "Besar kecilnya hadiah yang diberikan ke mereka itu akan membekas juga ke hatinya, Mas! Anak kecil itu sifat perasaannya kuat,"

Jefri menghela napas lagi. Dalam hatinya, ia ingin membatasi anaknya sedini mungkin agar sewaktu dewasa anaknya tidak terbiasa bergantung dengan orang lain. Namun, yang dikatakan Ayana ada benarnya juga. Ia tidak bisa seegois ini. Aidan bahkan masih menginjak usia tiga tahun. Yang artinya Aidan baru saja menginjak usia dimana dia bisa membedakan situasi benar dan salah.

Tidak. Jefri juga tidak ingin menjadi ayah yang gagal. Tidak ingin juga Ayana kecewa terhadapnya. Sama seperti beberapa tahun lalu, luka yang pernah ia torehkan dan kekecewaaan yang berujung memperburuk trauma istrinya. Kali ini jangan. Hampir lima tahun, Ayana telah memberinya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Dan itu tidak mudah.

Tatapan dalam itu menatap Ayana lebih lekat. Bibir tipisnya ikut mengulum senyum ke arah Ayana, "Makasih,"

"Untuk?" tanya Ayana sembari mengerutkan dahinya.

"Jadi istri saya,"

Ayana berdecak sebal jika lagi-lagi Jefri melontarkan rayuan layaknya anak ABG pacaran, "Ck! Mulai deh, Gombal mulu udah punya buntut dua juga,"

"Nggak gombal itu. Saya cuma mau bilang terima kasih ke kamu. Karena sudah mau mempertahankan pernikahan ini hampir lima tahun. Tiga bulan lagi pernikahan kita sudah menginjak tahun ke lima," jelasnya.

Matanya yang sedikit sayu itu menatap Ayana teduh, "Aidan dan Aviola juga sudah menginjak usia tiga tahun, sebentar lagi mereka juga akan beranjak dewasa, saya mau kita tetap sama-sama menjaga mereka sampai kapanpun,"

"Maaf, kalau dulu saya sempat mengecewakan kamu," ujarnya sedikit menunduk.

"Nggak usah diungkit-ungkit yang dulu-dulu, kamu udah ribuan kali bilang ke aku kayak gitu,"

"Saya cuma takut kamu ragu lagi,"

"Kalau Mas bilang gitu terus. Aku jadi beneran ragu-"

Ucapan Ayana tiba-tiba terpotong saat bibir Jefri mendarat di pipi Ayana , "Maaf,"

"Papaaaa!" teriak seorang anak perempuan kecil yang berlari mendekatinya. Membuatnya ikut mengurungkan niat untuk menghujani ciuman di pipi Ayana. Kepala Aviola menengadah mengisyaratkan Jefri untuk menggendongnya, "Hallo, My Princess! Nenek mana?"

Dengan satu tangan, Jefri menggendong anak perempuannya itu, "Sama Kakek di taman. Beldua," jawab Aviola seraya memeluk manja leher Jefri.

Mata yang sedikit sipit itu menatap Jefri beberapa detik, "Papa kok cium Mama telus tadi," serunya dengan bibir yang mulai mengerucut.

Ayana hanya bisa terkekeh geli saat anaknya melontarnya protes ke arah Jefri. Anak perempuannya itu lebih dekat dengan Jefri dibanding anak laki-lakinya.

"Kenapa? Aviola mau juga?" tanya Jefri seraya terkekeh pelan dan menarik pipi kanan anaknya itu.

"Apiola mau," sahutnya cepat dengan memasang puppy eyes agar Jefri menuruti permintaannya.

Gelak tawa Ayana maupun Jefri tiba-tiba pecah saat anaknya yang baru saja menginjak usia tiga tahun beberapa bulan yang lalu ternyata sudah bisa berlagak manja di depan Papanya, "Genitnya!" ujar Jefri gemas sembari mulai menghujani ciuman di pipi Aviola.

"Nyusul Kak Aidan ke kamar yuk? Main bareng-bareng di kamar sama mewarnai," ajak Ayana pada Aviola yang masih memeluk erat leher Jefri manja.

Matanya berbinar saat Ayana menawarinya untuk bermain bersama, tangannya masih betah mengalung di leher Jefri, "Ayok!"

Ayana menggeleng-gelengkan kepalanya saat anaknya masih betah berada dalam gendongan Jefri dan dengan tangan yang bergeleyot manja, "Kok Aviola sering nempelnya sama kamu sih?"

"Aidan lebih nempel sama kamu, saya mau cium kamu aja dimusuhin sama dia," sahut Jefri menggerutu yang membuat Ayana terkekeh geli.

Darah yang mengalir di tubuh anak kembar itu adalah campuran darah gengsi yang turun dari Papanya. Dan darah centil dari Sang Mama. Perpaduan anggota keluarga yang sangat menggemaskan bukan?

Kebahagiaan itu kan yang diharapkan? Iya. Ayana tak ingin ada celah kesedihan lagi dalam pernikahannya. Cukup. Cukup mencintai Jefri yang juga mencintainya dengan seluruh perasaannya. Dan mencintai kedua anaknya dengan naluri genggaman erat seorang ibu untuk melindungi anaknya. Bisa kan kebahagiaan ini tidak terusik lagi seperti dulu?

Matanya Ayana menatap Jefri dan anak perempuannya itu sangat lekat. Bibirnya mengulum senyum tipis. Untuk kali ini ia egois. Tidak ingin siapapun mengusik kebahagiaannya. Orang lain ataupun masa lalu Jefri, "Mama kok lihat Papa telus?" celetuk Aviola saat melihat mata Ayana yang tak berpindah menatap Jefri.

Pertanyaan Aviola membuyarkan lamunannya dan dengan cepat ia spontan langsung mengalihkan pandangannya ke sembarang arah saat Jefri tiba-tiba menatapnya juga, "Mama kamu pengen dicium Papa, makanya lihat Papa terus." seru Jefri enteng seraya terkekeh pelan.

Ayana menggerutu sebal saat Jefri mengatakan kalimatnya yang terlontar bebas dari mulutnya, "Apiola juga mau," ucap anak kecilnya itu.

"Mau apa?"

"Dicium Papa,"

"Tapi Papa maunya cium Mama kamu. Bukan cium Aviola," jawab Jefri menahan senyum ke arah anaknya yang membuat anaknya mengerucutkan bibirnya tiga centi karena keinginannya tidak dituruti Jefri.

To be Continue....

Baru bagian satu udah 2500 kata uwaw 😭😭 gak tau aku kesurupan apa nulis ini. Beginilah Bund, potret keluarga Bapak Badak hampir lima tahun berlalu. Udah segitu aja ya? Kalau kalian suka sama sekuelnya taruh ke perpus, vote, komen, sama follow author kalau suka.

Kesetiaan Bapak Badak aku obrak-abrik disini bareng si kembar 🤣 makasih udah setia sama Badak familly.

Kasih tau yang typo see you...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top