BAB 26 - MAKAN MALAM

Di ruang makan Panti Asuhan Al-Haqq telah ada dua orang wanita paruh baya yang tengah duduk berdampingan. Dua wanita paruh baya itu adalah Kakak dari Abi Jefri dan Ibu pengurus panti asuhan. Di rumah panti ini, biasanya keluarga besar Jefri berkumpul. Meramu rindu dengan anak-anak tak berdosa yang dibuang orang tuanya. Menabur kasih bersama anak-anak yang tinggal di Panti Asuhan Al-Haqq.

Al-Haqq dibangun Abi Jefri dengan tangannya sendiri. Bermula dari ia menemukan bayi tak berdosa yang telah di buang seseorang di tempat sampah dekat dengan pembuangan kotoran manusia. Abi Jefri saat menemukan bayi itu tergeletak di dalam kardus bekas, hatinya sangat teriris. Ia dan Umi lantas merawat bayi yang tak berdosa itu dengan kasih sayang yang tak pernah diberikan orang tua asli bayi tersebut.

Pun juga terkadang anak-anak jalanan yang rela menjadi pemulung karena tak mempunyai materi untuk sekedar mengisi perutnya yang kosong, maka Abi Jefri tak berpikir panjang membangunkan sebuah rumah teduh untuk mereka tinggal dengan layak. Selayaknya manusia yang mempunyai hak untuk hidup.

Semenjak jadi istri Jefri, Ayana baru pertama kali menginjakkan kakinya di kota yang dijuluki kota bunga ini. Karena memang Jefri terlalu khawatir jika istrinya bertemu dengan Sang Mantan Calon Tunangannya yang membuat rumah tangganya dulu pernah terseret konflik. Jefri berusaha menutup dalam-dalam masalah itu dan tak mengungkitnya lagi, agar konflik yang pernah hadir tak muncul kembali.

Saat Ayana mengambil duduk di sebelah Jefri, sorot matanya tak henti-hentinya menelisik ruang makan, pun juga beberapa sudut ruangan lainnya. Batinnya seakan mengarah untuk mencari sosok nama yang mengendap di pikirannya sedari tadi. Tapi sampai detik ini Ayana tak menemukannya.

"Oh. Ini yang dulu Mbak Rizka pernah cerita ya? Jefri dijodohin sama anak temennya?" seru seorang wanita paruh baya yang duduk di depan Ayana. Wanita itu adalah pengurus Panti Asuhan Al-Haqq.

"Dulu Jefri emang susah kalau disuruh nikah, Bu Panti. Rizka sendiri yang curhat sama Bu Dhe, sampai bosen nawarin Jefri buat nikah. Bu Dhe juga dulu sempet ngira Jefri sama Nak Amira, gara-gara Rizka bilang kalau katanya Jefri mau lamaran. Ya Bu Dhe udah pesen segala macem kue buat seserahan," sahut Bu Dhe pada Ibu pengurus panti.

Terlihat Bu Dhe tengah menghela napasnya sebelum meletupkan suara, "Namanya juga mau punya mantu, meskipun Jefri keponakan Bu Dhe. Tapi Bu Dhe udah anggap dia anak sendiri. Eh, nggak taunya nggak jadi lamaran. Nggak jodoh, mau gimana lagi ya Bu Panti, yang penting mereka sekarang udah punya kehidupan masing-masing," jelasnya panjang lebar.

Ayana sempat terlihat menunduk saat dua wanita paruh baya itu saling membicarakan masa lalu Jefri. Seakan-akan masa lalu itu sangat disayangkan keluarga besar suaminya. Sedangkan ia? Ia menikah dengan Jefri hanya terjebak perjodohan Almarhum Ibunya dengan alasan yang sangat merumitkan dirinya.

"Iya. Sekarang Jefri jauh lebih bahagia punya Ayana, Bu Dhe!" sahut Jefri saat dua wanita paruh baya itu masih membicarakan hal-hal yang seharusnya telah terlewat.

Ayana menoleh ke arah Jefri yang tengah berkutat dengan hidangan di depannya. Entah meskipun Jefri mengeluarkan kalimat itu, degup jantung Ayana masih berpacu tak normal. Tangannya pun juga terasa sedikit dingin.

Oh ayolah, kamu kenapa Ayana! batin Ayana bergulat dengan dirinya sendiri.

"Rencana di Malangnya berapa hari, Jef?"

"Tujuh hari sesuai jadwal cuti," jawab Jefri pada Bu Dhe yang bertanya.

Bu Dhe mengerutkan dahinya saat Jefri menjawab pertanyaan yang terlontar di bibirnya, "Kok nggak sebulan aja sih, Jef? Bu Dhe sama Bu Panti kan juga mau ngobrol-ngobrol sama Ayana sering-sering. Ayana belum kamu ajak beli Bakso Malangan? Atau makan ke Warungnya Cak Uut? Kan juga pasti belum ngerasain makanan khas sini. Pasti belum nyoba makan Ayam Nelongso kan?"

"Tambah lagi lah harinya Jef, dua Minggu gitu. Nanti kalau kamu ngurus pembangunan rumah panti milik Abimu, Ayana sama anak-anak bisa disini dulu. Atau nanti kalau Ayana mau jalan-jalan, Bu Dhe sendiri yang nemenin." Ibu pengurus panti menimpali pendapat dari Bu Dhe.

Jefri hanya mengulas senyumnya saat menanggapi petuah dari dua wanita paruh baya itu. Sorot matanya menoleh ke arah Ayana yang tengah menunduk. Dan reflek tangannya menggenggam pelan ruas-ruas jari istrinya yang disembunyikan di bawah meja, "Lihat nanti aja, Bu Dhe! Abi sama Umi mana?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Abimu tadi sama Fatih di belakang. Kayaknya ngurus pembangunan rumah panti buat besok. Kalau Umi kamu lagi beli kerupuk di warung depan. Soalnya Bu Dhe lupa beliin kerupuk teri buat Abi kamu,"

Lagi-lagi Jefri manggut-manggut saat pertanyaannya dijawab Bu Dhe. Lain dengan Ayana, sedari tadi Ayana lebih banyak bergeming. Tak tau ia harus ikut dengan obrolan yang mana.

Wanita paruh baya yang bertugas mengurus panti itu tampak menelisik sudut dapur dengan dahi yang mengerut. Netranya terhenti pada salah satu kamar di samping ruang keluarga, "Mbak Amira masih di kamar, Bu Dhe?" tanyanya pada Bu Dhe, kakak perempuan dari Abi Jefri.

"Iya, tadi masuk kamar lagi habis masak. Bu Dhe takutnya dia kecapekan. Pagi sampai siang ngajar di pesantren, sorenya tadi bantuin masak Bu Dhe. Coba panggilin ya? Ini ada Jefri sama istrinya." perintah Bu Dhe pada ibu pengurus panti itu.

Ayana semakin menunduk dalam saat satu nama itu meluap dari bibir kedua wanita paruh baya itu. Tangan Jefri yang tengah bertengger di ruas-ruas jari Ayana, sontak Ayana singkirkan. Ayana lebih menyukai menautkan kedua tangannya sendiri. Agar Jefri tak melihatnya bahwa ia tengah berkecamuk dengan batinnya.

"La itu, nggak usah dipanggil." celetuk Ibu pengurus panti saat melihat sosok perempuan yang pernah tak sengaja menjadi penyebab konflik rumah tangga Ayana dulu, karena Jefri tak bisa menyingkirkan masa lalunya.

Iya. Saat ini perempuan itu tengah berjalan ke arah meja makan. Semua pasang mata menoleh ke arahnya, tak terkecuali Jefri. Hanya saja Jefri menatapnya sekilas, sebelum pandangannya ia alihkan ke hidangan yang tersaji di depannya.

Perempuan itu duduk di salah satu kursi yang kosong, tepat di depan Jefri. Karena hanya itu kursi yang kosong. Bibir tipisnya mengulum senyum mengarah ke Ayana dan Jefri, "Ini loh temen lama kamu balik rumah, Ra! Mbok ya ngobrol-ngobrol sana nanti," sindir Bu Dhe ke arah Jefri.

"Apa kabar, Jef?" tanyanya masih dengan nada ramah.

Jefri mendongakkan wajahnya. Menatap istrinya sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke arah perempuan itu, "Baik. Kamu sendiri gimana?" tanyanya.

Perempuan itu mengangguk, senyum teduhnya beralih menatap Jefri dan Ayana secara bergantian. Tanpa ada maksud apa-apa, "Baik juga. Keluarga di Malang, Alhamdulillah baik semua. Terakhir aku ketemu kalian waktu di pernikahan kalian ya? Maaf, dulu nggak bisa lama-lama disana soalnya aku masih sibuk-sibuknya fisioterapi di Singapore sama Mas Ali, Jef!"

Jefri menarik sudut bibirnya, tak lupa kepala Jefri pun juga ikut mengangguk mengerti. Lagi pula itu hanya sekedar masalah lama, Jadi Jefri sama sekali tak mempermasalahkannya kembali, "Nggak papa. Sekarang masih fisioterapi?" tanyanya.

"Seminggu sekali soalnya udah masuk tahap pemulihan akhir. Cuma untuk obat syaraf sama kontrol ke dokter masih tiap bulan sekali." jawabnya dengan balasan senyum meneduhkan.

Perempuan itu tak pernah meninggalkan senyum meneduhkannya. Mungkin saja hal itu yang membuat Jefri dulu sulit untuk melupakan masalah yang melibatkan mereka berdua. Ya, saat Ayana memperhatikan guratan wajah perempuan yang tengah berbicara dengan suaminya, tetap saja ia merasa cemas akan hal-hal yang membuatnya bergulat dengan pikirannya sendiri.

Perempuan itu sampai detik ini tak pernah lepas mengabdi pada keluarga Jefri. Perempuan itu juga tak terlihat mengeluh di hadapan orang lain meskipun kondisinya tengah hamil besar dan kaki yang masih menjalankan fisioterapi karena kecelakaan yang pernah ia alami beberapa tahun silam. Perempuan itu mudah sekali mengulas senyum simpulnya. Dan perempuan itu juga nyaris berhati malaikat yang membuat Jefri tak pernah bisa melupakannya dulu.

Sedangkan Ayana? Ah, dirinya hanya seorang perempuan biasa yang terkadang masih membuat Jefri marah waktu awal pernikahan. Pun sejak dulu ia tak terlahir untuk mengabdi penuh pada keluarga besar Jefri. Ia hanya terlahir dari keluarga yang tak lengkap, dan dari sosok Ayah yang banyak menyulitkan hidup orang lain.

"Amira," ucap perempuan itu mengulurkan tangannya ke arah Ayana.

Ayana mengamati wajah meneduhkan dari sosok yang ingin menyalaminya. Ada begitu banyak sekali rasa iri dengannya. Dengan hidup perempuan itu. Perempuan yang pernah mengendap di hati Jefri bertahun-tahun lamanya dulu, sampai ia hanya bisa berdiri di tepian hati Jefri. Karena dulu sepenuhnya hati Jefri diisi perempuan itu, "A-ayana," jawabnya seraya membalas uluran tangan dari perempuan itu.

Jefri ikut menarik sudut bibirnya saat melihat istrinya membalas uluran tangan itu. Tanpa tahu apa yang Ayana pikirkan sebenarnya. Ia hanya tak ingin kesalahpahaman itu terungkit kembali. Jefri ingin berdamai dengan apa yang ia miliki saat ini.

"Amira," panggil Bu Dhe.

"Iya Bu Dhe?"

"Nanti izin sama Fatih aja. Sementara jangan ngajar dulu, kasihan janin sama kesehatan kamu." pinta Bu Dhe pada perempuan itu yang dibalasnya dengan senyum simpulnya.

"Iya, tadi Mas Ali juga minta buat ngambil cuti ngajar. Tapi Amira izin ngepasin sampai usia janin delapan bulan aja Bu Dhe, nanggung. Kasihan anak-anak kalau Amira terlalu lama cutinya. Kasihan juga sama Kak Fatih dan staff pesantren, harus rolling jadwal buat gantiin Amira ngajar." balasnya.

"Bu Dhe cuma berharap kamu sehat-sehat terus. Kamu sama kakak kamu udah lama banget mengabdi di keluarga ini, Nak! Kamu bela-belain izin sama suami kamu cuma untuk bantu-bantu ngajar di yayasan. Jaga kesehatan terus ya? Bu Dhe, Bu Panti, Abi Uminya Jefri dan Jefri sendiri sekeluarga berharap kamu dan keluarga kamu tetep jadi bagian dari keluarga kita ya?"

Perempuan itu mengangguk mengerti. Bibirnya mengeluarkan kekehan pelan saat wanita paruh baya itu memberinya petuah, "Iya Bu Dhe, terima kasih."

Lagi-lagi Ayana reflek memegang perutnya saat wanita paruh baya itu mengkhawatirkan kesehatan perempuan yang duduk di depan Jefri. Batinnya terus saja bergulat. Ayana dan perempuan itu sama-sama tengah mengandung. Dan perempuan itu jauh lebih kuat darinya. Dia bisa mengabdi di panti asuhan dan pesantren milik keluarga Jefri. Dia bisa merawat anak yang bukan anak kandungnya dalam kondisi hamil. Tanpa mengeluh di hadapan orang lain.

Ayana lagi-lagi menyamakan hidupnya dengan perempuan itu. Ia merasa gagal. Menjaga Aviola dan Aidan yang jelas-jelas darah dagingnya sendiri saja terkadang ia masih gagal. Menjadi istri terbaik Jefri pun juga tak sempurna. Bagaimana ia bisa mengabdi pada keluarga jefri, sedangkan ia saja tak pernah terlahir di keluarga yang lengkap.

"Udah, ayo dimakan makanannya. Biar Abi sama Uminya Jefri nanti nyusul. Fatih juga biar nyusul. Nak Ayana ayo dimakan!" perintah Ibu pengurus panti.

Saat semua orang sibuk dengan hidangannya. Jefri meletakkan tangannya menggenggam tangan istrinya yang terasa dingin. Dahinya berkerut saat mengetahui telapak tangan Ayana sangat dingin. Sorot matanya baru menyadari bahwa piring yang ada di hadapan istrinya masih penuh. Tak tersentuh sedikitpun. Ayana hanya terlihat memainkan sendok dan piring yang ia pegang. Tanpa memasukkan sesuap nasi sedikitpun ke dalam mulutnya, "Di makan ya?" serunya pelan setengah membisik pada Ayana.

Ketika bisikan itu keluar dari bibir Jefri, kelopak mata Ayana tak bisa berkompromi. Ia hampir meloloskan buliran bening itu. Untung saja dengan cepat ia menahannya agar tak ada orang yang mengetahuinya, "Aku ke kamar mandi dulu ya, Mas? Kamar mandinya dimana?" tanyanya pelan seraya menunduk, tak menatap langsung ke arah Jefri.

"Aku antar ya?" seru Amira yang tak sengaja mendengar kalimat dari Ayana.

"Nggak usah, Ra. Biar aku yang antar Ayana." sahut Jefri.

Bersambung....

Ternyata nggak panjang ding wkwk lebih pendek dari biasanya soalnya banyak dialog yang aku crop wkwkw. Updatenya siang bolong begini wkwkwkw kalau gak ada feel kasih tau yak wkwk.

Makasih banyak udah vote dan komen yang banyak. Makasih udah follow. Tujuan dari munculnya Mbak Mantan untuk menguatkan konflik utama 🤣 tenang sat mbak mantan gak lama kok munculnya wkwk.

Surat terbuka untuk Cak Uut, owner bakso Malangan, owner ayam Nelongso. Mohon segera endorse author wkwk karena eksklusif aku masukin ke cerita wkwk.

See you guys. Waktu dan tempat untuk mengumpat di persilahkan di kolom komentar wkwk tapi mengumpatnya yang aestetik ya? Jangan yang kasar banget wkwk

[Mengandung promosi] ⚠️ Yukk baca cerita "Mulai dari Nol" karya _missdandelion intip sendiri di akunnya ya guys kalau penasaran wkwk. Hidup guaaa promo Mulu wkwkw.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top