Bab 4 - Minta Maaf
"Bel," panggil Malik tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya.
Abel yang hendak menyusul Sinta diurungkan. Ia menoleh, melihat Malik sudah berdiri dengan satu tangan di saku.
"Iya, Pak," jawab Abel yang terlihat gugup karena ucapan Sinta tadi.
Abel tidak ingin Malik mendengar ucapan Sinta karena ia tak ingin pria berstatus sebagai Manager itu mengetahui isi hatinya. Abel malu jika seorang pria mengetahui isi hati wanita yang tak dicintainya.
"Bisa ikut ke ruangan saya?"
"Baik, Pak," jawab Abel lalu mengikuti langkah Malik yang telah jalan terlebih dulu.
Ketika sampai di ruangan, Malik mempersilakan Abel duduk di sofa tempat tamu berkunjung. Abel bingung disuruh duduk di sana. Setelah menutup pintu, Malik berjalan ke meja membawa laptop dan duduk di depan Abel.
"Ini," ucap Malik menyerahkan laptop pada Abel setelah dibuka.
"Ini apa?"
Abel bingung karena hanya ada gambar tempat kosong seperti tanah lapang, banyak puing-puing bangunan seperti bekas gedung yang diambrukkan.
"Ini tanah yang akan digunakan untuk showroom nanti. Apa yang perlu ditambahkan, atau beri kritik dan saran jika memang perlu! Kita di sana hanya 2 hari, setelah selesai kita langsung otw pulang."
Abel tampak melihat-lihat gambar yang ada di folder lalu menatap Malik. "Sepertinya tidak ada, Pak. Ini sudah sesuai kenyamanan konsumen jika sedang menunggu mobilnya di-service atau tune-up," jelas Abel lalu menyerahkan laptop dihadapkan pada Malik.
"Okey." Malik mematikan laptopnya.
Saat Abel bersiap untuk keluar dari ruangan Malik, baru berdiri untuk keluar Malik memanggil, "Bel."
Abel masih menghadap Malik. "Iya, Pak."
Malik berdiri dan mengulurkan tangan kanannya membuat Abel menaikkan kedua alisnya pertanda bingung.
"Saya minta maaf atas pertanyaan saya tadi. Bukan maksud men-judge kamu sebagai wanita kebanyakan. Sekali lagi saya minta maaf," tulusnya yang masih mengulurkan tangan kanannya.
Abel tidak menyangka jika seorang atasan bisa minta maaf pada bawahan. Bukan Abel mau memperpanjang masalah, tapi Abel masih sedikit kecewa atas sikap Malik padanya tadi siang.
Bukan baper ataupun sensitif, jika diomong yang bukan seperti dirinya pasti setiap orang akan sakit hati ataupun kecewa.
"Lupakan saja, Pak! Tidak apa." Abel hendak berjalan, tapi tangannya ditarik Malik dengan tangan kirinya.
"Tidak mau memaafkan saya?" Matanya melihat ke arah tangan kanannya yang masih terulurkan.
Abel langsung menjabat tangan Malik. "Saya tahu Pak Malik tidak berniat mengatai saya seperti itu, tapi saya boleh 'kan baper dengan ucapan Bapak?" ucapnya setelah melepas jabatan tangan.
"Maaf ...."
"Lupakan, Pak. Saya tidak mau mengungkitnya lagi. Saya permisi," pamit Abel berlalu meninggalkan ruangan Malik.
Malik masih merasa bersalah atas ucapannya tadi siang. Ingin bertanya tapi malah menyakiti. Ingin melarang tapi tak punya hak. Gengsinya yang tinggi membuat ucapan tak sinkron dengan hati.
Malik membawa laptopnya ke meja dan masih memikirkan Abel. Ia cemburu tapi gengsi. Ingin mengesampingkan gengsi tapi tak mampu.
Abel keluar dari ruangan Malik langsung duduk di meja kerjanya. Sinta dan Naura yang sedang sibuk mengerjakan laporan ditunda untuk ke tempat Abel.
"Di ruangan Pak Malik, ngapain?" tanya Sinta dengan posesif. Ia masih sebal dengan ucapan Malik tadi. Ia juga menyayangkan perasaan Abel yang tumbuh untuk pria semacam Malik yang mempunyai mulut bon cabe.
"Ngapain gimana? Bahas masalah kerjaan aja, kok," elak Abel.
"Enggak minta maaf sama Lo?" tanya Naura dengan nada sedikit tinggi lalu menarik kursinya mendekat ke Abel.
"Ra, pelanin suara Lo! Nanti yang lain denger." Abel menutup telinganya mendengar ucapan Naura yang menggema mengisi seluruh ruangan. "Tadi minta maaf, kok."
"Terus Lo jawab gimana?" Sinta bersedekap menghadap Abel.
"Ya gue jawab lupakan. Gue enggak mau bahas masalah ini lagi."
"Apa mungkin dia bilang begitu karena cemburu Lo deket sama Pak Roni, Bel?" asumsi Naura karena selalu memperhatikan tingkah Malik dengan Abel yang selalu curi-curi pandang.
"Nah, bener, tuh! Eh, Lo ada hubungan apa sama cowok kece kayak Pak Roni? Kok bisa deket sama pemilik gedung ini? Ganteng banget itu orang, mukanya kinclong kek porselen," lebay Sinta yang selalu melek kalau lihat pria bening sebening mata air di gunung.
"Apa hubungannya Pak Malik sama Bang Roni? Bang Roni udah gue anggep kayak kakak sendiri, dia temennya Bang Devan. Mana mungkin gue jadian sama dia?"
"Mungkin aja, Bel. Kalo Lo sama Pak Roni sama-sama ada rasa," sahut Jojo tiba-tiba di sebelah Sinta.
"Tul. Apalagi Pak Roni juga keliatan suka sama Lo," ucap Sinta yang masih berdiri, tangannya sudah tidak bersedekap lagi.
"Udah sana kalian kerja lagi! Gue juga mau bikin laporan yang belum kelar," usir Abel dengan sopan.
Semua balik ke tempat kerja masing-masing. Abel lega, setidaknya ia bisa bernapas tanpa harus ada pertanyaan macam-macam lagi.
Malik berdiri tidak jauh dari meja kerja Abel. Ia sedang ada kepentingan dengan Ayu yang tepat berada di belakang meja kerjanya saat Sinta sedang membicarakan masalah Roni. Malik hanya sedikit mencuri dengar saat mereka berbicara pada Abel.
Ia mencuri pandang saat semua berbalik ke meja masing-masing. Sinta yang melihat hanya bisa mencebikkan bibirnya, merasa terlalu gengsi dan munafik menjadi pria. Ia jadi kesal dengan atasannya itu.
"Ra, liatin, noh, atasan Lo! Suka nyuri pandang ke arah Abel. Dia pikir, dia doang yang suka ke Abel? Cowok bermulut bon cabe, dasar. Jadi kesel, 'kan," bisik Sinta pada Naura agar Abel tidak mendengar.
"Biarin aja, entar kalo Abel jatuh ke pelukan Pak Roni juga dia yang heboh sendiri, curhat ke Jojo lagi," ucap Naura santai, sambil mengerjakan pekerjaannya. "Kita liatin aja dari sini."
Sinta hanya mengangguk mendengar penuturan Naura. Naura sedikit lebih dewasa dari Abel. Dari cara dia berpendapat juga selalu dipikirkan matang-matang. Berbeda dengan Sinta yang selalu bicara blak-blakan, tanpa dipikirkan, apalagi kalau ngomong asal, tanpa dipikirkan yang diajak bicara akan sakit hati atau tidak.
"Bel, tuh, Pak Roni dateng." Naura menjawil Abel dan matanya mengedipkan ke arah Roni datang.
"Hai, Bel," sapa Roni dengan ciri khasnya yang riang. "Halo, Naura." Roni tersenyum ke arah Naura.
"Sore, Pak. Mau ngajak Abel pulang bareng, Pak?" tanya Naura basa-basi.
"Hai, Bang, eh Pak. 'Kan di kantor." Abel tersenyum sambil menyerong menghadap Roni.
"Abang aja enggak papa, Bel. Buat kamu enggak masalah, enggak usah terlalu resmi!" Kata Roni. "Nanti pulang bareng mau?"
"Boleh, Bang. Sebentar lagi juga selesai ini kerjaannya,"
"Ehm. Keselek, euy." Sinta berdehem ikut nimbrung pembicaraan mereka. "Bel," panggil Sinta sambil mengacungkan jempol dan mengedipkan matanya tanda setuju jika Abel bersama Roni, dari pada terus menunggu Malik peka.
"Apa?" tanya Abel yang menengok ke arah Sinta sambil mengerutkan kedua alisnya.
"Pak Roni, kalau bawa Abel hati-hati, ya, Pak. Salam buat papahnya yang kayak bodyguard!" pesan Sinta pada Roni.
"Siap." Setelah menjawab pesan Sinta, Roni menghadap Abel lagi. "Gue ke ruangan Malik dulu ya, Bel. Nanti jangan pulang dulu!" pamitnya yang langsung diiyakan oleh Abel.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top