Bab 20 Perjuangan
Malik akan terus berjuang demi mendapatkan Abel. Apa pun yang Jordan ucapkan, tidak ia dengarkan sepenuhnya. Dibilang sakit hati, iya. Tapi, lebih sakit hati jika melihat Abel terpuruk seperti sekarang.
Mata bengkak, hidung kemerahan, suara serak dan bibirnya sedikit pucat tidak seperti Abel pada hari-hari sebelumnya. Hatinya terasa teriris melihatnya berbeda seperti ini.
“Kamu beneran enggak apa-apa, Bel? Mau ijin enggak masuk?” Malik tampak khawatir melihat Abel hanya diam.
“Enggak, Mas. Di rumah malah makin pusing.” Abel melihat ke jendela, tangannya memeluk lengan Malik.
“Jangan nangis kalo di depan aku, Bel. Aku enggak sanggup liat kamu begini.” Malik mengusap-usap punggung tangan Abel menggunakan tangan kirinya yang bebas.
Abel diam. Tidak banyak bicara, tidak banyak tanya, tidak pula menceritakan sesuatu yang membuat Malik seperti didongengkan. Malik rindu akan kecerewetan Abel. Yang ada sekarang hanya melamun dan melamun.
“Bel, jangan pernah memikirkan hal yang enggak akan aku lakukan kalo kamu emang enggak mau hal itu terjadi.” Menggenggam tangan Abel, Malik menciumi kedua tangannya.
Sampai di tempat parkir kantor, mereka turun dari mobil. Abel berjalan mendahului Malik, tampak seperti orang linglung. Hanya diam saja ketika orang-orang menyapanya.
Malik berjalan menyamai Abel, menggandeng tangannya hingga Abel menoleh lalu sedikit tertarik ke atas bibirnya, menyunggingkan senyum. Malik semakin mengeratkan gandengannya supaya Abel merasa kuat dan percaya diri menjalani harinya.
“Semangat, Bel. Jangan mau kalah sama keadaan, buktikan kalo kamu memang kuat menghadapi semua ini! Aku akan berjuang demi kita,” bisik Malik ditelinga Abel saat menunggu lift.
“Abeeellll....” teriak Sinta dari lobby.
Abel dan Malik menoleh, melihat Sinta berlarian mendekat. Sinta tampak terkejut melihat Abel yang sedikit pucat dan matanya menyipit, sembab.
“Abel, kamu sakit?” Sinta terkejut karena melihat Abel yang tidak seperti biasanya. Tangannya menyentuh kening dan leher Abel, hangat. “kenapa masuk? Ke klinik, yuk! Aku yang anter,” ajak Sinta sambil merangkul Abel.
Abel tidak bergerak sama sekali, tetap diam dan masih menggenggam tangan Malik.
“Enggak, Sin. Aku enggak apa-apa kok.”
Mereka masuk lift, Sinta tetap kekeh jika Abel harus dibawa ke klinik. “Tapi, Bel, badan kamu panas, lho.” Memegang kening Abel lagi. “Pak Malik, bujuk, dong! Pacarnya lagi sakit malah diam aja.” Sinta melihat ke Malik lalu ke Abel lagi.
“Percuma, dia enggak bakal mau.”
Mereka keluar dari lift, menuju ruang kerja Sinta dan Abel. Naura sudah berada di tempat kerjanya, sedang Jojo sudah membuat kopi dan berdiri di depan pantry.
Malik memundurkan kursi untuk Abel duduk, lalu berdiri di belakangnya.
“Kemarin enggak bales WA kenapa, Bel?” Naura melihat komputernya, lalu melihat Abel saat sudah duduk di sebelahnya. “Bel, kamu pucet banget.” Naura langsung memegang kening, “panas, ke klinik, yuk!”
“Enggak bakal mau, tadi udah aku tawarin aja dia nolak,” ucap Sinta duduk di tempatnya.
“Lagi ada masalah?” bisik Naura, menggenggam tangan Abel. Abel mengangguk. “Apa? Mau cerita sekarang?”
“Nanti aja, aku mau ngerjain laporan yang buat entar siang,” terang Abel, menyalakan komputernya, lalu mengerjakan laporan yang Malik minta saat hari jum’at.
“Aku ke ruangan dulu, ya? Apa kamu mau ke ruangan aku aja?” tanya Malik yang jelas-jelas khawatir dari pertama melihat Abel.
“Enggak. Aku baik-baik aja, kok.”
“Yaudah, nanti kalo ada apa-apa bilang, ya!” Malik menuju ruangannya setelah mengusap pundak Abel.
🍁🍁🍁
Pulang kerja seperti biasa Malik mengantar Abel pulang. Tidak peduli bila bertemu dengan Devan ataupun Jordan. Yang ia pedulikan saat ini adalah Abel. Demamnya semakin tinggi, makan hanya sesuap, tidak mau diajak ke klinik atau rumah sakit.
“Nanti langsung istirahat, besok enggak usah masuk kerja, ya! Enggak usah mikirin perkataan Papahmu, yang penting aku enggak akan ninggalin kamu kalo bukan kamu yang minta,” ucapnya saat memeluk Abel.
“Iya, tapi Papah sama Kak Devan udah ngehina kamu. Aku minta maaf,” sesalnya ketika mengingat perkataan Jordan menghina Malik.
“Enggak apa-apa. Dibilang sakit hati iya, itu pasti. Tapi hati aku lebih sakit lagi kalo liat kamu sakit kayak gini.” Malik menangkupkan kedua tangannya pada wajah Abel.
“Yaudah, aku turun dulu.” Saat akan membuka pintu, ada Devan sedang keluar rumah. “Ada Kak Devan,” serunya, tidak membiarkan Malik turun.
Devan langsung menghampiri mobil Malik, menyuruhnya turun. “Turun!”
Abel dan Malik seketika turun, Devan langsung menarik kerah kemeja Malik, dan menghajarnya. Malik oleng dan jatuh ke aspal.
Abel langsung teriak, dan membekap mulutnya sendiri. “Kak Devan.” Menarik Devan untuk menjauh, dan menghampiri Malik. “Mas Malik, kamu enggak apa-apa?” Berusaha membantu Malik untuk berdiri, namun Devan menariknya agar menjauh. Hatinya berdebar takut Malik kenapa-kenapa.
“Jangan pernah deket-deket adik aku lagi!” Masih menggenggam tangan Abel agar tidak mendekat pada Malik. “Dan kamu, Bel. Kepala batu banget, sih. Putusin Malik atau Kak Devan bilang ke Papah.”
Abel tidak menjawab, dan berusaha melepaskan genggaman tangan Devan. Sedangkan Malik sudah berdiri, dan mengusap sudut bibirnya yang mengalirkan sedikit darah.
“Jangan memutuskan hal yang membuat Abel tidak bahagia.”
“Tahu apa kamu soal kebahagiaan Abel. Pergi dari sini sebelum aku panggil satpam kompleks.”
Malik tidak mau membuat keributan yang lebih besar lagi. Yang bisa mengundang banyak orang, terlebih satpam kompleks. Ia tidak mau membuat Abel malu dan lebih tertekan lagi memikirkan hubungannya. Ia langsung pergi meninggalkan rumah Abel.
“Udah kakak bilang, putusin pacarmu, Bel! Apa perlu kakak bilang ke Papah biar Papah yang bilang langsung ke pacarmu?”
Abel masih diam, tidak mau menjawab perkataan Devan. Percuma menjawab jika ujungnya akan tetap sama, memutuskan hubungannya dengan Malik. Abel langsung ke kamarnya dan tak acuh pada setiap perkataan Devan.
Devan langsung duduk di ruang tengah, Yuri datang membawa minuman. “Adik kamu mana? Tadi mamah denger kamu ngomong sama Abel?”
“Ke kamarnya.” Devan meminum minuman yang dibawa Yuri. “Abel demam, Mah. Tadi aku pegang tangannya, panas. Mamah ke kamarnya, gih. Takutnya makin panas.”
Devan khawatir dengan demam Abel. Ia memang keras kepala, kalau bicara seperti belati yang menghunus dada, tapi sangat perhatian pada Abel.
Yuri langsung bergegas ke kamar Abel. “Abel, Sayang.”
“Iya, Mah.” Abel langsung berjalan ke pintu untuk membukanya. “Ada apa, Mah? Abel baru mau mandi,” ucapnya sambil mengambil handuk.
“Kamu mandi dulu, aja. Mamah tunggu kamu di sini.” Yuri duduk di kasur, menunggu Abel mandi. “Ada yang mau Mamah bicarakan, Bel.”
#Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top