Bab 16 Pacar
Satu bulan sudah sejak Malik dan Abel jadian, Bu Devi masih saja menanyakan kabar kapan mereka putus. Setiap hari tidak lupa absen ke meja kerja Abel. Seperti saat ini, bertanya pada Sinta.
“Bu Devi, kenapa harus setiap hari bertanya kapan mereka putus? Kenapa Bu Devi tidak tanya sendiri ke Pak Malik?” Bu Devi membelakangi jalan dan menghadap ke Sinta.
“Saya, tuh, tidak enak kalau tanya langsung ke Pak Malik. Nanti yang ada dikira saya naksir ke Pak Malik.”
“Lah, bukannya iya,” jawab Sinta pelan agar Bu Devi tidak tersinggung.
“Bicara apa kamu?” Bu Devi duduk di tempat Abel. “Nanti jangan lupa tanyakan ke Pak Malik, kapan mereka putus!”
Saat Bu Devi berbalik, beliau melihat Malik dan Abel telah berdiri di belakangnya. Bu Devi hanya tersenyum melihat keduanya mendengar apa yang ia dan Sinta bicarakan.
“Kenapa, Bu Devi?” tanya Malik yang masih berpegangan tangan dengan Abel.
Bu Devi melihat tangan keduanya yang saling berpegangan. Ini berada di wilayah kantor, bukan mal atau tempat hiburan lain yang bebas untuk berpegangan tangan.
“Ehm.” Bu Devi berdeham sambil melihat tangan keduanya.
Malik semakin mengeratkan pegangan tangan mereka dengan senyum menatap Bu Devi. Abel hanya tersenyum melihat Malik mengeratkan pegangannya dan sedikit menempel ke lengan Malik.
“Ehm. Duh, saya keselak apa tadi?!” Bu Devi berdeham lagi agar genggaman tangan mereka lepas namun sepertinya semakin mengeratkan. Tangannya menaikturunkan di leher.
Sinta tertawa pelan melihat Bu Devi seperti cacing kepanasan, tidak bisa diam. Abel melepaskan tangannya, menuju meja kerja. Malik menarik mundur kursi yang akan diduduki Abel.
Melihat kejadian manis seperti itu, Bu Devi semakin tidak tahan dan pergi menuju ruangannya dengan gumaman tidak jelas.
“Hahaha.... kalian, ya. Parah. Udah sebulan kalian pacaran, sebulan juga Bu Devi selalu ke sini tanya kalian udah putus apa belum. Aku suruh tanya sendiri tapi kebanyakan alesan.”
“Nanti kalau Bu Devi ke sini lagi, jawab aja. Putusnya nanti, Bu, kalau Abel udah siap diajak nikah. Putus pacaran jadinya nikah.” Matanya mengerling pada Abel.
Abel menepuk lengan Malik, malu. Pipinya kemerahan seperti tomat merah. Sudah lama tidak mendapat perlakuan manis, terakhir mendapatkan saat Abel memakai seragam putih abu-abu.
Seketika juga hati Abel menghangat. Seorang atasan menyukai bawahan, dan itu terjadi pada Abel. Dirinya tidak menyangka akan menjalin hubungan dengan atasannya.
🍁🍁🍁
Jam pulang kantor, sudah pasti jalanan macet. Orang-orang yang menginginkan untuk segera sampai di rumah harus ikut mengantre di jalanan untuk menunggu giliran kapan mereka berjalan. Sudah tidak heran jika Jakarta di mana-mana selalu macet. Bahkan ada yang menamai jika tidak macet, bukan Jakarta namanya.
Dari keluar Gedung, hingga berjalan ke kuningan padat merayap. Seperti hari biasa, jika hari jum’at bisa dipastikan selalu merayap seperti semut yang sedang mengerumuni gula.
“Besok ikut enggak, Bel?”
“Ke mana?” Abel sedang memutar playlist BCL, Cinta Sejati.
“Besok, kan, acara resepsi dari anaknya Pak Johan. Kamu enggak dapat undangan?”
Abel manggut-manggut, “enggak. Lupa mungkin,” ucapnya santai. “Aku tak pernah pergi, selalu ada di hatimu, kau tak pernah jauh, selalu ada di dalam hatiku.” Abel menyanyikan lagu BCL sambil memeluk lengan Malik.
“Besok mau ikut? Resepsinya di The Ritz-Carlton, jam 7 malam.”
“Enggak, deh. Besok ati-ati kalo mau berangkat.” Abel bersiap-siap akan turun, mengambil barang-barangnya yang ada di jok belakang. “Mau mampir, enggak?”
“Lain kali aja, deh. Kalau aku siap ketemu Papah kamu.” Mencubit hidung Abel gemas, lalu mencium keningnya.
Sudah sebulan Abel selalu diantar jemput oleh Malik, semenjak mereka memutuskan untuk berpacaran.
Di depan rumah ada Devan, yang sedang menerima panggilan telepon. Melihat ke arah jalan, ada mobil berhenti dan Abel keluar dari mobil tersebut.
“Diantar siapa?” Devan memutuskan teleponnya, lalu mengikuti Abel memasuki rumah.
“Pacar,” jawab Abel lalu naik ke kamarnya. Devan masih mengikuti di samping Abel.
“Bel, Roni, kan, cinta sama kamu.”
Abel berbalik, menghadap Devan ketika sudah sampai di depan kamarnya. “Kak, Roni itu udah punya pacar, sangat cantik, lebih cantik dari aku. Jadi, enggak usah jodoh-jodohin aku sama Roni lagi.”
"Emang kenapa? Roni jauh lebih pantas dibanding pacar kamu!"
"Enggak tau aja, waktu aku makan siang dulu, Roni ditelepon sama pacarnya, katanya udah ada di kantornya. Kakak tega jodohin aku sama orang yang udah punya pacar?"
Abel langsung masuk kamar, dan Devan mengikuti ke mana dirinya pergi. Ia memang belum menceritakan pada keluarga jika sudah memiliki kekasih. Ia berpikir, selama Roni masih mengejarnya, tidak akan bisa tenang dirinya berpacaran dengan Malik.
Jika dibandingkan, memang sangat jauh jika Roni dibandingkan dengan Malik. Malik memiliki nilai lebih yang Roni tidak punya, yaitu, kesetiaan.
Roni memang dari keluarga terpandang, sangat tampan dan sudah pasti mapan, tapi Roni tidak memiliki kesetiaan yang setiap wanita inginkan.
"Papah juga setuju kalo kamu sama Roni, Bel." Devan benar-benar merayu Abel agar memutuskan pacarnya.
"Kak," ucap Abel memohon.
“Aku bakal bilang ke Papah kalo kamu udah punya pacar,” ancam Devan yang duduk di sofa depan ranjang, matanya melirik pada Abel.
“Kakak enggak sayang ke adiknya, kalo begitu.” Abel menaruh tas dan beberapa dokumen pada meja kerjanya lalu duduk di depan Devan.
“Kok? Justru Kakak sayang ke kamu, makanya Kakak pengin kamu mendapat yang terbaik,” jelas Devan. “Udah, sana mandi! Terus makan malem bareng.” Devan berdiri dan hendak pergi.
“Tapi, Kak. Itu bukan yang terbaik buat Abel. Orang tua memang cinta pertama kita, tapi orang tua tidak tahu jalan kehidupan kita. Kak Devan salah satu dari orang tua itu,” terangnya yang melihat Devan sudah berjalan sampai pintu.
“Kita liat nanti! Roni apa Malik yang jadi pasangan kamu?” Devan berlalu begitu saja.
#tTbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top