Bab 1 Ada yang Mau Ketemu


“Penjualan bulan ini turun, ya?” tanya Naura yang berdiri di sebelah Abel.

Abel berjalan ke ruang rapat bersama Naura. Sinta dan Jojo menyusul di belakang, yang sedang membahas kopi yang mereka sukai. Dengan berdeham untuk menjawab pertanyaannya, Naura paham kalau Abel lagi sibuk dengan dokumen yang berada di tangan.

“Nanti yang jadi moderator, elo, ‘kan? Bukan Fitri?” kali ini Jojo yang tanya ke Abel. “Gak bakal kebayang kalo Fitri ada. Dandanannya kayak lenong bocah, roknya aja kayak cewek-cewek pinggir jalan.” Jojo masih ngedumel perihal pakaian dan cara berdandan Fitri.

“Bener banget, tuh. Berasa paling cantik aja itu orang.” Kali ini Sinta ikutan ngomong.

“Ssssttt.” Dengan jari Abel yang berada di bibir, ia menginstruksikan agar mereka pada diam. Ini adalah ruang rapat, bukan ruang diskusi yang bebas membicarakan apa pun. Dan Abel berhak atas keamanan ruang rapat karena di sini ia yang diberikan kekuasaan atas ruangan ini saat Fitri izin.

Ruangan ini sama seperti luas arena tinju, dengan pot tanaman palem-paleman dan snake plant atau lidah mertua yang berada di sisi kanan dan kiri layar depan membuat suasana menjadi hidup. Tanaman tersebut dapat menghilangkan atau meresap racun pada udara karena ruangan ini selalu tertutup, tidak ada pergantian udara. Juga dapat menyerap polutan.

Satu persatu peserta rapat mulai berdatangan. Ada Ayu, Retno, Akmal, dan Ridwan yang saling berdiskusi mengenai rapat, dan Abel hanya melirik ketika suara mereka sampai ke telinganya. Setelah mereka duduk, Abel selesai mempersiapkan semuanya.

“Selamat siang, semua,” sapa Malik yang baru datang.
Abel langsung duduk rapi, menyalakan laptop dan mempersiapkan dokumen untuk rapat nanti. Malik masih bersiap untuk memulai rapatnya.

“Kita langsung mulai saja, ya!” ujar Malik lalu mempersilakan Abel untuk membuka rapatnya.

“Baik, Pak.” Abel langsung menyalakan laptop pada neraca penjualan setahun ini. Bulan ini terlihat menurun dari bulan lalu dan ini adalah penjualan yang paling kecil dibanding sebelum-sebelumnya, sih, menurut Abel. “Penjualan bulan ini menurun, dari neraca ini kita bisa melihat bahwa di tahun ini pun, bulan ini yang paling sedikit penjualannya,” jelas Abel ke semua agar mereka paham.

Abel yang duduk di sebelah kiri Malik, dengan kursi yang berpusat padanya. Ada empat kursi di depan Abel. Malik ini Manager Marketing yang tidak membeda-bedakan bawahannya, orangnya humble, enggak neko-neko, plus punya prinsip cukup satu pilihan untuk masa depannya nanti. Keren, ‘kan?.

Rapat berjalan alot karena Abel dan teman-teman diharuskan memberi usulan untuk memperbaiki penjualan bulan ini. Setiap karyawan memberikan usulan mereka yang tidak masuk akal. Yang Abel pikir hanya akan memakan waktu dua jam ternyata hingga malam, dan keputusan rapat jatuh pada Abel yang memberikan ide setiap pembelian motor akan mendapat hadiah undian. Abel kaget, dong. Dikira bukan usulan Abel yang bakal diterima, dan tadi Malik bakal membicarakan ini pada Pak Johan—Direktur—Perusahaan ini.

“Rapat ini kita akhiri dengan usulan yang Abel tadi berikan. Selamat malam, dan sampai bertemu besok.” Abel yang masih ribet harus beresin ruang rapat pun langsung berdiri, menutup korden dan mematikan AC, membereskan dokumen dan mematikan laptop. Malik masih berbenah dengan mapnya.

“Duluan, ya, Bel,” ucap yang lain bergantian. Di ruang rapat tinggal ada Abel dengan Malik. Abel masih fokus ke map yang ada di meja setelah mematikan laptop. “Iya,” ucap Abel yang masih fokus dengan yang di depannya.

“Pulang dijemput, Bel?” tanya Malik yang hendak keluar ruangan saat Abel bawa map dan ponsel ditangan kanan.

“Iya, Pak. Ini sudah jalan ke kantor.” Abel memperlihatkan aplikasi ojek online yang dipesan biar dia tahu siapa yang menjemput Abel setiap berangkat dan pulang kerja.

Malik tersenyum, dan senyumnya manis. Jarang-jarang atasan itu memperlihatkan senyumnya saat bareng bawahan apalagi yang perempuan. Seperti yang Abel bilang tadi, Malik itu susah didekati.

“Sama babang gojek?” Malik berdiri di depan pintu saat Abel mematikan lampu dan keluar dari ruangan. Dia nunggu Abel ternyata.

Antara tersanjung dan gede kepala sih. Enggak mungkinlah kalau dia nunggu Abel yang cuma remahan rengginang. Abel, ‘kan bawahan dia, pikir Abel.

Abel tiba-tiba memukul kepalanya sendiri, mengenyahkan pikiran itu saat berjalan ke ruang kerjanya.

“Kenapa, Bel? Sakit kepala?” tanya Malik yang masih berdiri di samping Abel. Perempuan berambut sepunggung itu kaget, ternyata dia masih di sebelahnya. Tangan Malik dimasukkan ke saku celana, dan satunya lagi membawa map. Mereka berjalan sampai depan ruangan Malik.

“Ah. Enggak, Pak. Cuma pusing sedikit aja, kok.”

“Pulang langsung minum obat terus tidur! Jangan begadang, biar besok bisa membaik.”

“Iya, Pak. Terima kasih.”

Malik langsung masuk ke dalam ruangannya, tapi baru sampai pintu berbalik lagi. “Besok-besok kalau pulang malam lagi, tidak usah pesan ojek online. Aku siap antar kamu pulang.”

“I—iya, Pak.” Malik langsung masuk dan Abel langsung ke meja kerja. Ini bibir kenapa jadi gugup, sih? Abel memukul-mukul bibirnya sendiri sebelum merapikan tempat kerja.

Meja kerja yang berada di depan ruang Manager, memudahkan Malik mengawasi bawahannya, termasuk Abel. Bawahan yang selalu datang terlambat karena kesiangan atau macet di jalan. Sudah menjadi kebiasaan dan membuat teman-teman menganggapnya hal biasa. Karena Abel ini lelet bin sedikit lola alias loading lama kalo kata Sinta dan Naura, temannya.

Setelah merapikan tempat kerja, Abel langsung turun ke bawah. Pak ojol sudah menunggu di bawah katanya.

Berada di lantai 15 membuat Abel merasa senang, karena bisa menikmati pemandangan kota Metropolitan—kota yang dianggap menjadi pusat perekonomian Indonesia—atau kota tidak tidur, selama 24 jam kegiatan ekonomi berputar.

Saat berada di lift, menunggu adalah hal yang paling menyebalkan, apalagi menunggu doi peka, eeeeaaakk. Lift berada di lantai 30, Abel berpikir dari pada bengong mending buka instagram, gulir terus sampai bawah, tiba-tiba lift sudah terbuka dan Abel segera masuk. Jam segini masih ada saja yang pada lembur, di dalam lift ada dua orang dan tunggu. Malik berlari ke arah Abel, maksudnya ke arah lift secara Abel juga ada di lift, ya, ‘kan? Abel berinisiatif tekan tombol hold, agar bisa masuk.

“Terima kasih. Untung ada kamu,” ucapnya dengan tersenyum. Senyumnya bikin meleleh, Bok.

“Sama-sama, Pak.” Abel auto ikut senyum melihat Malik senyum.

“Sudah dijemput Pak Ojol?” tanya Malik lagi yang berdiri di sebelah Abel.

“Sudah, Pak. Sudah nunggu di bawah.”

“Nanti sampai bawah, bilang sama Pak Ojol, tidak jadi. Batalkan saja. Saya antar kamu pulang, sudah jam delapan.”

Mimpi apa coba? Diantar pulang sama atasan. Bukan mau nolak rezeki, tapi kalo dadakan, kayak tahu bulat bikin hati deg-deg ser. “Hah? Serius, Pak?” Ekspresi muka Abel mungkin kayak orang ketiban duit satu juta, antara senang tapi nanggung, dapatnya dikit. Coba lima juta, langsung nyengir kayak iklan pasta gigi.

“Apa muka saya terlihat bercanda?” Malik mendelik ke Abel, karena lift sudah terbuka dan sekarang berada di lantai dasar. Mereka langsung berjalan ke arah lobby. “Bagaimana?”

“Tidak merepotkan, Pak? Saya malah nggak enak, takut merepotkan.” Abel jalan bersisian, kayak sepasang sendal.

Tiba di tukang Bapak Ojol—karena beliau satu-satunya ojek yang berada di depan—Malik menghampiri beliau dan berbicara singkat, juga memberikan uang ganti warna biru satu lembar. Abel langsung membatalkan pesanannya.

“Maaf banget, ya, Pak.” Bapak Ojolnya tersenyum dan berkata tidak apa-apa.

“Ayo,” ajak Malik menggandeng tangan Abel.

Abel melirik tangannya, lalu melihat Malik. Antara mau senyum, senang sama malu. Diantar pulang atasan bagaimana tidak senang?

Andai waktu tak berjalan cepat

Semua ‘kan merasa

Jiwa yang mendamba raga

Tidak akan tergolek pasrah

Di dalam mobil, Abel terlihat jaim di depan Malik. Meskipun Malik tahu jika Abel adalah karyawan yang sering telat.

“Rumahnya daerah mana, Bel?” tanya Malik sambil menyalakan mobilnya.

“Pejaten Timur, Pak,” jawab Abel sesopan mungkin.

Ponsel Malik bergetar, sambil menjalankan mobil, ia memeriksa ponselnya. Ada satu pesan dari Fitri saat ia melihat pop up pada ponselnya yang menyatakan ia tidak bisa ikut meeting ke Surabaya. Tanpa membalasnya, Malik menaruh ponselnya di sebelah persneling.

“Bel,” panggilnya saat berada di lampu merah.

“Iya, Pak.” Abel yang melihat depan, langsung menoleh pada Malik.

“Lusa bisa ikut meeting ke Surabaya? Fitri tidak bisa, dia akan mengundurkan diri katanya.”

“Lusa? Mendadak sekali, Pak.”

“Iya, Fitri baru memberi kabar via WA barusan.”

“Oh. InsyaAllah bisa, Pak.”

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Masih terlihat padat, karena jam  pulang kantor yang berbarengan. Ada yang jam lima, jam enam, bahkan jam tujuh pun juga ada. Sehingga menimbulkan kemacetan yang lama. Belum lagi yang pada keluar sekedar mencari angin atau hangout bersama teman.

Perjalanan selama lima puluh menit karena macet membuat Abel merasa tidak enak pada Malik. Kemacetan di Jakarta memang perlu adanya tindakan dari orang-orang atas dan disiplinnya para masyarakat. Mobilnya telah sampai di depan rumah Abel.

“Sekali lagi, terima kasih, Pak, sudah diantar,” ucap Abel sambil bersiap untuk turun.

“Ok. Nanti lusa, kita ketemu di Bandara atau saya jemput kamu, kita berangkat bareng?”

Abel yang akan turun menoleh pada Malik. “Nanti ketemu di Bandara saja, Pak. Saya bisa diantar kakak saya,” jawabnya sopan. Ia tidak mau merepotkan Malik dua kali meskipun dalam hati ingin sekali dijemput.

“Oh, baiklah.” Malik mengangguk. “Saya kira bakal senang dijemput,” lirihnya pelan.

“Saya turun, ya, Pak. Selamat malam dan hati-hati di jalan.”

“Iya, terima kasih.”

Abel turun dari mobil setelah mengucapkan kata terima kasih, dan Malik membuka kaca jendela tempat Abel duduk. “Selamat malam,” ucap Malik lalu mengklaksonkan mobilnya tanda pamit.

Abel langsung masuk rumah saat mobil Malik telah berbelok, dan ada mobil yang datang namun Abel tidak menunggu siapa si empunya. Mungkin kakaknya, pikirnya.

Langsung naik ke atas, kamarnya. Abel melepas sepatu haknya dan tiduran di atas kasur sambil bermain ponselnya. Sudah pukul sembilan lebih, ia akan mandi namun pintu kamarnya diketuk dari luar.

“Abel,” panggil Devano, kakak Abel.

“Iya,” teriak Abel sambil berjalan menuju pintu. “Gue mau mandi, baru pulang gawe. Kenapa?” tanya Abel setelah membuka pintunya.

“Biasa juga nggak mandi aja, tuh,” ledek pria depannya, yang akrab dipanggil Devan. “Noh, di depan ada yang pengin ketemu. Mandinya buruan!” perintah Devan, memperingati.

#Tbc

Balik lagi gaes,,
Sekarang pengin ikutan GMG Challenge
Doakan lancar, yaa, nulisnya..

Ada revisi besar-besaran  🤭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top