18. Keluar Rumah Sakit

Penulis


"Hanun gak kita jenguk, gak papa, tuh?" tanya Bu Wati pada Biru. 


"Dia yang kagak mau lihat saya, ngapain juga kita jenguk, Bu? Nanti Hanun makin marah, ngamuk, malah jadi kena omel petugas rumah sakit. Kita di sini saja. Bos Hanun baik ya, Bu, kita dapat tiket nginep tiga hari. Saya cek di internet, satu hari menginap di sini harganya dua juta, Bu. Kalau tiga hari berarti enam juta," jawab Biru enggan bergerak dari depan televisi. 


"Wah, kalau gitu kenapa gak kita dikasih mentahnya aja? Lumayan buat modal makan kita, Ru. Apalagi Hanun sakit dan gak bisa kerja, pasti gajinya Hanun dipotong," kata Bu Wati dengan perasaan cemas. Biru menoleh sekilas pada ibunya, lalu tersenyum.


"Masih ada uang dari Bu Marissa itu, Bu. Yah, meskipun gak dua belas juta, tetapi untuk makan kita sebulan ada."


"Kalau gitu, Sasa kamu belikan motor saja. Seken gak papa. Waktu itu, dia dapat panggilan mau diajak kerja temannya, tetapi karena Sasa gak ada motor, gak jadi deh!" 


"Oh, gitu, ya sudah, besok saat kita keluar dari hotel, saya akan keliling cari motor seken untuk Sasa. Kayaknya cukup uangnya karena ada dari bos Hanun," jawab Biru setuju.


"Nanti Mbak Hanun cemburu, loh! Masa saya dibelikan motor, dia nggak!" Sela Sasa yang sejak tadi asik bermain ponsel.


"Jangan bilang!" Jawab ibu dan anak itu serentak. Sasa tertawa.


"Terserah Bude dan Mas Biru saja. Saya dikasih motor, ya jelas bahagia. Yang penting ke depannya jangan jadi masalah." 


Sementara itu, Hanun sudah boleh pulang. Leon dengan setia menunggu Hanun sejak sore hingga malam hari. Tidak ada siapapun yang masuk ke ruang perawatan Hanun, selain dokter, perawat, dan juga Leon.


Pria dewasa itu begitu baik dan peduli pada Hanun. Aneka makanan selalu ia bawa, bila ia baru kembali dari bekerja. Hanun menjadi cepat pulih dan juga wajahnya lebih berwarna. Tentu saja semua karena hatinya yang tenang dan senang bisa sebentar istirahat dari memikirkan suaminya.


"Sodara saya mungkin sore baru ke sini, Sus. Gak papa kan, sampai sore saya di sini?" tanya Hanun sambil tersenyum.


"Gak papa, Mbak Hanun, tetapi infus belum kita lepas dulu ya. Kita tunggu sodara Mbak Hanun saja." Hanun pun mengangguk paham.


"Sus, mau tanya, apa ada saudara saya yang lain, yang mencari saya?" 


"Gak ada."


"Oke, baik, Sus, terima kasih ya." Hanun merasa sedikit sedih memikirkan Biru dan keluarganya yang sama sekali tidak peduli padanya. Jika memang tidak ingin lagi bersama, kenapa masih dipertahankan? Hanun melakukan nasibnya. Sore ini ia akan pulang ke rumah Leon dan pasti suami serta mertuanya nanti mencarinya. Mencari saat uang yang mereka dapat sudah habis.


Jarum jam terus bergerak sampai pada angka lima. Leon belum juga datang, padahal jarum infus di tangannya sudah dilepas oleh suster. Ia ingin sekali menelepon Leon, tetapi tidak punya HP dan ia pun tidak hapal nomor ponsel majikannya itu. 


Cklek


Hanun menoleh ke arah pintu yang bergerak terbuka. 


"Om Leon! Ya ampun, sejak pagi saya tungguin, Om."


"Maaf, Hanun, tadi sedikit repot karena ada acara lamaran di restoran. Semua sibuk termasuk saya," kata Leon sambil tersenyum.


"Wah, pasti rame ya, Om."


"Iya, rame. Mungkin kalau kita yang nikah, akan lebih rame lagi ha ha ha ... Yuk, kita sudah boleh pulang! Kamu mau jalan aja ke lift atau pakai kursi roda?" tanya Leon sigap.


"Jalan aja, Om. Saya belum sejompo Om Leon," jawab Hanun yang disertai gelak tawa. Suara renyah gadis muda itu membuat pria dewasa seperti Leon, semakin jatuh cinta. 


"Iya deh! Ayo, pegangan tangan saya aja, biar kamu gak dilirik satpam rumah sakit," ujar Leon membuat Hanun tertawa kembali. Wanita itu merasa otak dan jiwanya benar-benar segar, seperti baru hidup kembali setelah sekian bulan hidup terombang-ambing di Padang tandus rumah tangga. 


Kalimat lucu yang dilontarkan Leon, membuat Hanun merasa nyaman dengan majikannya, meskipun pria dewasa itu sesekali genit padanya. Seperti mencubit pipi, mencium pipinya tiba-tiba, sama mengusap rambut. 


"Kalau Mas Biru ke rumah sakit dan tahu saya gak ada, gimana, Om?" tanya Hanun cemas saat mereka berdua sudah berada di dalam mobil.


"Kamu tenang saja. Biarkan Biru kebingungan cariin kamu." Hanun tidak bisa membantah dan juga tidak bisa membayangkan hal apa yang terjadi nanti, saat suaminya datang ke rumah sakit dan menemukan ia tidak ada di sana.


Hanun dan Leon sudah sampai di rumah pada pukul delapan malam. Pria itu membantu Hanun turun dari mobil, juga memapah wanita itu masuk ke dalam rumah. 


"Makasih ya, Om. Saya jadi merepotkan Om Leon," kata Hanun tidak enak hati. 


"Leon, Hanun, loh, kenapa ini? Ada apa? kenapa kamu bisa dengan Hanun?" Bu Marissa baru keluar dari kamar dan terkejut melihat kedatangan putra dan pembantunya. 

***

 Hanun adalah orang yang paling terkejut, karena yang ia tahu, Bu Marissa tahu kalau ia sakit, bahkan Bu Marissa menelepon suaminya. 

 “Kamu sakit apa?” tanya Bu Marissa menghampiri Hanun yang masih berdiri di dekat Leon. 

 “Hanun sakit lambung, Ma, tapi udah baikan. Mulai hari ini, Hanun tinggal di sini dan bekerja di sini. Jadi gak perlu pulang setiap hari. Hanun bisa pulang setiap seminggu sekali atau sebulan sekali,” jawab Leon sembari melirik Hanun yang berdiri dengan canggung. Wanita itu terus menunduk karena takut dengan Bu Marissa. 

 “Oh, sakit maag. Ya sudah, langsung istirahat saja. besok saja kamu beresin rumahnya,” kata Bu Marissa paham. 

 “Makasih, Bu. Saya ke kamar dulu. Maaf jadi merepotkan Pak Leon dan Bu Marissa.” 

 “Gak papa, namanya lagi sakit. Masa harus tetap disuruh kerja, nanti kalau kamu kenapa-napa, anak saya yang repot. Udah, masuk ke kamar sana!” Hanun mengangguk patuh. Wanita itu berjalan ke kamar belakang yang biasa ia gunakan untuk beristirahat saat ia selesai mengerjakan tugas rumah. Betapa terkejutnya ia saat membuka pintu kamar, karena design kamar sudah berganti. Ranjangnya pun berbeda dari yang biasa. Ada lemari pakaian minimalis yang cantik yang senada dengan meja rias. Hanun berjalan mendekati ranjang yang sudah terpasang seprei warna biru muda. Ia menyentuh kain itu dan begitu senang saat jemarinya merasakan kelembutan dan juga rasa dingin. Ini bukanlah kamar pembantu, tetapi seperti kamar putri pemilik rumah. 

 Jika Hanun tengah menikmati keindahan kamarnya, maka Bu Marissa sedang duduk di ruang tengah untuk berbincang dengan Leon. Dua cangkir kopi sudah ada di meja, tentu saja dengan racikan tangan Leon. 

 “Mama menginap di sini?” tanya Leon. 

 “Ya, Mama menginap di sini. Gak papa’kan?” 

 “Gak papa, dong! Ada apa, Ma? Tumben sekali Mama menginap? Adel ke mana?” 

 “Adel pergi ke rumah mertuanya. Mama sekalian mau tanya sesuatu sama kamu yang kemarin belum sempat Mama tanyakan. Bagaimana setelah bertemu Renata? Mama belum dengar tanggapan kamu. Kapan mau ditentukan tanggal lamaran?” cecar Bu Marissa tak sabar. Leon hanya tersenyum tipis menanggapinya. 

 “Anaknya baik dan berasal dari keluarga baik-baik. Anak rumahan yang bisa masak, Ma. Tipe Leon sekali.” Bu Marissa menghela napas diikuti senyuman amat lebar yang terkembang pada garis bibirnya. 

 “Terus, jadinya mau dilamar kapan? Biar Mama yang siapkan semuanya. Kamu cukup duduk manis saja. Untuk uang mahar dan pesta juga akan Mama bantu.” 

 “Belum dalam waktu dekat, Ma,” jawab Leon tidak enak hati. 

 “Menunggu apa lagi, Leon? Jika sudah tipe kamu, kamu mau nunggu apa lagi? nunggu kamu sekarat? Dengar, kalau kamu kelamaan nikah, nanti punya kamu kadaluarsa, alias karatan. Gak bisa gerak karena kamu jompo.” 

 Ha ha ha ha 

 Leon tertawa terbahak mendengar keluhan sang Mama. 

 “Ya, nggak gitu, Ma. Masih bisa berfungsi kalau masih ada umurnya. Leon baru empat puluh lima tahun. Ada lelaki yang lima puluh tahun baru menikah. Mama santai aja!” 

 “Gak bisa, kalau kamu gak mau melamar secepatnya, biar Mama yang lamarin untuk kamu. Menunggu apa lagi sih? Nikah itu enak, Leon. Percaya sama Mama. Kamu pasti nanti akan bilang, seandainya nikah itu seenak ini, pasti Leon mau nikah dari dulu, Ma.” Leon kembali tertawa, lalu ia bangund ari duduknya. 

 “Ma, kita bicara besok lagi ya. Siapa tahu saya berubah pikiran. Mama juga jangan begadang ya.” Leon mencium pipi mamanya, lalu berjalan masuk ke kamar sambil membawa cangkir kopi yang masih ada setengah gelas lagi. 

 Pria itu mandi dan berganti pakaian. Ia mengambil ponselnya untuk mengecek sesuatu. 

 “Halo, Putra, gimana tugas kamu, aman? Keluarga itu gak ad keluar dari hotel’kan?” 

 “Aman, Bos, hari ini mereka check out jam sebelas siang. Dari yang saya ikuti, pria bernama Biru itu pergi ke dealer motor seken untuk membelikan motor untuk sepupunya yang perempuan itu. bukan motor mahal sih, tapi mereka beli motor.” 

 “Beli motor? Kamu yakin?” 

 “Yakin, Bos. Selesai beli motor, mereka ke mall dengan beriringan dua motor dan makan enak di mall. Ibu tua dari pria itu juga belanja baru. Seperti orang kampung yang pertama kali diajak ke mall ha ha ha.” 

 “Mereka ke rumah sakit gak?” 

 “Nggak, Bos. Ini saya masih di depan rumah mereka. Mereka lagi pada ngobrol di teras rumah.” 

 “Oh, baguslah, makasih, Putra.” Leon menutup panggilannya. 

 “Baiklah, Biru, kamu sudah menyia-nyiakan Hanun, padahal selama ini Hanun begitu membela kamu dan menjaga nama baik kamu. Bagaimanapun kerasnya saya menggoda istri kamu, tetap saja ia bilang, maaf, Om, saya masih punya suami. Ternyata kamu hanya suami jadi-jadian saja! tunggu aku akan mengambil Hanun dari kamu!”

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top