17. Minta Cerai
POV Hanun.
Aku sadar bahwa aku sekarang sedang berada di ruang perawatan rumah sakit. Suara suster hilir mudik di telinga ini dan ada juga suara dokter. Suara Mas Biru dan mertuaku. Semua dapat aku dengar dengan baik, tetapi aku sengaja menutup mata. Aku terus berpura-pura tidur karena aku tidak mau bicara dengan Mas Biru dan juga mertuaku.
Hatiku terlalu sakit dan kecewa terhadap perlakuan Mas Biru. Entahlah, setelah ini aku harus bagaimana dengan pernikahanku?
"Ya, halo, siapa ini? Benar, ini saya suaminya Hanun. Ibu siapa? Apa, Marissa? Pelanggan restoran? Oh, maaf, Bu, saya gak tahu soalnya. Istri saya berbohong karena selama ini bilangnya kerja di restoran, rupanya kerja di rumah Ibu. Iya, maafkan istri saya, Bu. Hanun lagi sakit, Bu. Cukup parah sih dan ada sedikit tindakan. Sayang sekali BPJS gak punya. Entah ini saya mau bagaimana, soalnya saya juga baru kena PHK. Oh, Ibu gak perlu ke rumah sakit, Bu. Gak papa, doakan saja Hanun lekas pulih, semoga aja ada orang baik yang mau sedikit membantu biaya pengobatan Hanun. Biayanya dua belas juta, Bu."
Aku menggertakkan gigi dengan sangat kuat. Ingin sekali rasanya meneriaki Mas Biru karena dia berbohong, meminta belas kasih dengan menjual namaku. Semoga saja Om Leon tahu dan tidak memberikannya.
"Oh, istri saya di ruang isolasi, Bu, gak bisa dikunjungi. Kalau nanti Ibu mau bantu, bisa langsung ke rekening saya saja. Saya akan sampaikan amanat Ibu untuk pengobatan istri saya."
"Siapa, Ru? Bos-nya Hanun?" tanya ibu mertuaku penasaran.
"Iya, Bu. Langsung saja saya minta kebijakannya, Bu. Hanun tuh sakit karena kecapean kerja di rumah orang kaya. Jadi pembantu itu capek Bu. Coba Hanun masih di restoran, pasti dia suka dapat tip. Jika kerja di rumah orang, ya cuma dapat capek doang. Ya, Bu Marissa harus tanggung jawab!"
"Tapi istri kamu gak sampai dua belas juta biayanya. Tadi kata dokter dan suster, mungkin empat jutaan aja."
"Ish, Ibu, ini trik, Bu. Untuk ke depannya Hanun kan gak boleh capek-capek banget dan harus kontrol. Pasti butuh uang untuk bolak-balik rumah sakit dan pemulihan."
"Mas," panggilku yang sudah tidak tahan lagi dengan suamiku. Aku tidak mau Bu Marissa dan Om Leon menganggapku bekerja sama dengan Mas Biru. Aku gak mau Bu Marissa menganggapku bersekongkol untuk memeras beliau.
"Ya ampun, Hanun, kamu udah sadar. Bikin kaget saja segala pake pingsan," kata suamiku yang menghampiriku sembari menyentuh pipi ini. Aku mengelak dengan kesal.
"Tolong pulang saja. Jangan ada di sini!" Kataku dengan lirih. Mas Biru dan ibu mertuaku begitu kaget dengan ucapanku.
"Kenapa? Kamu masih sakit'kan? Biar aku nungguin di sini. Nanti biar aku yang bolak-balik untuk urus obat kamu," katanya lagi dengan nada simpati. Ya, Mas Biru tidak tahu kalau aku mendengar semua percakapannya dengan Bu Marissa dan ibunya.
"Aku gak papa, Mas. Kamu pasti belom mandi hadas besar kan? Kamu tadi bilang apa ke dokter? Cerita gak, kalau kamu habis maksa aku berhubungan, padahal aku lagi sakit?" wajah Mas Biru tegang. Ibu mertuaku sampai menoleh sengit pada kami berdua.
"Bener begitu, Biru?" tanya mertuaku.
"Bu, suami minta jatah dikit ya gak papa, toh! Cuma karena Hanun lagi demam aja, jadinya dia lemes. Paling juga tadi pura-pura pingsan!" Katanya lagi sambil mengusap pipi ini. Lekas aku tampil jemari itu dengan kuat. Ibu mertua dan suamiku tercengang melihat apa yang baru saja aku lakukan.
Capek lahir dan batin. Ibu, anak, dan saudara yang harus aku tanggung makan dan aku urus semuanya. Bahkan mencuci pakaian mereka, tetapi sedikit pun mereka tidak peduli padaku. Jangankan meringankan pekerjaan rumah, sekedar menanyakan kabarku pun mereka enggan. Aku benar-benar capek, tetapi aku tidak tahu harus melakukan apa?
Sekali lagias Biru menyentuh kulit lengan ini.
"Jangan sentuh aku, Mas! Pulanglah, aku gak mau lihat ada kamu di sini!" Kataku lagi dengan suara bergetar menahan tangis.
"Heh, kamu ngusir anak saya? Emangnya kamu punya tempat di luaran sana? Gak boleh gitu, Hanun! Suami itu kalau lagi pengen ya harus kita penuhi. Paling juga sebentar," kata ibu mertuaku enteng.
"Satu jam setengah tidak sebentar, Bu, dan saya lagi dalam keadaan sakit. Jika saya tidak sakit, saya mana pernah menolak. Saya capek dengan semua perlakuan Mas Biru pada saya. Lebih baik ceraikan saja saya agar Mas Biru bisa hidup sesuka Mas Biru!"
"Ya, Tuhan, bibir istriku barusan bilang apa? Cerai? Ya gak bisa, Hanun, kamu akan tetap jadi istriku. Oke, aku pulang sekarang dari pada kamu makin ngaco! Tapi maaf saja untuk menceraikan kamu, tidak akan pernah aku kabulkan!"
***
"Suaminya ke mana, Mbak?" tanya perawat saat aku sedang kesusahan bangun untuk pergi ke kamar mandi.
"Biar saya bantu!" Kata perawat lagi sembari memapah tubuh ini agar bisa berdiri.
"Mau BAB atau BAK, Mbak?"
"Mau BAK, Sus. Terima kasih." Aku pun diantarkan olehnya sampai ke depan pintu kamar mandi. Aku bercermin dan mendapati wajahku sangat pucat. Sampai saat ini aku tidak tahu apa penjelasan dokter atas tubuh lemah ini. Wajahku jadi semakin terlihat tua, kusut, tidak segar, dan benar-benar tidak ada semangatnya. Jelas saja, karena bukan hanya tubuhku yang sakit, tetapi juga mentalku.
"Mari, saya bantu naik ke ranjang, Mbak," kata perawat dengan begitu sabarnya. Aku kembali mengangguk sembari menyunggingkan senyum. Kaki ini berjalan amat pelan karena tenagaku belum pulih. Lemas sekali, padahal aku sudah dapat dua botol infus. Semua terkuras habis ulah Mas Biru.
"Om Leon," gumamku terkejut saat melihat pria dewasa berkaus putih itu sudah duduk di kursi samping brangkar.
Bagaimana bisa Om Leon sudah ada di sini?
Di atas nakas sudah ada parcel buah dan juga paper bag kue bolu kesukaanku. Bolu talas. Padahal tadinya di sana tidak ada makanan apapun. Hanya ada botol air mineral satu liter yang disediakan rumah sakit. Mas Biru dan ibu mertuaku benar-benar tidak meninggalkan makanan apapun yang untukku.
"Makasih, Sus. Saya saudara Mbak Hanun, biarkan Mbak ini sama saya. Untuk kamar VIP yang saya pesan, tolong dikonfirmasi ya," kata Om Leon pada perawat itu.
"Baik, Pak, mohon ditunggu. Nanti kalau kamar sudah siap, akan kami kabari."
Perawat pun pamit undur diri setelah mengecek tekanan darahku. Aku kembali berbaring dan merasa sangat malu karena wajah jelek pucatku.
"Buat apa kamar VIP, Om? Siapa yang sakit?" tanyaku.
"Buat kamu," katanya berbisik. Ia mungkin tidak mau pasien dan keluarga pasien lain di dalam ruang kelas tiga ini mendengar percakapan kami.
"Buat saya? Untuk apa? Saya gak bisa bayarnya?" tanyaku lagi. Pria dewasa itu hanya tertawa tanpa suara.
"Nanti akan ada waktu bayarnya. Sekarang kamu sehat dulu saja. Saya repot kalau gak ada kamu di rumah. Saya tahu dari mana kalau kamu ada di sini dan mama cerita semuanya. Kata dokter kamu kelelahan dan juga sedikit terlalu bersemangat sepertinya bergulad di ranjang dengan Biru."
"Iya, Om, saya memang lagi sakit dan sudah menolak, tetapi tetap dipaksa. Entahlah, saya hanya ingat tubuh saya seperti dihempas ke jalanan, lalu saya pingsan."
"Keterlaluan sekali suami kamu itu. Sabar ya, Hanun. Pasti akan ada pelangi setelah badai. Ayo, makan dulu. Saya bawakan kue kesukaan kamu." Om Leon langsung membuka kotak kue dan mengambil beberapa potong untukku.
"Biar saya, Om," kataku sungkan, tetapi pria itu menepis pelan tangan ini, lalu meneruskan menyuapiku. Mau tidak mau, aku pun membuka mulut. Parfum yang dipakai Om Leon sangat aku suka. Aromanya bagaikan aroma terapi yang menenangkan. Tidak menyengat dan sepertinya ingin mengendusnya dari dekat. Sayang sekali Mas Biru tidak seperti beliau.
"Om, kalau saya pindah kamar perawatan, suami dan mertua saya nanti gimana? Mereka pasti tahu dan mereka akan bingung kalau saya dirawat di ruangan mahal. Jangan, Om, biarkan saya di ruangan kelas tiga ini saja," kataku tidak enak hati. Aku tidak mau ada masalah lain lagi disaat tubuh ini masih lemah.
"Gak akan, kamu tenang saja. Saya jamin, mertua dan suami kamu gak inget sama kamu yang lagi sakit. Saya benar-benar akan membatalkan rencana perjodohan saya untuk kamu, Hanun. Saya akan tunggu saja kamu menjadi janda. Tidak ada yang bisa kamu harapkan dari pria seperti Biru. Saya bukan kompor meleduk yang sengaja menyalakan api kebencian, tetapi saya lihat dan saya tahu kamu bagaimana selama dengan Biru. Jika bos restoran bukan saya, pasti kamu hari ini masih ada di penjara. Pikirkan lagi, mental kamu pasti akan terganggu jika terus bersama orang toxic."
"Om, saya sudah minta diceraikan, tetapi Mas Biru gak mau," kataku jujur. Om Leon tertawa lagi tanpa suara.
"Kalau begitu, kamu yang gugat. Apa kamu ada buku nikah?" aku menggelengkan kepala.
"Pantas saja dia semena-mena sama kamu, Hanun. Kalau gitu, biar urusan ini saya yang bereskan, kamu istirahat yang tenang di rumah sakit. Makan yang banyak dan bila nanti sudah boleh pulang, maka pulangnya ke rumah saya saja."
"Tidak boleh menolak!" Aku baru mau membuka mulut, Om Leon sudah menginterupsi.
Satu jam kemudian, aku pun dipindahkan ke ruangan VIP. Bukan lagi terlihat seperti kamar perawatan, tetapi kamar hotel. Bukan VIP rupanya, tetapi VVIP. Aku tidak tahu berapa biaya satu malam yang harus dibayarkan Om Leon untuk kamar ini. Sungguh aku sangat sungkan, tetapi aku gak bisa menolaknya.
"Bagus kan kamarnya? Kamu tenang saja. Suami kamu gak akan ganggu kamu selama kamu di rumah sakit."
"Gak mungkin, Om. Mas Biru pasti akan berkunjung ke sini dan saya nanti harus_"
"Kamu tenang saja, gak bakalan. Gak percaya? Nih, lihat HP saya." Om Leon memberikan ponselnya padaku. Di dalam layar, ada video suamiku dan ibu mertuaku seperti sedang berada di lobi hotel.
"Saya berikan mereka tiket gratis menginap di hotel satu kamar dengan dua bed, selama tiga hari. Suami kamu sangat senang dan bilang kalau bos istrinya sangat baik. Dia licik, tapi dia sebenarnya lugu. Satu lagi, gak ada tanggung jawab. Istri sakit, malah girang sekali dikasih tiket menginap di hotel.
"Sekarang saja kita nginapnya, mumpung Hanun di rumah sakit. Kalau Hanun sehat, kamu pasti gak ajak Ibu nginep di hotel. Kamu ajaknya Hanun."
Aku mendengar rekaman suara ibu mertuaku.
"Anak dan ibu yang toxic. Saya akan bantu kamu lepas dari mereka berdua, tetapi imbalan saya, kamu harus mau jadi istri saya." Wajah Om Leon semakin dekat denganku, hingga aroma mint dari napasnya bisa aku hirup dalam-dalam.
Bersambung
Ehm...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top