12. Tawaran Leon
"Ya ampun, Jeng Rissa, jadi mau mantu? Pantes aja kita-kita diundang ke sini arisannya."
"Iya, Jeng Hel, doakan lancar ya, Jeng. Masih pedekate sih, tapi sinyalnya positif kok. Paling bukan depan, udah punya mantu saya. Anak lelaki satu-satunya, paling besar lagi, jadi maklum saja kalau kriterianya suka yang aneh-aneh. Maklumlah, harta dan perusahaan gak boleh sampai jatuh ke tangan yang salah. Bener gak bu-ibu?"
"Betul sekali itu, Jeng. Mau hajatan di mana nih? GBK-kah? he he he ...."
"Nggak, Jeng, mungkin nanti ngunduh mantu di sini, paling di Hotel Harris Jakarta. Kalau akad di kampung calon anak saya, Jeng. Cantik deh, menantu saya. Orang desa, tapi ningrat. Bukan orang duafa, masih satu level dengan Leon."
Percakapan demi percakapan hanya bisa aku dengarkan saat aku menata aneka makanan di meja. Ada banyak pesanan kue yang harus aku sajikan di piring hidang. Belum lagi desert puding dan es kelapa. Makan siangnya pun ada, lontong sayur.
Aku yang belum makan apa-apa dari pagi ini, tentu saja sangat tergiur oleh aneka hidangan di meja prasmanan. Namun, aku tidak berani ambil risiko jika Bu Marissa menghitung jumlah kuenya. Ini sedang banyak orang dan aku gak boleh bikin kesalahan.
Setelah semua rapi, aku kembali ke kamar belakang untuk menyetrika. Awalnya Om Leon minta dibawa ke laundry, tetapi biar aku saja yang setrika, siapa tahu aku dapat uang ongkos lebih dari Om Leon.
"Hanun, Hanun!" Suara Bu Marissa meneriakkan namaku.
"Iya, Bu, tunggu!" Aku mencabut kabel setrikaan, lalu segera berlari menghampiri Bu Marissa.
"Lagi ngapain kamu?" tanyanya.
"Setrika, Bu."
"Oh, ya sudah, ini makanan semua sudah sampai kan?"
"Sudah, Bu. Saya cek di list menu yang Ibu minta. Makanan sudah datang semua dan sudah saya panaskan untuk kuah lontong sayurnya."
"Bagus. Kamu boleh lanjutkan pekerjaan kamu!" Aku mengangguk paham. Ingin sekali bibir ini mengucapkan permohonan ijin minta kue beberapa potong, tetapi lidahku kelu. Jika memang Bu Marissa paham, seharusnya ia yang menawariku makan.
Aku kembali menyetrika pakaian di kamar belakang, dalam keadaan perut keroncongan. Hanya air putih saja yang aku teguk sejak tadi untuk sedikit mengganjal lapar.
Waktu sore tiba. Aku baru saja selesai menyetrika dan langsung keluar menuju dapur. Mata ini terbelalak melihat begitu banyak piring kotor.
"Hanun, kamu cuci semua barang ini ya. Oh, iya, kamu sudah makan?" tanya Bu Marissa akhirnya.
"Belum makan sejak pagi, Bu." Wajah cantiknya nampak terkejut.
"Waduh, kenapa gak bilang? Ayo, makan saja lontong sayurnya. Masih ada tiga bungkus. Kamu boleh makan satu bungkus, sisa dua untuk Leon." Tentu saja mata ini langsung berbinar. Inilah yang aku tunggu sejak awal menu lontong sayur itu masuk ke dalam rumah ini. Aku ingin sekali mencicipinya.
"Terima kasih, Bu." Aku mengangguk begitu semangat. Bu Marissa keluar dari dapur, sedangkan aku sampai gemetar menahan lapar ini, mencari piring bersih yang bisa aku gunakan untuk wadah.
"Ini juga masih ada sisa kuenya. Kamu habiskan saja. Saya mau pulang dulu ya. Leon mungkin pulang malam, jadi kamu jangan lupa panaskan sayurnya."
"Baik, Bu, sekali lagi terima kasih." Bu Marissa tersenyum. Beliau pun pulang dengan mobil mahalnya, sedangkan aku tentu saja menyantap menu lontong sayur dengan tambahan semur daging itu. Walau perut sudah perih, tetapi aku tetap menikmati suasana demi suapan lontong sayur yang rasanya benar-benar enak. Jika saja aku tahu di mana Om Leon menyimpan obat, bisa saja aku menemukan obat lambung, tetapi sayang, Om Leon tidak ada di tempat. Aku ingin meneleponnya pun, tidak ingat nomornya.
Aku paksakan makan perlahan. Tentu ditemani segelas air putih hangat. Rasanya semakin pedih saja lambung ini. Aku telat makan, sehingga jadinya sakit seperti ini. Aku tidak melanjutkan makanku, tetapi aku memilih membaluri minyak kayu putih di perut ini. Air putih hangat terus aku minum perlahan untuk menghangatkan perut ini. Aku tertidur di sofa ruang tengah karena memang aku ngantuk dan juga lelah.
Sentuhan di pipi ini membuatku terbangun.
"Om Leon, aduh, maaf saya ketiduran!" Aku meloncat kaget. Ditambah aku ingat, rumah belum aku rapikan. Pria itu menahan tanganku, lalu memintaku untuk duduk kembali.
"Saya tahu apa yang terjadi selama di rumah ini. Mama yang bikin arisan di sini'kan? Tentu saja arisan tiga puluh orang tidak mungkin dibereskan hanya dengan satu orang wanita lemah yang belum makan dan sakit perut pula. Saya bawa obat maag. Kamu minum dulu ini, setelah itu baru makan lagi ya."
"T-tapi rumahnya_"
"Gak usah khawatir sama kekacauan ini. Itu di depan sudah ada orang yang akan beresin semua ini. Kamu mandi gih, sekarang udah malam banget. Udah jam sembilan. Kamu menginap saja. Temani saya di sini."
"Maaf, Om, sebelumnya terima kasih atas kebaikan Om Leon. Hanya saja, saya tidak bisa menginap. Di rumah saya sedang ada mertua dan ia menunggu saya pulang," jawabku dengan hati-hati. Om Leon mengangguk paham.
"Oke, mau saya antar? Ah, iya, kalimat saya salah. Ayo, saya antar kamu! Tenang, gak akan saya turunin di gang rumah kamu, tapi minimarket yang di dekat sana."
"Gak papa saya naik angkot saja, Om, t-tapi saya pinjam tiga puluh ribu untuk ongkos malam ini dan besok, Om." Wajahku pasti sangat menyedihkan. Seperti tengah mengemis memohon belas kasihan orang lain.
"Saya antar. Ayo, cuci muka dulu dan makan ya. Temani saya makan." Mau menolak pun percuma karena saat ini tanganku sudah ditarik paksa menuju dapur.
"Tadi sore saya sudah makan, Om."
"Iya, tapi bangun tidur, kamu pasti lapar lagi. Masih ada dua bungkus lontong. Kamu satu dan saya satu. Makan di sini sama saya." Aku pun akhirnya mengangguk setuju. Memang benar tebakan Om Leon bahwa orang yang baru saja bangun tidur, biasanya lapar. Padahal tadi aku sudah makan.
"Saya buatkan sebentar, Om," kataku lagi dengan sopan dan setengah membungkuk. Segera aku menyiapkan lontong sayur dengan aneka toppingnya, tidak lupa juga dengan taburan bawang goreng dan kerupuk.
"Ini, Om." Pria itu menaruh ponselnya di atas meja. Lalu tersenyum padaku sembari menarik piring, agar lebih dekat padanya. Aku pun melakukan hal yang sama, tetapi aku tidak duduk di dekatnya karena aku canggung dan merasa tidak pantas.
"Mau ke mana?" tanya Om Leon terheran yang melihatku membawa piring ke dapur.
"Makan di sana, Om," jawabku sambil menunjuk kursi plastik di dapur.
"Di sini saja temani saya. Tadi saya kayaknya udah bilang deh."
"T-tapi, Om, s-saya_"
"Tidak boleh menolak kalau masih ingin bekerja di sini!" Tentu saja aku langsung duduk. Jika aku tidak bekerja, mau makan apa tiga mulut yang menunggu di rumahku?
"Di kulkas ada banyak sekali kue. Kamu bawa saja. Sisakan puding buahnya untuk besok saya sarapan," kata Om Leon. Sekali lagi aku mengangguk paham. Segera aku mencuci piring setelah semua selesai, sedangkan petugas bersih-bersih lainnya yang datang, mengerjakan lainnya.
"Saya keluar sebentar," kata Om Leon pada pria paruh baya yang tengah memantau kerja para petugas cleaning. Aku mengekori beliau untuk masuk ke dalam mobil.
"Di depan saja," katanya lagi saat aku hendak membuka pintu penumpang yang belakang.
"Saya kayak sopir taksi yang lagi bawa penumpang kalau kamu di belakang." Aku tentu saja tertawa geli mendengar ocehannya.
"Mana ada sopir taksi online ganteng begini," timpalku sambil tersenyum.
"Tampan saya apa suami kamu?" sebuah pertanyaan yang membuatku terkejut.
"Suami saya dong!" Tentu saja aku berbohong. Jika memang harus jujur, Om Leon adalah pria dewasa matang yang ketampanannya bak artis Turki. Mas Biru juga tampan, tetapi karena tidak punya uang, jadi biasa saja keliatannya.
"Sudah dibawa kuenya?" tanya Om Leon membuyarkan lamunanku.
"Bawa, Om. Ini ada dalam tas." Ia tersenyum begitu ramah. Kamu diam seribu bahasa saat di dalam mobil. Aku yang tidak tahu mau membuka percakapan dari mana, sedangkan Om Leon begitu fokus dengan kemudinya.
"Kapan Om akan menikah?" tanyaku tiba-tiba.
"Gak tahu, soalnya yang saya taksir, belom cerai," jawabnya sambil menyeringai. Tentu saja aku kembali terkekeh.
"Saya nanya beneran, Om. Kapan Om nikah sama wanita yang dijodohkan Bu Marissa? Tadi pagi saat arisan, Bu Marissa keliatan senang dengan perjodohan Om Leon. Udah gak sabar punya cucu katanya." Om Leon tidak langsung menanggapi. Pria itu malah kembali tertawa.
"Mama saya emang gitu. Masih kenal dulu aja sih. Saya gak mau terlalu ngebet. Udah umur segini, kalau nikah, inginnya buat seumur hidup." Aku mengangguk setuju. Mobil berhenti tepat di lampu merah, dekat dengan perapatan tempat tinggalku. Om Leon bergerak miring menghadapku.
"Jadi, bagaimana hubungan kamu dengan Biru? Kamu masih belum punya HP ya?" aku mengangguk.
"Dijual?" sekali lagi aku mengangguk.
"Suami saya ada urusan, Om. Jadi untuk sementara HP itu dijual dulu." Suara ini hampir tidak terdengar. Tidak mungkin Mas Biru bisa mengganti barangku yang sudah ia jual. Tidak bisa dan tidak pernah, karena ya, memang tidak mau.
"Oh, begitu. Saya mau aja belikan kamu HP, tapi nanti malah diambil suami kamu lagi. Ditambah kamu setiap hari udah ke rumah saya, jadinya kangen saya ada obatnya he he he ...."
Kami terus berbincang hingga akhirnya Om Leon menepikan mobil di pelataran ruko kosong. Rumahku masuk gang disamping mini market sejuta ummat, sehingga aku tidak akan berjalan jauh.
"Hanun, bukan aku gak mau kasih kamu uang banyak, tetapi jika uang kamu lebih, maka akan diambil oleh suami kamu. Suatu hal yang biasa ia lakukan, maka nanti akan ketagihan dan ia lipa kewajibannya sama istri. Ini saya berikan uang pas tiga puluh ribu untuk ongkos kamu besok ke rumah saya ya. Simpan baik-baik." Aku begitu terharu menerima uang lembaran sepuluh ribuan baru yang masih mulus dan lurus dari Om Leon.
"Terima kasih banyak, Om. Semua yang Om sebutkan tadi benar. Cukuplah uang ini sebegao ongkos saya kerja besok. Makasih ya, Om." Aku pun keluar dari mobil dan berjalan cepat masuk ke dalam gang. Seperti biasa, ibu dan Sasa tengah duduk di teras sambil berbincang dan sesekali tertawa.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaykumussalam. Ya ampun, istri orang baru pulang jam segini," komentar ibu mertuaku sembari menatapku sinis.
"Iya, Bu, tadi di tempat saya kerja, ada acara syukuran. Jadi beres-beresnya lama," jawabku sembari mencium punggung tangan ibu mertuaku.
"Saya masuk dulu, Bu."
"Iya, jangan lupa cucikan dulu piring tuh, sebelum kamu tidur!" Seru ibu mertuaku lagi. Aku tidak menjawab, melainkan langsung meraih handuk di jemuran. Aku harus mandi agar kepala yang panas ini, bisa segera adem kembali.
"Eh, apa ini?" aku mengerutkan kening saat melihat ada bekas darah di lantai sumur. Ada juga celana dalam masih ada noda darahnya, tetapi belum dicuci.
"Sasa, Sasa!" Panggilku dengan suara tidak senang. Siapa lagi yang sedang datang bulan kalau bukan Sasa. Gadis muda itu tidak menyahut. Aku yang gemas, langsung menghampiri Sasa yang asik mengobrol dengan ibu mertuaku.
"Ini punya siapa di kamar mandi dan masih ada darahnya?!" tanyaku dengan suara emosi.
"Punya saya, Mbak," jawab Sasa dengan senyum canggung.
"Sasa itu gak bisa cuci celana dalam yang kena darah haid. Kamu kan mau nyuci, sekalian aja kamu cucikan. Begitu aja jangan dianggap masalah," sela ibu mertuaku santai.
"Apa? Saya yang cuci? Gak salah? Mana mau saya nyuci darah haid punya orang. Belum lagi di kamar mandi masih ada noda darahnya berceceran. Kamu masih gadis, tapi joroknya minta ampun! Jijik saya lihat kamu yang jorok gini! Kalau kamu gak mau nyuci celana dalam yang ada darah haidnya, maka akan aku bakar saja celana ini!"
Bersambung
Tahan esmosi, tahaaaann wkwkwkwkw Biru sekeluarga emang ngeselin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top