10. Perjodohan
POV Leon
"Umur kamu sudah terlalu tua dan mama kamu ini gak sanggup kalau harus menunggu lebih lama lagi untuk mendapatkan cucu dari kamu. Dua adik perempuan kamu sudah menikah dan masing-masing punya satu anak. Tinggal anak lelaki Mama satu-satunya yang belum memberikan Mama menantu, apalagi cucu. Jadi, Mama sudah putuskan untuk menjodohkan kamu dengan Renata. Wanita baik-baik dari keluarga terpandang. Mama menjodohkan kamu bukan dengan wanita karir karena Mama ingin kamu ada yang mengurus. Apa kamu paham?" aku meletakkan cangkir kopi ke atas meja. Selalu hal ini saja yang menjadi perdebatanku dan mama bila ia datang berkunjung ke rumahku.
Aku ingin menikah, Ma, tapi dengan Hanun. Mana sanggup bibir ini mengatakan hal demikian karena nanti Hanun yang mendapatkan celaka.
"Leon tidak menolak, tetapi juga tidak sepenuhnya setuju. Berikan alamat Renata, nanti Leon berkunjung. Alamat kantor atau alamat rumah orang tuanya juga gak papa," kataku pada mama. Wajah wanitaku itu langsung berubah cerah. Ia bahkan bergegas menghampiriku, merasa tidak percaya mungkin dengan yang barusan aku ucapkan.
"Kamu yakin, Nak?" tanya mamaku dengan mata berkaca-kaca. Aku tersenyum tipis, menyentuh punggung tangan yang mulai keriput itu.
"Iya, kali ini saya yakin. Tapi, jika saya merasa tidak cocok, maka Mama gak boleh maksa." Aku mencium punggung tangan mamaku, lalu bergegas masuk ke dalam kamar. Di dalam kamar, aku memantau CCTV restoran. Aku tersenyum melihat Hanun yang bekerja dengan ramah melayani pelanggan yang akan membayar tagihan makan. Hanun juga tidak pelit senyum dan bahkan ada beberapa pelanggan memberikan feedback atas pelayanan restoranku, termasuk menyebutkan kasir yang cepat tanggap dan juga ramah.
Jika saja Hanun belum menikah, pasti Mama tidak perlu repot mencarikan aku istri. Namun, sungguh sangat disayangkan karena Hanun masih menjadi istri seorang lelaki bajingan.
Kring! Kring!
"Halo, kenapa? Apa kamu udah dapat informasi tentang pria bernama Biru?"
"Udah, Bos, rupanya pria itu sudah tidak kerja di pabrik, Bos. Udah dipecat dan saat ini sedang mencari pekerjaan lain. Memang orangnya tempramen, berlagak banyak duit, dan sering nongkrong di cafe. Mungkin baru ini saja informasi yang saya terima Bos."
"Ini sudah cukup. Bantu saya mengawasi pria itu ya. Jika ada gelagat aneh, maka langsung kabari saya."
"Siap Bos Leon." Aku menutup panggilan itu. Pantas saja Biru merongrong Hanun ini dan itu, tenyata pria itu tidak bekerja, tapi sepertinya ia tengah menutupinya dari Hanun.
Aku melupakan sesuatu. Laptopku tertinggal di restoran.
"Ma, saya ke resto, mau ambil laptop!" Seruku pada mama yang ada di kamar tamu.
"Udah malam, Leon. Besok saja!" Jawab mama dari dalam kamar.
"Gak papa, sebentar aja." Aku pun langsung menyambar kunci mobil yang ada di gantungan. Mengendarai mobil pada jam sembilan malam tidak begitu stres. Beda jika harus menyetir di jam enam pagi sampai jam sembilan malam.
Setengah jam saja aku sudah sampai di restoran. Keadaan sudah sepi. Hanya ada mamang parkir yang tengah duduk menghitung hasil pendapatan parkir hari ini.
"Banyak, Mang?" tanyaku sekedar basa-basi.
"Eh, Bos Leon. Alhamdulillah lumayan. Ada apa balik malam-malam, Bos? Ada yang ketinggalan?"
"Iya, laptop saya. Apa semua udah balik?" tanyaku penasaran.
"Udah, sisa Mbak Hanun saja lagi siap-siap pulang." Aku mengangguk paham. Lalu masuk lewat pintu samping yang memang belum dikunci. Aku hendak mengagetkan Hanun dengan melepas sepatuku. Akan sangat beruntung jika ia terkejut dan berlari memelukku secara spontan he he he
Tunggu, m-mau apa gadis itu? Aku terkejut melihat Hanun mengendap-endap mengambil tumpukan uang yang diikat kertas, lalu hendak ia masukkan ke dalam tasnya.
"Hanun, apa yang kamu lakukan?!" tanyaku. Hanun diam sejenak, sebelum akhirnya ia berbalik sambil menutup mata dan juga menunduk.
"Om Leon, i-itu, ini saya_"
"Kamu mencuri, Hanun?" gadis itu begitu ketakutan hingga wajahnya pucat.
"Saya butuh uang dan saya udah gak bisa kasbon lagi, jadi_"
"Ikut saya ke kantor polisi!"
"Jangan, Om, s-saya bisa jelaskan!" Hanun menahan tubuhnya.
"Ikut atau saya teriakin kamu maling!" Ancamku dengan wajah serius.
**
Tentu semua hanya gertakan saja. Mana tega aku membiarkan wanita yang aku cintai masuk penjara. Bukan hanya isi brangkas di restoran yang jika ia mau menjadi istriku, maka restoran ini pun bisa menjadi miliknya, tetapi selagi ia masih dalam ikatan pernikahan, tentu saja aku tidak boleh gegabah. Nanti Hanun juga yang susah.
Sebuah kesempatanku membawa Hanun ke rumah yang hanya sesekali saja aku kunjungi. Ia tidur di kamar bersamaku malam ini, tetapi ia di ranjang dan aku di sofa. Tidak apa aku mengalah, karena aku tahu dia lelah. Suami yang ia harapkan bisa menjadi tumpuan harapan, malah memperalatanya. Bagaimana caraku untuk memberitahu Hanun, karena wanita di depanku yang sedang tidur ini salah mencintai pria?
Mas, saya lagi gak punya uang. Saya gak bisa kasbon.
Aku menoleh terkejut saat Hanun meracau dalam tidurnya. Kuhampiri ia dengan wajah lelah dan sangat sederhana. Kulitnya sawo matang, tidak putih seperti impian kebanyakan kaum Adam. Aku lebih suka kulit wanita asia yang sensual.
Sangat pelan dan hati-hati aku mendaratkan ciuman di kening, lalu hidung, lanjut di bibir padat nan menggoda itu. Mana bisa aku tahan gejolak pria dewasa yang selama ini sangat menyiksaku. Tidak apa aku dibilang pecundang, asalkan aku mendapatkan apa yang aku inginkan.
Sebuah potret saat Hanun tidur berhasil aku ambil dengan sempurna. Foto itu pun langsung aku jadikan wallpaper aplikasi WA. Kupandangi wajah wanita yang membuatku tergila-gila ini, hingga akhirnya aku pun terlelap.
Pagi harinya, aku bangun lebih dahulu dan sudah membuatkan sarapan untuk kami berdua. Walau hanya roti bakar, tapi aku senang melakukannya.
Ponsel Hanun berdering. Gadis itu nampak terkejut. Aku setengah berlari menghampirinya.
Sekilas percakapan Hanun dengan orang di seberang sana bisa aku dengar.
"Suami saya ada di restoran, Om," katanya cemas.
"Oke, kamu bisa duluan ke resto. Itu seragam kamu ada di ruang setrika. Bisa langsung kamu pakai saja." Hanun mengangguk gugup. Gadis itu berlari cepat menuju ruangan yang aku katakan. Kuambil beberapa lembar uang merah dan juga biru sebagai bekal untuknya. Aku juga memesankan ojek online.
"Ambil ini buat kamu. Ojeknya sudah di depan. Jangan panik ya. Semua akan baik-baik saja!" Aku tersenyum padanya sambil mengusap pucuk kepalanya juga.
"Om, i-ini_"
"Sudah, ambil saja! Cepat sana ke resto!" Hanun mengangguk paham dan bergegas keluar. Kini gantian ponselku yang berdering. Nama Mama muncul di layar. Pasti Mama ingin memastikan ku jadi berangkat ke Yogyakarta atau tidak?
"Halo, Ma."
"Kamu di mana?"
"Di rumah, belum berangkat."
"Memang pesawat jam berapa? Kamu jangan sampai kesorean sampai di rumah orang tua Renata. Tidak enak nanti Mama."
"Pesawat jam sembilan, Ma. Ini mau ke bandara. Mama tenang saja. Gak akan telat. Udah ya, Leon jalan dulu. Nanti kalau udah sampai di rumah Renata, Leon video call."
Aku menutup panggilan itu. Lalu segera menyambar kunci mobil. Mobil akan aku taruh di bandara saja, besok saat aku balik dari rumah Renata, aku tidak perlu naik taksi.
Perjalanan setengah hati ini sudah aku laksakan dengan waktu tempuh satu jam lebih dua puluh menit. Pesawat mendarat di bandara Adisutjipto dengan lancar dan selamat. Hanya sebuah ransel berisi satu stel pakaian tidur dan baju kaus berkerah untuk besok aku pakai saat pulang. Aku tidak berniat berlama-lama berada di rumah orang tua Renata.
Menjemput Michael Leon Prasetya
Aku membaca sebuah tulisan besar yang dituliskan pada kertas karton putih. Wajah orang di balik karton itu tertutupi, sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya.
"Permisi, saya Leon Prasetya," kataku sambil menurunkan sedikit karton putih tersebut, sekalian agar aku bisa melihat wajah orang di sana.
"Eh, Mas Leon. Halo, apa kabar? Saya Adelia Renata." Wanita berwajah ningrat itu mengulurkan tangannya padaku. Tentu saja aku tersenyum dan menyambut uluran tangannya.
"Maaf kamu sudah lama menunggu ya?" tanyaku sedikit tidak enak hati.
"Gak, kok, Mas, baru saja sepuluh menit yang lalu. Mas sudah makan? Apa mau makan dulu baru ke rumah?"
"Mm ... ngopi aja mungkin, kepala saya sedikit pusing."
"Oh, oke, ada di sebelah sini!" Wanita bernama Renata itu membawaku berbelok ke arah kiri setelah pintu keluar penumpang.
Kami memesan satu kopi dan satu es kopi dengan jelly. Tentu saja es kopi jelly adalah pesanan Renata.
"Terima kasih, Mas sudah jauh-jauh ke sini untuk bertemu dengan saya dan kedua orang tua saya. Pasti Mas sibuk banget ya?" aku tersenyum tipis.
"Iya, gak papa. Sekalian silaturahmi juga. Nambah teman dan saudara." Wajah Renata nampak tidak nyaman dengan ucapanku barusan.
"Jika memang belum berjodoh, gak mungkin kita bermusuhan kan? Bisa saja kita jadi saudara. Betul tidak?" kataku masih dengan senyuman mengembang.
"Tapi saya berharap kita berjodoh, Mas. Wanita itu memajukan tubuhnya hingga begitu dekat denganku."
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top