Maaf
Setelah sekian lama berlalu, tak ada satu hal pun yang dapat membuat Monika berubah. Semuanya masih sama. Setiap detik berganti, pun menit, Monika masih menjadi sosok yang sama. Diam, penuh kehampaan. Tak ada yang tahu, bagaimana perasaan gadis itu. Apakah bahagia menyelimutinya? Atau justru kesedihan melingkupi hatinya. Semua hal tentangnya tak pernah tertebak. Tak pernah bisa terjangkau, oleh tangan siapapun. Tak terkecuali Nafis.
Sosok pemuda yang selalu mendampinginya tiga tahun belakangan. Sekilas Nafis dan Monika memang terlihat dekat. Monika yang selalu menampilkan senyumnya pada Nafis, menatapnya lembut. Namun Nafis tahu, semua itu hanya topeng yang Monika kenakan. Agar apa-apa tentangnya, tak pernah terlihat. Tak pernah tertebak. Mungkin Nafis terlihat seolah sangat mengenali Monika, jika diliat dari bagaimana sikapnya ketika bersama gadis itu. Tapi salah. Nafis tak tahu apa-apa. Nafis tak pernah tahu bagaimana perasaan Monika sebenarnya. Bahkan apa yang gadis itu pikirkan.
Yang Nafis lakukan hanya diam. Berusaha mengerti apa pun yang Monika lakukan. Berusaha untuk tidak ikut campur dalam apa pun tentangnya. Semuanya hanya formalitas. Hubungan antara manager dan artisnya. Hanya sebatas itu. Nafis berusaha untuk tidak menuntut lebih kendati hatinya ingin.
"Waktunya makan malam. Biar saya pesankan." Nafis berkata pelan. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengganggu Monika yang sedang melamun.
"Nasi goreng Pak Kali aja." Suara itu terdengar lirih. Sekalipun bibirnya menyunggingkan sebuah senyum. Nafis bahkan tidak bisa membedakan apakah senyum itu benar-benar tulus atau tidak.
Kali ini Nafis tidak berniat untuk meneruskan obrolan. Ia segera menyingkir. Membiarkan Monika sibuk dengan pikirannya selagi jadwalnya masih senggang.
Monika mengembuskan napasnya pelan begitu sosok Nafis perlahan hilang dari pandangannya. Sebenarnya Monika tidak bermaksud apa-apa. Ia hanya ingin melindungi dirinya, tentu dengan caranya sendiri. Monika tidak ingin seorang pun tahu, bagaimana kehidupan masa lalunya. Bagaimana perasaannya. Atau apa yang ia pikirkan. Monika hanya ingin diri dan jiwanya aman. Itu saja.
Kendati apa yang ia lakukan sama sekali tidak membuatnya merasa aman, Monika merasa hanya ini yang bisa ia lakukan. Hanya ini cara agar ia perlahan berdamai. Dengan hatinya, hidupnya, juga rasa bersalahnya. Monika hanya ingin hidup tenang, jauh dari rasa bersalah. Walaupun rasa itu selalu hadir, menghantui setiap detik dalam hidupnya.
Monika ingin lupa, tapi tak bisa. Ia ingin lepas, namun tak juga bisa. Ia bahkan nyaris mengakhiri dirinya jika saja tidak bertemu dengan Nafis waktu itu. Monika bersyukur bertemu dengannya. Pemuda baik hati yang kadang Monika sesali. Mengapa pemuda baik seperti Nafis mau membantunya? Monika tak bisa menjanjikan apa-apa. Ia tak bisa memberi apa-apa, selain upah hasil jerih payahnya menjual suara.
Helaan napas kembali terdengar begitu Monika kembali hanyut dalam lamunan. Andai saja ... ia tidak memaksakan kehendaknya waktu itu, mungkin semuanya tidak akan berakhir seperti ini. Mungkin saja Monika bahagia dengan hidupnya, tanpa merasa gelisah. Juga rasa bersalah.
Sudah tiga tahun, dan ia belum bisa melupakan apa yang telah terjadi. Bagaimana kobaran api dalam sekejab memusnahkan dirinya yang dulu. Menghilangkan jiwanya yang selalu tersenyum tulus dan penuh asa. Monika merasa mati saat itu juga. Tak tahu arah dan tak tahu harus ke mana.
Pikirannya kembali berkelana ke masa lalu. Di masa jiwa Monika masih ada. Di mana rasa bahagia selalu melingkupi setiap detiknya. Monika ingat dengan jelas ia berjanji, pada lelaki tua yang selalu ia panggil, ayah.
"Ayah, Monika janji, Monika akan selalu ada di sisi Ayah. Akan selalu menjadi kebanggaan Ayah. Monika janji. Tapi Ayah juga harus janji, Ayah bakal bahagia di saat apa pun." Itu kata manis terakhir yang Monika ucapkan di hadapan ayahnya. Saat itu sang ayah hanya bisa tersenyum sembari merangkul anaknya. Mengusak rambut halusnya dengan lembut. Dan di hari itu, Monika merasa benar-benar bahagia.
Satu tetes air mata jatuh, kala Monika mengingatnya. Ia tak bisa terus-menerus begini. Tapi Monika juga tak bisa merasa bahagia. Seolah ia lupa bagaimana caranya bahagia. Bagaimana tersenyum dari hati. Dengan cepat, ia mengusap bekas air mata tersebut. Berusaha tersenyum. Senyum yang Nafis tahu, bukan senyuman dari hati.
Monika menoleh begitu mendengar suara langkah kaki menuju tempatnya. Ia tahu kalau itu Nafis. Monika segera menyambut pemuda itu dengan senyumnya, seolah ia sangat menunggu kedatangannya. Nafis pun turut tersenyum.
"Mau makan di sini, apa di luar?"
"Di meja makan saja." Kemudian keduanya melangkah beriringan. Mengambil sebuah piring dan sendok lalu lenyap dalam keheningan. Hanya suara sendok dan piring beradu yang terdengar.
Sesaat setelahnya, Nafis membuka suara. Beruntung ia bisa dengan cepat menandaskan makanannya.
"Besok tanggal 27. Saya sudah kosongkan jadwalmu. Kamu bisa pergi ke tempat itu, seperti biasa."
Ucapan Nafis membuat Monika terdiam sejenak. Bagaimana ia sampai lupa pada tanggal itu? Tanggal di mana semuanya terjadi. Tanggal di mana kobaran api itu menimbulkan efek dahsyat, bagi hidupnya. Monika segera menghabiskan sisa makanannya. Minum sejenak sebelum mengucapkan terima kasih kepada Nafis.
.
Pagi-pagi sekali Nafis sudah datang ke apartemen Monika. Hanya memastikan gadis itu pergi ke tempat yang tak pernah Nafis tahu. Setiap bulan, tepat di tanggal 27 Monika selalu keluar. Ia berasalan pergi ke suatu tempat. Nafis awalnya berusaha untuk mencari tahu, namun usahanya selalu gagal. Gadis itu punya cara tersendiri untuk bisa bebas dari jangkauannya. Hingga akhirnya Nafis sadar diri untuk tidak terlalu mencampuri urusan artisnya.
Nafis begitu terkejut ketika sampai. Ia masih melihat Monika dengan pakaian serba hitamnya. Tertunduk dalam di meja makan. Nafis tak tahu apa yang telah terjadi. Ia hanya berjalan mendekat, lalu mengusap bahu gadis itu perlahan. Membuat Monika mendongak lalu tersenyum. Mau tak mau Nafis ikut tersenyum.
"Pergilah. Sudah hampir siang." Monika hanya mengangguk. Lalu mengambil syal hitamnya, kacamata beserta masker. Penampilannya yang seperti itu bisa saja membuat orang curiga. Tapi Nafis hanya diam, tidak menyuruhnya berganti baju, hanya memandang punggung kecilnya yang perlahan mulai menghilang.
Seolah baru saja mendapat ilham, Nafis buru-buru menyambar kunci mobilnya. Untuk kali ini saja, ia akan kembali berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Untuk kali ini saja, ia ingin Monika terbuka. Ia ingin Monika berubah. Menjadi benar-benar bahagia.
.
Sejauh ini, ia berhasil mengikuti Monika. Sepertinya, gadis itu tidak sadar sedang ia ikuti. Nafis terus memandangi taksi yang membawa Monika pergi. Perlahan tapi pasti, Nafis tahu ke mana tujuan gadis itu. Sebuah desa yang jauh dari keramaian kota.
Monika turun dari taksi. Berkata pada supir itu, untuk menunggunya sebentar saja. Ia melangkah perlahan sembari memegang erat buket bunga di tangan. Berharap detak jantungnya segera normal. Juga berharap rasa sesak di hatinya lenyap. Tapi tak bisa. Semakin mendekati tempat itu, rasa sesak, bersalah, sakit, bercampur menjadi satu. Semuanya terasa menyakitkan. Bahkan tanpa sadar, Monika meneteskan air matanya.
Hingga akhirnya langkah kaki Monika terhenti. Di depan sebuah bangunan yang tak lagi bisa dikenali. Bangunan kecil di pelosok yang sudah lama tak ditinggali. Sebuah bangunan yang membuatnya mati. Jiwanya pergi seiring kobaran api melahap rumah mungilnya ini. Rumah yang dulu membuat Monika merasa benar-benar hidup, benar-benar bahagia.
Tangan mungilnya bergetar, terangkat mengusap air yang baru saja membanjiri pipinya. Monika hanya mampu terdiam, berdiri dengan kaki lemas, tangan bergetar dan dada yang terasa sesak. Monika benar-benar menyesali apa yang pernah terjadi. Di rumah ini, di sebuah bangunan kecil yang hampir seluruhnya habis oleh lalapan api.
Monika teringat sesaat sebelum semuanya terjadi. Ia yang marah pada ayahnya, ia yang berteriak di depan ayahnya, hingga ia yang pergi dengan tangan terkepal. Kesal juga marah bukan main pada sang ayah yang tak mengijinkan jalan hidup yang akan ditempuhnya.
Malam itu, adalah malam yang benar-benar Monika benci.
"Ayah itu kenapa, sih? Katanya pengen Monika bahagia. Katanya pengen Monika jadi orang sukses, tapi saat tawaran itu datang, Ayah menolaknya. Maksud Ayah apa? Monika cuma mau Ayah bangga. Monika cuma mau Ayah hidup bahagia, tanpa mikir besok bakal makan apa. Monika cuma bisa nyanyi, dan hanya itu yang bisa menyelamatkan kita saat ini." Bentakan Monika terdengar ke seluruh penjuru rumah mungilnya.
"Ayah memang pengen kamu bahagia. Tapi tidak dengan cara ini. Bukannya Ayah sudah bilang, apa pun yang kamu inginkan, lakukan. Tapi tidak untuk bernyanyi. Kamu ini anak gadis. Perempuan tidak sepatutnya menjual suara indahnya dengan harga murah. Kamu paham, kan?" Dan sang Ayah hanya membalas dengan nada yang terdengar lembut namun tegas.
"Ayah tuh, nggak ngerti apa-apa! Nggak tahu apa-apa! Monika nggak jual suara. Monika hanya menyanyi. Nyanyi, Ayah!"
"Itu sama saja kamu menjual suaramu, Nak. Dan Ayah tidak pernah mengijinkan."
Dengan perasaan marah serta kecewa, Monika pergi dalam diam. Meninggalkan sang ayah, yang tanpa seorang pun tahu, sedang berjuang untuk tetap hidup. Malam itu, beberapa saat setelah Monika pergi, kobaran api melahap hebat rumahnya. Membunuh ayahnya yang sempat bertahan hidup untuk mencarinya.
Dan Monika benar-benar menyesal. Mulai dari hari setelahnya. Hingga saat ini.
"Maaf." Hanya kata itu yang bisa Monika lontarkan. Sesaat setelahnya ia terjatuh. Terduduk dengan rasa bersalah yang teramat sangat. Bahkan buket bunga yang sempat ia pegang terpental cukup jauh saat ia jatuh.
Monika semakin menunduk, menepuk dadanya yang terasa kian sesak. Terkadang memukul kepalanya, enggan mengingat hal menyakitkan itu tapi tetap saja tergambar jelas. Monika benar-benar ingin lupa. Tapi tak tahu bagaimana caranya. Ia ingin lepas. Beban ini terlalu berat. Tapi Monika ... tak pernah bisa melakukannya.
Ia pernah mencoba untuk tetap tegar. Untuk terus melanjutkan hidupnya kendati dihantui rasa bersalah, tapi tak bisa. Berat sekali rasanya sekedar menghela napas. Seolah Monika tak pernah bisa bernapas lega. Ia akan selalu teringat kenyataan buruk ini. Ia selalu teringat janji yang tak pernah ia tepati. Monika selalu mengingat, saat terakhir kali menatap sang ayah. Saat terakhir kali melihat senyum teduhnya.
Sungguh, Monika ingin melihat senyum teduh itu. Sedetik saja, sudah cukup. Tapi ia tak pernah lagi melihatnya. Sekalipun dalam mimpi. Seolah sang ayah terlalu kecewa hingga tak pernah datang dalam mimpinya.
Nafis yang baru saja tiba, melihat dari kejauhan Monika terduduk. Ia terdiam. Ikut menatap rumah yang telah hancur separuhnya. Terlihat jelas bahwa rumah di depannya ini pernah terbakar parah. Bisa Nafis tebak, rumah ini mungkin adalah tempat tinggal Monika dulu. Bisa jadi juga tempat ini adalah tempat yang menjadikan Monika seperti sekarang, tak tersentuh.
Segera Nafis berlari. Menghampiri Monika lalu memeluknya dari samping. Dan Monika yang tak sempat memikirkan apa-apa selain rasa bersalahnya, semakin menangis. Menyerukan maaf berkali-kali. Nafis semakin erat memeluknya. Meski tak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi.
"Menangislah, jika hanya hal itu yang bisa membuatmu lega."
Akhirnya hari itu, tepat di tanggal itu, Monika tak bisa menahan semuanya. Ia tak lagi bisa bungkam. Kini, semuanya telah terurai. Nafis, mengetahui segalanya. Tentangnya, hidupnya, juga rasa bersalahnya.
.
Hari-hari berikutnya diisi hal yang tidak biasa. Monika yang mencoba perlahan melepaskan semua yang telah terjadi, dengan tersenyum dari hati. Perlahan mulai tertawa karena candaan sederhana dari Nafis. Pun membuatnya sedikit demi sedikit terbuka. Tentang apa pun yang ia rasa pada Nafis. Semua terasa lebih baik, setidaknya bagi Monika.
Kini, Monika benar-benar bisa merasakan rasa bahagia yang sederhana. Bersama Nafis, perlahan ia bisa berlari, menggunakan kakinya untuk terus maju. Tak tetap di tempat, apalagi mundur ke belakang. Semua terasa mudah. Pemuda itu terus membantunya. Kembali dari keterpurukan menuju awal kebahagiaan. Meskipun tak semuanya bisa ia lupakan. Setidaknya, ia bisa bahagia.
"Beberapa menit lagi, giliran kamu. Ingat liriknya, jangan sampai lupa. Dan jangan sampai mempermalukan saya." Di seberang sana, melalui sebuah sambungan telepon, Nafis berujar. Membuat Monika tertawa. Karena ia tahu betul, Nafis tak pernah merasa dipermalukan.
"Iya, iya. Saya ingat, kok." Monika tersenyum di depan cermin besar. Saat ini ia tengah didandani. Tampil di sebuah acara besar, memang perlu persiapan yang besar pula.
"Saya sepertinya telat. Jalanan di sini macetnya terlalu parah."
"Santai. Tidak perlu buru-buru. Masih ada waktu setengah jam. Meskipun kamu telat, saya yakin, kamu masih bisa menyaksikan penampilan saya." Nafis tersenyum di dalam mobilnya.
"Saya selalu menantikan suara kamu."
"Kalau begitu, jangan sampai terlalu terlambat."
Monika menutup sambungan teleponnya. Menatap dirinya dalam cermin besar itu. Benarkah ia sudah benar-benar bahagia? Jawabannya adalah iya. Terlihat dari pipinya yang kian melebar. Monika bahagia hingga ia hanya bisa makan dengan lahap. Berusaha sejauh mungkin membuang rasa bersalahnya.
Nafis benar, ia tak seharusnya merasa begitu. Semua orang tahu, kejadian yang menimpa ayahnya tak pernah terencana. Terjadi begitu saja. Nafis menyebutnya musibah. Monika tak pernah mengerti apa arti kata itu sebelumnya. Yang ia tahu, ialah yang bersalah. Salah karena tega meninggalkan sang ayah sendiri. Kini, rasa itu perlahan menghilang seiring
senyum tulus yang selalu terbit di wajah cantiknya.
.
Nafis berlari masuk ke dalam gedung. Ia bahkan sampai tidak sadar napasnya sendiri terengah. Berkali-kali matanya menatap jam yang terpasang rapi di lengan kanannya. Waktu menunjukkan bahwa Monika telah tampil di panggung sana. Panggung megah yang dulunya hanya sebuah impian. Nafis senang, ia bisa mewujudkan mimpi gadis berumur 23 tahun itu.
Suara merdu Monika menyambut pendengarannya ketika ia sampai dan duduk di kursi yang telah disediakan. Matanya tak kunjung lepas dari sosok yang berdiri dengan gaun putih anggun di atas sana. Gadis yang kini tengah mengerahkan segenap kemampuannya untuk memukau para tamu undangan. Untuk kali ini saja, Nafis tak ingin berpaling dari sosok itu. Sosok tegar yang aslinya rapuh. Sosok tak tersentuh yang akhirnya bisa Nafis sentuh, segala tentangnya.
Tegar
Ku kan coba melewatinya
Nafis tersenyum lebar di tempat. Merasa yakin bahwa kini, Monika benar-benar bisa melewati semuanya.
Lepas
Lepaskan semua yang sudah berlalu
Gadis itu sudah lepas. Dari beban dan rasa bersalah yang selama ini membelenggunya.
Tapi tanpa dirimu tak mungkin
Ku terus berlari tanpa kaki
Erat
Ku kan bertahan janjiku
Tekad
Ada untukmu sampai selamanya
Tapi tanpa dirimu tak mungkin
Ku terus berlari tanpa kaki
Gemuruh tepuk tangan terdengar begitu suara memukau milik Monika mengakhiri lagu. Sebuah lagu milik GAC, sukses Monika bawakan. Terbukti dari suara tepuk tangan yang terdengar kian keras.
Di atas sana, Monika tersenyum penuh binar. Ia benar-benar bahagia. Berdiri di atas panggung megah diiringi tepuk tangan meriah. Ia bangga dan Monika rasa, ayahnya juga merasakan hal yang sama. Di tempatnya berada.
Tamat
310519
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top