Part 1.

AN; Kagok sekali nulis ini sudah lama gak update. Yang kangen Will dan Glenn sabar duyu, besok aku update lagi!❤❤
Maafkan kalau cerita awal rada gaje, semoga mengerti seiring alurnya jalan ya!

___

"Glenn Muller" Cezanne terus mengingat nama itu di kepalanya. Disampingnya duduk Junghae dengan tangannya bermain liar pada paha mulusnya, menciptakan sedikit rona pada pipinya. Dia berharap lelaki itu berhenti.

"Stay away from Will Baxter" Junghae berkata tiba-tiba.

"Sebenarnya ada apa sih? Kenapa kau begitu membencinya?" Cezanne menoleh pada Junghae yang sedang menyentuh bibir bawahnya sendiri.

"Kau tidak perlu tahu" Junghae menjawab ketus.

Will Baxter, lelaki tampan bermata biru itu memang menangkap perhatiannya. Sopan, lucu, pintar berdansa, dan senyumannya juga tidak kalah seksi. Dia masih bisa merasakan guratan kasar tangannya saat mereka berdansa tadi.

Walaupun Will Baxter cukup mempesona, dia hanya peduli tentang Glenn Muller, lelaki yang sedari tadi mengganggu pikirannya.

Glenn Muller dan ketampanannya yang tiada dua. Rahang tegasnya dan juga senyum manis yang membentang di bibir tipisnya itu. Maskulin sekali, dengan aroma tubuh khas lelaki, musk, dengan sedikit aroma tembakau bercampur menjadi satu.

Bulan saja kalah indah darinya tadi. Pesona Glenn Muller memang menakjubkan.

Junghae menyelipkan kertas cek di belahan dadanya secara tiba-tiba, membuat Cezanne mengerjap terbangun dari lamunannya. Entah mengapa belahan dadanya itu menjadi tempat favorit lelaki sejak tadi.

"Ini bayaranmu. Akan kuhubungi lagi jika aku membutuhkanmu" Junghae berbisik.

"Kau yakin tidak mau nominal yang lebih besar?" Dia mendekatkan bibir basah lembutnya pada telinga Cezanne, membuat gadis itu bergidik geli.

"Hmm?" Dia menatap lelaki itu dalam, hingga wajah mereka tersisa beberapa sentimeter saja.

"Semalam saja?" ujarnya menggoda.

"Tidak" Cezanne menggeleng.

"Satu Ciuman?"

"Tidak Tuan Junghae"

Lelaki itu merengut.

"Aku lihat kau sempat berbincang dengan Glenn Muller?" Tatapannya berubah serius.

"Apa kau sama bodohnya dengan perempuan - perempuan itu hmm? Terpesona dan menyerahkan segalanya?"

"Aku tebak dia sudah memesan kau untuk malam ini kan? Gratis?" Junghae mengencangkan rahangnya.

"Tidak.." Jawab gadis itu dingin.
"Glenn Muller terlihat berwibawa dan penuh sopan santun" ujarnya lagi, kalimat singkat yang terasa bagai tamparan diwajah tampan Junghae.

"Iyakah? Lalu kau mau menyerahkan madu manismu itu secara gratis hanya karena dia seorang yang sopan?"
"Begitu maksudmu?" Junghae menggenggam tangannya, memaksa Cezanne menatap matanya.

Cezanne tahu apa yang dia maksud dengan madu. Cezanne belum menyerahkan madunya pada siapa-siapa. Pekerjaannya memaksa Cezanne menampilkan tubuhnya di depan kamera, namun tak seorangpun pernah menyentuh tubuhnya.

"Aku tidak berniat menyerahkannya pada siapa-siapa tuan Junghae" Gadis itu membelalakan matanya.

"Tidak untuk apartemen mewah dengan segala isinya jadi milikmu?" Junghae berbisik lagi. Kini dengan desahan yang membuat lutut gadis itu  bergetar.

Junghae mengulang suara gadis itu diingatannya. Jadi, bisa dibilang gadis di depannya ini adalah seorang virgin?. Junghae malah merasa bersalah telah berimajinasi merusaknya di ranjang tadi.

Cezanne mengulum bibirnya. "Aku tidak bisa menjawab apa-apa Tuan Junghae" ujarnya.

"Pergilah dan jatuhkanlah harga dirimu pada Glenn Muller, merangkaklah memohon dia mencintaimu" ujar Junghae sinis.

Cezanne tidak tahu apa maksud dibalik perkataannya. Dia tidak mengerti mengapa Junghae sepertinya pahit sekali jika itu menyangkut Glenn Muller dan Will Baxter, kedua lelaki yang menghadiri pesta yang sama.

"Aku tidak mengerti" Cezanne menggelengkan kepalanya.

Junghae menggigit bibirnya sendiri. Membetulkan duduknya yang tak nyaman dengan kaki terbuka lebar dan sesuatu menegang dibawah sana.

Cezanne menelan salivanya. Walaupun bicaranya kasar dan perkataannya kotor, Tuan Junghae tidak pernah memaksanya melakukan hal gila. Jika bukan Tuan Junghae client nya malam ini, dengan kondisi yang sama, dia bisa berakhir tanpa busana di bagian belakang mobil itu. Mengerikan.

Peluh lelaki itu berjatuhan, menyusuri cekungan leher hingga ke dada bidangnya. Cezanne menyaksikannya dengan seksama, menekan bibirnya hingga menjadi garis lurus, terkesima, takut dan tegang di saat bersamaan.

Mobil itu belum juga berhenti di kediamannya, malah melaju menjauh menuju kediaman Tuan Junghae, sungguh dia takut sekali. Dia tidak tahu percakapan apa yang sudah Junghae katakan dengan supir pribadinya itu.

"Aku akan membayarmu lebih, bermalamlah denganku" ujarnya.
"Kau bisa tinggal di kamar lain" ujarnya.

"Untuk apa? Untuk apa aku bermalam di rumahmu jika kau tidak ingin menyentuhku? Bukankah itu yang kau mau?" mata gadis itu berkaca-kaca. Ingin dia tarik kembali kata-katanya tadi. Dia benar-benar takut Junghae memperkosanya.

"Cezanne. Aku tidak gila!" Junghae bisa mendeteksi ketakutan dan teror di bola matanya.

Junghae membelai pipinya perlahan.

"Biarkan aku pulang Tuan Junghae" Cezanne mulai menangis.

Lelaki itu menghapus air mata gadis di depannya dengan sapu tangan pada kantung bajunya.
"Jangan menangis Cezanne, aku tidak akan menyakitimu" ujarnya.

Cezanne terjebak. Cezanne tidak bisa pergi kemana-mana. Mobil itu berhenti pada rumah besar Junghae. Lengkap dengan segala fasilitas keamanan yang tidak akan memperbolehkannya lolos begitu saja.

Gadis itu masih menangis tersedu-sedu, riasan wajahnya sudah meleleh, bawah matanya hitam karena mascara, dan rona bibirnya pudar terhapus oleh jemari Junghae.

Lelaki itu menarik tangannya, menggenggam pergelangan tangan Cezanne erat hingga gadis itu bertambah kencang saja tangisnya.

"Ini kamarmu" Junghae membuka kamar berwarna merah muda dengan aroma Vanilla, tepat di sebelah kamar utama miliknya.

"Kau bisa bermalam disini, ada gaun wanita di lemari, " ujarnya.

Cezanne menghapus air matanya, terduduk dengan kepala menghadap kebawah, merapatkan kedua lututnya, rapat sekali. "Baik" jawabnya.

"Lagipula, tidak baik pulang sendiri malam begini" Junghae menambahkan. "Apalagi kau seorang virgin kan?" ujarnya lagi.

Cezanne tersentak. Bagian privatnya serasa terserang ketika Junghae dengan indah melafalkan kata itu. Dia tetap membisu. Tidak mungkin dia menjawab pertanyaan sinting seorang Junghae.

"Ada banyak pria yang bermimpi merusakmu, kau aman di rumahku"
"Cepat tidur, mandi dan berganti pakaian, semua sabun dan wewangian ada di kamar mandi" Junghae berkata lagi.

Cezanne menoleh pada pintu kamar mandi itu. Dia tidak mau membayangkan sudah berapa wanita yang dia tiduri di kamar ini. Untuk apa dia memiliki satu kamar lengkap dengan gaun wanita di dalam lemarinya?

"Baiklah, ku tinggal dulu ya, ini bayaranmu" lelaki itu menyerahkan sejumlah uang dan menaruhnya di atas meja.

"Terima kasih" Cezanne menjawab lirih. Dia hanya ingin lelaki ini cepat pergi. Dia takut sekali.

Junghae menutup pintunya, lalu membukanya kembali. "Satu lagi, tolong kunci pintunya dari dalam" ujarnya, dan menutup pintu itu lagi.

Cezanne bergegas menutup pintunya lalu membersihkan tubuhnya secara cepat. Dia takut kalau - kalau Junghae sudah masuk ke kamarnya saat dia sedang mandi.

Aneh sekali. Cezanne masih mempertanyakan alasan Junghae menyuruhnya bermalam tanpa menyentuhnya sama sekali. Untuk apa juga dia memintanya mengunci pintu dari dalam?

Cezanne bingung. Dia tertuduk kaku di punggung ranjang, membuka tutup ponselnya, ingin mencari pertolongan secepatnya. Mungkin Glenn Muller bisa membantu.

Dia mengetik satu kalimat pada lelaki itu, "Tolong, kemarilah, selamatkan aku Glenn, aku takut"

Bodohnya, gadis itu tidak mencantumkan nama atau alamat jelasnya sekarang. Cezanne memukul-mukul kepalanya sekarang.

Balasan lelaki itu datang beberapa saat kemudian. "Halo, ini siapa ya?"

"Cezanne, gadis yang kau temui di pesta tadi" xx tidak terkirim.

Sial. Pulsanya habis.

Cezanne menangis, membungkam mulutnya dengan bantal, hingga dia berhenti tatkala suara di balik dinding itu menyela tangisnya.

Gadis itu mendekatkan telinga pada dinding, mencoba mendengarkan apa yang terjadi di baliknya. Di kamar Junghae lebih tepatnya.

"Cezanne, Ah , Cezanne" Rintihan kecil memanggil namanya. Dia sudah gila membayangkan lelaki itu menyentuh dirinya sendiri sambil menyebut namanya. Betapa kotornya nama itu dibuatnya, saat dirinya menjadi bahan imajinasi dari kebutuhan tubuh Tuan Junghae.

Tumpukan majalah di bawah kakinya membuatnya hampir tersandung, padahal sedari tadi dia berharap tak membuat suara sedikitpun. Bermacam-macam majalah ada disitu, dengan model sampul yang sama yaitu, Will Baxter.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top