Halaman Satu

Sudah satu bulan sejak aku keluar dari portal perbatasan dimensi dan muncul di hutan dunia manusia. Selama itu, aku berhasil beradaptasi serta menjelajahi wilayah di sekitarku.

Sepanjang penjelajahan, aku sering menemukan bangunan-bangunan besar. Tadinya aku sempat khawatir jika bangunan itu masih dihuni oleh manusia. Namun ternyata, bangunan itu kosong, hanya tersisa furniturnya saja. Jadi kurasa, mereka sudah terbengkalai puluhan tahun.

Aku berhenti sebentar di salah satu dahan besar pohon raksasa. Memunculkan sebuah buku dengan sihirku, lalu mulai menulis. Karena aku baru di sini dan tidak tahu apa pun mengenai dunia manusia, aku mencatat banyak hal yang kutemui.

Ada beberapa hewan dan tumbuhan yang mirip seperti dunia yang kutinggali sebelumnya, hanya saja tidak seliar di sana. Makhluk hidup di sini cenderung ... kalem, dan suasananya damai. Tidak menyeramkan dan berbahaya seperti hutan dekat rumahku dahulu.

Kusimpan kembali bukuku, ia langsung lenyap begitu saja di udara. Tanpa berlama-lama, aku mulai melesat cepat di antara pepohonan tinggi, melompat dari satu dahan ke dahan lainnya.

Ada bangunan yang ingin kukunjungi hari ini. Hanya untuk memastikan, sebetulnya. Menurutku, itu tidak lebih dari bangunan terbengkalai biasa yang sama sepertu kutemui sebelumnya. Namun saat aku sedang menjelajah semalam, aku menemukan sekelompok manusia dengan banyak peralatan, salah satunya kamera.

Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan di sana, yang jelas, beberapa jam setelah mereka masuk dan menggelar peralatannya, mereka tampak panik sehingga buru-buru pergi sampai meninggalkan satu-dua barang bawaan. Mereka juga berteriak "Rumah Hantu!" atau "Tempatnya berhantu!" ... intinya, mereka menyebut kata 'hantu' terus menerus.

Aku jadi penasaran. Makanya, sekarang aku sudah berdiri di depan bangunan ini.

Halamannya yang luas tampak berantakan dengan patahan ranting maupun dedaunan kering. Temboknya mengusam, mengelupas, serta menghijau bersama sulur tanaman rambat yang panjang sampai jendela di atas sana. Rerumputan tinggi dan beberapa pot tanaman sudah tidak berbentuk lagi, bunganya hilang.

Hah, apanya yang menyeramkan? Bagiku, rumah ini hanya menyatu dengan alam.

Kupungut sebuah kamera seukuran tanganku yang hampir saja terinjak. Jika dilihat lagi, kemungkinan besar ini milik orang-orang yang datang semalam. Aku tersenyum tipis, kameranya lenyap. Sekarang, benda itu milikku.

Melangkah masuk ke dalam bangunan itu, tidak ada hal yang menyeramkan, mungkin karena hari masih terang. Sejujurnya aku ingin tahu apa yang membuat mereka ketakutan tadi malam, tapi aku tidak sekurang kerjaan itu untuk menunggu hari gelap.

Perhatianku tertuju pada tangga yang mengarah ke lantai dua. Masih penasaran, aku melihat-lihat ruangan di atas sini. Ternyata tidak beda jauh dengan bangunan-bangunan yang pernah kutemui sebelumnya. Sedikit mengecewakan karena tidak ada yang menarik.

Akan tetapi sebelum aku beranjak pergi dari sana, perhatianku tertuju pada sebuah ruangan di sebelah kiriku. Mungkin aku akan menganggap itu ruangan biasa jika saja aku tidak menyadari bahwa hanya pintu ruangan itulah yang tampak masih bagus. Memang menua, tapi kondisinya jauh lebih bersih dari semua pintu di ruangan ini. Tanpa ditumbuhi sulur tanaman, tanpa sarang laba-laba, bahkan gagang pintunya pun masih mengkilap.

Tentu ruangan itu menarik perhatianku. Masih dalam rangka penasaran, aku menuju ruangan itu dan segera membukanya.

Pemandangan ruangan kosong menyambutku. Dinding-dindingnya mengelupas, ada sebuah jendela besar yang kusam. Namun, yang paling menonjol adalah sebuah mesin ketik tua di tengah ruangan hampur dekat jendela.

Kudekati satu-satunya benda di ruangan itu untuk melihat lebih jelas. Walau sudah usang dan berdebu, mesin ketik tua ini masih terlihat bagus.

Aku tidak pernah melihat yang seperti ini sebelumnya. Di duniaku mereka masih menggunakan pena dan tinta untuk menulis. Sebagai sesorang yang sangat suka menulis, tentunya benda ini membangkitkan antusiasku.

Kutarik bangku dan mendudukan diri di atasnya. Aku tersenyum, menatap kagum mesin itu dari jarak dekat sebelum akhirnya memutuskan untuk mulai menekan tombolnya.

Ini agak memalukan, tetapi aku terperanjat dengan suara tombol yang terdengar sangat kasar. Perlu beberapa waktu bagiku untuk menyesuaikan diri dengan suara ketikannya dan membiasakan jariku untuk mengetik. Aku belajar cepat, tahu-tahu aku sudah paham mekanismenya dan mulai memasukkan kertas yang kutemukan dari laci meja.

Sebentar, apa yang harus kuketik?

Kumunculkan buku catatan harianku untuk membacanya ulang. Isinya berupa pengetahuan baruku selama di sini, keseharianku sejak tiba, dan hal-hal menarik yang kutemui. Saat itulah terbesit ide di kepalaku untuk merangkum semua hal yang sudah kuketahui selama ini, tentang hutan besar di dunia manusia ini.

Baiklah, mari mengetik.

Bunyi mesin ketik segera memenuhi ruangan. Jariku cepat menekan satu persatu tombol sehingga mencetak kata baru di kertas. Cara mengetikku memang terkesan lambat, sesekali aku berhenti untuk meregangkan tangan, sepertinya aku harus membiasakan diri lebih. Namun tetap saja, mesin ini menyenangkan.

Pertama kali aku mengecek ke luar jendela, hari masih terang. Kedua kalinya aku mengecek, hari sudah petang. Karena tulisanku sedikit lagi selesai, jadi aku memutuskan untuk menyelesaikannya dulu sebelum kembali. Akan tetapi saat kulihat ke luar, hari sudah gelap.

Ruangan pun menggelap, tapi tempatku mengetik disiram oleh cahaya bulan yang masuk dari jendela. Kurasa aku tidak butuh pencahayaan tambahan dengan sihirku. Baiklah, sedikit lagi selesai ....

Aku sama sekali tidak menyadari karena terlalu sibuk mengetik. Bahwasanya, kertas-kertas hasil ketikkan yang kuletakkan di sampin mesin ketik, satu persatu meluncur turun, jatuh ke lantai. Lalu, melayang-layang di sekitarku, terbang ke sana-sini.

Aku belum menyadari sampai akhirnya salah satu kertas lewat tepat di depan wajahku. Aku mengedip cepat, mulai tersadar. Kertas-kertas hasil ketikkanku sudah lenyap dari atas meja. Mereka mengudara tak karuan di dalam ruangan.

Akhirnya aku paham, jika aku manusia kemungkinan besar aku sudah melarikan diri dari ruangan ini dan meninggalkan tulisanku. Akan tetapi alih-alih takut, aku malah merasa kesal.

Dari sudut pandang orang biasa, memang kertas-kertas itu melayang tanpa sebab, tetapi tidak bagiku. Dari sudut pandangku, aku malah melihat lima orang anak kecil yang menerbangkan kertasku dengan kekuatan mereka.

Oh, jadi ini yang namanya kondisi 'berhantu'?

"Terbang, ... terbang, wuushhh!"

Kertas-kertasku semakin kacau, sementara mereka malah tertawa-tawa, menikmati bermain versi mereka.

Kuselesaikan ketikanku selagi mereka tak sadar. Setelah itu kembali menyambung kekesalanku pada lima bocah itu. Mereka tidak sopan.

"Hentikan."

Dengan satu libasan pelan tanganku, kertas-kertas itu berhenti, lalu berserakan di lantai. Kelima anak itu saling tatap, pandangan mereka beralih padaku.

Dengan sihir juga, kukumpulkan kertas serta meletakkannya pada meja seperti semula. Tahu-tahu, kelima bocah itu sudah berada di depanku dengan binar penasaran dari mata tak bernyawa mereka.

"Manusia ...? Kenapa ia tidak takut?"

Salah satu anak menimpali perkataan temannya dengan gelengan. "Bukan. Lihat, dia punya tanduk kecil!"

Ah, aku lupa kalau mereka pasti bisa melihatnya.

Mereka berseru kagum. "Kau ... berasal dari sana?"

Aku mengangguk saja, berusaha terlihat keren. "Ya, aku berasal dari sana."

Mereka berseru bersamaan lagi. "Kenapa kau ke sini?"

"Bukan urusanmu."

Kelimanya cemberut. "Kalau begitu, kau harus bermain bersama kami!"

"Maaf, aku tidak punya waktu," kataku sambil bangkit. Kertas-kertasku melenyap di udara. "Siapa pemilik mesin ketik ini?"

"Tidak ada."

"Maka, ini milikku sekarang-"

"Tetapi kakek menghuninya."

Aku mematung sejenak. Kupikir mereka sedang bercanda, tetapi aku sama sekali tidak menemukan canda di dalam raut serius mereka.

"Kakek kalian tidak ada, 'kan? Jadi, ini tidak punya hak milik. Aku akan mengambilnya."

Aku sudah menyentuh mesin ketik itu untuk menyimpannya dengan sihirku. Perlahan-lahan, mesinnya lenyap. Namun, aku terperanjat kala benda itu menjadi utuh kembali. Dengan kata lain, aku gagal menyimpannya dengan sihirku.

Kelima bocah itu menatapku galak. Kekuatan mereka ... boleh juga kalau digabungkan.

"Tidak boleh."

Aku tidak gentar. Aku bisa saja merebut paksa mesin ketiknya dan hilang dalam sekejap. Tetapi, aku tidak ingin membuat masalah baru.

"Baiklah, baiklah. Aku akan beli sendiri yang seperti ini," kataku mengalah. "Terima kasih sudah meminjamkan."

Usai itu, aku beranjak keluar dari ruangan. Samar-samar di belakangku, kudengar kelima bocah itu saling bicara dan memanggil kakeknya. Menanyakan apakah ada bagian tubuh kakeknya yang sakit, atau apakah beliau membutuhkan sesuatu. Mereka bicara pada mesin ketik itu.

Aku tersenyum miris. Bangunan itu, akan kutandai sebagai tempat yang enggan kukunjungi walaupun mesin ketiknya memang menarik perhatianku. Aku tidak akan ke sana lagi. Mereka terlalu menyedihkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top