Halaman Dua
Halaman belakang salah satu rumah tua di pedalaman hutan menjadi tempat perisirahatanku selain dahan pohon. Seperti biasa, aku mengeluarkan buku catatanku, dan mulai mencatat hal menarik yang kutemui tadi selama menjelajah.
Sudah satu bulan lebih di sini, tetapi aku tidak menemui manusia selain sekelompok orang yang kulihat di bangunan waktu itu. Lama-lama, aku jadi meragukan dunia ini. Apa aku benar ada di dunia manusia, atau terjebak di dimensi kosong lainnya?
Baru beberapa halaman menulis, entah mengapa aku merindukan mesin ketik tua waktu itu. Rasanya akan lebih bagus kalau aku bisa memilikinya.
Kututup bukuku setelah selesai menulis, lalu bersandar pada bangku yang kududuki. Pemandanganku masihlah hijaunya pepohonan, bangunan tua yang menyembul di kejauhan. Semakin hari, aku bosan di sini. Rasanya seperti terkurung dan melewati jalan yang sama setiap hari.
Untuk membunuh rasa bosan, aku mengeluarkan semua barang yang pernah kusimpan dengan sihirku. Ada panahan yang kugunakan untuk berburu, beberapa buku dari duniaku dan buku catatan, kertas-kertas dari mesin ketik minggu lalu, alat tulis, dan ... kamera.
Sepertinya kamera adalah salah satu barang paling bagus yang kupunya. Bentuknya berbeda dengan kamera di duniaku yang cukup besar sehingga sulit dibawa ke mana-mana. Yang satu ini seukuran telapak tanganku dan ada bagian khusus untuk memegangnya.
Bukanlah diriku jika tidak penasaran. Dalam beberapa menit aku sudah bisa menyalakannya, mengarahkan lensa ke sekitar, menatap kagum layar mungil yang menampilkan pemandangan serupa.
Tubuhku mengejang kala aku menekan sebuah tombol di bagian atas, terkejut. Tadi sempat terdengar sebuah suara dari kamera, begitu kusadari tampilan layarnya membeku, tidak lagi menampilkan pemandangan sekitar saat aku mengarahkannya ke segala arah. Aku panik.
Kemudian, aku tahu bahwa barusan aku memotretnya. Aku menertawakan kebodohanku sendiri.
Tidak butuh waktu lama, kamera itu menjadi mainan baruku. Aku belajar memotret seadanya karena tidak paham dengan pengaturan lainnya. Sebelum akhirnya aku tahu, kalau kamera ini bisa digunakan untuk merekam.
Wajahku cerah. Barang buatan manusia memang mengagumkan!
Setelah melihat-lihat hasil jepretan dan rekamanku, aku perlahan mulai mengerti penggunaan dasar dari benda ini. Tiba-tiba saja aku terpikirkan sesuatu. Kunyalakan mode merekam, lalu mengarahkan lensa kamera ke arah wajahku.
Sebentar, ... kenapa aku gugup?
"Emm, yeah—mungkin, hai? Atau salam?"
Aku mengacak-acak rambutku, merasa malu sendiri. Kutonton rekaman itu sekilas, lalu menghapusnya. Suaraku terdengar memalukan, tetapi aku baru sadar bahwa wajahku ternyata setampan itu.
Oke, percobaan kedua.
Aku menoleh ke sekitar, memastikan bahwa hanya ada aku sebelum mulai merekam lagi.
"Emm, eh—maksudku, hai. A-aku Lysander dan sekarang aku sedang ... merekam."
... Selanjutnya apa?! Aku berteriak frustasi karena sama sekali tidak punya ide.
"Aku menemukan kamera ini di bangunan waktu itu, manusia itu yang menjatuhkannya dan ... dan sekarang kamera ini milikku."
Bagus. Rekaman yang bagus!
"Sekarang aku ... sedang berada di halaman belakang rumah tua. Aku ... sedang bersantai dan ...."
Aku mendengar suara. Kepalaku yang refleks menoleh mendapati seorang perempuan duduk tak jauh dariku, di salah satu bangku paling ujung. Segera saja aku tahu bahwa ada yang aneh dari perempuan itu. Tubuhnya tembus pandang, kakinya samar-samar, hampir tidak menapak tanah. Ia duduk membungkuk dengan kedua tangan yang menutupi wajah. Ia terdengar seperti sedang menahan tangisannya, terisak cukup kencang, dan itu mengangguku.
Aku berdecak. Kenapa juga aku harus menemukan makhluk seperti ini lagi?
Kusudahi rekamanku dengan wajah masam dan tanpa sempat melihatnya terlebih dahulu. Kurapikan barang-barangku lalu beranjak pergi mencari tempat berisirahat lain.
Sepertinya bangunan-bangunan di sini memang sangat suka dihuni jiwa-jiwa tersesat seperti itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top