2. Aroma
Pernahkah kamu menghirup aroma kentang rebus di malam hari? Terutama, bila kamu sedang melewati rumah kosong atau pohon besar. Padahal, tiada orang yang sedang merebus kentang di sekitarmu. Tahukah kamu, itu pertanda keberadaan siapa?
Umumnya, orang akan bergidik ngeri dan menghindarinya. Namun, berbeda denganku. Aroma kentang itu terasa sangat menggiurkan. Terbayang di benakku, kentang saus pedas yang lezat.
Setiap pulang sekolah, aku menghabiskan waktu di sebuah rumah kosong, tak jauh dari rumahku. Sebatang pohon mangga berdiri kokoh di kebunnya. Pagarnya telah roboh, sehingga aku dapat masuk. Ia sangat gagah, kurasa, tumbuhan terindah yang pernah kulihat. Kunamai dia, Luzio.
~ ~ ~
Langit sudah gelap, ketika aku memutuskan untuk pulang. Cukup puas, aku duduk bersandar pada Luzio sambil menceritakan pengalamanku hari ini padanya---dihampiri Xander dan musibah telur.
Hanya pohon kesayanganku inilah sahabat yang paling setia mendengarkan curhatku. Seringkali, aku belajar dan mengerjakan PR di sini.
Nyaman terasa, setiap kali aku berada di dekatnya. Sangat sepi, tiada manusia yang berani melewati depan rumah ini. Hanya seekor capung dan seekor jangkrik yang terkadang menemaniku bergantian. Rindang daunnya melindungiku dari sengatan matahari maupun rintik hujan.
Pelukan hangat kuberikan sebelum beranjak pulang. Aroma kentangnya membuatku semakin lapar. Kuharap, bibi---adik ayahku---memasak kentang hari ini. Sebenarnya, aku menyukai kentang karena Luzio.
"Luzaphire ...." Sayup-sayup, suara serak pria terdengar entah dari mana.
Aku mengedarkan pandanganku 360 derajat. Tiada siapa pun selain diriku dan Luzio. Ah, hanya halusinasi.
"Luzaphire ...," panggilnya lebih jelas kali ini.
KRIEEEK ....
Astaga! Aku mematung. Pintu kayu rumah tua itu terbuka perlahan. Jantungku memompa darah ke kepala lebih cepat. Ada orang di dalam? Sungguh malu aku, memasuki rumah berpenghuni seenaknya.
Sosok kakek tua muncul terseok-seok dari dalam. Setiap helai rambut gondrongnya sudah putih beruban, serta kusut berantakan. Begitu pula kumis dan janggutnya, tampak sudah lama tak dicukur. Kaus oblong putih dan sarung kotak-kotaknya pun kumal kecokelatan. Dengan bantuan tongkat kayunya, ia menyeret perlahan sebelah kakinya yang tak bersandal.
"Maaf, saya masuk rumah Kakek tanpa izin."
Iba aku melihat keadaannya. Dengan senyum ramah, aku mendekatinya untuk memapahnya.
"Jangan mendekat!" tolaknya dengan suara bergetar seraya mundur sedikit. Apakah ia takut padaku?
"Bukankah tadi Kakek memanggil saya?" tanyaku ragu.
"Benarkah kamu Luzaphire?" Ia malah bertanya.
"Iya, Kakek. Nama saya Luzaphire. Kakek mengenal saya?" Mungkin, ia takut salah mengenali orang karena faktor usia.
Ia tersenyum lebar, memamerkan ompongnya. Kebahagiaan terlukis pada gerakan keriput di wajahnya. Iris mata kelabunya yang sedari tadi gelap redup, kini menjadi bercahaya ungu memandangiku. Tanpa tongkat, ia mampu menghampiriku lebih cepat.
"Sudah delapan belas tahun berlalu ..., bayi kami sudah besar ..., sangat mirip dengan ibumu, Safira ...."
'Bayi kami'? Maksudnya?
Cairan bening menetes dari mata indahnya. Mata itu ..., sepertinya, aku sangat mengenalnya. Entah kapan, aku pernah bertemu dengannya. Dengan gemetar, ia berusaha memelukku. Aku pun membalas pelukannya hangat.
"Waktunya hampir tiba ...," desahnya lembut di telingaku. Maksudnya? Waktu apa?
"Besok, kamu akan mengerti ...."
~ ~ ~
SAFIRA NURHAYATI
Lahir : Bandung, 6 Juni 1956
Wafat : Jakarta, 14 Februari 2000
Terukir manis nama ibuku pada batu nisan di hadapanku. Sesak dadaku, setiap kali membaca tanggal wafatnya sama dengan kelahiranku. Namun, aku harus mengatur emosiku agar aroma tubuhku tidak berubah.
Kesedihan membuatku trauma. Setiap kali aku menangis waktu masih balita, keluargaku memanggil dukun. Mantranya membuatku kepanasan seperti terbakar api neraka.
"Luzy," panggil ayahku.
Berat hati, aku bangkit berdiri, menghampirinya. Giliran ketiga sepupuku yang berlutut mengelilingi makam. Ayah mengajakku agak menjauh dari paman dan bibiku.
"Selamat ulang tahun," ucapnya datar.
Semerbak aroma mawar terpancar dari tubuhku, menggantikan aroma melati. Ini pertama kalinya, ayah mengucapkanku 'selamat ulang tahun'. Tak pernah aku sebahagia ini.
"Terima kasih, Ayah!" sorakku ingin memeluknya.
"Ayah bukan ayahmu, Luz." Tangannya menepisku.
Apa? Senyumku terhenti. Mawarku berangsur-angsur kembali menjadi melati.
"Sudah waktunya untuk kamu tahu, Luz. Selama ini, ayah tidak bisa menjadi ayah yang baik untuk kamu. Itu karena ayah memang bukan ayah kandungmu. Ayah mandul. 20 tahun menikah, kami tidak dikaruniai anak. Tapi, keajaiban terjadi saat ayah dinas ke Surabaya beberapa bulan, ibumu hamil. Ayah sangat marah karena ibumu jelas berselingkuh, tapi tidak mengaku. Karena itulah, ayah membencimu. Maafkan ayah, Luzy."
Tercengang aku mendengar pengakuannya. Akhirnya, aku mengetahui alasan ayah tidak menyayangiku. Namun, aku tetap bersyukur, karena ayah telah berusaha membesarkanku bersama keluarganya, meski hatinya pasti sangat sakit.
"Tidak apa-apa, Ayah. Aku senang, ayah tetap merawatku, tidak membuangku. Terima kasih," ujarku tulus.
Air mata mulai menetes di pipinya yang sudah berkeriput. Ia pun merentangkan tangannya untuk memelukku, pertama kalinya. Harum mawar kembali menyegarkanku.
"Ayah pernah mencoba membunuhmu, Luz, tapi gagal," akunya setelah melepaskan pelukan. "Ayah sering memasukkan serbuk penggugur kandungan ke minuman ibumu. Itulah yang membuat ibumu sakit hingga meninggal, tapi kamu tetap hidup. Walau baru enam bulan kandungan, kamu sehat tanpa inkubator. Ayah yang membunuh ibumu, Luz, bukan salahmu."
Aku tertegun. Inilah kenyataan yang dapat membuatku lebih lega---aku bukan pembunuh ibuku.
"Mulai sekarang, kita hidup saling menyayangi, ya, Ayah?" usulku untuk menenangkannya dari rasa bersalah. Aku menggenggam tangannya.
"Tidak bisa, Luz. Ayah tidak akan bisa menyukaimu. Kamu berbeda. Pergilah! Ayah sudah berjanji, untuk mengembalikanmu kepada ayah kandungmu di hari ulang tahunmu yang ke-18 ini."
"Tidak, aku ingin tetap bersama ayah."
"Cukup! Kamu harus pergi! Jangan ganggu keluarga ayah lagi!" bentaknya kasar seraya menghempaskan tanganku. "Kamu bukan manusia, Luz. Kamu anak Genderuwo. Benar, ibumu memang tidak pernah berselingkuh."
Mawarku berubah menjadi bau bangkai busuk. Itulah alasanku selalu menahan kesedihan. Berlari kencang aku menjauhi ayahku, menjauh dari semua manusia, bersembunyi hingga melatiku berkembang lagi.
~ BERSAMBUNG ~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top