Her Story

¢¢¢

Katanya, hubungan seseorang bisa kuat apabila kedua insan setuju untuk terus bersama. Tetapi, bagaimana jika kedua insan itu tidak menyadari terhadap hubungan yang mereka jalani hingga terbentuk sebuah kehidupan  lain di dalamnya?

.
.

ⓧ ⓧ ⓧ

Tidak semua keluarga terbentuk dengan indah. Jikalau mereka terlihat harmonis di luar, bisa saja dalamnya lebih buruk dari penampilan yang biasa orang lain pandang. Orang tua yang tak bisa mengontrol emosi, bisa membuat posisi sang anak menjadi depresi. Sudah menjadi hal wajar jika banyak anak di luar sana menginginkan keluarga  tentram lebih dari yang orang lain miliki.

Lantas, apa yang membuat gadis ini berbeda?

[Name] lahir dengan keluarga yang harmonis namun tersirat dendam besar di dalamnya. Gadis itu tumbuh besar dengan senyuman topeng yang terus ia pasang setiap waktu tanpa jeda. Jika memang ada orang di luar sana atau temannya yang paham mengenai perasaan gadis itu, tidak mungkin hal tersebut bisa memperbaiki dendam yang dia miliki. Mencuri perhatian ke orang tua saja tidak bisa, apalagi meminta bantuan berupa senyuman tulus dari mereka. Rasanya sama seperti kayu yang terbakar di atas bara api kemudian berubah menjadi abu dan mustahil untuk kembali.

Tangisan yang kerap ia keluarkan hanyalah sebuah hempasan emosi. Sang gadis sudah bersusah payah untuk memperbaiki hubungan keluarganya, tapi semua yang dia lakukan tak pernah berhasil dengan sempurna. Selalu saja ada titik layaknya gunting yang memutuskan hubungan tersebut. Hingga pada akhirnya hancur lebur tanpa sanggup melakukan perlawanan terlebih dahulu.

"Hei, kau pernah lihat gadis di kelas xx? Katanya dia selalu pulang malam dan tidak pernah beranjak dari kursinya selama jam sekolah dimulai."

"Serius? Jangan bilang dia berteman dengan hantu yang sering bergentayangan di sini?"

"Menyedihkan..."

Deretan kalimat itu selalu mengusik [Name] untuk tersenyum. Kepedihan yang dia punya tak selalu membantunya untuk bangkit seperti dulu. Melakukan insiden bunuh diri hanya akan memperburuk nama keluarganya dan dia sama sekali tidak ingin sesuatu yang  buruk membuat marganya tercoret dengan mudah.

"Tidak apa, [Name], semuanya akan baik-baik saja," ucapnya menyemangati diri sendiri dengan secercah senyuman tipis di wajah; senyuman yang menyimpan ribuan kesedihan di dalamnya.

Bahkan pernah [Name] berpikir mempunyai semacam kekuatan aneh yang dapat membuatnya berteman dengan sosok khayalan. Huh, aneh memang. Tapi yang dimimpikan gadis itu bukanlah lawakan, memang benar dia menginginkan hal itu semua. Jika perlu, dia akan terus bermimpi demi tempat yang dapat membuatnya tersenyum tanpa harus menggunakan topeng itu lagi.

Ah, [Name] ingat satu hal tak ia duga sebelumnya. Ada sosok yang cukup lama tak ia jumpai selama sepuluh tahun terakhir ini. Seorang pria, yang mempunyai ikatan kuat terhadap keluarganya. Ya, bisa dibilang sosok pria itu memang keluarga dekatnya. Katanya dia bekerja sebagai dokter, dan juga katanya dia bisa menyembuhkan seseorang dari rasa tertekan yang kuat.  "Kenapa aku baru menyadari hal itu," rutuk [Name] yang sama sekali tidak berpikir mengenai hal penting tersebut. Baginya 'sih, itu adalah hal penting yang perlu dia ingat.

Mungkin satu-satunya cara untuk memastikan adalah mencari tahu, apakah rumor tentang 'katanya' itu benar atau malah sebaliknya. Jika salah, mungkin [Name] akan datang dengan beralasan kabur dari rumah. Tapi, bagaimana dengan ocehan yang bakal keluar dari bibir pria itu nanti? Sang gadis tidak pernah tahu sifat yang pria itu miliki seperti apa. Saat ini, manusia banyak memanipulasi keadaan. Luar terlihat baik, dalamnya busuk layaknya iblis tak punya jiwa. Persis seperti yang terlihat seperti Ayah kandungnya.  Tetapi apa boleh buat, [Name] butuh bantuan untuk mengatasi rasa takut akan kehancuran keluarga yang dia miliki.

Pada akhirnya, keputusan itu [Name] pegang hingga esok hari datang tanpa sepengetahuannya. Minggu, hari yang pas untuk pergi keluar rumah tanpa membuat sang Ibunda curiga terhadap rencana dari anak gadisnya tersebut. Meskipun [Name] bisa leluasa pergi tanpa perlu berpamitan terlebih dahulu, tetap saja dia masih merasa iba dengan keadaan Ibunya tersebut. Perempuan paruh baya yang duduk seorang diri di atas sofa, menatap layar televisi dengan kosong sambil mengutak-atik kalkulator di tangannya.

Ibunya mempunyai tekanan lebih berat dibandingkan yang [Name] miliki. Akan tetapi, gadis itu tidak mau merasa tertekan lebih jauh; persis seperti yang ibunya alami saat ini. Dia ingin hidup tinggi tanpa meragukan keputusan yang dia ambil. Tidak perlu menoleh ke belakang dan membalas semua hinaan jelek  itu. Dirinya hanya perlu bertindak maju sehingga pintu baru terbuka lebar untuknya sekali lagi.

"Ibu... aku pamit ke rumah Paman hari ini. Akan aku usahakan pulang cepat," ucap [Name] memegang tangan kasar sang Ibunda dan menaruhnya di atas kepala. Berharap Ibunya bisa mengusap kepalanya sekali lagi sama seperti dulu. Tapi semuanya sudah berubah jadi abu, tangan Ibunya meluncur dan terlepas dari genggaman sang anak gadis seperti tidak punya tenaga untuk melakukannya lagi. Gadis itu tersenyum masam.

"Jaga dirimu di rumah, Ibu."

Dengan singkat kata, [Name] beranjak pergi seraya mengusap kedua kelopak matanya yang berair. Menahan air mata sekuat tenaga tanpa ketahuan oleh Ibu semata wayangnya. Sekali lagi, Ibunya tidak mengucapkan sepatah katapun pada gadis itu hingga keberadaannya hilang dari teras rumah.

Kedua kaki [Name] terus berjalan bersama secarik kertas yang berada dikedua tangannya. Hanya itu petunjuk yang dia punya dan berharap alamat itu tidak berubah hingga saat ini. Iris mata sayu itu terus meneliti sepanjang pintu yang dia lewati hingga berhenti di depan salah satu pintu asing. Terpasang nama 'Jinguji' di sana, menandakan nama pemilik dari tempat tersebut. Tangan [Name] mulai meraba perlahan bidang pintu yang halus, mencoba membayangkan aura serta suasana berbeda yang berada di balik pintu tertutup itu.

Ia meneguk ludah, berusaha menenangkan detak jantung yang membentur kuat dadanya akibat gugup datang tanpa dia undang. Jari telunjuknya mulai memencet bel yang terdapat di sisi kanan pintu dan mengeluarkan bunyi yang bisa [Name] dengar dari luar.

Sekali, dua kali, hingga yang ketiga kalinya tidak ada satupun tanda ataupun suara sambutan dari dalam. "Apa dia sedang pergi bekerja?" Gumamnya yang merasa curiga bila tempat tersebut sedang kosong penghuni. Tunggu, seharusnya pria itu sudah menikah. Mengingat umurnya sudah sekitar tiga puluh tahun tapi masih hidup sendirian, bukankah itu terlihat aneh. Bahkan Ibu dan Ayah [Name] menikah pada umur dua puluhan. Lantas mengapa Jakurai betah hidup seorang diri tanpa bantuan? Atau mungkin dia sudah punya tunangan?


Semua itu [Name] pikirkan hingga wajahnya mengernyit tak jelas. Pamannya satu ini sudah berumur sangat dewasa, sudah banyak pengalaman yang dia punya. Mungkin dia bisa dijadikan tempat yang bagus untuk pelarian [Name] selama ini. Tempat yang cocok dia gunakan untuk menghempaskan semuanya tanpa ragu akan cerita akhirnya nanti.

Lama berdiam diri di depan pintu, [Name] memutuskan untuk menunggu. Gadis itu duduk di samping pintu, memeluk kedua lututnya sambil menatap keadaan yang sedang terjadi di depannya.

"Kuharap dia bisa pulang cepat."

ⓧ ⓧ ⓧ

  Indera pembau gadis itu dapat merasakan aroma  asing. Rasanya seperti kare disertai rebusan kentang yang baru saja matang. Saat itulah [Name] sadar dan langsung membuka kedua matanya.

"HUWAAA!?"

Gadis itu mendadak duduk dari posisinya yang sedari tadi terbaring di atas sofa. Mengejutkan seorang pria yang sedang menata makanan di atas meja. Terlebih lagi, pria itu memakai apron berwarna putih disertai gambar buah di depannya. Bukan itu saja, rambut panjang yang diikat kuda terlihat sangat sempurna di mata sang gadis. Nampak hawa keibuan yang terpancar jelas begitu dirinya menoleh ke arah [Name] berada.

'Nampaknya aku salah mendatangi rumah orang,' batin [Name] yang tanpa sadar merutuki dirinya sendiri karena sudah mendatangi rumah orang tanpa izin. Bahkan sudah duduk di samping pintunya layaknya tunawisma. Ini bisa dijadikan kenangan terburuk yang dipunyai gadis  bernama [Name] tersebut.

"Kamu tidak apa, [Name]? Wajahmu memucat seperti itu," sapanya. Membuat [Name] tambah terkejut dengan apa yang ia dengar dengan kedua telinganya. Tidak mungkin ada perempuan yang mempunyai suara bass seberat itu. Tidak salah lagi, dia sosok yang [Name] cari sedari tadi.

"Pa... Paman Jakurai?"

[Name] mencoba memanggil pria itu dengan intonasi getar seiring badannya yang juga ikut memandang tak percaya. Pria itu tersenyum lembut, "Iya, ini Pamanmu, Jakurai. Senang melihatmu masih mengingatku hingga detik ini," balas Jakurai membuat [Name] terbentur kenangan lain dalam pikirannya.

Saat dia baru lahir, ada sosok yang senantiasa menggendong tubuh rapuh [Name] dengan lembut. Dia mempunyai senyuman hangat, telapak tangannya yang besar selalu memegang tubuh [Name] secara perlahan. Semua itu adalah Pamannya. Sosok terhangat yang dia punya di dunia penuh penistaan ini. [Name] cukup terkejut bisa mempunyai satu cahaya lain dalam  lingkupan keluarganya yang kacau.

"Bisa bangun? Makan malam hampir selesai jadi cepatlah kemari," ajak Jakurai yang kembali fokus dengan kegiatannya sedari tadi. [Name] mulai menurunkan kedua kakinya dan berdiri dari sofa. Tetapi, tubuhnya langsung roboh begitu sang gadis merasakan sakit pada punggung bagian belakangnya. Mengejutkan Jakurai yang berada tidak jauh dari letak [Name] saat itu. "Ada apa?" Tanyanya datang mendekat.

"Ti-tidak apa. Hanya merasa keram karena baru kali ini tidur di atas sofa terlalu lama," Kata [Name] mencoba memegang titik sakit dan merabanya perlahan. "Tidak perlu dipaksa, [Name]"

Jakurai mengangkat meja yang biasa dia pakai untuk menata makanan di atasnya dan menaruhnya di depan sang gadis. Lalu melanjutkan menata semua menu makan termasuk kare yang aromanya sudah gadis itu tebak dari awal. "Kenapa di sini?" Tanya sang gadis.

"Ototmu pasti kaget maka dari itu keram. Aku anjurkan untuk berdiam diri sejenak. Saa, makanlah selagi masih panas." Gadis itu mendengar nasehat yang Jakurai berikan. Dia percaya, jika pria itu adalah dokter hebat yang mampu menyembuhkan pasiennya. Baru kali ini [Name] melihat hidangan penuh uap menggoda di depannya. Entah sudah berapa lama dia tidak menikmati sesendok sup untuk menghangatkan perutnya yang dingin. Kedua tangannya sudah tidak ingat kapan terakhir kali dia menaruh sumpit di samping mangkuk dengan benar. Bukan itu saja, dia hampir lupa bagaimana rasa yang tercipta dari aroma lezat makanan buatan Ibunya. Semua hilang begitu saja tanpa menyisakan sedikit pun dalam ingatannya. Apa selalu sukar  untuk mengingat itu semua?

Jakurai memperhatikan [Name] yang sedari tadi hanya termenung seraya memandang hidangan di depannya. Kentara kosong, persis seperti manusia tanpa jiwa yang bersangkar dalam raganya. Di situ Jakurai mulai menyadari apa yang gadis kecil itu alami. Dari kedua matanya saja Jakurai sudah menangkap memori menyedihkan di dalamnya. Begitu dalam, hingga gadis satu ini terlihat kebal dalam cobaan berupa penindasan dalam setiap kegiatannya. Mungkin itu alasan mengapa dia datang kemari.

  "[Name]?" Jakurai menegurnya, membuat sang gadis tersentak kaget dari lamunan yang sedari tadi dia buat. "Ya ... ya?" [Name] langsung menoleh ke arah Jakurai yang memasang senyuman di wajahnya dan memberikan sepasang sumpit untuk gadis itu sebelum akhirnya [Name] terima. "Ayo, makan malam, [Name]"

'Ibu, aku bisa  merasakan kehangatan di sini. Paman nampak baik padaku. Apa, dia akan terus seperti itu hingga matahari bersinar di esok harinya?'

Gadis itu mencoba untuk tetap tenang hingga makan malam selesai. Membantu Jakurai dalam mencuci piring hingga dirinya diperbolehkan untuk mandi duluan. Sampai Jakurai meminjamkan pakaiannya yang jelas akan terlihat longgar bila [Name] memakainya. Setelah itu, sang gadis kembali duduk sopan di  sofa bersama dengan sang Paman di sampingnya.

"Maaf, sudah membuatmu kerepotan, Paman," ucap [Name] seraya menunduk; tak sanggup berbicara langsung ke arah Jakurai sebab canggung.

"Tidak perlu mengkhawatirkan itu, [Name]. Bagaimana kabar Ibumu?" Tanya Jakurai, disambut hela napas kasar yang gadis itu keluarkan seiring kepalanya terangkat, menatap ke depan dengan perasaan iba yang mendalam. "Ibu masih sama seperti biasanya," katanya kentara sendu. Sebagai keluarga, terutama posisi Jakurai yang merupakan adik dari Ibu sang gadis, mungkin dia bisa paham dengan maksud dengan [Name] katakan barusan. Lagipula, keluarganya sudah terkenal hancur di mata orang lain. Sudah pantas Jakurai mengetahui hal itu semua.

Sekali lagi, keadaan menjadi hening persis dengan sebelumnya. Ah, terasa udara sangat berat di sini. Sesekali iris mata [Name] melirik ke arah Jakurai yang nampak berpikir. Entah, apa yang sedang beliau pikirkan. Akan tetapi, yang mencuri perhatian [Name] bukanlah mimik serius dari wajahnya itu. Melainkan rambut panjang terurai dia belakang punggungnya. Kira-kira, sudah berapa lama dia memelihara rambut hingga sepanjang itu.

'Apa dia tidak gerah dengan rambut selebat itu? Aku yang punya rambut segini saja sudah kewalahan, apalagi merawat rambut seperti dia,'  batin [Name] kagum dengan apa yang dia lihat dengan kedua mata telanjangnya.

"Oh!? Ada sesuatu yang ingin aku berikan padamu. Bisakah aku meminjam dapurmu sebentar?" Pinta [Name] yang sedari tadi bangkit dari tempatnya sambil menoleh ke arah sang pria. Bisa dibilang, Jakurai mendadak terkejut dengan pertanyaan yang keponakannya itu katakan. "Silahkan, kamu bebas memakainya," kata Jakurai menjawab.

[Name] memberikan anggukan kecil setelah Jakurai menjawab permintaannya. Dirinya langsung mengambil sesuatu dari isi tas yang dia bawa dan beranjak menuju dapur. Menyeduh air panas dan menaruh dua gelas ukuran sedang di atas meja. Beberapa hari lalu, temannya memberikan minuman sachet pada [Name] secara percuma. Memang gadis satu ini jarang terlihat berkumpul dengan yang lain, bukan berarti dia tidak punya teman. Dan temannya satu ini sudah menemani [Name] sejak sekolah dasar, dirinya kenal baik dengan keluarga temannya tersebut. Sampai keluarga temannya ini patut prihatin dengan keadaan yang sedang [Name] jalani.

Kalau dilihat, minuman itu nampak biasa saja. Luwak White Coffee, setiap iklan pada televisi sudah pernah menyiarkan merk minuman satu ini. Kopi satu ini cukup terkenal di berbagai negara asing. Cara penyeduhan yang mudah, rasa yang mengecap di lidah, serta aroma yang membuat rasa tenang tercipta. Gadis itu sedikit ingin tahu, apakah Jakurai sudah pernah mencoba minuman ini atau tidak. Ya, setidaknya [Name] sudah berbaik hati memberikan ini semua. 

Begitu usai, [Name] menyiramkan air panas ke dalam gelas yang tersedia lalu mengaduknya hingga rata. Membawa minuman itu ke tempat Jakurai berada sambil berharap bila pria tua itu belum pernah mencoba minuman satu ini. "Silahkan, Paman," ujarnya menaruh segelas luwak white coffee panas di depannya.

Jakurai melihat itu dan tersenyum, "Terima kasih," katanya dan mengambil gelas tersebut lalu tanpa sungkan untuk meminum isinya.  "Hm, kurasa tidak buruk," kata Jakurai yang menatap isi dari gelas tersebut.

"Apa Paman menyukainya?" Tanya [Name] tak ada habisnya, ragu jika kopi satu itu rasanya tidak cocok untuk lidahnya. "Aku cukup menyukainya... sejak dulu," ucap Jakurai mendadak membuat [Name] terdiam di tempatnya.

"Jadi, kopi itu sudah pernah Paman coba sebelumnya?" Jakurai mengangguk.

"Lagipula kopi ini sudah terkenal sejak setahun yang lalu. Sudah jelas banyak yang mengenal rasa sekaligus penampilannya," ucap Jakurai kembali.

"Se-setahun yang lalu!?"

[Name] tidak habis pikir mengenai zaman yang dia tinggali. Satu tahun yang lalu dan [Name] baru mengenal jenis kopi itu lima hari silam. Segitu jauhnya dia dengan pengetahuan hingga tidak tahu apa-apa mengenai hal sepele seperti itu.  Dirinya yang barusan percaya diri serta berharap jika pria tua itu akan  bertanya 'kopi apa ini',  langsung pecah seketika.

"O-Oh, kupikir kopi itu baru saja terbit." [Name] berucap seraya menggaruk kepala belakangnya yang jelas tidak gatal ataupun terganggu dengan suatu hal.

'Ah, sial. Sejak kapan aku bisa percaya diri seperti itu,'  batinnya kembali. Salahnya juga tidak bertanya atau mencari tahu tentang minuman itu terlebih dahulu. Lihat apa yang terjadi, wajah [Name] bersemu akibat malu dengan apa ia lakukan barusan. Jika Jakurai melihatnya, bisa jadi dia akan berpikir aneh terhadap sang gadis saat itu. Harus dia taruh di mana wajahnya nanti.

Tak lama kemudian, bel berbunyi. Menandakan ada tamu yang datang ke rumah Jakurai saat ini. [Name] sedikit penasaran dengan pekerjaan yang Pamannya itu miliki. Apabila tamu tersebut merupakan pasiennya, sebuah keberuntungan dapat melihat Jakurai mengatasi masalah yang orang lain dapatkan dengan kedua matanya sendiri. Meskipun nantinya akan [Name] lakukan secara diam-diam agar mereka tidak terganggu.

Tetapi, semua itu salah. Iris mata Jakurai mendadak menoleh ke arah [Name] yang sedang menyeruput segelas kopi miliknya. Tatapan itu terlihat aneh, kentara kaget serta bingung terlontarkan ke arah sang gadis di dekatnya tersebut. Ada yang ingin pria itu katakan, tapi bibirnya sama sekali tidak bergerak meskipun kedua matanya gemetar seolah akan meledak.

"Paman, Baik-baik saja?" [Name] bertanya, dirinya pun merasa sedikit terganggu dengan sikap Pamannya tersebut. Sebelum Jakurai akhirnya berbicara, "[Name], bisakah kamu bersembunyi di dalam lemari untuk beberapa saat?" Pintanya bangkit dari sofa.

Ucapan Jakurai itu jelas membuat [Name] bingung. Untuk apa dia bersembunyi disaat dirinya sedang kedatangan tamu? Tapi tunggu, kenapa Jakurai harus menyuruh sang gadis untuk masuk ke dalam lemari? Apa dia tidak habis pikir mengenai besarnya badan [Name] saat ini. Dan sayang sekali, [Name] tidak bisa menolak apa yang sudah Pamannya katakan. Mau tak mau, dirinya harus mengikuti ucapan sang pria dan pergi menuju lemari yang beliau maksud; lemari pakaian milik Jakurai.

Awalnya [Name] kira lemari itu akan membuat badannya menjadi sesak, ternyata  kenyataan berada di luar akal sehatnya. Lemari milik Jakurai berukuran besar dan memungkinkan tubuh [Name] dapat muat di dalamnya. Sungguh, apa yang pria tua itu pikirkan sampai tidak ragu menyuruh [Name] bersembunyi di sana. Memang alangkah baiknya mencari tahu, tapi sang gadis tidak berani untuk membentak ataupun menolak ucapannya barusan. Bisa saja, alasan dia melakukan ini karena tamu yang datang sangat penting dan dirinya membutuhkan ruang privasi tersendiri.

"Haah, aku sama sekali tidak tahu apa yang orang dewasa pikirkan," jelasnya masuk ke dalam lemari tersebut dan segera menutupnya. Tempat yang gelap, seharusnya [Name] sadar dengan hal itu. Tidak mungkin Jakurai akan memasang lampu di dalam lemarinya, bukan?

"Aku tidak bisa melihat sekitar. Awalnya kupikir besar, tetap saja di dalam akan terasa sempit seperti ini. Ya, aku tidak masalah dengan ruangan sempit, tapi ini tempat yang buruk untuk bersembunyi!" Ketus [Name] yang mulai membenci lemari sebab hal seperti ini.

"Dan juga, kenapa aku disuruh bersembunyi? Apa tamunya sepenting itu? Akan lebih baik jika aku bersembunyi di kamarnya saja, aku tidak bakal berisik di sana," katanya kembali sambil mengetuk pelan sisi di sebelah kanannya disertai wajah cemburut yang tak biasa ia keluarkan.

Saat itu [Name] mendengar suara asing dari balik pintu lemari yang tertutup. Dua orang pria datang menemui Jakurai dan nampaknya mereka diajak masuk ke dalam. Rasa penasaran menggeliat dalam dada sang gadis mengenai keadaan luar saat ini. Apa dia harus keluar untuk melihat? Tapi nanti Jakurai akan marah padanya.  Tapi [Name] juga ingin mencari tahu bagaimana Jakurai bekerja di saat pasien tiba padanya. Perasaan bimbang ini persis seperti memilih tidur atau makan terlebih dahulu.

"Sensei, sejak kapan kamu meminum Luwak White Coffee sendirian?" Ucap salah satu pria di sana. [Name] yang terpaksa harus menguping pembicaraan mereka, akhirnya memilih untuk tetap diam.

"Hifumi! Tidak baik berbicara seperti itu. Lagipula Sensei bebas melakukan apa yang dia mau. Ah, Maaf Sensei."

"Tidak apa, Doppo-kun."

Dua orang yang mempunyai kepribadian berbeda dapat [Name] tangkap dengan mudah. Nampaknya di luar sana terdengar menyenangkan, sampai sang gadis ingin sekali keluar. Tapi jika diingat kembali, [Name] belum tentu berani melakukan hal itu. Jika hanya Jakurai di sana, mungkin dia sanggup untuk keluar tiba-tiba. Saat ini dirinya sedang kedatangan tamu yang mungkin sangat istimewa baginya, tidak mungkin [Name] mau melukai harga diri Pamannya dengan cara melanggar perintah dia sebelumnya.

Itu sama saja merusak urat malu diri sendiri.

"Biar aku ambilkan. Kalau tidak salah, ada di dalam lemari, bukan?"

'AH GAWAT! DIA KEMARI!' [Name]  mendadak terkesiap setelah mendengar apa yang pria asing itu katakan. Dia akan datang ke tempat [Name] bersembunyi. Dan nampaknya Jakurai tidak menyadari hal itu. Apa dirinya lupa tentang tempat sembunyi sang gadis saat ini. Bukankah dia sendiri yang menyuruh [Name] untuk menutup diri di sana. Lalu? Kenapa dia sama sekali tidak sungkan menyuruh pria asing itu untuk datang ke tempat [Name] berada?

Ah, [Name] sudah tidak bisa berpikir jernih setelah mendengar apa yang terjadi setelah pintu lemari itu terbuka. Langkah kaki itu bergerak mendekat, membuat lantai tatami mendecit disetiap jalannya yang semakin mendekat. Sampai akhirnya pintu lemari itu terbuka.

"Eh?"

"Eh!?"

Mereka berdua terdiam, mendadak tidak bicara setelah kedua mata saling bertemu. [Name] juga tidak bergerak dari tempatnya, begitu pula dengan pria di depannya kini. "Maaf, bisakah ambilkan aku kain itu?" Pria itu menunjuk ke arah kain yang berada di samping sang gadis dan [Name] segera memberikannya tanpa membalas ucapannya sedikit pun. Setelah itu pintu lemari kembali ditutup.

"HIFUMI! KUSARANKAN JANGAN MENDEKATI LEMARI ITU!"

"Eh? Kenapa? Dan juga Doppo, kenapa kamu harus berteriak seperti itu? Memangnya di sana ada apa?"

"Intinya jangan, di sana... di sana banyak kecoa!" Kata sang pria yang dapat didengar oleh [Name]α begitu jelas. "Aku dianggap kecoa olehnya. Sungguh, jahat sekali," gumam [Name] yang merasa shock setelah semua terjadi padanya hari ini.

Tapi bukan itu yang menjadi masalahnya, [Name] merasa jika Jakurai mencoba menutupi dirinya dari temannya tersebut. Dia sama sekali tidak bisa mengkhayalkan pikiran Pamannya satu ini. Dunia sudah menyuruh [Name] untuk menyendirii ke titik tergelap sampai orang luar tidak menyadari kehadirannya.

"Wah, kopi ini rasanya lumayan. Bagaimana denganmu, Doppo?"

"Tidak buruk. Sensei, bisa beritahu di mana aku bisa memilikinya?" Tanyanya. Pertanyaan itu membangunkan [Name] dari lamunan. Pria asing yang menemukan letak sang gadis, berkomentar mengenai Luwak White Coffee  yang dia punya. Sekarang [Name] harus mendengar apa yang akan Jakurai jawab kepadanya.

"Itu pemberian dari keponakanku yang kebetulan berada di sini," kata Jakurai. [Name] bisa lega mendengar jika Jakurai masih menganggap dirinya sebagai keluarga saat ini. Meskipun tak tahu apakah yang dia katakan tulus atau tidak.

"Lalu? Sekarang dia di mana?" Tanya pemuda yang disebut sebagai Hifumi. Membuat atmosfer berasa berbeda setelah mendengar apa yang dia pertanyakan. Doppo tersedak kopi yang dia minum, Jakurai mendadak menoleh ke arah lain,  jelas sekali dirinya sedang menghindar. Hifumi yang melihat itu semua menjadi bingung, "Kenapa tidak ada yang menjawab?" Dia bertanya sambil terus menatap kearah Doppo dan Jakurai secara bergantian.

Sampai [Name] membuka pintu lemari dan memperlihatkan wujudnya kepada kedua tamu Pamannya tersebut.  [Name] pikir akan menjadi hal mudah untuk menjawab apa yang pria itu tanyakan barusan, tetapi detik selanjutnya sungguh tidak ia duga.

"Hiii!!!" Pemuda bermahkota mencolok itu mendadak memucat pasih dan bersembunyi di samping temannya. Iris mata itu mencantumkan rasa takut, seolah dia melihat sesuatu yang tidak ia harapkan untuk bisa dipandang begitu saja. Dia nampak menderita, persis dengan ekspresi Ibunya yang tersiksa batin oleh sang Ayah. "Ma...maaf," ucap [Name] seiring kedua kakinya melangkah mundur.

"Kurasa sudah waktunya kami pulang, Sensei. Tampaknya Hifumi sudah memberiku kode untuk segera keluar," ujar Doppo setelah menghela napas kasar dari ucapannya tersebut. Jakurai mengangguk, menoleh ke arah [Name] yang sama kagetnya dengan pria di depannya kini. Kondisi bisa menjadi buruk jika pria itu tidak segera melupakan keberadaan [Name] yang jelas berada di satu atap dengannya.

"Maaf menganggu malammu, Sensei."

"Tidak perlu khawatir, Doppo-kun. Ada baiknya menyuruh Hifumi-kun untuk beristirahat saat ini," ujar Jakurai yang disambut anggukan setuju dari Doppo di depan pintu terbuka.

"Tu-Tunggu! Bi...biarkan aku memberikanmu ini. Maaf, sudah membuatnya seperti itu." Dibalik tubuh Jakurai yang terbilang besar, di sana [Name] berdiri tanpa berani menatap kepergian kedua pria di depannya itu. Tangan kanannya menyerahkan sekotak Luwak White Coffee yang terlihat masih baru kepada Doppo. Dia mendengar apa yang pria itu pinta, jadi dia memberikan benda itu secara percuma padanya.  Alih-alih sebagai ucapan minta maaf.

Doppo yang melihat itu tersenyum tipis dan menerimanya perlahan, "Terima kasih," ucapnya sebelum beranjak pergi seraya menarik temannya yang berjalan di belakang. Jakurai dan [Name] hanya bisa memperhatikan kedua punggung lebar itu berjalan menjauh hingga menghilang dari permukaan. "Maaf."

Bibir sang gadis gemetar, merasa takut jika misalnya Jakurai marah padanya saat ini. Dia sudah berusaha menahan diri, tapi selalu hancur diakhir. Telinganya siap mendengar deretan kata yang akan keluar dari bibir pria tua itu.

"Ini bukan sepenuhnya salahmu, [Name]. Ada alasan dimana kamu harus bersembunyi dan aku tidak menduga semua itu dapat kamu pecahkan sendiri masalahnya," ujar Jakurai, dirinya tersenyum ke arah [Name] yang sudah hampir meleleh akibat sifat cerobohnya itu. "Oh, aku mengerti," katanya yang baru menyadari hal itu semua setelah dia berusaha mengingat kembali.

Jakurai menepuk pucuk kepala [Name] perlahan, membuat sensasi tak asing saat Jakurai melakukannya. Gadis itu mendongak; melihat ke arah Jakurai yang dipenuhi senyuman di wajahnya. Perasaan yang cukup lama mendekam dalam dirinya, perlahan keluar begitu sosok menyerupai Ibunya tiba di depannya. Kepalanya merasa hangat, air matanya berasa panas.

"Kalau dilihat, kamu ini cukup cengeng juga." Ucapan Jakurai membuat [Name] cemberut, baru kali ini ada yang berkomentar tentang dirinya walaupun dia cukup senang dengan itu. "Aku begini karena takut Paman akan marah padaku," sergahnya seraya mengusap ekor mata yang basah. Jakurai mendengar itu hanya bisa terkekeh renyah  dan meneruskan kegiatan tangannya; mengelus kepala [Name] sampai tidak sadar jika keponakannya  sedang bersemu saat itu.

"Mau pergi tidur?" Ajakan Jakurai disetujui secara langsung oleh [Name]. Karena memang dia cukup lelah karena kebanyakan terkejut hari ini. Atau efek karena dia selalu tidur cepat sehingga tidak bisa tidur diwaktu yang cukup lama.

"Kemarilah, [Name]." Gadis itu terdiam. Ketika kedua iris matanya mendapati Jakurai yang tidur di atas kasur sambil membuka selimut; memberikan ruang untuk gadis itu masuk, [Name] kembali tidak bisa melontarkan kata-kata. "Ti-tidur sa-satu ra-ranjang!?" Ucapnya dengan jari telunjuk yang diarahkan ke Jakurai dan nampak bergetar. Tidak seharusnya Jakurai mengajak [Name] untuk tidur bersama. Ya, tidak ada yang melarang hal itu tetapi, mengingat posisi mereka terpaut sangat jauh membuat [Name] takut untuk menerimanya.

Meskipun mereka keluarga, [Name] masih tidak tahu sifat sang Paman seperti apa. Sifat manipulasi manusia selalu membuat sang gadis mudah tertipu daya. "Aku hanya menemanimu tidur sebentar, tidak lebih." Dan saat itu [Name] menjadi tenang.

Baru kali ini ada yang mengajaknya untuk tidur bersama. Ah, haruskah dia membayangkan wajah sang Ibu saat ini. Karakteristik mereka terlihat sama, bisa saja memudahkan [Name] untuk membayangkannya. Akhirnya sang gadis menaiki kasur dan memasuki selimut yang sedari tadi Jakurai buka untuknya. Sudah pasti [Name] menjaga jarak, akan gawat bila ada sesuatu tak ia inginkan terjadi saat dirinya sedang terlelap dalam dunia mimpi.

"Kamu bisa cerita semuanya padaku, [Name]. Dengan begitu, beban yang kamu miliki setidaknya bisa terkuras meskipun hanya sedikit." Lagi dan lagi, kepala [Name] diusap pelan oleh telapak tangan Jakurai yang besar. Wajahnya begitu dekat, bahkan [Name] bisa mendengar hembusan napas keluar masuk darinya. Dirinya juga tidak bisa menghindar, sebab pertanyaan itulah yang dia tunggu selama ini. Berharap ada yang membantu, meskipun pada akhirnya tidak ada perubahan dari sebelumnya.

[Name] mengangguk, bibir kecilnya mulai menceritakan semua yang dia alami hingga kehancuran keluarganya. Bagaimana bisa dia mendapatkan seorang Ibu yang depresi berat, cara dia menemukan solusi untuk menguatkan kembali tapi selalu tidak berhasil. Bagaimana dirinya bisa menemukan omongan kasar dari sekolah hingga berakhir dengan cara yang tak senonoh.

Semua itu dia ceritakan dengan air mata yang terus jatuh membasahi bantal serta lengan kokol sang pria. Hatinya sudah rapuh untuk menceritakan itu semua sampai isak tangis pun tercipta. Sedangkan Jakurai, dia mendengar keluh kesah yang Keponakannya itu miliki. Tentang Keluarga Kakaknya dan tentang semua yang menjadi beban seorang gadis saat ini.

Cerita yang menghabiskan waktu kurang lebih sejam, membuat [Name] lelah dan tidur tanpa dirinya sadari. Kelopak mata yang menghitam serta lembab, mengatakan jika semua ceritanya bukanlah kebohongan. Setidaknya Jakurai lega, keponakan kesayangannya bisa menceritakan semuanya tanpa ragu. Sekarang giliran Jakurai yang membantu, dia hanya perlu berpikir untuk membuat gadis di dekatnya ini bisa bermain bebas seperti dulu.

Tangannya yang sedari tadi mengelus kepala [Name] perlahan mulai ia tarik. Jakurai mengecup dahi gadis itu dan tersenyum untuk menatap wajahnya yang nampak begitu lelah. "Selamat malam, [Name]." Tanpa beranjak pergi, Jakurai pun ikut tertidur di samping [Name] ; akibat salah satu lengannya yang dia jadikan bantal, dan  menunggu hari baru tiba di esok hari.

Ini adalah ceritanya. Cerita dari seorang gadis yang mempunyai banyak ulasan dalam kehidupan sehari-harinya. Dan tanpa ia sadari, semenjak kedua kakinya memasuki wilayah asing tersebut, dirinya mendapati kehidupan berbeda. Pamannya yang peduli membuat hati kecil sang gadis bersinar lebih terang dari sebelumnya. Entah, apakah ini akan berpengaruh padanya bila pulang ke rumah, atau malah membuat cahaya itu makin terang sampai menembus kegelapan yang terus memutarinya.

'Ibu, izinkan aku tinggal lebih lama di sini.'




  ⓧⓧⓧ

THE END
終わり~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top