Cerpen - Gelenyar
Genre: Chicklit
Mei 2016
Eksperimen buat cerita chicklit. Silakan dihina-dina sambil putar lagunya (The Knife - Pass This On). Mengandung konten dewasa, yang belum cukup umur jangan nekat baca, ya ^^
=====
Malam penanda akhir pekan seakan baru dimulai ketika jarum jam menunjuk ke angka satu. Sekarang puncaknya, orang-orang sudah terbanjiri peluh dan kesadaran mereka telah berkurang hampir separuh. Aku menyesap rokok sembari bersandar pada dinding bermotif bunga-bunga berkelopak jangkung. Satu tangan memegang lilitan tembakau, tangan lainku menangkup asbak yang sembarang kusabotase dari letak seharusnya di atas meja. Kesadaranku masih tiga per empat, kira-kira. Pesta rumahan tidak pernah asyik, meski terlalu dini bagiku yang baru mencicip dua atau tiga kali untuk mengambil kesimpulan. Hanya belasan orang menari berhimpitan di tengah ruangan, sementara bola lampu disko bergemerlapan di atas mereka. Seperti kerumunan orang di dalam bus kota yang jenuh akan kemacetan lalu lintas kemudian mulai menari sesuka hati, tidak peduli bila gerakan tubuh mereka sekaku robot. Jika kau tanya apa aku akan bergabung dengan mereka di sana, jawabannya tidak. Bahkan ketika rokokku makin memendek sedangkan ini adalah batang terakhirku. Bahkan ketika DJ bertarif rendah sesekali memutarkan lagu-lagu kesukaanku. Aku lebih suka jadi bunga dinding pada pertemuan kasual berkhalayak ramai dan dinding kali ini hampir tak ada beda dengan gaun murah bermotif bunga yang kukenakan, seolah aku tengah melakukan mimikri.
Pengecualian untuk saat ini, tidak pernah aku menikmati peranku sebagai hiasan dinding sedemikian dalam. Pada detik ini, di pesta asing yang payah ini. Tidak salah aku menerima ajakan Inge kemari.
Ini memang sangat, sangat salah namun aku belum bisa melepaskan tatapan dari satu sosok di tengah ruangan. Laki-laki itu sangat teler, bisa dipantau dari tariannya yang asal dengan kedua mata terpejam. Padahal baru dua puluh menit lalu dia menghampiriku di dapur, ketika aku sedang menuang gin banyak-banyak ke dalam gelas. Dia mendekatiku dari belakang, mengambil botol dari genggamanku, lantas menenggak cairan dari dalam sana sampai habis.
"Aku butuh ini lebih dari kau," ujarnya sembari tersenyum singkat.
Seperlima liter gin yang barusan kutelan rasanya belum cukup untuk memanipulasi pandangan, namun aku mendapati seorang Adonis berdiri di hadapanku. Rambut ikal, tulang pipi agak tinggi, garis rahang tegas, hidung bangir, bibir merekah, dan mata seduktif yang secara sialan buatku tak bisa memalingkan diri.
Aku hampir kesal sebelum urung, teringat masih punya sisa rokok untuk mengisi dahaga. "Kau bisa ambil ini."
Dia tampak puas ketika mengambil gelasku, lekas meminumnya tanpa basa-basi. 'Terima kasih' dia ucapkan setelah mendekatkan wajahnya padaku; terhenti barang beberapa detik, nyaris mencium tetapi batal.
Aku suruh diriku untuk berhenti membodohi diri namun nyatanya tatapanku hanya terpaku pada si bajingan perebut gin lebih dari sepuluh menit terakhir. Kedua matanya yang terpejam kini membuka, mungkin berupaya mengumpulkan kesadaran. Lagu dalam ruangan berganti menjadi lebih menjingkrakkan. Tahu-tahu pandangan laki-laki itu sudah menancap padaku dari lantai dansa. Tubuhnya mengikuti irama namun matanya tertuju pada si bunga dinding.
Kumatikan rokok pada asbak, serta merta menaruhnya sembarang di atas meja terdekat, lalu beralih ke meja-meja penyedia minum di sudut ruangan. Masih sang Adonis memperhatikanku lekat. Kuteguk bir sambil balas menatapnya lagi, kali ini dengan lebih menantang --aku tidak mau dianggap pengecut. Setelah tegukan kesekian belas dan menit-menit yang berlangsung seperti berjam-jam, pandanganku mulai mengacau. Adakah yang bermain-main dengan lampunya? Apa benda bulat di atas itu rusak? Entah bagaimana, frekuensi pergantian cahaya semakin menusuk mataku. Gelap, terang, gelap, terang bergantian dalam transisi singkat. Dalam terang, kulihat sang lelaki berambut pirang masih di sana, berdansa sambil menatapku. Dalam gelap, patung pahatan berciri era Renaissance menampakkan diri, menggantikan sosok sang Adonis. Begitu miripnya mereka! Oh, lihat, David si patung mendekat kemari. Tuhan berkati Michaelangelo! Masa bodoh, keseluruhan kenikmatan hidup sedang dirangkum dalam kesatuan momentum ini. Gemerlap lampu disko kian meremang, warna-warna berganti secepat kilat: merah, hijau, jingga, biru, hitam, ungu, kuning, merah muda, lalu hitam lagi....
Yang berikutnya kuingat adalah kami berdua sudah berbagi selimut di atas ranjang. Aku yakin yang membangunkanku adalah gerakan lembut rambutnya pada leherku, juga lengan liat yang merengkuh pinggangku. Di luar, matahari sudah meninggi, terlihat dari celah jendela yang tidak tertutupi gorden.
Ketika akhirnya laki-laki di sebelahku membuka mata, cepat-cepat kutanyakan, "Bagaimana kita sampai di sini, Ian?" Seingatku, itu namanya yang kusebut-sebut semalam.
"Tatapan laparmu yang menuntun kita ke sini, er..." Dia berhenti sejurus dalam usahanya mengingat namaku, "...Andrea?"
"Dan kau tidak semabuk yang kukira. Kenapa aku, bukan jalang yang menari denganmu saja?"
"Kau terlihat paling mudah."
"Maksudmu?" sinisku.
"Atau anggaplah bentuk terima kasih atas minuman kemarin."
"Terserahlah," ketusku, sembari memungut pakaianku yang tercecer di samping kasur.
Setelah mengenakan pakaian dan saling menyepakati kejadian semalam sebagai hubungan satu malam semata, aku meninggalkan apartemen Ian tanpa merasa tersia-sia. Setidaknya, dalam bayang-bayang ingatan yang menyusul secara bertahap, pengalaman pertamaku tidaklah buruk. Sempat aku terpikir untuk menemui sang Adonis lagi, hanya untuk melihatnya sekilas saja dan mengecek apa dia masih sama memikatnya. Barangkali kami bisa bertemu dalam pesta-pesta dan bar-bar langganan Inge, namun ternyata aku tidak perlu menunggu kesempatan serupa datang.
Beberapa hari kemudian sebuah pesan teks muncul pada ponselku: Andrea. Ini Ian. Di mana kau sekarang?
***
"Kenapa kau tidak pernah ikut berpesta lagi?"
Pertanyaan Inge semakin menggerahkan cuaca. Dia telah menanyakan hal yang sama sejak dua bulan belakangan setiap akhir minggu, masih tidak tahu bahwa rekan menggilanya --alias aku-- lebih memilih menghabiskan waktu bersama seorang lain di apartemen nyaman dibanding menghirup raksi peluh dan sisa-sisa alkohol yang menguar di ruang lembap pada akhir pekan.
"Apa gunanya, semua kebisingan itu?" tanyaku balik.
Inge memasang ekspresi seolah aku baru melemparkan panekuk basah ke seragamnya. "Dah? Untuk melupakan kejemuan kita sebagai pelayan restoran?"
"Aku punya pekerjaan lain."
Inge menaikkan sebelah alis. "Sebagai honorer di perusahaan kecil, pekerjaan bagus. Jujurlah, kau sedang dekat dengan seseorang, eh?"
"Menurutmu?"
"Terbaca pada wajahmu, Andrea! Apa kau mencintainya?"
Aku memberi tatapan sinis pada Inge, seakan ucapannya barusan adalah seberkas penghinaan. "Jangan bergurau. Cinta adalah emosi ekstravagan bagi fakir sepertiku."
"Kalau begitu, temani aku bersenang-senang lagi."
"Lain kali, Inge," tampikku lagi, setelah aku mengecek pesan yang baru masuk ke ponselku. Dari Ian. Isinya: Kujemput jam sebelas.
Ian memenuhi kata-katanya: lima menit lebih awal dari yang dijanjikan, mobilnya sudah bertengger di persimpangan blok sebelah. Lokasi yang biasa untuk menjemputku, entah sudah kelima belas atau enam belas kali, aku kelupaan hitungan. Lagu-lagu jelantah penuh amarah lekas menyambutku begitu kusingkap pintu mobil dan duduk di bangku depan, sementara di sampingku Ian memasang seringai yang tidak terelakkan.
Pada pukul dua belas lewat lima menit kami sudah merebah lemas di atas sofa di dalam apartemen Ian. Mengisi jeda untuk ronde berikutnya, kutanyai Ian sembari menyibakkan riap rambut ikalnya ke balik kuping. "Bagaimana pekanmu?"
Napasnya mengalir ke tengkukku selagi dia berbicara, "Masih mengharapkan status janda seseorang."
"Omong kosong, berulang kali kubilang. Emma tidak akan berpaling kepadamu."
"Jadi kau ingin aku ganti mengejarmu?"
"Kau tahu aku cuma suka tampangmu, 'kan?"
"Siapa yang tidak?"
"Lalu apa yang kau lihat dariku?"
"Keliaran sekaligus kerapuhan, kau punya perpaduan yang tepat."
Menyebalkan, Ian selalu memiliki jawaban atas segala pertanyaanku tanpa berpikir lama-lama. Terlewat ajaib, cara dia meluncurkan kata-katanya secara refleks dan rileks, dengan intonasi yang mengalirkan gelenyar pada saraf-saraf di sekujur tubuh. Kuharap tidak ada rona yang tampak pada pipiku.
"Kuanggap itu pujian sekaligus hinaan." Aku meraih remote control televisi, tidak perlu memindai saluran-saluran karena tahu apa yang kutuju. Siaran ulang biografi Schrodinger, setelah minggu lalu tayangan perihal Planck yang disajikan.
"Itu membosankan, Andrea, kita nonton Animal Planet saja," sergah Ian.
"Kasihanilah orang yang tidak punya televisi di rumahnya."
Ian terkikik pelan, lantas mendekapku makin erat. Menghangatkan memang, apa kondisioner udara di ruangan ini harus sedemikian rendah? Napas Ian yang masih mengembus di tengkukku pun kian membuyarkan fokusku pada tampilan layar, membuatku menyeletuk di akhir program, "Aku penasaran."
Ian merebut remote control dari tanganku, benar saja langsung memindahkan saluran ke tayangan kucing-kucing peliharaan dengan ketidakseimbangan hormon yang membutuhkan konseling penjinak hewan. "Apa? Jangan tanya tentang teori Schrodinger."
"Apa yang kau lakukan bila tiba-tiba di suatu jalan kau berpapasan dengan bekas partner-partnermu?" tanyaku, sembari menyelipkan rokok di bibir dan meraih pemantik di atas nakas.
Ian kontan membalas, "Menyapa sebentar lalu bilang aku sedang tergesa. Itu cukup untuk menandakan aku tidak mau menemui mereka lagi."
"Brengsek. Omong-omong, kau harus baca tentang Schrodinger's Cat," kataku sembari mataku menelusuri kibasan ekor-ekor kucing pada layar di seberang kami.
"Aku penasaran," dia balas bertanya.
"Apa?"
"Kenapa seorang sarkas dan cerkas sepertimu menjadi pelayan?"
"Sudah kukatakan, bukan itu saja pekerjaanku."
"Aku lupa yang satunya. Jadi, kenapa?"
"Karena hidup tidak akan segan mendampratmu. C'est la vie, mon cheri."
"Shit, aku suka aksenmu."
Pelukan Ian makin merapatkan kami. Gelenyar itu masih belum padam hingga pagi, saat aku bangun duluan dan membuatkan kopi selagi Ian mandi. Ponsel Ian berdering setelah dia memakai kemeja. Bunyi ponsel berbeda dari yang biasa, pertanda pesan teks dari seorang khusus yang meraung ingin segera dibaca. Aku bisa menebak siapa pengirimnya. Usai membalas pesan, laki-laki itu hanya menyeruput sedikit si cairan hitam sebelum bergegas mengambil kunci mobil dan berkata kepadaku, "Aku mau bertemu Emma. Nanti tolong kunci pintunya."
Pintu depan ditutup sekenanya. Gegas langkah pada koridor di luar meninggalkan gaung yang merembes ke balik dinding. Kupergoki rekahan bibir pria renta pada lukisan di dapur semakin melebar, entah dia sedang ingin menertawai atau kopi pagi hari ini saja yang terasa lebih pahit daripada biasanya.
***
Baru aku merasa semenang ini dalam hidup sejak mengenal Maximillian. Beribu sayang, fase tersebut terlampau singkat. Tidak masalah Ian menyukai perempuan lain. Hubungan kami tidak saling mengikat, nihil komitmen, minim rayuan dan godaan, namun memuaskan. Dibutuhkan satu bom saja untuk memporak-porandakan segalanya. Secara kebetulan, aku melihat Ian sedang berkencan dengan salah satu perempuannya di pusat perbelanjaan kota. Hanya saja, mengapa perempuan itu harus Emma?
Tentu aku tidak memberitahu Ian bahwa aku mengenal Emma. Menyebut Emma sebagai apa? Bekas sainganku di universitas dulu? Aku adalah calon lulusan terbaik jurusan kalau saja kampusku tidak mendepakku akibat kendala finansial, dan pada akhirnya mereka menganugerahi Emma gelar tersebut. Terakhir kali kudengar, Emma menikahi seorang pengusaha kaya raya. Ian adalah selingkuhan yang tergila-gila pada Emma merupakan hal terakhir yang terpintas dalam benakku. Sudah setengah tahun aku dan Ian bersama pun, laki-laki itu masih mengagungkan Emma.
Terjungkal berkali-kali itu luar biasa menyakitkan.
Sampai sekarang atasanku masih saja berkomat-kamit tidak menentu di ruang rapat yang sempit. Sudah pukul lima lebih dua puluh lima menit, gila! Notulensi yang kucatat dari pertemuan sia-sia selama tiga jam ini tidak sampai dua halaman. Padahal seorang sekretaris di firma minor yang nyaris bangkrut tidak akan dibayar untuk tambahan jam kerja dan sifku di restoran akan dimulai tiga puluh lima menit lagi.
Pada akhir rapat, atasanku memanggilku ke ruangan kerjanya dan memintaku tidak usah datang mulai besok. Firmanya perlu menghemat pengeluaran. Ada pegawai lain yang akan menggantikan pekerjaanku, bersedia kerja ganda dengan gaji dinaikkan barang secuil.
Aku berjalan cepat ke restoran dengan langkah terseok-seok. Selama empat jam berikutnya, Inge kerap mengingatkanku agar tidak terbengong ketika mencatat pesanan pelanggan. Pukul sepuluh lewat, aku berjalan lunglai ke persimpangan blok sebelah.
Satu sumber penghasilan kandas, padahal punya dua pekerjaan belum cukup bagiku untuk mengumpulkan biaya studi. Sulit menabung selama aku terus kecanduan rokok dan alkohol untuk meredam ketidakpuasanku yang enggan surut. Begitu aku melihat Ian dan mobilnya sudah menungguku di ujung jalan, kusadari Ian adalah satu-satunya pelarianku dari kebiadaban dunia. Dia kemenanganku yang tersisa.
Usiaku seperempat abad. Aku telah mencapai titik di mana yang kuinginkan dalam hidup bukan semata hubungan sepintas di atas ranjang, tetapi seseorang yang akan terus berada di sampingku ketika aku membuka mata di pagi hari, yang melindungiku kalau-kalau ada orang jahat menodong rumahku di malam buta –namun usai kupikir-pikir, tidak ada yang bisa dirampok dariku dan aku berpotensi mewujud orang jahat tersebut suatu hari nanti.
Mungkin seseorang yang kubutuhkan adalah Ian. Dia bukan stereotip bujang sosialita intimidatif yang isi otaknya dipenuhi gumpalan-gumpalan kemesuman seperti dalam buku-buku romansa dangkal. Bukan individu arogan nan manja, bukan juga anak yang bergantung pada harta orangtua meskipun kiriman uang saku dari ibu Ian selalu cukup untuk mentraktirku heroin. Seumuran denganku, Ian adalah lawan berbincang yang menggugah nalar, dapat mengimbangi pemikiran-pemikiran skeptis dan eksentrik dariku, mendengarkan seksama, lalu menimpali dengan tidak kalah brilian.
Dia adalah malaikat sekaligus iblis. Bukan sekadar David yang heroik, Adonis yang karismatik, namun Hades yang menawan Persephone.
Lalu, menggelayut di sampingnya pada penghujung malam, dua kata pantangan itu tiba-tiba saja terucap, meluncur begitu saja dari mulutku, "Aku mencintaimu."
***
Ketiadaan pesan balasan dari Ian mengisi minggu-minggu seterusnya. Panggilan telepon dariku pun tidak diangkat. Aku sadar semenjak aku pulang dari rumahnya pagi itu, aku telah meletuskan kekalahanku sendiri. Memalukan.
Kuputuskan untuk menemui Ian empat mata, menungguinya di kedai kopi dekat apartemen Ian selagi menyiapkan beratus alasan yang berinti bahwa aku tidak serius mengucapkan dua kata menjijikkan tersebut, lalu memelas kepadanya untuk berlaku seperti sedia kala.
Ketika sedang menyusun alasan keseratus sebelas, kulihat Ian keluar dari gedung apartemen, lanjut berjalan santai ke arah kedai kopi. Aku bergegas keluar, menghadang Ian tepat di hadapannya.
"Hai," sapaku dengan canggung tak kuasa tersembunyikan. Telur dadar tawar dan kopi termurah di kedai rasanya meletup naik ke puncak kerongkonganku.
Tampak terkesiap, Ian membalas sapaanku. Senyumnya kentara terpaksa. Cepat-cepat aku melanjutkan, "Maaf tentang yang waktu it--"
"Maaf aku sedang tergesa-gesa... Aku meninggalkan kompor menyala di apartemenku," Ian menyela ucapanku.
"O-oh... Oke... Um, apa kita bisa bertemu kapan-kapan di bar? Atau pesta di rumah, eh siapa namanya... Y-ya, pesta tempat kita pertama berte--"
Bicaraku tidak karuan. Pandangan Ian mengikuti gerakan jari-jari tanganku yang saling tertaut dengan kikuk dan gugup. Lekas dia memotong lagi, "Aku benar-benar harus kembali ke apartemenku."
Persis setelah Ian mengucapkan itu, kemudian berbalik dan berjalan membelakangiku, aku sadar aku telah kembali menjadi seorang tengik yang tidak kunjung puas dan tidak pernah menghasilkan apa-apa dalam hidupnya.
Aku mengambil bungkus rokok dari saku, mengapit batangan tersebut di sela bibir, lantas merogoh kantung lagi untuk meraih pemantik. Entah karena gemetarku atau karat-karat sialan atau kehabisan naphtha atau alasan persetan lainnya, pemantik tidak kunjung menyala berkali-kali pun aku mencoba. Kupandangi punggung Ian terus menjauh, sementara gelenyar menguasai aku yang menghisap rokok tiada menyala.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top