CHAPTER 5 || REMEET

Enjoy~

-----------------------

"Okay. Kakak akan segera ke sana, kamu chat saja alamatnya."

Setelah memutuskan telepon dengan Yoga, aku membenahi peralatan praktikku. Memasukkannya ke dalam tas, dan segera berjalan ke luar rumah.

Aku mengecek telepon genggam, melihat chat baru dari Yoga yang berisikan alamat temannya. Kata Yoga, temannya baru saja berniat bunuh diri.

Apakah kasusnya separah itu?

Untung saja, saat ini aku sedang tidak bertugas di rumah sakit. Jadi, aku bisa segera datang.

Kunyalakan mesin dan langsung kupacu mobil menuju tempat tujuan. Tempatnya lumayan jauh. Sepertinya aku kenal daerah ini. Tidak jauh dari rumah kami yang dulu.

Aku menghela napas. Teringat akan seseorang.

Apa kabar dia sekarang? Pasti sudah besar, ya?

Aku menggeleng untuk mengusir pikiran-pikiran itu.

Seharusnya aku tidak boleh memikirkan dirinya lagi. Keputusan yang kuambil untuk menjauh darinya adalah keputusan terbaik, meski sampai sekarang, kuakui terkadang aku masih diserang rindu yang teramat sangat.

Hampir setengah jam berlalu dan akhirnya sampai. Aku memarkirkan mobil di depan sebuah rumah.

Bisa langsung kulihat, Yoga yang terlihat sangat cemas, datang menghampiriku untuk membukakan pagar.

"Kronologinya bagaimana?"

Yoga pun mulai bercerita singkat tentang temannya yang mencoba terjun dari kamarnya. Kami bergegas ke kamar temannya, sampai aku melihat seseorang yang sangat ku kenal sedang terisak di dalam pelukan Varel.

"Mbak Widya?"

********************

Aku terpaku. Lututku lemas.

Menyaksikan pemandangan yang menyakitkan di depan mataku. Lalu, berpaling menatap tajam ke arah dua adikku, menuntut penjelasan. Varel hanya menunduk sedangkan Yoga memberiku tatapan menyesal.

"Sudah berapa lama Willy tidak sadarkan diri seperti ini, Mbak Widya?"

"Sekitar ...," Mbak Widya seperti tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.

"Lima belas menit yang lalu, Kak," Yoga menjawab, "sejak aku telepon Kakak tadi, dia masih meronta dan berteriak-teriak. Sampai akhirnya ... dia tidak sadarkan diri, dan ...."

Sambil mendengar Yoga bercerita lebih lanjut, aku memeriksa nadi dan melakukan pemeriksaan dasar.

Tekanan darahnya rendah, jantungnya berdegup cepat sekali.

Ya Tuhan, inikah akibat dari perbuatanku dulu?

Dengan segenap diriku, aku berusaha mengendalikan emosiku yang bercampur aduk. Aku harus berkonsentrasi untuk memeriksa keadaannya.

Tidak lama, jantungkulah yang berdetak kencang ketika dia tersadar.

"Willy?"

Akhirnya aku menyebut namanya lagi. Sayangnya pada waktu yang benar-benar tidak terbayang dan diharapkan olehku.

Dia menatapku perlahan. Aku menunggu jawaban.

Tidak ada reaksi sedikit pun darinya, hanya menatapku saja, dengan pandangan hampa.

"Willy, apa kamu mendengar saya?"

Dia membuang tatapannya dariku, membuat jantungku semakin berdetak tak keruan.

Tenang, Rizal, tenang.

Kuulangi sekali lagi, "Willy, apa kamu mendengar saya?"

"Willy Sayang, tolong jangan gini ya, Sayang. Kamu masih sayang Mama, kan? Willy denger Mama kan, Sayang?" isak Mbak Widya yang membuat hatiku semakin nyeri.

Mbak Widya mendekat ke arah Willy, dan duduk di sampingnya. "Willy Sayang ...."

Willy memberikan reaksi yang baik, dia dengan segera merespons Mbak Widya, memberi tatapan hangat kepada mamanya.

Aku mundur selangkah, memberi space untuk mereka. Sebab untuk saat ini, sepertinya hanya Mbak Widya yang bisa mendapatkan perhatian Willy dengan baik.

Mbak Widya membelai kedua pipi Willy dengan kasih sayang, "Willy sayang Mama nggak?"

Aku menunggu, sambil terus memperhatikan respons yang diberikan oleh Willy, meskipun aku belum sepenuhnya bisa mengendalikan diriku.

Willy belum mau menjawab.

Mbak Widya pun seperti turut menguatkan dirinya lebih lagi untuk buah hatinya. Dapat kulihat dari perubahan ekspresinya yang lebih tegar dari sebelumnya.

"Willy sayang Mama nggak, Sayang?"

Hatiku ikut bergetar saat Willy akhirnya mengangguk. Namun, Mbak Widya seperti belum puas dengan jawaban Willy, dia bertanya sekali lagi dengan pertanyaan yang sama.

"Iya, Willy sayang Mama." Akhirnya suara Willy terdengar.

Aku menengok ke belakang, ke arah kedua adikku. Tangis Varel semakin kencang, Yoga berusaha keras untuk menenangkannya. Aku memberi kode agar mereka keluar dari ruangan, supaya Mbak Widya bisa bernegosiasi dengan Willy dalam keadaan tenang.

Mengerti akan maksudku, Yoga merangkul Varel keluar dari kamar ini.

Mbak Widya melanjutkan, "Nah ... kalo Willy sayang Mama, Willy mau ya, sembuh buat Mama? Willy mau ya, terus hidup buat Mama? Mama mohon sama Willy, mau ya, Sayang?"

Willy mengangguk.

"Willy, Mama maunya Willy jawab Mama pakai kata-kata, Willy. Mau ya Willy sembuh buat Mama? Mau, ya, Willy, hidup buat Mama? Janji ya, Willy nggak akan ninggalin Mama?"

Beberapa detik berlalu, Willy tidak juga menjawab. Aku masih menunggu, tetapi tetap dalam keadaan sigap. Takut-takut Willy memberikan reaksi yang tidak diharapkan.

Akhirnya napasku bisa sedikit lega, sebab tidak lama kemudian, terdengar juga suara yang dinantikan oleh Mbak Widya dan diriku.

"Iya, Ma ... Willy janji."

**********

Setelah berdiskusi dengan mbak Widya dan juga membujuk Willy, kami memutuskan untuk membawa Willy ke rumahku. Dia membutuhkan terapi intens serta pengawasan khusus 24 jam. Meski dia sudah berjanji, tetapi keadaannya belum cukup stabil, suicidal behaviour-nya bisa muncul kapan saja.

Memang seharusnya aku membawanya ke rumah sakit, tapi tidak. Aku ingin menyembuhkannya. Harus aku. Aku yang bertanggung jawab penuh atasnya. Aku yang menyebabkan dia dalam kondisi buruk seperti ini.

Setelah pamit dengan Mbak Widya, aku menghampiri Yoga dan Varel, "Kalian ke rumahku dulu, ada yang ingin kubicarakan dengan kalian."

Tanpa menunggu jawaban, aku segera masuk ke dalam mobil, memakai sabuk pengaman, memeriksa sabuk pengaman Willy sekali lagi dan melaju ke rumah.

Selama perjalanan Willy tertidur.

Aku tidak berani menatapnya terlalu lama.

Sekuatnya aku menyibukkan diri mengendarai mobilku, menatap lurus ke depan. Sampai akhirnya aku bisa melonggarkan napasku yang sedikit tercekat karena kami sudah sampai di tujuan.

***********

"Sejak kapan kalian bertemu lagi dengan Willy? Kalian mencarinya? Maksud kalian apa?" tanyaku tegas.

Yoga memeluk Varel erat, karena adikku yang satu itu mulai gemetar. Aku bukan ingin menakutinya, hanya saja, kurasa kali ini mereka sudah keterlaluan.

Kami sudah sepakat untuk memutuskan kontak dengan Willy demi kebaikan Willy. Kenapa mereka mengingkari janji itu?

Yoga mengambil inisiatif untuk menjawab, "Kak, Kami cuma mau membuat kakak bahagia. Sudah cukup kakak menghukum diri kakak sendiri. Kami tahu, selama ini Kak Rizal tidak bisa memiliki hubungan dengan orang lain karena masih belum bisa melupakan Willy, kan? Makanya, selama ini kami berusaha mencarinya tanpa sepengetahuan Kak Rizal. Lagi pula, Willy sekarang sudah bukan anak kecil lagi, sudah cukup umur. Tidak ada salahnya kalau--"

"Salah! Tetap saja salah! Kalian mau melupakan apa yang sudah kita perbuat terhadapnya ketika dia masih kecil? Lihat dia sekarang! Lihat akibat yang kita lakukan terhadapnya!"

"Nggak, Kak!" Varel membantah, "Willy bahkan nggak ingat sama kita! Mungkin dia seperti sekarang karena masalah lain. Bukan karena kita yang dulu pernah ... pernah ...."

Varel tidak melanjutkan perkataannya. Kami malah terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Yang terdengar saat ini hanya isak tangis Varel yang tak kunjung berhenti.

Seketika, aku terbayang kembali akan masa-masa ketika aku masih berusia 25 tahun. Saat itu aku adalah orang yang paling bahagia di dunia. Mengenal cinta, cinta yang dalam. Dengan orang yang salah. Seorang anak kecil bagai malaikat yang hanya berusia lima tahun kala itu. Kenangan yang sungguh tidak pantas aku ingat kembali.

Sudah tak terhitung berapa kali aku berusaha untuk melupakannya, tetapi sia-sia.

Aku mengeraskan kepalan tanganku, mengutuk diriku kembali.

"Sudahlah, kalian pulang saja dulu, istirahat. Besok kita bicara lagi. Yoga, tenangkan Varel, ya. Jaga, jangan sampai dia minum alkhohol berlebihan."

"Iya, Kak, kami pamit. Kak Rizal juga ya. Tolong jaga kesehatan kakak. Sekali lagi kami minta maaf."

Aku menangguk, "Tolong tutup pintu ruangannya!"

Setelah mereka keluar, kubuka laci meja kerjaku, mengambil sekotak rokok dan pemantik, berjalan ke arah jendela lalu membukanya. Membiarkan angin malam masuk menerpa wajah.

Aku melindungi nyala api dengan tanganku, menjauhkannya dari terpaan angin. Kemudian menyalakan rokokku, mengembus asap isapan pertama.

Aku memang sudah memutuskan berhenti merokok, semenjak aku mulai bangkit dari masa kelamku setelah meninggalkan Willy. Akan tetapi, terkadang aku masih membutuhkannya, terutama pada saat-saat seperti ini.

"Sudah cukup kakak menghukum diri kakak sendiri."

Belum. Belum cukup.

Dengan tidak menghubunginya, mengunci rapat-rapat perasaanku padanya, melupakannya, menahan diriku untuk tidak menjalin hubungan emosional bahkan fisik dengan orang lain selama empat belas tahun ini pun, tidak dapat menampik semua kejadian buruk yang dia alami akibat dari perbuatanku.

Semuanya karena diriku.

Entah bagaimana jadinya nanti. Apakah aku bisa menyembuhkannya?

Harus!

Harus bisa, Rizal!

Iya, harus bisa, dan harus aku.

Aku yang bertanggung jawab penuh atas dirinya saat ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top