Terlambat
Marni selalu percaya bahwa tidak ada rasa yang bisa dipaksakan. Seperti perasaan yang berdebar setiap kali melihat Nino di sekolah saat ini.
Padahal, Nino tidak melakukan apa pun. Hanya berjalan melintas melewati tanpa menoleh sama sekali. Pemuda kelas dua belas itu terlalu sibuk dengan buku di tangannya. Syukurnya tidak menabrak apa pun atau tersangkut kakinya hingga terjatuh.
Cepat Marni masuk ke dalam perpustakaan, bersamaan dengan senyum beberapa siswa dan siswi yang menyambut segan saat berpapasan.
Tidak, Marni tidak masuk ke perpustakaan untuk membaca. Perempuan itu hanya terduduk di salah satu sudut dekat jendela, menatap ke arah taman yang terlihat jelas dari sana.
Matanya fokus pada bangku taman kosong, debar di dadanya semakin menjadi saat melihat sosok tinggi berseragam SMA itu mendekat ke bangku. Lalu tidak lama duduk di sana. Abai pada sekeliling, kembali bergulat dengan bacaan yang nampaknya sangat mengasyikan.
Marni memangku dagunya, tersenyum menatap apa yang disebutnya dengan mahakarya. Pahatan di wajah anak itu terlihat sempurna, dengan rahang indah yang membingkai wajah. Dia juga pernah melihat mata yang selalu berbinar itu dari dekat. Tidak ada yang salah, tidak ada yang cacat. Yang salah hanyalah perasaan yang dirasa.
Argh!
Tanpa diduga, Nino mengangkat wajah dan langsung memandang ke arah jendela. Jantung Marni seakan hendak meletup ambyar karena terkejut. Dia bahkan belum sempat berpaling, mau tidak mau tertangkap basah oleh dia yang dipuja.
Mata bulatnya segera mengerjap, tersenyum kikuk membalas senyum yang juga dilempar oleh pemudanya.
Gila!
Tidak hendak merasakan jantung yang lepas dari cangkang karena debar keterlaluan, Marni segera menundukkan kepala. Memutus pandang secepat mungkin. Digesernya duduk ke dua bangku kosong di sebelahnya.
Marni menghela napas, meletakkan telapak tangan di dada kiri, berusaha menetralisir perasaan.
Sejurus kemudian dibukanya tas yang tercangklong di bahu sejak tadi, mengambil sebuah buku kecil yang bertuliskan diary, di sampul depan.
Tidak lama, jemari-jemari lentik itu mulai menari bersama pena. Menulis bait-bait kata yang merangkum semua yang dirasanya saat ini.
Entah waktu yang membencandaiku. Atau kamu yang terlambat datang, dan aku yang terlalu cepat bertumbuh menjadi wanita dewasa?
"Selamat siang, Bu." Sapaan sopan membuat Marni mengangkat kepala. Menoleh dan menemukan seorang gadis berseragam SMA tersenyum padanya.
"Oh, Gina? Ada yang bisa Ibu bantu?" Marni menutup diary. Tersenyum dengan penuh wibawa, pada siswi dari kelasnya.
Lihat. Bukankah takdir selalu berhasil mencandai hati?
Jakarta, 03122019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top