Sekap

"Ann ...." Romi berbisik tepat di telinga. "Kita bakal kabur hari ini."

Serta merta aku menoleh. Bahkan dalam ruangan ini, yang cahayanya hanya berasal sinar mentari yang menyusup dari sela nako jendela, aku bisa melihat bocah yang masih sama ingusannya denganku itu, mengangguk yakin.

"Gimana caranya?" Tanganku terikat rafia ketat di balik punggung. Lalu, melirik ke arah tangannya yang sama terikat.

Senyumnya semakin lebar. Untuk ukuran bocah dua belas tahun, aku tahu kalau Romi cerdas. Kami sepantaran, satu sekolah di sekolah paling bergengsi yang pernah ada. Sama-sama anak pengusaha yang banjir uang. Sama-sama tersekap dan tidak ditemukan dalam dua hari belakangan.

Lihat, uang sebanyak apa pun tidak memastikan hidupmu bakal aman.

"Tenang ...," bisik Romi lagi, "kalau aku bisa mencapai puing-puing seng di pojok sana, dan menemukan yang tajam. Kita bisa selamat."

"Benar?!" Suaraku nyaris memekik karena senang. Romi buru-buru memperingatkan.

Benar saja, karena suara yang kelewat tinggi barusan, pintu di hadapan kami langsung terbuka lebar. Seorang lelaki bercambang lebat masuk dengan matanya yang merah.

"Jangan ribut!" serunya seraya memukul pintu besi itu dengan kepalan tangan. Suara hantaman memekakkan telinga, bergema di ruangan sempit.

Ada cahaya dari pintu yang terbuka! Bisa kulihat Romi melirik ke sudut yang tadi dia tunjuk. Sepertinya hendak memastikan jika ada benda tajam yang bisa digunakan di sana.

Kembali kutatap wajah manusia jahat yang ternyata beranjak mendekat. Aku takut. Terlebih ketika dia menarik kerah kemeja Romi, hingga anak itu terangkat naik beberapa senti. Kuat sekali. Juga bengis.

"Jangan!" Aku berteriak ketika dia menempeleng kepala Romi sekali, sebelum dihempas lagi.

"Kamu juga mau?!" Dia menatapku, mengancam. Cepat tubuhku mengerut, sedikit menggigil karena adrenalin yang terpacu tanpa berani melawan.

"Ti-tidak ...." Aku menggeleng. Melirik Romi yang berdarah di sudut bibirnya. Rasanya mau menangis, terlebih ketika si jahat tertawa dengan keras.

"Berdoalah yang banyak. Waktu kalian tinggal sampai besok." Dia berbalik dan melangkah menuju pintu keluar.

Kuseret tubuh mendekat pada Romi, mengutuk ikatan pada kaki yang terlampau kuat.

Astaga! Kami cuma bocah kelas enam!

"Orang tua kalian pelit! Ngeluarin sepuluh em untuk anak sendiri aja susah banget! Berengsek!" Lalu pintu tertutup kasar. Berdebum memekakkan telinga.

Gelap lagi, hanya cahaya yang menyempil dari sela nako lagi yang menerangi.

"Romi, kamu enggak apa-apa?" tanyaku hampir menangis. Pasalnya aku tidak bisa lagi melihat lukanya dengan jelas, hanya mendengarnya meringis kesakitan.

"Sakit, Ann ...." Suaranya gentar.

Isak lolos dari bibirku. Cuma sekali, karena Romi lagi-lagi memperingatkan. Jadi, cepat kubungkam mulut. Atau si lelaki mengerikan itu bakal masuk dan memberi satu tamparan lagi, bisa jadi aku yang bakal jadi sasaran selanjutnya.

"Sepuluh em itu banyak, Rom," bisikku sambil merapatkan diri padanya, bahu kami menempel karena aku butuh sesuatu untuk menguatkan.

"He em. Tapi ayahku dan ayahmu punya. Mereka hanya perlu menarik uangnya dari rekening mereka. Bisa jadi karena jumlahnya banyak, enggak bisa sekaligus ...." Romi mencoba menenangkan.

"Berapa lama?"

"Enggak tau." Bisa kurasakan pundaknya bergerak naik turun. "Tapi tiga hari lalu ngobrol sama ibu kantin, dia bilang maksimal penarikan tunainya, cuma sepuluh juta perhari. Jadi kalau sepuluh em ...."

Langsung kubungkam mulut. Terisak sepelan mungkin. Kalau sehari cuma sepuluh juta, artinya butuh kurang lebih tiga tahun untuk menarik sepuluh milyar. Sedangkan waktu kami cuma sampai besok.

Artinya, besok kami bakal mati?

"Sttt ... nanti kedengaran." Romi lagi-lagi memperingatkan.

Aku mengangguk, menahan isak agar tidak sampai lolos lagi.

Kemudian, bahu Romi lepas dari bahuku. Menoleh, kulihat dengan samar dia menyeret tubuhnya setengah mati ke sudut di mana puing seng bertebaran. Pasti sulit, karena meski ruang ini kecil, dalam keadaan terikat, dia harus menyeret bokongnya sampai tujuan.

Was-was aku memperhatikan pintu, bermaksud memberi kode kalau ada yang masuk agar misi kami tidak ketahuan.

Aku sempat mendengar gedoran pintu, memberi kode pada Romi yang dengan cepat menghentikan seretan di tubuh. Bisa kulihat matanya membelalak, cemas. Saat itulah aku sadar, meski aku memberi kode sekali pun, saat si bengis itu masuk, Romi tidak akan sempat kembali ke tempatnya semula. Dia akan tepergok, apa pun yang terjadi.

"Jangan lakukan ...." Aku memohon, takut.

"Aku ga bisa nunggu tiga tahun, Ann ...." Lalu kembali diseretnya bokong dan tubuh.

Kurapal doa banyak-banyak dalam hati. Menyebut setiap surat dan ayat yang kuingat. Meminta Tuhan mengabulkan doa dan harapan. Kami hanya ingin lolos. Keluar dari tempat ini.

Kupejamkan mata, berharap dalam khusuk, doaku lebih didengar.

Kudengar pintu terhantam lagi, lalu keributan di luar sana. Rapalan doaku semakin cepat, berharap pintu tidak terbuka sampai Romi kembali.

Tidak lama terasa ikatan tangan yang terlepas. Cepat kubuka mata, Romi terlihat sedang menggesek seng di ikatan kakiku. Dia menemukan seng yang tajam, menatapku sambil tersenyum bangga.

Aku lega!

"Setelah lepas, ikuti aku. Jendelanya tidak tinggi. Kita lompat dari sana."

Aku mengangguk. Bising semakin terdengar dari balik pintu. Sungguh khawatir jika kawanannya datang dan masuk untuk menyiksa.

Lepas!

Romi segera bangkit. Dengan cepat kulihat dia beranjak ke arah jendela, menarik daun jendela dengan susah payah.

Cepat aku bangkit tanpa menghiraukan nyeri di kaki dan tangan. Kami memiliki harapan sekarang!

Kubantu dia menarik daun jendela. Sekuat tenaga, hingga akhirnya jendela itu terbuka lebar, sinar matahari serta merta menusuk penglihatan.

Aku berkedip beberapa kali, dan ketika mataku mulai beradaptasi, kulihat Romi sudah duduk di bingkai jendela. Wajahnya terlihat pasi, sebelum akhirnya menoleh padaku.

"Jendelanya tinggi, Ann." Suaranya bergetar, membuatku gemetar.

Mata kami memang tertutup ketika di bawa ke tempat ini. Sepulang sekolah, disekap di luar gerbang. Saat tidak sabar menanti supir menjemput.

"Artinya ... kita tetap akan mati?"

Terlihat kerongkongannya bergerak, aku tahu dia takut.

"Bagaimana, Rom? Jangan loncat kalau kita bakal mati," ucapku takut.

Tiba-tiba pintu berkerit. Sontak kami menatap pintu yang terbuka sedikit demi sedikit.

"Kita akan mati, entah loncat atau tidak. Dia masuk! Tentukan pilihan sekarang, Ann! Sampai ketemu di bawah sana!"

Kemudian, Romi melompat. Di depan mataku dia melompat. Mataku membelalak, bersamaan dengan pintu yang terbuka lebar.

"Ann!"

Suara Papa! Cepat aku berbalik, menemukan Papa di sana. Juga ada papanya Romi. Beberapa petugas juga terlihat. Kami ditemukan!

Papa segera mendekat dan memelukku, sementara aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi.

Seharusnya Romi tidak perlu melompat, seharusnya Romi sedikit bersabar.

Namun, kami memang tidak pernah tahu siapa yang akan masuk. Semua terasa mencekam. Seperti perhitungan matematika yang harus diselesaikan dengan cepat. Keputusan yang dibuat Romi juga harus cepat untuk sebuah harapan hidup dan selamat.

"Mana Romi, Ann?" Itu suara papanya Romi.

Dadaku terasa sakit, maka aku tidak menjawab apa pun. Hanya menangis dengan sengguk yang menyesakkan.

"Selamat! Yang satunya selamat!"

Mataku membelalak, berlari cepat ke arah jendela. Sementara papanya Romi terlihat melesat keluar ruangan.

Di bawah sana, Romi terlihat kepayahan mencoba berdiri di atas tumpukan. Mencoba bangkit, tapi jatuh lagi. Tapi yang penting dia hidup. Terlihat juga beberapa petugas berseragam mencoba menariknya keluar dari tempat sampah raksasa.

"Bodoh!" pekikku dengan air mata tak tertahankan.

"Aku ga bisa nunggu tiga tahun, Ann!" serunya, sambil melambai-lambaikan tangan.

.
End.
Depok, 10122019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top