Salah
"Ibu datang," bisikku dari ambang pintu, pada Anita yang terlihat sedang menata lauk pauk ke atas meja. Tadi memang dari jendela, terlihat mobil Ibu sudah masuk ke pekarangan.
Anita mendongak, menatapku sekilas, kemudian segera melepas celemek dan menyampirnya di kursi terdekat.
Bergegas aku berbalik menuju ruang depan, Anita mengikuti di belakang. Aku mencapai pintu, tepat bersamaan dengan bel yang berbunyi.
Kulirik Anita, dan menarik istriku itu masuk ke rangkulan. Kemudian aku tersenyum, yang dibalasnya dengan senyum nan teduh. Senyum yang membuatku berkali-kali jatuh cinta, lagi dan lagi selama bertahun-tahun.
Kuraih kenop pintu dan membukanya lebar.
"Ibu!" seruku sambil menariknya masuk dalam rangkulan yang sama dengan Anita. Kukecup pipinya.
Anita segera menarik telapak tangan kanan Ibu dan dikecup dengan hormat. Baru setelahnya mereka saling berciuman di pipi.
"Bagaimana perjalannya, Bu?" tanya Anita sembari melepaskan diri dari rangkulan, kemudian menoleh ke arahku. "Mang Asep disuruh turun aja, istirahat dulu. Pasti capek nyetirin Ibu dari Bandung."
Cepat aku mengangguk, memandang dua wanita kesayanganku berlalu ke arah ruang makan.
"Makan dulu ya, Bu?"
Sempat kudengar Anita mengajak, dan suara Ibu yang mengiyakan.
Aku tersenyum dengan pemandangan di depan mata. Semua terlihat baik-baik saja.
Teringat akan Mang Asep, segera aku menuju teras, meminta lelaki akhir 30-an itu turun dan beristirahat.
💖💖
"Jadi, kalian sudah menikah delapan tahun ...." Ibu berkata sambil menatapku dan Anita yang duduk di seberangnya, bergantian.
Kulihat Anita meletakkan sendoknya perlahan ke atas piring, kepalanya tertunduk dalam.
"Bu ...." Kucoba menyela ucapan Ibu, tapi wanita itu menatapku sembari menggeleng. Peringatan bahwa dia tidak mau ucapannya dipotong.
"Ibu cuma mau cucu, apa sulitnya?"
Kulirik Anita. Dia memejamkan mata dengan dada yang terlihat naik turun. Aku tahu, kalau topik ini sangat membebaninya. Sama. Aku pun merasa begitu.
"Nit ... lihat Ibu ...." Ibu meminta dengan lembut.
Perlahan kulihat Anita mengangkat kepala, menatap Ibu dengan mata yang basah. Membuat hatiku turut merasa teriris. Dia menangis, setelah sekian lama tidak pernah kulihat basah di matanya.
"Kamu dan Arif sudah periksa ke dokter?"
"Su-sudah, Bu." Anita menjawab gemetar.
"Kalian sehat?"
"Sehat, Bu." Aku yang menjawab. "Tuhan memang belum kasih. Tidak ada yang salah dengan Anita."
Ibu menarik napas panjang, kemudian mengangguk. "Rezeki memang ada yang mengatur. Tidak terkecuali rezeki anak."
Kali ini aku yang menundukkan kepala.
"Yang penting kalian masih bersama, adem ayem, enggak ribut. Bisa jadi kalian dibutuhkan oleh anak-anak lain yang lebih membutuhkan."
Kupejamkan mata, dengan sakit yang menyengat hati. Anita memang tidak salah, karena aku yang salah.
"Doa Ibu selalu beserta kalian, Anak-Anakku."
Tanpa kuduga, terdengar isak lolos dari bibir Anita. Dia sungguh terluka, sama sepertiku.
💖💖
Setelah kepulangan Ibu, semua terlihat seperti yang sudah-sudah tidak ada perubahan. Aku tetap mencintai Anita, dan wanita itu tetap ... membenciku.
Kulihat malam ini dia hendak masuk ke kamar setelah mandi. Rambut basahnya hanya ditutupi handuk, begitu juga dengan tubuhnya.
"Nit," panggilku sebelum dia menutup pintu kamar.
Anita berhenti di ambang pintu kemudian menoleh ke arahku. "Ya?"
"Mengenai anak---"
"Aku enggak bisa, Mas." Dia memotong sebelum kalimatku selesai. "Aku mati rasa." Lalu dia masuk kamar dan menutup pintu.
Kutekan liur kuat-kuat, lalu bangkit berdiri. Melangkah menyambangi kamar di mana Anita menghilang di baliknya, dan menatap lekat pintu yang tertutup.
Setelah menghela napas panjang dan dalam, tanganku bergerak meraih kenop pintu kamar sebelah. Masuk ke dalam dengan perasaan sedih yang luar biasa.
Hukumanku selama empat tahun belakangan, sungguh luar biasa. Diabaikan di rumah sendiri akibat kesalahan fatal yang kulakukan.
Anita tidak salah, aku yang tidak sabar. Bermain api dengan perempuan lain pada tahun keempat pernikahan kami. Alasanku waktu itu, hanya karena lelah menanti Anita yang tidak juga mengandung. Alasan klise yang memalukan.
Hingga suatu hari Anita memergokiku di sebuah hotel. Entah darimana dia tahu aku dan perempuan itu berada di sana. Yang lebih parah, waktu itu dia melempar wajahku dengan test pack sambil menangis. Ada dua garis merah di sana, positif! Aku bahagia, panik, dan merasa bersalah sekaligus.
Aku kembali. Menyembah-nyembah atas nama khilaf dan cinta, tapi sudah tidak ada tempat untukku di hatinya. Dia berubah menjadi sedingin es. Setelah tidak lama kemudian dia kehilangan bakal bayi kami karena stres, hatinya benar membeku.
Aku adalah musuh besarnya selama empat tahun terakhir. Seteru yang dibencinya setengah mati. Dan itu ... salahku.
.
Depok, 05122019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top