Menolak Percaya
Maya menatap tubuh kaku di hadapannya dengan jeli. Wajah dari gadis yang terkapar tak bernapas di lantai itu terlihat lebam di beberapa tempat. Dia merasa kenal, tapi menolak untuk percaya.
Mata Maya segera menyapu seluruh ruangan. Gelap dengan lampu temaram yang sama sekali tidak membantu penglihatannya.
Ada yang tidak normal. Dia sama sekali tidak ingat di mana dirinya berada, dan apa yang terjadi dengan dirinya dan si gadis kaku.
Masih menimbang di mana dirinya berada, tiba-tiba suara derit dari pojok ruangan membuatnya terkejut. Maya memalingkan pandangnya pada cahaya yang mendadak terang di pojokan. Ternyata suara deritan itu adalah suara dari pintu yang terbuka.
Tidak lama lampu berwarna kekuningan yang lebih terang juga menyala, membuat Maya mau tidak mau menyipitkan mata karena cahaya yang muncul mendadak.
Ada dua orang yang datang. Seorang adalah petugas berseragam dan yang lainnya adalah seorang pemuda yang tangannya diborgol.
"Sial!" Petugas berseragam terdengar mengeluh. "Di sini panas!"
Lalu didorongnya si pemuda untuk terus masuk ke dalam, mendekat pada mayat si gadis.
"Pak Polisi!" Maya berseru menghampiri. Petugas itu menoleh ke arahnya, tapi kemudian abai dan kembali fokus pada si gadis yang tak bernyawa.
Maya mendengkus. Baiklah, orang mati memang seharusnya diperlakukan lebih hormat. Jadi dia memilih mundur.
Pemuda yang diborgol terlihat beberapa kali meringis, mencoba mengalihkan pandangan dari mayat di depannya, tapi beberapa kali juga kepalanya dientak paksa untuk kembali menatap.
"Bagaimana kamu melakukannya?" geram si petugas.
"Sa-saya tidak tahu." Si pemuda tergagap, tangan yang terborgol membuatnya tak dapat bergerak banyak.
"Jangan berbohong!" Dia didorong semakin maju. Membuatnya yang ketakutan, kembali mencoba mengalihkan padangan. Dan lagi-lagi dicegah.
"Katakan atau kubuat kau tidur bersamanya di sini malam ini!" Kali ini ada ancaman dari si petugas, membuat pemuda itu semakin meringis.
Maya berdecak. Apa dia dan si gadis, disekap di tempat ini dan kemudian dibunuh? Syukurlah dirinya masih hidup dan ditemukan.
"Sa-saya mencekiknya. Karena dia berontak dan berusaha me-melawan, sedangkan saya sudah tidak tahan," ucap pemuda itu takut-takut. "Saya menyesal!" Kemudian dia menjerit, bersimpuh dan menangis.
Maya mencibir. Penyesalan memang selalu datang terlambat.
"Hukum dia, Pak!" seru Maya geram. Petugas itu hanya berdeham nyaring, membuat gema di ruang kosong.
"Kau akan segera mendapat ganjaranmu, pemuda mesum!" Dirogohnya saku untuk meraih ponsel.
Maya tersenyum puas mendengar ucapan si petugas, sementara si pembunuh muda itu masih menangis sesegukan di atas lutut.
"Iya, saya sudah menemukannya ...."
Percakapan si petugas di telepon membuat Maya kembali beralih untuk menatapnya. Mata mereka jelas bertemu. Ada segaris senyum yang membayang di wajah si pemakai seragam, membuat Maya turut tersenyum. Senyum terima kasih karena sudah ditemukan.
"Katakan kalau Anda juga sudah menemukanku, Pak," pinta Maya memohon. Pasti orang tuanya juga sedang cemas mencari..
Si petugas terlihat mengangguk-angguk.
"Benar ... korbannya Maya Osari, delapan belas tahun, berambut hitam, dia dice ...."
Maya tercekat. Dia terdiam.
Maya ... Osari.
Itu adalah ... dirinya.
Ditatapnya lagi gadis kaku di atas lantai. Dia seperti kenal, mencoba menolak percaya, tapi sekarang dipaksa percaya.
Tiba-tiba dadanya terasa sesak, hatinya sungguh penuh dan berat. Tubuhnya kemudian runtuh di sisi perempuan kaku tanpa ampun. Berdampingan dengan si pembunuh, lalu menangis bersama.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top