Lima Tahun

Dulu, aku pernah menyusuri jalan yang sama, dalam rintik yang sama. Iya. Jalan berbatu menanjak, yang terlalu suram untuk kulalui sendiri.

Hari ini, kutapaki lagi bebatuan yang sama. Heran, mengapa tidak ada yang berniat untuk memuluskan terjal? Sudah lima tahun, tidak ada yang peduli.

Tiba-tiba ponsel di tas kecil yang kucangklong berdering. Segera kuhentikan langkah, merogoh tas untuk meraih ponsel.

Ada namamu di sana. Berkedip-kedip pada layar datar. Cepat kugeser simbol hijau, dan meletakkan ponsel di telinga.

"Seharusnya tadi kuantar saja!" katamu, terdengar cemas di seberang sana.

"Tidak apa, Ram." Kuhela napas. "Aku hendak bernostalgia."

"Kapan harus kujemput?"

"Nanti akan kuberitahu. Sudah dulu ya." Lalu, kumatikan panggilan, dan meletakkan kembali ponsel ke tas.

Aku kembali melangkah. Jalan menanjak ini mulai menyiksa kaki. Syukurnya kali ini kukenakan sneaker, bukan sandal jepit lusuh seperti lima tahun lalu.

Klakson nyaring terdengar memekak di belakang punggung. Aku berbalik, ketika lampu kendaraan menyorot tepat di mata. Segera aku menepi, entah sejak kapan langkah ini serong ke tengah.

"Kalau jalan di pinggir dong!" Yang di dalam mobil, membuka jendela lebar ketika melewatiku. Berteriak kesal, lalu melajukan mobilnya dengan lebih cepat.

Kutarik napas dalam-dalam, sebelum mengembuskannya dengan lamat. Setelahnya, langkah terayun lagi.

Aku menghentikan langkah di sisi jalan. Yang mana dari tempatku berdiri, terlihat sebuah gubuk kecil. Tempat itu semakin reyot daripada lima tahun lalu, seingatku. Namun, yang teringat dengan jelas adalah, bagaimana gubuk itu menyelamatkanku dari basah air hujan dulu.

Perlahan, bisa kulihat sosok itu di sana. Sosok perempuan yang wajahnya berantakkan. Mata yang nyalang ketakutan, dengan bibir gemetar memeluk erat lurik di kedua tangan. Yang aku tahu, dia harus segera mencapai puncak jalan berbatu.

Mataku mendadak memanas, teringat masa itu. Berbarengan dengan hujan yang mendadak turun deras tanpa aba-aba. Ragu. Kakiku berlarian juga ke gubuk tanpa pintu. Seperti lima tahun lalu, berdiri dibawah rumbia.

Menolehkan wajah takut-takut ke sebelah kiri tempatku berdiri. Perempuan itu, muncul lagi. Disingkapnya lurik yang membungkus di dekapan. Seketika itu jugalah, air mataku tumpah.

Bayi merah dengan tanda kemerahan di telinga kiri itu, terlihat tenang. Sama sekali tidak menangis di balik lurik. Perempuan itu, sama sepertiku saat ini, menangis sekuat-kuatnya. Aku tahu, hati kami sama terkoyaknya.

Tidak lagi kupedulikan hujan. Cepat kurobek kenangan di benak. Kaki bergerak dalam terpaan hujan yang anginnya mengentak-entak.

Tujuanku sama seperti dulu. Tiba di puncak jalan berbatu yang menanjak. Tanpa peduli apa yang mungkin menjadi kendala, aku harus segera tiba di sana.

Aku terengah begitu mencapai tujuan. Menemukan kembali rumah besar yang cat putihnya, sepertinya baru dicat ulang. Gemetar, aku melangkah mencapai pintu pada teras rumah. Kuyup.

Kutatap pintu kayu berwarna putih di hadapan. Perempuan itu ada lagi. Bersimpuh di sana, meletakkan si bayi di depan pintu dengan bercucuran air mata.

"Ka-karena kamu, harus selalu hidup, Nak," bisiknya dengan suara yang terputus-putus. "Ibu akan segera menjemputmu." Dikecupnya kening si bayi. Kemudian, berlari menjauh dengan hati yang kutahu ... terluka.

Sama seperti lima tahun lalu, aku pun terluka. Membayangkan bagaimana rasa takutku dulu, rasanya merana.

Ibu macam apa yang tega meninggalkan anaknya, demi sebuah nama baik? Menyingkirkan buah hatinya, atas dasar rasa takut mencoreng nama besar keluarga?

Ibu macam aku!

Tanganku bergetar saat mengetuk pintu kayu itu. Entah apa yang kuharapkan. Yang pasti aku telah meninggalkan sebagian jiwaku di sini, lima tahun lalu. Dan aku ... menyesal.

Pintu berkerit bersamaan dengan hati yang teremas tanpa alasan. Seorang wanita setengah baya muncul di sana, bersamaan dengan mata-mata kecil yang melirik dari balik paha dan kakinya. Mereka bahkan belum sampai setinggi pinggangnya.

"Ada yang bisa dibantu?" Wanita itu bertanya dengan tatapan prihatin. Bisa jadi karena aku yang kuyup, atau wajahku yang berantakan.

"A-aku, hendak mencari seorang anak ... usianya lima tahun," ucapku sedikit bergetar.

Mata wanita itu mendadak berpijar. "Anda hendak mengadopsi salah satu dari mereka? Mereka sungguh membutuhkan tangan yang mendekap mereka dengan penuh kasih sayang." Lalu, dipersilahkannya aku masuk.

Mataku menatap sekitar ketika kaki melangkah masuk menuju kantor administrasi. Mencari-cari gadis lima tahun, dengan tanda merah di telinga kiri. Mencari belahan jiwaku.

Namun, di antara banyaknya mata yang menatap dengan penuh harap. Di antara banyaknya senyum yang mencoba mencari perhatian. Tidak ada dia yang aku mau.

"Silakan ...." Wanita itu mempersilakanku duduk di sebuah kursi kayu. Kemudian dia meninggalkanku sejenak, entah ke mana.

Mataku menyisir tembok yang penuh dengan foto bayi-bayi, dan anak-anak dalam bingkai. Lalu berhenti di salah satu foto di dinding belakang meja.

Segera aku bangkit, mendekati foto seorang gadis mungil yang tersenyum ceria. Sebuah tanda merah, ada di telinga kirinya.

Jantungku segera berdegup kencang. Aku menemukannya! Belahan jiwaku, gadis kecilku. Aku menemukannya.

Jemari bergerak menyentuh foto dalam bingkai. Air mata luruh tanpa bisa ditahan. Hatiku berdebar, tak sabar untuk mendekap.

"Ini handuk, agar Anda bisa mengeringkan tubuh."

Suara dari balik punggung, mengagetkanku. Aku menoleh dengan mata basah, karena harapan yang akan segera terwujud.

"Anak ini ...." Kuabaikan handuk yang diulurkan. Kutunjuk foto pada dinding. Foto malaikat kecil yang hendak kuambil alih ke dalam pangkuan.

Sudah tidak akan kupedulikan lagi, ucapan yang membuatku menyingkirkannya dulu. Tidak akan kugubris lagi pandangaan mencemooh. Lima tahun belakangan, adalah hukuman terberat dalam hidup. Menderita, merasa bersalah, dan merindu di setiap detiknya.

"Oh! Suri." Wanita itu tersenyum.

"Suri?" Aku mengulang. Mereka memberinya nama Suri. Indah.

"Iya. Namanya Suri." Wanita itu mengangguk. "Tapi Anda terlambat. Baru saja dua minggu lalu, dia diadopsi oleh pasangan yang berbahagia."

Serasa ada yang menghantam kepala, hingga rasanya dunia berputar dan menggelap.

"Anda bisa melihat profil anak yang lain, kalau mau ...."

Terlambat! Lima tahun hukumanku, akan menjadi hukuman seumur hidup.

Tamat.

Depok, 13 Januari 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top