JADI, APA KAMU MENYESAL?
"Jadi, apa kamu menyesal telah membunuh?"
Aku terdiam, menatap petugas tanpa seragam yang sedang menginterogasi. Coba menguak hati yang kupikir nyaris tak pernah merasa, mencari kata sesal yang mungkin terselip.
Namun ... sia-sia.
Yang ada, saat sebuah ingatan berkelebat di benak, senyumku justru mengembang. Sialnya, aku sama sekali tidak menyesal.
"Dia ayahmu ...."
"Ayah tiri tepatnya." Kukoreksi ucapan si sok tahu. "Yang satu juga adik tak seayah, tak seibu." Kuhela napas dengan lelah.
Orang-orang ini, selalu saja bicara seenak hati. Menyimpulkan hal-hal yang menurut mereka benar, tanpa mau mendengar apa yang sebenarnya benar. Orang-orang tanpa hati ....
Petugas di hadapanku terlihat membuka sebuah buku kecil, mencatat sesuatu yang entah apa. Lalu, tidak lama kemudian menatap padaku lagi.
"Jadi, apa alasannya?" tanyanya dengan tatapan menyelidik.
Bukannya menjawab, aku malah menatap sekeliling. Ruangan ini berdinding abu-abu, dengan satu meja dan dua kursi yang berhadapan. Pengap. Ada satu cermin besar di salah satu sisi. Kalau yang aku lihat di film-film kriminal, di balik cermin besar itu seharusnya ada orang-orang yang bisa melihat kami. Petugas-petugas lain yang berspekulasi, mencatat, dan mengamati gerak-gerik tersangka yang diinterogasi.
"Ada berapa orang yang mengamati kita di balik sana?" Kutunjuk cermin besar.
"Tidak ada siapa-siapa di sana," sahut si petugas yang seruangan denganku. Dipikirnya aku bodoh?
"Bohong!" keluhku, kemudian melempar kembali pandangan ke arahnya. "Kalian suka sekali berbohong."
Petugas itu menghela napas, kemudian memundurkan punggung hingga bersadar pada kursi.
"Jadi, apa alasannya?" Dia bertanya lagi. Nada suaranya masih stabil, meski pandangannya tetap menyelidik.
Kulempar senyum, kemudian menggeleng. "Tidak ada ...."
"Hm?" Kening pria berambut keriting itu mengernyit.
"Katanya, tak perlu alasan untuk membenci," ujarku tanpa riak.
"Kamu membenci mereka?"
Aku menggeleng lagi. "Mereka yang membenciku."
"Mereka bilang begitu?"
"Setiap hari." Aku meringis.
"Setiap hari?" Dia tampak tertarik.
Petugas ini, senang sekali mengulang-ulang apa yang kuucapkan. Lama-lama jadi meresahkan.
"Kalau kamu tidak membenci mereka, mengapa membunuh?" Dia bertanya lagi. Punggungnya tegak sekarang, matanya menatap dengan tegas, sementara pena sudah kembali terselip di jemarinya.
Kudorong punggungku mundur hingga menyentuh sandaran kursi besi yang dingin. Menengadah, memandang langit-langit yang kosong.
Mengapa ...?
"Senja!"
Aku ingat sekali, bagaimana mereka selalu memanggilku dengan berteriak. Seakan-akan aku tuli, padahal tidak begitu.
"Anak haram! Tuli!"
Begitu terus. Padahal aku sudah berdiri di hadapan mereka dengan tegap dan sigap, masih juga disebut tuli. Lalu makian yang satunya? Sudah biasa.
"Sabar ...."
Ah! Kalau bukan wanita yang kuyakini sebagai malaikat yang bicara, mungkin kata sabar itu takkan kena di hati. Hampir setiap hari aku dibisiki, agar sabar dan tabah.
Kadang aku heran, bagaimana bisa wanita yang kusebut Ibu itu, menyerahkan diri pada orang yang memanggilnya jalang? Juga mencurahkan kasih sayang, pada seorang yang bahkan enggan menyebut namanya dengan layak.
Heran!
Pernah suatu ketika aku disekap di dalam kamar. Dikunci. Sementara di luar sana, terdengar rintihan pilu dari bibir Ibu. Aku dengar suaranya mengiba, meminta agar dibiarkan berumur panjang.
Sial! Memangnya lelaki sialan itu Tuhan? Untuk apa memohon kehidupan padanya? Mengapa tidak lari saja? Lari, Ibu! Lari!
Tapi lagi ... dia bilang, "Sabar ...."
Entah berapa banyak dia menyebut sabar, dan entah mengapa aku selalu patuh. Bersabar sebagaimana maunya.
"Anak haram, enggak layak makan semeja denganku. Bawa sekalian ibumu mejauh!"
Yang bicara ini, namanya Rahmi. Usianya terpaut tiga tahun lebih muda dariku. Mulutnya seperti tidak pernah dicuci dengan yang namanya tata krama dan sopan santun.
"Jangan begitu sama kakakmu." Ini Ibu yang bicara. Lembut, dengan intonasi yang membelai telinga. Padahal, baru saja anak sambungnya mengusirnya.
"Anak haram, enggak pantes jadi kakakku!" Dia mendengkus, lalu menoleh ke Ibu. "Kenapa, sih, anak menyebalkan kayak dia enggak digugurin aja sejak dari dalam perut? Bapaknya juga enggak tanggung jawab!"
Kulihat Ibu menahan napas, bersamaan dengan mata yang terlihat berkaca-kaca menahan tangis. Tetapi, dia menggeleng, saat hendak kudaratkan tamparan di wajah gadis 17 tahun itu.
"Akan ada masanya mereka menyadari kesalahan," ucap Ibu saat aku bertanya mengapa bertahan begitu lama. Sudah sepuluh tahun, tak ada perubahan. Kesabaran yang sia-sia.
"Kenapa Ibu mau-maunya menikah dengan ayahnya si Rahmi dulu?" Aku menggerutu kesal, sambil bermanja di pangkuannya suatu malam.
"Karena dia mau menerima Ibu, menerima kamu," sahutnya.
Aku berdecak, memandang Ibu dengan sewot. Bahkan wajahnya terlihat lebih tua dari usianya. Dia pasti terlalu lelah mengurus orang-orang yang tak tahu diuntung, tubuhnya pasti terlalu letih menahan sakit, dan hatinya terlalu nyeri menerima makian.
"Kita pergi saja, Ibu!" ujarku suatu saat sepulang kuliah, ketika melihatnya masih harus mengerjakan pekerjaan rumah. Padahal, tubuh ringkihnya terlihat menggigil.
Kuambil pakaian yang sedang dibilasnya, melempar sembarang dan meraih pergelangan tangannya.
"Itu baju kesayangan Rahmi, Nja!" Ditepisnya tanganku dengan panik, dan meraih baju berwarna merah muda yang tercecer di lantai kamar mandi.
"Ibu! Kita pergi!" seruku lagi dengan pilu, saat melihatnya mulai kembali membilas pakaian.
"Nanti, Nja. Sabar ...," katanya lagi. Entah sudah keberapa ribu kalinya.
"Nunggu apa, Bu?" tanyaku gusar, gelisah.
Ibu mengangkat tangannya dari bak berisi air bilasan, lalu menoleh padaku dan tersenyum.
"Tunggu apa, Bu?" Rasanya nyeri sekali melihat senyum yang tergaris di wajahnya. Senyum itu, bukan senyum bahagia.
"Sampai kamu lulus kuliah. Sampai jadi orang sukses yang bisa membanggakan Ibu," katanya, sambil mengusap pipiku lembut. "Asal mereka tidak menyentuhmu, bersabarlah ...."
Sementara hatiku berdenyut. Wanita ini bertahan demi aku ....
"Ibu bisa mati lama-lama," ucapku setengah berbisik dengan hati menjerit-jerit.
Ibu menggeleng, menarik tubuhku dalam dekapannya. "Doakan Ibu panjang umur ...."
Sabar ....
"Jadi, apa alasannya?"
Ucapan petugas di hadapanku menarik kesadaranku kembali. Kualihkan pandangan dari langit-langit padanya, lalu tersenyum.
"Tidak ada lagi yang membisikiku untuk bersabar," ucapku pelan.
"Maksud kamu?" Keningnya mengernyit lagi.
Kepalaku tertunduk dalam-dalam, sementara hati ini terasa diperas. Pandanganku mendadak memburam, panas terasa di sekitar mata.
Mereka tertawa diam-diam di belakang para pelayat saat Ibu tergolek tak bernyawa di atas dipan. Aksi kerja kerasnya di saat sakit, membuat tubuh ringkih itu tak mampu lagi bertahan dan ambruk.
Dan mereka tertawa. Menghitung uang bela sungkawa saat aku masih tersengguk meratapi duka. Berengsek!
"Besok aku mau beli baju baru, Ayah." Rahmi merajuk, dan segepok uang bela sungkawa diberikan lelaki berengsek itu padanya.
Lalu, mata perempuan itu memicing hina padaku. Sementara itu, mata ayahnya menatapku seakan hendak memangsa.
Aku masih meratap. Mengingat-ingat bisikan 'sabar' dari Ibu, bertahan beberapa waktu lagi demi lulus kuliah.
Namun, tak ada lagi sosok yang meminta untuk kubanggakan. Dan tidak ada lagi kebanggaan saat malam harinya, lelaki yang disebut Ibu mau menerima kami itu, melangkah masuk ke kamarku.
Sabarku, sia-sia ....
"Jadi, kamu membunuh mereka saat terlelap?" Si petugas lagi-lagi merangkum dengan sok tahu.
"Saat lelaki itu terlelap kelelahan di sampingku, lebih tepatnya." Kubenahi rangkumannya, seraya mengangkat kepala untuk menatapnya.
"Dan adikmu?"
"Setelahnya. Saat kulihat dia tertidur di antara tumpukan baju baru, yang dibelinya dari uang duka cita," jelasku.
Petugas itu menghela napas, menatapku dengan kasihan.
"Jadi, kamu benar-benar tidak menyesal?" tanyanya lagi.
Aku terdiam, menatap petugas tanpa seragam yang sedang menginterogasi. Coba menguak hati yang kupikir nyaris tak pernah merasa, mencari kata sesal yang mungkin terselip.
Namun ... sia-sia. Aku sama sekali tak menyesal.
.
Tamat.
Depok, 5 Desember 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top