Cemburu
Kutekan lagi tombol backspace di keyboard. Membuat jajaran huruf-huruf yang sempat terangkai, terhapus. Padahal, yang baru kutulis hanya satu kata. Cemburu.
Gila! Baru itu yang ditulis, sudah berhasil membuat darah mendidih. Entah seberapa banyak kata yang akan terangkai menjadi kalimat, kemudian jadi paragraf, lalu ....
Getaran ponsel pada meja, membuatku mengalihkan pandang. Benda pipih itu bergerak-gerak menjijikkan di sisi laptop. Nama si editor sialan itu, berkedip-kedip di sana.
Angkat,
Jangan,
Angkat,
Jangan ....
Akhirnya, kuangkat juga. Meraih ponsel dan menggeser tombol hijau pada layar.
"Mana naskahnya!"
Berengsek!
"Kamu selalu kalah gesit dari Ommi! Selalu dan selalu! Malu dong, dulu aku yang minta pimred supaya nerima naskah kamu yang acak kadut itu. Kasih kamu kontrak, karena kupikir ada potensi. Mana naskahmu!"
Berisik!
"Nanti," jawabku datar, sembari memaki dalam hati. "Idenya belum ngalir. Kalau udah kelar, pasti disetor."
"Ommi sudah beranak lima! Novelnya sudah lima, Nath. Kamu? Baru dua novel dan satu antologi. Bikin malu!"
Panggilan diputus tanpa peringatan. Membuat mata terpejam karena menahan debar amarah. Bangkit dari kursi kayu, aku mondar-mandir di kamar yang sempit.
Mana idenya?
Mana si ide?
Geram, kulempar ponsel keras-keras. Membiarkannya mendarat selamat di ranjang. Ternyata, aku tidak segila itu. Masih pikir panjang, sebelum membiarkan benda itu bercumbu dengan dinding. Mau beli ganti pakai apa? Penulis miskin!
Menyandarkan tubuh di dinding, kutatap laptop yang terangnya mulai meredup. Entah karena daya yang berkurang, atau karena kami sama lelahnya.
Ommi dan selalu Ommi. Entah bagaimana, ide-ide itu bisa berkeliaran di benaknya tanpa putus. Lalu, entah bagaimana, kata yang menari di kepalaku tidak pernah selesai. Kupikir, Tuhan pilih kasih.
Kukutuk perut yang tiba-tiba menjerit. Teringat jika sedari pagi belum tersentuh makanan. Hanya kopi dan kopi, lalu rokok.
Sedikit terkejut ketika kulirik jam di dinding. Sudah jam sebelas malam. Wow! Lihatlah, bagaimana si editor berengsek itu, menyecarku tanpa melihat waktu.
Melangkah ke ranjang, kuraih ponsel yang tergeletak di atasnya. Tidak ada makanan di kamar kos, juga terlalu malas untuk beranjak keluar. Namun, perut ini menuntut untuk diisi.
Tanganku bergerak mencari sebuah nama pada deretan kontak. Menyentuh tanpa ragu, ketika nama Ara terpampang di sana.
"Sayang?" Bisa kudengar suara parau menyambut di ujung telepon.
"Sedang apa, Sayang?" tanyaku, seraya membaringkan tubuh.
Sedikit risih sebenarnya memanggil Ara dengan sebutan sayang. Jika bukan karena bibirnya yang penuh, atau lekuk-lekuk tubuh yang sering kali membuatku menahan napas, sudah sejak awal dia kuabaikan.
"Tidur." Bisa kudengar dia menguap tertahan.
"Aku ganggu, ya?"
"Enggak. Kamu enggak penah ganggu!" Suara itu mendadak terdengar bersemangat.
Kugaris senyum. Perempuanku yang baik hati.
"Aku lapar," keluhku sedikit merajuk.
"Mau makan?" Suaranya terdengar cemas. "Kubawakan!"
"Sudah jam ...." Kulirik lagi jam dinding. "Jam sebelas lewat sepuluh. Aku enggak tega biarin perempuan cantik kayak ka--"
"Tunggu aja!" Lalu, telepon diputus.
Aku tersenyum, terkekeh pelan dan singkat. Ara memang begitu. Tidak pernah membantah dan selalu mengerti. Hanya dia yang memahamiku. Salah satu dari barisan fans-ku dulu, yang pantang menyerah menyatakan cinta.
Kutatap langit-langit kamar sebelum akhirnya mengatup mata dan memaki. Pasalnya wajah Ommi dan si editor sialan itu, merangsek masuk tanpa permisi.
Pujian-pujian dari editor dan pimpinan redaksi untuk Ommi, seakan terdengar lantang di telinga. Ommi, yang bahkan belum mencapai dua tahun sudah menelurkan lima novel. Best seller. Semua!
Belum selesai, karena semua mata kemudian tertuju padaku. Mendengkus dan menghela napas, dengan cibiran yang terlampau nyata. Seolah aku hanya kuman yang terlanjur terjaring di telapak tangan. Sial!
Dua tahun, Nath! Hanya dua novel dan satu antologi. Padahal, sudah dikontrak untuk lima novel. Telingaku sudah lelah dengan nyinyiran, sementara hati nelangsa karena berkali-kali dibandingkan.
"Cem-bu-ru ...." Lagi, kueja kata itu. Entah mengapa, teramat ingin menggunakan kata tersebut sebagai pembuka kalimat. Namun, herannya tidak juga tereksekusi dengan baik.
Mataku masih terpejam. Menulikan telinga dari puji-pujian untuk Ommi, menutup telinga untuk segala sindiran nyinyir untukku. Hati berdenyut. Aku rasa, Tuhan memang tidak seadil yang digaung-gaungkan. Dia pilih kasih, dan itu nyata pada kasusku.
Perlahan mata membuka dengan malas. Suara anak kunci pada pintu mau tidak mau memaksaku untuk bangun. Bisa jadi itu Ara. Hanya dia yang punya kunci kamar ini selain aku.
"Natha ...." Benar, itu dia.
Dengan susah payah karena kepala yang berdengung, aku bangkit dari tidur. Sepertinya segala ide tentang cemburu, hanya bisa membuat kepala ini sakit.
"Ara," panggilku, ketika sudah benar-benar duduk di tepi ranjang.
Perempuan itu segera menyodorkan kotak styrofoam berisi nasi goreng ke hadapanku. Aku mendongak, melihat bibir merah jambunya sedang tersenyum manis.
"Terima kasih," kataku, sembari membalas senyum dan mengambil alih kotak dari tangannya.
Terlihat dia berbalik. Namun, aku terlalu sibuk mengisi perut, malas memperhatikan apa yang dilakukannya
"Sayang sibuk lagi? Bikin novel lagi? Wow!"
Aku menoleh ke arah suara. Melihat Ara yang sudah duduk di hadapan laptop. Telapak tangannya bergerak di atas mouse.
"Sheet-nya masih kosong." Dia mendengkus pendek, lalu cemberut ke arahku.
Kuhela napas. Sifatnya yang tidak kusuka, terlalu antusias dan mau tahu dengan segala yang kukerjakan.
"Belum ada ide." Kusuap lagi nasi goreng ke mulut, mengabaikan dia yang masih duduk di sana.
"Aku mau menginap," katanya tiba-tiba. Membuatku kembali menoleh ke arahnya. Menginap? Artinya ....
Tidak bisa! Aku terlalu sibuk untuk meladeni tubuhnya malam ini.
"Pulang saja," sahutku akhirnya. "Aku mau merenung demi ide yang keren. Aku enggak mau lagi di--"
Sial! Memikirkan bagaimana si editor kurang kerjaan itu membanding-bandingkanku dengan Ommi, membuatku meradang.
"Pulang, Ra!" sentakku, membuat Ara tegak duduknya. Sepasang mata itu menatapku tanpa kedip. Sepertinya kebingungan dengan suara yang tiba-tiba meninggi.
"Sudah jam satu ...."
"Pulang saja!" Kuletakkan styrofoam pada ranjang dengan kasar.
Ara bangkit dari duduk dengan segera tanpa bantahan. Kemudian mendekat, untuk mengecup bibirku sekilas.
"Sampai besok," bisiknya.
"Enggak bisa! Besok aku harus bertemu Ommi!"
"Ommi?" Kening Ara mengerut.
"Cewek sialan yang bisa-bisanya memiliki ide cemerlang. Aku tidak bisa membiarkannya selalu berada di atasku!" Aku meledak. "Berengsek!"
"Bagaimana bisa ada perempuan di atasmu?"
"Ck! Pergi!" Kuusir lagi Ara. Malas berbasa-basi untuk sekadar menjelaskan. Terserah dia mau menyimpulkan apa, tidak ada urusannya denganku.
Bangkit dari duduk dan menuju meja di mana laptop berada, aku duduk di kursi kayu dengan pikiran kusut dan penuh. Ke mana kemampuan berimajinasiku pergi? Semua hilang tanpa bekas.
Tidak lama terdengar pintu tertutup dengan kasar. Ara sudah pergi sepertinya. Kupejamkan mata sejenak, mencoba kembali merajut kata dalam benak.
Ayolah, Natha. Apa susahnya merangkai kalimat indah? Apa sulitnya mengembangkan sebuah ide?
***
[Meet and greet bersama Ommi! Kamu kuundang, Natha!]
Keningku berkerut membaca pesan dari Ommi. Dia meet and greet, dan aku diundang? Becanda!
[Hari ini, jam satu siang di toko buku biasa. Jangan lupa datang. Aku tunggu!]
Dia mau menghina aku, ya? Mau pamer kalau dia seterkenal itu?
Hampir saja ponsel lepas dari genggaman,. Ketika benda itu mendadak berdering, dan membuatku kaget setengah mati. Terlebih ketika nama si editor tertera pada layar, rasanya ....
"Ya?" Akhirnya kujawab juga panggilan.
"Ommi mengadakan meet and greet. Sebaiknya kamu datang. Sekalian bisa pansos di sana. Supaya kamu dikenal dan termotivasi. Jangan sampai tidak datang!"
Cerewet!
"Ok." Kumatikan panggilan. Melirik jam dinding yang menunjuk angka sepuluh. Dengan malas bangkit dari duduk, aku melangkah berat ke arah kamar mandi.
***
Aku seperti orang bodoh. Sungguh! Kulirik Ommi yang duduk di meja sebelah. Perempuan itu tersenyum semringah, setiap kali membubuhkan tandatangan di atas novelnya yang kelima. Barisan fans-nya mengular sampai ke lobi. Dia pasti senang sekali.
Bagaimana caranya aku panjat sosial di sini, kalau semua mata tertuju hanya padanya? Pada novel terbaru Ommi, yang langsung laku sepuluh ribu eksemplar di hari pertama launching kemarin.
"Kak Natha?"
Cepat aku menoleh ketika seseorang menyapa. Seorang perempuan mungil terlihat berdiri di depan mejaku yang kosong sejak tadi, dengan mata berbinar.
"Ya?" tanyaku kaku sekaligus canggung.
"Meet and greet juga?" Senyumnya melebar.
"Uhm ... enggak!" Tidak mungkin kubilang, kalau aku diundang secara mendadak untuk dipermalukan.
"Kapan nerbitin novel lagi, Kak? Aku kangen novel buatan Kakak. Feel-nya kena banget. Aku sampai ketakutan sendiri. Berasa nyata ...."
Aku tersenyum. Semoga tidak terlihat miris. Berharap senyum pura-puraku terlihat sempurna.
Tidak lama perempuan itu pergi. Masuk dalam barisan manusia-manusia yang berjajar dengan tidak sabar, di depan meja Ommi. Ck!
Aku mendengkus. Apa usahaku masih kurang, sehingga dari sekian banyak manusia yang datang hari ini, hanya ada satu yang mengenalku?
Nahas nasibmu, Nath.
Serasa ada yang mencubit hati, juga meremas jantung. Akhirnya aku berdiri, dan memilih mengisap rokok di halaman depan.
Kulirik lagi barisan yang sudah berkurang panjangnya. Bagaimana agar aku bisa seperti Ommi? Bagaimana agar ide bisa mengalir dengan lancar? Bagaimana caranya bisa mendapat penggemar yang rela mengular, hanya demi sebuah tandatangan dan foto bareng?
Bagaimana agar aku tak lagi dilihat dengan sebelah mata? Bagaimana?!
"Natha!"
Aku menoleh. Di teras lobi, terlihat Ommi melambaikan tangan. Ponsel tergenggam erat di telapak tangannya yang bergerak-gerak.
Mengamati gadis berkulit bersih itu dari kejauhan, hatiku terasa berat. Sesak. Padahal kami memulai debut novel nyaris bersamaan, tapi bagaimana dia bisa begitu bersinar?
"Foto, Nath! Berdua!"
Kugigit bibir bawah kuat-kuat. Masih menatap wajah dan lambaian yang terlihat sedikit memaksa.
Lamat, bibirku tersenyum pahit. Membuang putung rokok dengan sembarang, lalu mendekat dengan langkah seringan angin.
Bagaimana caranya, agar aku bisa bersinar sepertinya?
***
Aku bisa melihat tangan Ara yang bergetar. Ponselku tergenggam erat di tangannya. Wajah perempuan itu memerah, sepertinya menahan emosi. Geliginya gemeletuk, terdengar samar sampai ke telingaku.
"Kamu selingkuh ...," tuduhnya dengan suara gentar.
"Enggak!" sahutku mengelak. Bagaimana bisa dia menuduh aku berselingkuh hanya karena sebuah foto?
"Kamu merangkulnya!"
"Kami berteman!"
"Kamu menciumnya, Natha!" Ara menjerit.
"Cium pipi! Itu cara kami menyapa, Ra ...." Aku memelas, bingung bagaimana menjelaskan.
"Kamu tau aku cinta banget sama kamu, Natha!" Ara terlihat gusar, air mata sudah mengalir turun dari matanya sekarang.
Dengan bingung, kuraih dia dalam dekapan. Ara meronta, tapi aku lebih kuat. Bisa kurasakan debar dadanya yang bergemuruh luar biasa.
"Aku juga cinta kamu, Ra. Kami hanya berteman." Kuusap punggungnya pelan, mencoba menenangkan tubuhnya yang bergetar.
"Bohong!" Didorongnya tubuhku dengan marah. Entah kekuatan dari mana, tapi dia benar-benar berhasil lepas dari pelukan.
"Aku harus bagaimana, supaya kamu percaya kami enggak selingkuh?" tanyaku sungguh-sungguh.
Ara menggeleng-gelengkan kepala dengan keras, matanya menatapku kecewa. Air mata menghancurkan maskara di matanya, membuat aliran hitam terlihat nyata di pipi yang mulus.
"Apa aku harus mati agar kamu percaya?" tanyaku pelan, membuat wajah itu menegang. "Atau dia yang mati? Atau kami yang mati?"
"Sialan, Natha!" Dia menjerit.
"Aku tidak akan membunuh seseorang, Ara. Terserah kalau kamu mau melakukannya. Yang pasti kami tidak selingkuh, dan seharusnya kamu percaya!"
"Aku ...." Bibirnya benar-benar gemetar. "Percaya kamu sangat mencintaiku, Nath ...." Suara itu terdengar pilu. "Tapi perempuan itu--"
"Terus aku harus bagaimana, Ra?" Aku bertanya dengan lelah, kemudian mendesah keras di akhir kalimat.
Ara tersedu. Dia menjerit-jerit semalaman, dalam dekapan yang berkali-kaki ditepisnya.
***
Sudah seminggu, dan hariku menjadi begitu senyap. Tidak ada lagi ingar-bingar mengenai Ommi yang luar biasa, atau Natha yang menyedihkan. Hebatnya, ide juga mengalir dengan luar biasa.
Cemburu ....
Kuketik lagi kata itu.
Jemariku menari dengan lancar di atas keyboard. Kalimat-kalimat cerdas mengalir tanpa putus, tanpa jeda.
Ponselku berdering. Si editor berengsek. Setelah seminggu tidak menyapa, bisa jadi dia kembali menagih naskah.
"Natha!"
"Hmm ...," sahutku santai.
"Natha ...." Nada suaranya merendah. Bagus!
"Apa kamu tidak mau pergi ke makam Ommi? Kamu juga tidak hadir ke pemakam--"
"Nanti." Kupotong ucapannya. "Saat naskahku rampung." Kemudian, kuputus panggilan tanpa pamit.
Menghela napas, kutatap kembali layar laptop. Beberapa bab lagi, dan selesai.
Tanganku nyaris menyentuh keyboard ketika notifikasi pesan masuk, membuatku kembali meraih ponsel.
[Kamu pasti bisa. Tinggal kamu harapanku. Semangat!] Pengirimnya? Si editor yang tak punya hati.
Senyum kutoreh di bibir. Tidak ada pembanding lagi. Tidak ada Ommi lagi. Sepuluh tusukan telah menghunjam tubuhnya sampai mati. Pelakunya tertangkap tak lama kemudian. Syukurlah ....
Oiya, apa sudah pernah kukatakan, kalau Ara menderita erotomania? Menjelang subuh hari itu, dia yang berderai air mata pergi dari kamarku. Di tangannya, sebuah pisau tampak berkilat-kilat.
Aku rasa ... Tuhan sedikit adil sekarang. Karena tanganku, dibiarkanNya bersih dari dosa.
Tamat.
Depok, 17 Januari 2020
Catatan kaki :
Erotomania : adalah gangguan delusi atau khayalan perasaan bahwa ia dicintai oleh orang lain (biasanya orang tenar atau tokoh yang dikagumi). Tidak jarang pengidap erotomania melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan objek cintanya, atau siapa pun yang dirasa menghalangi hubungannya dengan sang pujaan hati. Biasanya, rela melakukan apa saja untuk orang yang dicintai.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top