23 | another bottom line

Jadi, sejujurnya sekarang sekolahku tak buruk-buruk amat.

Aku cuma bergulat dengan diri sendiri soal serangkaian serangan cemas, menatap mata para siswa, sisanya ... yah, begitulah, monoton. Maksudku, kegiatan belajarnya oke, kelas konselingnya oke (halo, Tuan Yong? Coba tebak siapa yang tak sabar menemuimu hanya untuk membakar waktu, dan belum tentu melaksanakan seluruh petuahmu?). Semuanya oke ... mungkin. Gangguan yang kuterima dari Wonwoo dan kawan-kawan secara ajaib tidaklah parah dan tak sebanyak dulu. Sepertinya aku sudah menyadari ini sejak kapan hari, berminggu-minggu yang lalu, tapi rasanya aku tetap menderita gara-gara─

Masa bodohlah. Tanpa diselesaikan pun, tadi aku sudah bilang.

"Hai, Minhyun."

"Hai."

"Kudengar di daerah rumahmu ada sedikit ... kekacauan?"

Itu Daniel. Tak mengherankan lagi dia itu serba tahu (telinganya ada di mana-mana, barangkali?) dan sering tanya langsung to the point. Hingga kini, aku tidak yakin kalau kami berteman. Sepertinya aku enggan mengakui lantaran hubungan pertemanan kami aneh, aneh banget. Kami tidak nongkrong bareng ke kafetaria, warnet, restoran, bahkan mal. Interaksi kami terbatas di sekolah atau tanpa sengaja bertemu di luar sekolah, itu pun topik-topik obrolannya menjemukan.

Biasanya kan pertemanan laki-laki diisi oleh topik games, tim olahraga, para gadis, atau hal-hal mesum (oke, ternyata aku tahu banyak, ya?). Sementara itu aku dan Daniel tidak pernah membicarakannya, bukan jarang atau hampir, tapi tidak pernah. Bukannya aku kecewa. Itu membuktikan bahwa kami memang aneh.

Namun kuakui, aku memang terbuka dan merasa nyaman, tapi sungguh, itu tidak seberapa. Singkatnya, meskipun kami mengobrol, aku tak membiarkannya mengulik diriku lebih dalam.

Kabar baik lainnya, aku jadi banyak bicara, hal-hal random. Tentu saja hanya kepada Daniel. Terima kasih Daniel.

"Oh, benar," sahutku dengan nada datar.

"Boleh cerita apa yang terjadi?"

Aku menimbang-nimbang sesaat. "Yah, ada seorang ayah yang memukuli anaknya malam-malam dan si anak celaka sampai masuk rumah sakit. Sinting."

(Curhat secara tersirat. Tidak apa-apa, 'kan? Tidak akan jadi masalah, 'kan?)

"Kedengarannya memang sinting." Daniel merespons sembari memasang tampang ngeri. Biasalah, dia selalu serius. "Kenapa sih laki-laki kolot suka pakai kekerasan?"

Kira-kira begitulah cuplikan obrolan kami. Kadang akan terputus begitu saja, selesai, buka topik baru, atau mendadak dilanjutkan pada waktu-waktu tertentu. Kami tidak melibatkan perasaan yang mengakibatkan saling tersinggung, sakit hati, dan terlalu percaya. Hubungan yang datar tanpa krisis tertentu.

Sebatas teman penghapus sepi saja, kurasa.

Kata Daniel, "Keberatan kalau aku ingin mendengar pendapatmu?"

Kalau Daniel belum ingin sesi mengobrolnya berakhir atau beralih topik, dia akan minta izin. Beginilah cara kami saling memahami. "Mungkin mereka sejenis ayah alfa," jawabku, mengedikkan bahu. "Tahu kan, yang selalu ingin memegang kendali?"

"Tapi, alfa tak selamanya buruk."

"Benar. Kita sedang bicara kemungkinan.

"Oke."

"Ayah Alfa yang Agresif. Mereka marah jika titah atau keinginannya tidak dituruti, jadi mereka memilih kekerasan. Lantas mereka akan merasa 'menang' dengan sendirinya."

Daniel menemukan celah, "Berarti, ada kesalahan dari anaknya si ayah yang 'tidak menuruti', bukan?"

"Coba pikirkan lagi," sergahku tak mau kalah, "mengapa anaknya sampai tidak mau menuruti si ayah? Pasti ada alasannya. Pembangkang? Bisa jadi, tapi itu artinya didikan ayahnya dalam menghukum yang salah. Kemungkinan lain, titah si ayah terlalu kelewat batas. Anaknya muak, melawan." Aku termenung, aku baru saja tanpa sadar bicara panjang kali lebar. "Begitulah. Membahas kemungkinan tidak akan ada habisnya," simpulku.

Sekali lagi, terima kasih Daniel. Berkatnya aku dapat senam lidah, dan lega.

"Makasih lho, jarang sekali ada yang mengaitkannya dengan alfa," tuturnya, menatapku kagum. Kami tidak bicara lagi. Ia menarik bukunya keluar setelah mendengar bel berbunyi.

Baiklah, aku berbohong, tapi penekananku yang sekarang agak percuma. Dalam satu detik aku dapat berubah pikiran, itu berbahaya, tapi ... aku kepingin jujur mengakuinya secara nyata.

Daniel itu temanku, teman yang aneh, dalam jenis pertemanan yang aneh.

⊹⊹⊹

Ha. Ha. Ha.

Sekarang aku ketimpa sial. Ayolah, Minhyun, bukankah kau menghadapi ini seperti makanan sehari-hari? Aku cuma perlu melewatinya seperti biasa, ya seperti biasa. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah aman. Naif sekali.

"Kau harus melakukan sesuatu untuk kami."

Suaranya membekukanku, terutama isi kalimatnya. Ong Seungwoo menghalangiku menuju kelas konseling di koridor yang sepi. Hari ini bukan jadwalku, tapi aku kepingin datang saja. Untunglah dia sendirian. Nah, pikirku, selamat datang di mimpi buruk yang sempat kau khawatirkan.

"Melakukan apa?" ketusku, awalnya tak bermaksud demikian.

"Yah, kalau kau mau ikut"─ia hendak menarik lenganku─"sebentar, maka─"

Aku menepis tangannya. Ikut? Amarah dalam dadaku terbit. Yang benar saja. "Maaf, aku harus ke ruang guru," tukasku, masih memakai nada ketus.

Dapat kuperhatikan raut Seungwoo mulai berubah geram. Selanjutnya apa? Ia akan menghajarku? Silakan. Tuan Yong akan menyadari memar-memar pada wajahku.

Namun, sialnya, Jeon Wonwoo malah menghampiri kami. Aku tidak tahu dari mana datangnya. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, berlagak sok keren. Tahulah, menjaga image. "Hoi," panggilnya, entah kepada siapa, "barusan aku sudah telepon. Ternyata memang benar. Wah, wah, kebetulan yang sangat indah. Ya, kan, Minhyun?"

Memang benar? Kebetulan? Apa sih yang dia bicarakan?

"Tunggu, ini masih terlalu cepat," sosor si Ong.

Wonwoo menatapnya jengah. "Terus? Kapan tanggal mainnya dimulai?"

Tanggal main. Kalau frasa itu ke luar dari mulut mereka, artinya mereka merencanakan sesuatu─kembali menghabisiku, misalnya? Dengan permainan yang lebih fatal? Kakiku sedikit gemetaran. Seharusnya aku tidak boleh panik, tapi otakku sudah mengirimkan sinyal bahaya.

"Bukannya mereka mau mengadakan pesta? Sekalian saja saat pestanya dimulai." Seungwoo cekikikan, menepuk-nepuk pahanya. "Seru kan, kalau ... kalau disaksikan ramai-ramai?"

Oke, sekarang aku betulan merinding. Keringat dingin merayapi punggungku. Pesta. Disaksikan ramai-ramai. Maksudnya mempermalukanku di depan banyak orang, ya?

Tampaknya Seungwoo membaca isi pikiranku. Ia nyengir lebar. "Oh, Kawan, tenanglah. Kau cuma disuruh saja oleh kami, kok."

"Pestanya menyenangkan. Seru-seruan," timpal si Jeon.

Nah, menyenangkan dan seru dalam kamus mereka berbeda dengan milikku. Bagaimanapun caranya, aku tidak boleh menginjakkan kaki ke sana. Jangan. Titik. Demi diriku sendiri. Demi ketenangan. Aku capek melibatkan diri dalam bahaya.

Seandainya Daniel terjebak pada situasi ini, kira-kira apa yang bakalan dikatakannya, ya? Dia pasti melawan, dan permainan kata-katanya brilian. Padahal secara tidak langsung aku telah berguru kepadanya, tapi sayangnya aku tidak seberani itu. Maksudku, aku bahkan tidak tahu harus bilang apa untuk memojokkan mereka. Blank.

Selain, "Kenapa harus aku? Aku tidak ingin dan tidak akan ikut."

Mereka saling berpandangan, tampaknya menyadari getir dalam suaraku. Lantas keduanya tertawa untuk menghilangkan atmosfer tegang─sebaliknya aku malah tambah ngeri. "Nanti kau bakal tahu, kok. Kau itu diundang," kata Wonwoo. Ia berbisik di telingaku, "Akan kami pastikan kau datang, tenang saja."

Setelah tidak ada yang ingin dikatakan, akhirnya mereka pergi. Melambai-lambai padaku seolah teman yang berpisah, seolah-olah kami berteman. Kau lihat itu? Teman. Menggelikan. Sandiwara mereka terlalu ekstrem. Cepat-cepat aku melangkah meninggalkan koridor.

Dadaku mulai mengembang panik, mataku mulai berlinang air. Tadi itu mereka baru saja mendeklarasikan ancaman, Minhyun, ancaman! Secara naluriah aku mengigit bibir bawahku, entah mengapa perasaan marah terhadap diri sendiri lebih dominan. Aku benci. Benci.

Tiga menit kemudian aku sampai di ruangan kelas konseling Tuan Yong. Aku mengetuk, dari kaca pintu aku dapat mengintip ke dalam terdapat dua siswi lain yang tidak kukenal. Ketiganya beserta Tuan Yong menoleh.

Biasanya aku selalu kabur jikalau hadir pihak luar yang tak ada hubungannya sama sekali, tapi ini resiko datang di luar jadwal. Haruskah aku menyapa saja, lalu minta maaf telah mengganggu dan hengkang?

"Minhyun? Ada apa?" Tuan Yong membukakan pintu, terheran-heran.

Tenggorokanku rasanya membeku. Dia pasti menyadari gelagat gelisahku. Sudah terlambat untuk membalikkan badan.

"Kau baik-baik saja?"

Aku─aku perlu─aku tak bisa─

"Tuan Yong ...," ratapku mati-matian, "aku takut sekali." []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top