19 | life goes on and he wondered, "why am I still alive?"
Berminggu-minggu kian buruk karena para pembuat onar telah kembali, di dekatku Daniel tetap menjengkelkan, dan hadir atmosfer tak mengenakkan di kelas. Wonwoo terang-terangan menyatakan permusuhan pada Daniel, tapi sejauh ini tidak ada kerusuhan pertumpahan darah apa pun. Seungwoo juga sama, bedanya ia pura-pura jadi kawan karibnya yang selalu menyapa─padahal setiap tutur katanya menyiratkan sindiran. Kemudian Daniel mengikuti permainan Seungwoo dengan membalaskan hal serupa. Woojin tampaknya cuma mengawasi dari jauh dan kadang kala terlibat, sementara Sungwoon tidak banyak berlagak.
Dalam beberapa pelajaran tertentu, mendadak mereka bersaing ketat. Tentu saja Daniel lebih sering mendapat nilai tinggi, tapi tidak dengan pelajaran olahraga. Kesempatan tersebut digunakan Wonwoo dan Seungwoo sebagai ajang balas dendam. Kapan hari, mereka sengaja melemparkan bola voli ke arah Daniel sehingga dapat berkilah itu merupakan kecelakaan. Di kelas praktikum sains, Daniel menjahili mereka menggunakan cairan-yang-tidak-kuketahui-namanya dan membuat kacau suasana. Bukan Daniel yang kena semprot guru, melainkan si korban.
Sekali waktu, Seungwoo pernah mencemooh, "Kau tahu kuda apa yang menjengkelkan sampai aku ingin menguraikannya di tempat daur ulang sampah?"
"Ya, apakah itu? Pasti kasihan sekali dirimu menahannya seorang diri," balas Daniel sarkas.
Alih-alih Seungwoo yang menjawab, Wonwoo-lah yang menyahut dari belakang: "Ku-Da-niel. Ha-ha-ha." Mereka pun tertawa terbahak-bahak memegangi perut, bahkan Seulhee dan Woojin tak kalah semangat, sampai air mata mengucur dan ketua kelas dari kelas sebelah membentak jangan berisik. Lucunya ia langsung berkecut hati tatkala Seungwoo menghampirinya dengan tatapan membunuh. Ketua kelas malang itu lari kocar-kacir.
Aku tidak mengerti mereka sedang apa. Melihatnya sungguh idiot. Terlebih lelucon kudanya, aku masih menelaah bagian mana yang mengundang hasrat tawa. Well, ketimbang adu jotos, mengapa aku merasa yang mereka lakukan sekarang lebih menyedihkan ya? Sebelumnya berperang pada titik mengerikan, lalu berpindah ke permainan anak kecil. Mereka perlu cari cara lain, seperti menarik jalan keluar bersama setelah diskusi di meja hijau (tentu saja itu tak akan terjadi). Pokoknya cara yang lebih dewasa sehingga perkara pun diselesaikan baik-baik.
Buruk yang kumaksud bukan lagi dirisak atau semacamnya. Aku berterima kasih atas itu. Mereka tidak melanjutkannya meski kerap kali bersikap kasar dan sekali-kali menggangguku. Namun rasanya aneh saja; 'jenisnya' berbeda dan baru. Aku lebih kesulitan membaca situasi. Barangkali yang satu ini pun, aku tak dapat menjelaskan secara pasti.
Kadang-kadang aku merasa geram. Mengapa hanya pada Daniel mereka baru berperang seperti itu? Sebab kapok ketahuan guru dan kena skors? Lalu bagaimana denganku? Bukankah ... ah, sudahlah. Sekeras apa pun aku berteriak, aku tetaplah anak buangan yang terinjak-injak. Seharusnya aku bersyukur atas kehadiran Daniel, aku dapat lebih bebas berada di sekolah. Ya, si anak baru itu tak salah apa-apa. Membiasakan diri supaya tidak menaruh dendam lumayan membantu.
Aku masih menghadiri kelas konseling secara rutin. Bukannya aku berharap banyak, hanya saja aku berpikir datang ke sana mampu menghiburku sedikit. Petuah-petuah Tuan Yong lumayan mengasyikkan (walau terkadang aku menggerutu dalam hati) dan tidak menghakimi. Aku menyukainya meski hanya sepuluh persen yang kuturuti. Sejauh ini tak ada perkembangan apa pun, berjalan monoton sebagaimana seharusnya. Kami sempat membahas perihal menyakiti diri sendiri, tapi Tuan Yong tidak berhasil mengorek keterangan dariku.
Aku memberi tahunya jika aku sudah berhenti. Sebagai pembuktian, aku menunjukkan lenganku yang dipenuhi luka-luka kering bekas goresan lama, menunggu hilang sepenuhnya─barangkali sebentar lagi. Tidak ada luka yang baru, sungguh. Tuan Yong bertanya apa yang membuatku berhenti, namun aku urung menjelaskan. Ia menghela napas dan berpesan, "Baiklah. Asalkan kau berjanji untuk tidak melakukannya lagi, aku tidak akan cemas."
Setelah itu, aku yakin Tuan Yong merasa aku telah berubah alias kelas konselingnya berhasil. Nah, dari mana aku harus membela diri? Aku kepingin bilang dengan lantang, sesungguhnya tidak ada perubahan signifikan dari dalam diriku. Aku masih sering merana, sibuk bersama imajinasi kepala yang melahirkan euforia pedih, sakit kepala, malas melakukan segala sesuatu, tidak punya tujuan, mual di kerumunan orang, detensi ingin mati, mendadak merasa bersalah pada Kak Jisung, dan sejuta hal lainnya. Aku masih Yeon Minhyun yang dulu. Aku cuma berhenti berkawan dengan benda tajam, luka, dan darah─sebetulnya aku merindukan mereka.
Entah harus kusyukuri atau tidak, tapi Ayah menghilang, betulan menghilang. Ia tidak pernah menampakkan batang hidungnya lagi sejak hari itu, terhitung tiga minggu lamanya. Kami tidak tahu Ayah pergi ke mana dan enggan mencari tahu. Untuk apa memangnya? Toh menemukan eksistensinya tak akan menguntungkan apa pun bagi kami. Hilangnya Ayah membuatku berhenti menyayat lengan. Itulah jawaban yang diinginkan Tuan Yong. Tambahan lainnya, karena aku berhenti dirisak secara fatal.
Mungkinkah ini pertanda? Aku tak ingin memikirkannya, sebab jika ekspektasi yang kubuat hancur maka hasilnya bakalan menyakitkan─menghancurkanku, malah.
Namun isi kepalaku masih tidak waras. Aku selalu berimajinasi hal-hal aneh yang terasa nyata, pun euforia pedihnya menjalar hingga ke seluruh tubuh. Lebih seringnya kudengar percakapan samar-samar terkait teman, kepercayaan, dan keluarga. Saat berlangsung, seketika aku linglung. Kecemasan sebelum dan sesudah tidurku perlahan hilang, tergantikan oleh tanduk histeria yang semakin melahap kewarasanku.
Biar kuperjelas, aku bahkan tidak tahu apa pemicunya. Sering kali kuhibur diri bahwa tidak ada yang salah dengan diriku, aku baik-baik saja, aku hanya terlalu banyak beban pikiran.
Hubungan pertemanan dengan Daniel bagiku terasa hampa. Kami masih mengobrol, membicarakan banyak hal, tapi tidak sampai ke tahap saling mempercayai sepenuh hati. Aku berusaha membuat batasan dan tidak melompatinya. Aku ingin pada akhirnya ia lelah berada di dekatku, meski tidak ada tanda-tanda menunjukkan keberhasilan. Kadang-kadang kepalaku jadi sakit melihat eksistensinya, tanpa kutahu mengapa. Di lain sisi aku terhibur atas pertunjukan perang konyolnya. Jadi, aku hanya tetap berada dalam batasan dan mengikuti alur.
Sementara itu Kak Jisung kembali seperti sedia kala; ia sibuk kuliah, bekerja sambilan, pulang paling lambat tengah malam, dan pada hari-hari tertentu barulah istirahat sebentar. Di tengah kesibukannya, ia tak pernah berhenti mengkhawatirkanku. Hilangnya Ayah juga membuat Kak Jisung bernapas lega. Uang-uang yang dikumpulkannya tak berkurang drastis sehingga dapat ditabung, tapi kami masih hidup irit tanpa berfoya-foya.
Suatu pagi saat sarapan, Kak Jisung bertanya, "Apa kau sudah memikirkan ingin kuliah di mana?"
Aku benci pertanyaan tersebut. Tuan Yong juga pernah menanyakan hal serupa. Tanpa terduga, aku menjawab lirih, "Bagaimana kalau aku tidak ingin kuliah?"
Kak Jisung berhenti mengunyah dan memegangi sumpitnya. Sempat muncul raut tertegun. Ia menatapku lekat-lekat kemudian tersenyum. "Lalu, Minhyun ingin apa?"
Mati, teriakku dalam hati. Mati, mati, mati.
"Apa kau ingin ke psikolog, menghentikan ketakutanmu bertemu orang, agar ke depannya lebih mudah?" Kak Jisung berujar lembut, tapi hatiku terasa berat mendengarnya. "Mau sampai kapan kau memendamnya seorang diri? Kau tidak sendiri, Minhyun."
Giliranku yang tertegun. Selama ini aku mempercayai kutukan yang mengharuskan aku hidup seorang diri, juga tentang ketakutan terhadap sebuah penghancuran akibat kata-kata. Eksistensiku tidaklah penting, dan hanya akan menyakiti orang-orang. Bagaimanapun aku tidak pernah bisa menjadi manusia umumnya. Cepat-cepat kusudahi, "Akan kupikirkan, tentang keduanya," hanya agar Kak Jisung tak mengungkit lagi.
Ia pasti kecewa. Selama ini mengumpulkan uang pasti untuk hidupku ke depannya, terutama biaya kuliahku. Dedikasi yang diberikannya kepadaku ... sejauh mana Kak Jisung dapat bertahan? Akankah ia juga pada akhirnya akan muak? Kenapa ia tidak pernah lelah dan memilih tetap mempertahankanku? Dari dulu Kak Jisung selalu demikian, sampai aku terheran-heran hatinya terbuat dari apa.
Aku teringat perkataan Tuan Yong yang tak jauh-jauh dari, "'Seseorang lebih memilih berkorban, bertahan, dan berjuang sekalipun terasa menyakitkan, kau tahu kenapa? Cinta dan kasih sayang terlalu stereotip, kurang merinci. Begini ... karena orang tersebut memiliki ketakutannya tersendiri, baik pada dirinya atau orang yang bersangkutan. Biasanya tipe manusia seperti ini lebih rentan terluka."
Baiklah. Aku setuju. Jika diriku tiada, Kak Jisung pasti menyalahkan dirinya dan berangan-angan seandainya dapat menjadi kakak yang lebih baik. Tidak, tidak. Aku tak mau mendengarnya. Bagiku, ia kakak terbaik yang kumiliki. Namun manusia tetaplah memiliki batas kemampuan, suatu saat nanti Kak Jisung pasti meledak.
Mengingat betapa lamanya keinginanku untuk mati yang sampai sekarang tak terealisasikan, kondisi yang terkadang datar dan kacau, perlahan diriku 'berubah' meski tak signifikan. Aku merenung dalam diam. Mengapa aku masih hidup? []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top