15 | disturbing panic attack─triggered by obscurity
Denotasi negatif.
Tampaknya frasa tersebut telah menjadi frasa favoritku karena menggambarkan bagaimana Yeon Minhyun hidup. Pukul 11.40, siang bolong, di apartemen Kak Jaehwan. Aku tidak jadi pulang. Barangkali tak lama kemudian jika tak ogah-ogahan aku bakalan memutuskan untuk menginap dua hari. Setelah tertidur sebentar di ruang tengah, yang kurasakan hanyalah kesunyian; tenang dan damai.
Sekarang, ini pertanyaannya. Secara hipotesis, jika baru bertemu orang baru tentu saja ada batasan-batasan yang menyiratkan 'kau ini masih pihak luar'. Maksudku, tak langsung dianggap seolah sudah saling kenal sejak lama. Terlebih sampai diajak makan malam, menginap, atau tinggal. Orang tua yang merawat anak kecil terlantar sih sah-sah saja, tapi bagaimana dengan remaja yang umurnya tak terpaut jauh? Terlebih tanpa pengawasan, dan biasanya orang muda agak pelit membantu keseluruhan terutama pada orang baru. Atau hanya karena aku adiknya Kak Jisung, Kak Jaehwan─yang notabene telah kenal dari lama─langsung menganggap aku adiknya juga?
Aku tidak mengerti. Aku yang salah atau memang sukar dipahami kapasitas otak kecilku? Dunia sosial terlalu abstrak. Aku memikirkan betapa kurang sopannya diriku, terutama sesi pertanyaan tadi malam yang tak kujawab sepenuh hati. Bagi Kak Jaehwan mungkin biasa saja, tapi bagaimana jika aku berhadapan dengan orang lain? Sekalipun keduanya menenangkan 'tidak apa-apa', hatiku mana tenang meski jujur saja awalnya aku berterima kasih sebab tak ada Ayah yang mengusik. Itu berarti tidak harus menginap di apartemen Kak Jaehwan. Aku cuma perlu pergi jauh-jauh, dan pilihan teratasku tetap sama.
Dan itu berarti, setelah aku merasa tenang, aku tetap merasa bersalah. Denotasi negatif yang sesungguhnya.
Selama ini aku malas bersosialisasi karena memikirkannya saja sudah pusing. Dari yang terakhir kali, masalah-masalah yang terjalin tak masuk akal. Aku muak. Manusia senang menjatuhkan manusia lain. Keputusanku tidak salah, aku cuma melindungi diri supaya tetap waras─yah, nyatanya kewarasanku tetap terusik akibat isi kepala yang meracau tak karuan.
Aku mencoba menjernihkan pikiran dengan mandi. Kepalaku diguyur air shower dingin cukup lama. Kadang kala setiap mandi, aku menyayat lenganku; membiarkan darahnya mengalir dan terbasuh air─lantas sensasi perihnya terasa menyenangkan. Sesaat aku menginginkan momen tersebut terjadi sekarang, tapi segera kusingkirkan pikiran liar tersebut. Setelah selesai aku mengeringkan badan dan berpakaian.
Ponselku berada di dekat tas. Aku membiarkannya tergeletak tak berdaya. Biasanya benda tersebut memang seperti itu. Aku hanya mengembalikannya ke keadaan semula. Belum juga sehari, tapi aku langsung ingin memutuskan hubungan. Bagian pertemanan sedikit melenceng dari kamus hidupku, maka aku perlu waktu lebih lama. Di meja makan, aku menemukan jaket milik Kak Jisung. Tanpa pikir panjang, aku memakainya dan berjalan keluar. Apartemennya dilindungi kata sandi luar dalam, aku sudah diberi tahu apa kata sandinya, dan begitu pintu tertutup maka otomatis terkunci.
Di luar, tepatnya lantai tiga, aku mampu menyaksikan sedikitnya pemandangan khas perkotaan; panas, terik, padat. Aku melangkah menuju ujung tembok langkan dan memandang ke bawah. Seandainya fenomena tempat tinggi memang ada, maka aku sedang mengalaminya sekarang. Fenomena yang diartikan sebagai rasa ingin meloncat saat berada di tempat tinggi. Para pakar kesehatan jiwa menyebut dorongan tersebut kemungkinan bukanlah sebuah ide bunuh diri, melainkan sebuah cara rumit dari otak dalam mensyukuri kehidupan. Aku setengah percaya, soalnya aku memang tak berniat jatuh dan malah memikirkan bagaimana seandainya aku melompat.
Selain itu, metode jatuh dari gedung bukanlah tipeku. Aku tidak suka melawan gravitasi, mempertimbangkan kecepatan, berat, dan ketinggian. Penelitian menunjukkan metode bunuh diri tersebut tak akan langsung membuat seseorang mati. Anggaplah tak lama kemudian memang mati, tapi itu berarti harus menahan beberapa menit atau detik rasa sakit dari kerusakan organ dalam serta sel-sel. Aku pun tidak suka dilihat orang banyak yang berujung mengeluarkan tawa.
Sebetulnya aku masih mencari metode yang tepat meski memutuskan urat nadi ada pada urutan pertama. Aku belum berani menyentuh area tersebut. Kelihatannya pun lebih mudah diselamatkan jika ditemukan lebih cepat. Kak Jisung atau siapa pun menekan panggilan darurat sembari memelukku. Ambulans bakalan melintas secepat mesin waktu. Kemudian sepanjang perjalanan aku diberi penyelamatan awal berupa bantuan oksigen dan menghentikan darah. Setibanya di rumah sakit para dokter bekerja cekatan. Aku pun dibiarkan koma sampai siuman.
Jika tidak dicoba lebih dulu, maka tidak akan tahu hasilnya. Kuharap keberanianku segera terkumpul penuh. Namun alasan yang tepat mengapa aku bunuh diri juga harus dipikirkan.
Aku turun dari ketinggian lantai tiga melalui tangga dan memutuskan berjalan di sekitar taman. Begitu hijau menyegarkan, pohon-pohon menjulang, bunga-bunga di segala sisi, kursi-kursi duduk, air mancur kecil di tengah, sampai-sampai aku mengernyit ada ya taman diolah sebagus ini. Sewaktu pertama kemari langit sudah gelap sekaligus mataku tak memperhatikan. Padahal isi apartemennya sederhana, tamannya saja yang terkesan mewah. Atau jangan-jangan, memang akunya yang tak terbiasa (lagi).
Satu dua orang tampak mengisi kursi-kursi taman dan berjalan santai, itu pun kebanyakan para manusia berumur yang menikmati hari tua. Kuakui mereka hebat mampu bertahan sampai di penghujung maut. Sudah begitu, masih ingin hidup dan kembali jadi muda. Persetan. Itu kan mereka, bukan aku. Lagi pula, hidup setiap individu berbeda. Aku tidak tertarik bernapas sampai tulang punggung bengkok, melangkah patah-patah, sakit-sakitan, dan memakai tongkat atau kursi roda.
Baru sebentar aku merasa menyatu dengan alam, kepalaku sudah berdenyut lagi, seolah dihantam gada. Dari sudut tersembunyi, aku menemukan punggung seseorang yang tak asing; duduk di pinggiran batu air mancur sembari menunduk, tampak kesepian dan larut dalam imajinasi. Aku mengerjapkan mata berkali-kali supaya tak bias, namun tetap saja, tidak ada yang berubah. Aku melihat dua sisi yang berbeda, silih bergantian dalam penglihatan; yang satu wujud kini dan satu lagi lebih kecil.
"Kita ini teman kan?"
Rasanya seolah ditarik pada masa lalu─pada kepingan memori yang berusaha kulupakan. Kilas balik samar-samar itu tak jelas, hanya seperkian detik tapi mampu membuat seluruh tubuhku menegang. Takut, gelisah, dan panik. Aku berjongkok dan mengalihkan pandangan. Ini tidak mungkin terjadi tanpa alasan, separah-parahnya diriku tak pernah sampai seperti ini.
"Teman? Kau dan dia?"
"Sejak kapan kalian berteman?"
"Bukankah kau cuma memanfaatkannya?"
Aku mencoba mengatur ritme napasku. Di sekelilingku mulai terselimuti kabut gelap yang perlahan semakin pekat. Tak ada lagi taman beserta segala keasriannya.
"Sejak kapan?"
"Mungkinkah?"
Segera saja aku berlari menuju gedung apartemen dan menutup telinga. Seingatku, aku pasti pergi ke arah yang benar.
"Mana mungkin dia berteman dengan pem─"
TIDAK DENGAR! Aku menutup telinga sekuat tenaga dan berlari sekencang mungkin. Dapat kurasakan tubuhku menabrak seseorang berbadan lebih kekar, tapi siapa peduli! Aku tak mampu melihat. Seluruhnya gelap, yang kulakukan cuma berlari berdasarkan insting. Lantai satu, dua, tiga, sedikit lebih ke ujung, apartemen Kak Jaehwan sudah di depan mata. Aku memasukkan kata sandinya dan menyelinap masuk. Punggungku bersandar ke pintu, perlahan merosot sampai kakiku selonjoran di lantai.
Bajuku basah akan keringat. Seluruh tubuhku gemetaran. Kenapa? Aku bertanya dalam hati. Kenapa selalu seperti ini? Amarah berkobar panas di dadaku. Tidak mungkin melihatnya duduk sendirian di pinggiran air mancur menjadi pemicu kapanikan barusan. Dan lagi, kenapa harus dia? []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top