06 | in one's different mind

Pada Senin malam, restoran tempatku bekerja kedatangan rombongan mahasiswa dari Universitas Nasional Seoul. Mereka menyewa restoran ini untuk merayakan keberhasilan program kerja mereka, barangkali? Selain makan-makan, mereka juga menguasai area panggung kecil maka siapa pun dapat mendengar perbincangan yang tengah dibahas lewat pengeras suara. Itu pesta kecil-kecilan antar tingkat. Cukup jarang anak-anak muda elit berada di sekitar Distrik Geumcheon. Sehingga Pak Ryu, bosku, menyuruh seluruh pegawai untuk melayani mereka sebaik mungkin. Dan hanya hari ini saja, dia memberikan bonus.

Aku menelepon Jaehwan supaya ikut kerja sif malam ini. Atas beberapa alasan, kurasa dia harus 'menguping' dan tak boleh ketinggalan. Universitas nomor satu itu merupakan incaran orang tua Jaehwan. Di akhir tahun SMA, aku sering dijadikan tempat gerutuannya yang dipaksa memenuhi banyak harapan padahal tak sesuai minat. Karena Jaehwan bandel luar biasa, ia malah mendaftar ke univ yang sama denganku.

Dia melakukannya karena ingin terbebas dari kekangan menyesakkan. Selama awal-awal masa kuliah, ia dan keluarganya terus berselisih. Pada akhirnya, Jaehwan dibebaskan dan ayahnya sedikit tak peduli lagi. Terserah kau saja ingin melakukan apa, begitu yang kudengar. Kini ia tinggal di apartemen dan ikut-ikutan bekerja bersamaku meski keluarganya kaya raya, terpandang pula. Terkadang aku ingin memeriksa isi otaknya yang minta ditendang itu.

Di lain pihak, ibunya memberikan sebuah syarat yang sangat tidak ada hubungannya, menurut kami. Menjadi seperti mahasiswa yang kuliah di sana? Artinya, dari sikap, cara belajar, nilai, kebiasaan, dan sebagainya harus sesuai didikan UNS. Jaehwan menyanggupinya dan merasa tak keberatan walau orang lain terheran-heran. Kami bekerja sama untuk saling mencari informasi, walau entahlah berhasil atau tidak (sebenarnya lebih dominan berpikir kita ini sedang apa?!). Melawan orang tua yang punya pikiran kolot percuma ditentang. Aku menyuruhnya datang agar bisa berkenalan dengan salah satu dari mereka dan mengobrol apa yang ingin Jaehwan ketahui.

"Pasti banyak gadis-gadis cantik yang datang," kata Jaehwan. Sebenarnya bukan itu maksudku, tapi dia pasti mengerti.

Dia datang tiga puluh menit kemudian setelah dimulai. Aku tidak tahu apakah dia memanfaatkan kesempatan ini secara serius atau tidak, soalnya malah aku yang asyik mendengarkan sendiri sembari bekerja. Mereka tampak terdidik dan menyenangkan─secara ajaib hatiku ikut senang. Tak dimungkiri bahwa aku pun ingin kuliah di sana, namun prioritasku saat ini bukanlah gelar dari instansi ternama. Bisa melihat orang lain yang ditakdirkan berada di UNS tak membuatku iri, malahan ada hasrat ingin menyemangati.

Cukup lama aku tenggelam dalam kesibukanku sendiri, sampai Jaehwan secara tiba-tiba berujar, "Kau sudah hubungi Minhyun? Ini larut malam. Kupikir dia masih menunggumu."

Hanya dengan itu, aku merasa telah menjadi kakak paling payah sedunia. Pertama, tentu saja belum. Aku kelewat antusias seperti anak kecil yang dibawa ke taman bermain. Kedua, Minhyun memang punya ponsel jadul, tapi jarang digunakan. Saat kutanya mengapa, dia bilang, "Aku tak ingin terganggu dunia maya." Padahal Minhyun bisa tak menggunakan media sosial dan hanya menelepon atau kirim pesan padaku. Tak ada gunanya aku menghubungi, ponselnya selalu dimatikan─dan benar saja, aku tak terhubung dengannya. Tapi aku yakin Minhyun pasti sudah tidur. Satu hal yang menggangguku, semoga saja Bonhwa tak macam-macam padanya.

Lain kali, aku tak akan memaafkan diri sendiri jika terulang lagi. Bisa-bisanya adikku terlupakan.

Saat pestanya telah usai pas di pergantian hari, Jaehwan mendapat telepon dari Im Yoojin, teman kuliah kami. Darurat, dia bilang. Laptop miliknya tiba-tiba eror dan di sana ada dokumen penting kelompok. Yoojin sedikit teledor sebab belum memindahkannya ke flashdisk. Mau tak mau, kami harus menyusunnya dari awal lagi. Jika tenggat waktunya bukan pagi ini, kami semua tak perlu panik dan membereskannya sekarang juga.

Bukan salah Yoojin. Kendala semacam ini kerap muncul dan sebaiknya lebih diantisipasi lagi ke depannya.

Jam satu malam, aku dan Jaehwan tiba di rumah Yoojin setelah Jaehwan membawa laptopnya. Si teman kelompok kami itu tampaknya tak menyangka ada orang yang nekat ke rumah teman malam-malam untuk menyelesaikan tugas. "Maaf! Aku minta maaf telah merepotkan," katanya, berkali-kali menundukkan kepala.

Tanpa melakukan hal yang tak perlu, kami langsung sibuk berkutat pada studi kasus yang diangkat, membuka catatan lama, diskusi singkat, menyusun ulang, dan memprosesnya secepat mungkin. Mata kami diterjang kantuk─terasa begitu berat dan ingin tidur saja. Tapi tidak bisa. Tugas ini sedemikian penting dan harus diselesaikan sebaik mungkin.

Jam setengah lima dini hari, akhirnya selesai. Kami semua tak bisa menahan hasrat untuk tak tidur. Di ruang tamu rumah Yoojin yang sudah bertransformasi menjadi ruang kerja dadakan, ketiga orang yang berada di sana tertidur lelap sampai kira-kira alarm pada ponsel Jaehwan berbunyi. Aku dan Yoojin kesal alih-alih berterima kasih. Jaehwan memakai lagu metal keras-keras dan siapa yang tak akan bangun dalam kondisi seperti dikejar sesuatu?

"Astaga. Dasar mahasiswa sibuk," keluh seseorang tiba-tiba. Kesadaranku masih linglung. "Kak Yoojin, ajak teman-teman Kakak sarapan di sini."

Oh, itu adiknya Yoojin. Kalau tidak salah, dia juga sekolah di SMA Kyori entah kelas berapa. Yoojin sepertinya pernah bilang, tapi aku lupa. Ternyata umur dua puluhan cepat pikun juga, ya. Tadinya aku ingin tanya apakah dia mengenal Minhyun atau tidak, tapi dia malah melipur. Di meja makan hanya ada kami bertiga. Sampai hendak pulang pun tak menampakkan batang hidungnya lagi. Bahkan ibunya Yoojin secara misterius tak menyapa tamu-tamunya setelah memasakkan sarapan.

Sebagai tamu, aku dan Jaehwan kan hanya ingin berterima kasih dan mengucapkan kalimat semacam maaf telah merepotkan (walau tentu saja Yoojin yang bikin kami kerepotan, haha).

Masih ada waktu panjang sebelum kelas pagi dimulai. Jadi kami pulang. Mandi, bersiap, dan berangkat dari rumah masing-masing. Rumahku dan apartemen Jaehwan satu arah jadi kami naik bus bersama, tapi aku turun di halte yang sama dengan Jaehwan. Aku mampir sebentar ke apartemennya untuk membawa beberapa buku catatan yang dipinjam, sekaligus mengomeli tempatnya begitu berantakan.

Sepanjang perjalanan pulang, kutempuh dengan berjalan kaki. Ada jalan pintas yang menghubungkan ke jalan belakang rumah. Aku lewat sana. Pikiranku bermuara jauh pada apa yang tengah Minhyun lakukan, lalu aku harus merangkai kata untuk menjelaskan. Sebenarnya kami tak begitu dekat ... entahlah, tapi kami saling menerima dan bergantung. Mungkin tanpa kusadari, karakter apatis tumbuh di dalam diri Minhyun.

Aku sudah pulang dan tengah mengambil kunci cadangan. Ada empat kemungkinan antara berhadapan dengan Bonhwa, Minhyun, keduanya, atau kekosongan. Aku lebih menginginkan kemungkinan kedua.

Namun hawa rumah ini terasa mati. Tentu saja tidak ada siapa-siapa. []


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top