05 | after a while, somebody wanna be his friend
Kedatangan orang baru di kelas─siapa lagi kalau bukan Kang Daniel?─adalah pertama kalinya bagiku menyaksikan orang tersebut sangatlah dibenci. Biasanya sosok baru selalu menciptakan benih penasaran, dikerumuni, mendapat banyak antrean supaya dijadikan teman, dan disambut secara meriah. Biasanya sih seperti itu. Manusia ekstrover yang senang berkawan banyak mana mungkin melewatkannya.
Pada saat Daniel menginjakkan kakinya di kelas ini, aku akui dia adalah orang yang bersinar. Semua orang menginginkannya, semua orang ingin berada di sisinya. Siapa tahu Daniel tipe manusia yang bisa dijadikan sahabat sejati. Dan, wah, pemikiranku berbanding terbalik. Pepatah 'janganlah menilai buku dari sampulnya saja' sangat cocok dianalogikan pada si anak baru.
Ditilik dari luar, penghuni kelas memperlakukan Daniel dengan sangat baik; memberikan senyum menawan, sapaan ketika datang dan pulang, pertanyaan apakah sudah makan, atau berbasa-basi menanyakan pekerjaan rumah dan pelajaran. Mereka berakting seolah-olah mereka menerima Daniel atau menjadi teman sekelas yang baik.
Kenyataannya suram.
Tak perlu ditanya, pada lain kesempatan pula telingaku mampu bekerja dua kali lebih sensitif. Aku juga mampu mengartikan raut wajah seseorang sekali tatap. Sebagian besar membenci Daniel, sebagian golongan anak-anak taat tak masalah sebab jiwa kebenaran juga melekat pada diri mereka, dan sebagiannya lagi tak peduli sebab tak begitu berkontribusi di kelas. Ketiga kubu ini bakalan ribut-ribut besar mengatasnamakan solidaritas kelas. Aku? Tentu saja otomatis dianggap ke kubu terakhir.
Pada jam istirahat yang bukan saatnya makan siang, Daniel selalu melenggang entah ke mana. Penghuni kelas memanfaatkan kesempatan ini. Mereka mengeluh, mencaci-maki, menendang kursi dan mengacak mejanya (yang tepat di sebelahku), bahkan merencakan skenario buruk untuk mencelakakan Daniel.
"Dia harus diberi pelajaran! Bukankah kalian seharusnya setuju? Lihat sikap soknya itu!" koar Seulhee suatu waktu, sedang memanas-manasi. Begini, muncul gosip tak sedap mengenai dirinya tatkala ia dikeluarkan dari kelas Tuan Park tempo hari. Kemudian Seulhee merengek pada kekasihnya, "Oh, Sayang! Bagaimana ini?! Reputasiku bisa hancur."
"Akan kuatasi," balas Wonwoo singkat, padat, dan jelas. "Yang Mulia Ratu tinggal duduk dengan tenang, tak perlu cemas, dan tunggu saja hasilnya. You got it, lil baby?"
Huek. Sepasang (calon) suami istri serasi. Aku penasaran sel genetik seperti apa yang diturunkan kepada anak mereka nantinya. Telingaku bergerak menangkap gaung suara lainnya pada satu ruang yang sama.
"Aku pikir orang seperti dia tidak ada. Menjengkelkan!" erang Seungwoo. Ia mendesah keras dan menjadikan bahu Sungwoon sebagai sasaran tinju kecilnya. "Menurutmu bagaimana, eh? Si Dan Dan sialan itu membuat kita menderita."
Sungwoon tersenyum kikuk. "Errr, aku setuju."
Perbincangan duo SW masih berlanjut dan tampaknya lebih seru dibanding Wonwoo yang bermesraan, namun apalah ruang pendengaranku terbatas dan kelas berisik sekali. Telingaku yang bekerja secara sensitif kena akibatnya. Lalu aku hanya mampu mendengar ombak suara sepatah dua patah kalimat, yang saling bercampur aduk sehingga tak dapat kubedakan itu milik siapa.
"Daniel tak tahu malu."
"Aneh."
"Oh, ayolah! Kata solidaritas kan tidak ada di kampusnya."
"Dia harus dihukum seperti kita!"
"Kita bisa adakan rapat komite disiplin tidak, sih?"
"Mungkin dia pindah sekolah karena dikeluarkan. Teman-temannya yang lama juga tak tahan dengannya."
Sampai sekarang tak bosannya menjadikan Daniel trending di pencarian teratas otak dan mulut mereka. Sebenarnya si anak baru itu juga sedikit keterlaluan. Seperti robot; diciptakan untuk menjungjung tinggi program. Bedanya, Daniel berlandaskan pada peraturan dan kedisiplinan. Seolah-olah dia adalah mesin yang diciptakan para guru untuk mengawasi muridnya lebih dekat. Tanpa peduli situasi dan perasaan, Daniel maju sesuai keinginannya sendiri─yang tidak diterima─di lingkup sekolah. Dia tidak salah untuk sedemikian dibenci, terlebih ini lingkungan barunya. Hanya saja prinsipnya itu tak sejalan dengan anak-anak kelas.
Si Jeon dan kawan-kawannya pun tak tertarik meladeniku. Tak seratus persen sih, tapi gangguan-gangguan yang mereka lakukan padaku tak banyak. Mereka lebih bersemangat membahas Daniel yang memang secara tak langsung sudah menyerahkan diri. Aku tidak tahu apakah si anak baru sudah dihajar atau belum di belakang layar, tapi kurasa Daniel pasti langsung melaporkannya pada guru. Ia juga bakalan melontarkan tutur kata yang bikin kuping panas.
Kalau aku jadi berandalan kelas, meski merasa sangat kesal dan ingin menghajar, tak akan aku realisasikan sampai menemukan timing yang pas. Jadi mungkin Daniel belum mendapat hari yang cukup sial dan mereka hanya mampu merencanakan. Meski baru tiga hari, akan kusebut hari-hari santai yang telah lalu di sekolah ini sebagai secuil kebebasan. Lambat laun aku tinggal menunggu posisi anak buangan digeser pada Daniel.
Apa itu sebuah keberuntungan?
Sebenarnya aku lebih parno jikalau dijadikan tumbal rencana skenario buruk seisi kelas. Meski dibujuk pakai 'kebebasan' pun, aku tak sejahat itu untuk menyakiti orang lain. Lantas apabila dia pada akhirnya tetap menjadi anak buangan, aku juga ... akan menutup mata dan telinga untuk menyelamatkan diri. Suatu hari nanti, aku harus mengucapkan terima kasih pada Daniel, tapi aku ragu hidupku akan sampai pada hari itu. Ternyata aku sama saja, ya? Lagi pula, Daniel kan bukan temanku.
Bukan temanku.
B-u‐k-a-n-t-e-m-a-n-k-u.
Baiklah, aku mengerti. Itu yang penghuni kelas pikirkan tatkala aku sedang diganggu, bukan? Mereka tak akan menolong atau berusaha menghentikan sebab aku bukanlah teman mereka. Samar-samar aku mampu membayangkan lidah-lidah yang berujar, "Minhyun kan bukan teman kami." Iya ya, benar pasti begitu. Aku tertawa sumbang.
"Tuan Choi baru saja masuk dan kau malah tertawa. Begitu caramu memperlakukan seorang guru?"
Aku ditarik kembali pada realita. Tuan Choi? Mata pelajaran sains yang artinya aku harus minggat. Tanpa meladeni ucapan Daniel barusan, aku berdiri sampai Tuan Choi menatapku, membungkuk sopan, dan meninggalkan kelas. Tersisa hukuman sekali lagi. Berhubung sudah jam pelajaran terakhir, awalnya aku berpikir untuk duduk di lobi kelas sampai bel pulang berbunyi. Namun karena situasinya berbeda, tak akan ada yang macam-macam pada tasku.
Jadi aku ke beranda lantai tiga yang terpisah dan menikmati semilir anginnya. Bentuknya tidak melingkar─persegi datar biasa seperti bangunan sekolah. Tempat ini dipenuhi beberapa tanaman, baik itu tanaman hias biasa atau bunga. Aku tak tertarik dan sudah menyentuh ujung langkannya. Pandanganku lurus ke depan, tak sekalipun memberanikan diri melirik ke bawah. Nanti, pikiran untuk segera meloncat muncul. Aku tak ingin bunuh diri di sini dan mengakibatkan masalah pada sekolah setelah mati.
Mereka akan kerepotan mengurusi motifku dan menjaga nama baik sebab ada muridnya yang melakukan hal memalukan. Kenyataannya, guru sebagai orang tua kedua tidak mengayomi dan memberikan perhatian pada anak didiknya. Mereka hanya peduli pada prestasi dan nilai, teguran kepada anak-anak bandel supaya tak mencoreng nama, lingkungan sekolah termasuk bangunan dan sarananya, serta dengan tangan terbuka menerima siapa-siapa saja yang pantas mengharumkan nama baik sekolah.
Mereka tak peduli, sangat tak peduli, pada hal-hal lain di luarnya.
Lagi pula, siapa juga yang ingin loncat di sekolah? Mayatku bakalan dilihat sekumpulan siswa yang tak pernah menganggap diriku ada. Seharusnya aku lebih malu karena sampai akhir hayat tetaplah menampilkan sisi menyedihkan di mata mereka. Aku ingin pergi dengan tenang, tanpa masalah, dan─
"Tuhan, kenapa orang-orang senang menyendiri di tempat ini?"
Mendadak aku merasa seperti penjahat kelas kakap yang tertangkap polisi mentah-mentah. Aku menoleh untuk mendapati Daniel ada di sana, napasnya tersengal dan bulir keringatnya berjatuhan, lalu menyusulku ke ujung langkan. Aku mengernyit akan kedatangannya dan menebak, "Apa? Mau mengomeliku supaya masuk kelas?"
"Aku hanya bertanya-tanya ...." Daniel mulai berkata, tapi ucapannya menggantung dan aku merasa kesal.
Tak kusangka dia bisa memperburuk keadaan. Semua manusia sama saja. Begitu dia sudah pasti tak akan melanjutkan, aku tak tertarik membuka obrolan baru. Kami sama-sama diam menikmati keheningan, ditemani angin sepoi dan sinar matahari yang meredup. Tadinya aku ingin tanya, memangnya Daniel mau meninggalkan kelas seperti ini? Tapi urung sebab jawabannya kentara jelas.
"Apa kau keluar kelas karena merasa aku memberi hukuman padamu?" tanyanya, terdengar serius. "Dengar. Aku tidak bermaksud, oke? Jadi ayo kembali ke kelas dan─"
Aku berkilah, "Sebetulnya aku memang sedang dihukum. Jadi kau tak perlu merasa bersalah."
"Benarkah? Ya tapi, responsmu membuatku tak enak hati. Kau bahkan tak menatapku, jadi kupikir kau kesal."
Oh, Daniel. Aku lebih tak menyangka dia bisa berperasaan pada orang lain, berbicara lembut, dan memikirkan hal-hal kecil yang tak perlu. Sedikit mirip aku.
Tadinya kukira perbincangan kami selesai, lalu kembali seperti sedia kala seolah tak terjadi apa-apa. Tapi begitu aku hendak beranjak, Daniel menghalangiku. Ia menarik sudut bibirnya cukup aneh (menurutku) dan ... mengulurkan tangan. Mendadak hatiku pun diserang kecemasan lebih keras.
"Kita belum berkenalan dengan benar," ujarnya, membuatku ingin menulikan diri, "dan kuharap kita bisa menjadi teman baik. Benar begitu, Yeon Minhyun?"
Tidak. Kumohon jangan mau berteman denganku.
Aku tak peduli mau dia disebut robot atau apalah, atau sikapnya yang dimusuhi sejuta umat. Tapi ... aku benar-benar ... tidak bisa. Menjalin hubungan sosial merupakan senjata paling ampuh untuk membunuhku. Secara perlahan, akan ada kepingan diriku yang berubah dikarenakan kehadiran orang lain. Lalu semua baik-baik saja. Lalu aku menjadi terlalu bergantung. Lalu jati diri lama yang telah kubangun terasa asing. Lalu pada akhirnya muncul konflik, masa-masa saling mengabaikan dan merasa terbebani, sampai sepenuhnya terlupakan.
Dan untuk sekian kalinya, aku mati tersedak keserakahan diri.
"Sudah kuduga kau tak mau," lirih Daniel, tampak agak kecewa dan menarik kembali tangannya. "Maaf jika aku sangat mengganggu."
Sebelum ia pergi, mendadak tanganku terulur sendirinya. Nah, apa yang kulakukan? Aku tidak tahu, barangkali cari mati adalah salah satunya. Daniel menatapku tak percaya, matanya berbinar-binar dan raut cerianya kembali. Ia membalasnya hangat dan begitu erat, sebagai tanda kami telah berteman (walau aku tak yakin seperti apa seharusnya teman itu). Dan mengapa harus Daniel yang sesenang itu menjadi temanku? Posisinya terbalik, tapi aku sendiri tetap merasa tak ada yang berubah.
Bagaimana mungkin kepribadianku yang rapuh dan berkoar sok paling menderita menolak uluran tangannya? []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top