01 | in one's wrong mind

Tidak bisa.

Sedalam apa pun aku menggoreskan mini cutter pada lengan, aku tak pernah berani menyentuh area urat nadi. Pernah sekali aku mencoba menyayat tepat di samping garis-garis ungu kebiruan itu, tetapi aku menjadi sangat ketakutan apabila mendadak singgah pada kegelapan. Babak berikutnya, jika Kak Jisung yang menemukanku terkapar duluan, dia akan menjerit histeris; memeluk erat, meminta maaf, membawa ke rumah sakit, dan menemani sampai aku siuman (oh demi Tuhan, jika aku tidak jadi mati) tanpa memedulikan diri sendiri. Sebaliknya, jika itu Ayah, dia pasti murka; kesal, memaki, menendang-nendang tubuhku, menyalahkan anak pertama sebab tak becus menjaga adiknya, dan sok-sokan khawatir padahal wajahnya tak menunjukkan raut kesedihan.

Aku selalu memikirkan apa yang akan terjadi setelahnya, sekalipun segala tanduk histeria semakin memporakporandakan kewarasanku sebagai manusia, nyatanya aku tengah membual; Yeon Minhyun yang berkoar "ingin mati" hanyalah pengecut. Alhasil, sebesar apa pun keinginganku untuk hal itu, tak akan terealisasikan sampai aku berani melawan ketakutan tersebut.

Jadi, aku mengunci diri di kamar mandi, memegang mini cutter, dan mengiriskannya pada pergelangan tangan. Darah mengalir berbarengan dengan sensasi perih, melewati bekas beret-beret lain yang masih timbul─hanya mengering dan disentuh pun terasa ngilu. Biasanya aku menggunakan pecahan kaca. Benda itu favoritku, namun sayang sekarang sudah dibuang oleh Kak Jisung. Aku belum ingin memecahkan kaca mana pun.

Itu tak lantas menghentikanku melakukan ini. Aku suka luka. Sekarang kawanku adalah derita.  Menenggelamkan diri pada hitam nestapa merupakan bentuk afeksiku pada diri sendiri. Dengan begitu, aku pasti merasa lebih baik.

Setidaknya, itulah yang kupikirkan.

⊹⊹⊹

Pagi ini, Kak Jisung dan Ayah tidak ada di rumah.

Artinya aku tidak harus mendengarkan umpatan Ayah pada Kak Jisung yang meminta uang untuk judi atau sebotol wine. Padahal Kak Jisung bekerja keras sendiri mencari uang, tetapi Ayah malah menggunakannya untuk sesuatu yang tidak berguna. Dan lagi, Ayah tidak kerja─pengangguran akut yang hobinya sibuk menghamburkan uang (bukankah arti dari judi begitu?). Sungguh miris di dunia ini ada ayah yang dinafkahi anak kandung sementara usianya masih cukup kuat untuk bekerja.

Selain itu, aku juga tidak kena sembur amarah Ayah yang berakhir melakukan kekerasan. Ketika aku terbangun dari tidur, aku langsung diserang kecemasan, takut-takut jika Ayah sudah berada di depanku dan menggila meski pintunya sudah dikunci dari dalam. Punya trik khusus atau rumah mendadak tunduk pada Ayah, barangkali? Terkadang membiarkan pikiran bermuara kelewat jauh itu hobi sejuta umat untuk menjatuhkan diri mengecap sakit.

Namun tidak ada huru-hara lengkingan suara pagi ini. Tidak ada petuah sok tahu mengenai hubungan kehidupan dengan judi. Ayah selalu mengatakan pria sejati ialah mereka yang berani mempertaruhkan sesuatu di atas pilihan kartu, tapi itu tak lantas mempengaruhi kami menjadi seperti dia. Meja, pintu, sapu, gelas, dan barang lain kini membisu seperti seharusnya.

Yang ada hanya keheningan.

Kupikir aku bisa waras sedikit sebab pagi ini kebebasan mutlak milikku. Tak ada yang perlu dikhawatirkan sampai pukul 7.45 pagi. Masih ada sekitar satu setengah jam lagi sebelum kebebasan mutlak yang singkat ini hangus. Apa pun situasinya, isi kepalaku selalu liar tak menentu. Well, aku tak peduli Ayah menghilang entah ke mana. Ditabrak truk kedengarannya bagus. Jika organ dalamnya berceceran, aku pasti akan menjualnya ke pasar gelap. Lalu kebutuhan rumah terpenuhi selama setahun ke depan.

Dia sudah bagaikan sampah. Baik aku dan Kak Jisung sama-sama ingin kabur dan menetap di tempat baru. Tetapi rencana mana pun itu bukan pilihan bagus. Sederhananya, kami miskin. Dan membuang satu-satunya tempat di mana kau bisa menetap hanya akan mempersulit hidup. Mengusir Ayah pun kami pasti kalah. Sebagai anak berbudi pekerti luhur, tak apa jika kami yang disebut sampah olehnya.

Aku cuma ingin Ayah menghilang, bukan kakakku.

Kak Jisung memang sering tidak pulang demi uang yang tak seberapa. Kalaupun dia ada di rumah, sebenarnya aku bingung ingin memperlakukannya seperti apa. Aku sangat sayang padanya, hanya Kak Jisung yang aku punya. Hanya dia yang bisa mengerti dan selalu membela diriku. Meski demikian, aku ... tak berani terbuka padanya. Yang Kak Jisung tahu, terkadang aku bisa sangat ketakutan jika berhadapan dengan manusia lain. Tidak begitu parah sih menurutku, tapi tetap saja Kak Jisung jadi melarangku ikut bekerja sambilan. Padahal kalau aku membantu, keadaan ekonomi bisa sedikit membaik dan Kak Jisung tidak kelelahan.

Bukankah itu artinya aku memang tak berguna? Aku benci diriku yang terus saja bersembunyi. Aku benci diriku yang tidak bisa apa-apa. Aku benci diriku yang menjadi beban untuk orang lain. Seharusnya aku menyadari fakta ini akurat. Jika aku tak terlahir, maka keadaan ekonomi di keluarga ini akan baik-baik saja. Ibu tak akan pergi mencari kehidupan baru. Ayah tak akan stres dan melampiaskannya pada judi. Kak Jisung pun tak perlu menghabiskan banyak waktu untuk bekerja dan mendapat cinta kasih orang tua sebagaimana mestinya.

Semua ini salahku. Sebaiknya aku harus segera mati, tapi aku pikir bunuh diri untuk alasan yang seperti itu tak akan mengubah masa lalu. Jadi aku harus mencari alasan lain supaya kematianku tak perlu dikasihani. Mendadak suasana hatiku jadi pundung.

Minhyun yang bodoh.

Manusia tak perlu alasan untuk mati. Mereka mati karena sudah waktunya untuk itu, dan aku hanya ingin kehadirannya padaku ditetapkan lebih cepat. Hidupku sudah dijejali beragam perkara yang bisa aku jadikan alasan untuk mati, tapi aku kebingungan memilih. Yang mana pun itu sama saja, rasa sakitnya kian terasa. Menimbun perasaan negatif setiap hari membuatku lelah.

Aku tak punya latar belakang mengapa harus tetap hidup. Kepalaku hampir meledak jikalau disuruh memikirkan masa depan. Lelucon konyol apa itu? Tak ada yang bisa kulakukan, tak ada yang kuinginkan, tak ada gunanya eksistensiku tetap ada. Aku tak pernah ingin memahami diri sendiri, mencoba hal baru, atau sekadar mencari hal yang dapat membuatku tersenyum. Semuanya terlalu gelap dan suram, aku tak dapat meraba.

Meski diujarkan dengan lantang bahwa satu-satunya yang aku miliki hanya Kak Jisung, itu tidak mengubah apa-apa. Hanya karena dia yang selalu menyayangiku, bukan berarti aku hidup terselimuti kebahagiaan. Mungkin aku yang kurang bersyukur. Jika sebegitu inginnya diriku untuk mati dan tidak peduli pada perasaan Kak Jisung, bukankah itu berarti dia bukanlah siapa-siapa bagiku? Segala kasih sayang yang ia curahkan padaku ... sia-sia?

Bagaimana bisa aku mengaku menyayangi Kak Jisung, jika hatiku terlanjur buta untuk membalas kehangatannya? []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top