-Tiga Puluh Satu-
Tiara menghapus pipinya yang basah dengan sebelah tangan. Ia tergesa, berjalan setengah berlari menuju mobil hitam yang terparkir di halaman sebuah kafe. Handbag mungil yang ia genggam di tangan kiri tampak terayun dengan kasar seirama langkah.
Tiara menghempaskan tubuh ke kursi belakang mobil, lalu menutup pintu secara kasar hingga debuman kencang sempat mengagetkan Pak Udin.
"Kita pulang," pintanya dengan suara parau.
Udin yang semula menunggu seraya membaca koran bergegas melipat koran dan menyalakan mesin mobil. Ia tak banyak bertanya, mengingat hal ini memang kerap terjadi setiap kali sang Nyonya datang menemui mantan besannya.
Helaan dan embusan napas kasar hampir Tiara lakukan di sela aktivitas menghilangkan jejak air mata di pipi. Pengakuan Hardian membuatnya benar-benar terpuruk. Ia benci dengan kenyataan ini.
"Aku adalah laki-laki sialan yang telah menodai paksa Sasmita."
Tidak. Tidak mungkin Hardian melakukan itu! Bagaimana mungkin Hardian sahabat sekaligus cinta pertamanya melakukan tindakan sehina itu? Ini pasti salah! Pasti Sasmita, gadis miskin itu yang telah menggodanya demi uang. Iya, kan? Hardian tidak mungkin melakukan tindakan asusila itu. Tidak!
Batin Tiara terus meracau, menampik segala pengakuan Hardian. Pandai sekali Hardian dan keluarganya menutup tindakan keji itu. Tiara membuang napas kasar. Kali ini ia benar-benar hancur. Dan di sela-sela kehancurannya, sekelebat bayangan wanita mirip sosok Sasmita itu muncul. Bagaimana dengan anak itu? Apa ia sehancur dirinya saat tahu bahwa ia terlahir dari hasil perkosaan?
Kedua tangan Tiara meremas handbag mini di pangkuan. Seharusnya ia segera berdamai dengan masa lalu, bukan? Tiara tertunduk, menggigit bibir sekuat yang ia bisa untuk menahan agar tangis penyesalannya tak pecah.
~o0o~
"Kamu yakin mau berangkat ke London besok?" Suara Wiwin membuat gerakan tangan Maya yang tengah menata beberapa helai pakaian ke travel bag terhenti.
Maya menoleh, kemudian menggandeng lembut tangan mamanya dari arah pintu menuju sisi ranjang. Ia duduk bersila menghadap Wiwin.
"Mama khawatir sama Maya?" terka Maya. Wajahnya sudah kembali cerah meski jauh di dalam bola matanya masih menyimpan luka.
Wiwin mendesah sembari mengusap pelan bahu putri semata wayangnya. "Siapa tahu kamu masih butuh Mama sama Papa buat bersandar," ucapnya lembut.
Maya mengulum senyum. Ia paham, Wiwin tak mudah membiarkan gadis manjanya berkelana sendirian. "Mama sama Papa bisa kok sekali-kali berkunjung ke sana sambal lihat perusahaan cabang keluarga kita di sana. Lagi pula dulu aku sama Aaditya udah pernah menjelajah London. Maya hampir hafal." Maya mengerlingkan sebelah mata. Berusaha meyakinkan sang Mama.
"Tapi kali ini kamu ...." Perkataan Wiwin terhenti, ia tak sanggup melanjutkan pernyataan yang mungkin bisa jadi membuat putrinya terluka kembali. "Kamu ... sudah ikhlas, Nak?" sambung Wiwin akhirnya.
Maya tersenyum samar, ia tertunduk sebentar, kemudian mendongak dan tersenyum. Dan hanya anggukan samar pula yang sanggup ia tunjukkan. Pelukan Wiwin kali ini membuat Maya yakin. Ia sempat melirik ke arah dinding di mana gaun dengan hiasan ruffles buatan mantan istri Aaditya itu tergantung. Gaun itu indah, tapi tak seindah pengharapan Maya.
Malam saat Aaditya kembali itu, ia tahu bahwa sosok Aaditya memang tak sanggup tergantikan. Hanya saja mengekang Aaditya bukanlah jalan yang terbaik untuk mengikat laki-laki itu. Hingga malam itu juga, dalam isak tangis Maya berucap meski lirih.
Cukup seperti ini saja, aku sudah bahagia, Ditya.
Maya mengeratkan pelukan ke tubuh Wiwin, mencari kekuatan dalam dekapan sang Mama. Dan seketika itu ia yakin bahwa semua akan baik-baik saja, bukan?
~o0o~
Tas belanja berceceran di lantai kamar. Beberapa ada yang terguling hingga sejumlah barang dari dalam tas belanja itu menyembul. Semua tampak terserak asal, sementara sang pemilik barang sedang duduk bersila di kursi mini bar kamar. Menyangga kepala dengan sebelah tangan di meja. Rambut bercat kecokelatannya berantakan. Sesekali Luna mengacak rambut. Matanya terasa berat dengan wajah memanas efek minuman beralkohol.
Sudah sangat lama ia tak minum. Sejak Aaditya masuk dalam kehidupanya, hidup Luna berubah drastis. Entah bagaimana setiap kali Aaditya meminta ini itu demi kebaikan Luna, ia selalu menurut. Mulanya Luna jengkel, bahkan sama sekali tak berminat menjadikan anak sulung keluarga Wijaya sebagai bagian dari hidupnya.
Bagaimana tidak jengkel, laki-laki itu kerap muncul di saat yang tidak tepat. Saat Luna tengah berpesta di club malam, saat Luna pulang dalam keadaan mabuk, dan saat bangun ... ia ternyata ketiduran di apartemen Aaditya. Sayangnya, pertama kali aroma dan sentuhan laki-laki itu tertangkap panca indra si Ratu Hedon, semua seperti candu. Luna terjerat, terpesona, dan enggan Aaditya menjauh darinya.
Hingga hubungan mereka semakin mengikat satu sama lain dan saling posesif. Dan entah bagaimana dalam liburan konyol ke Seminyak, Bali, mereka melakukan kesalahan besar di saat yang tak tepat. Hanya saja, setelah kesalahan besar itu terjadi, mereka sepakat untuk berubah. Menerima kehadiran Sebastian dalam rahim Luna, dan berjanji untuk saling memperbaiki diri demi Sebastian mereka. Meninggalkan kehidupan hedonis mereka untuk selamanya, terutama dunia malam. Dan Luna berani bersumpah, Aaditya adalah tipe suami dan ayah yang baik. Ia teramat menyayangi kehamilan Luna dan pernikahan mereka.
Namun, siapa sangka bila di lain pihak menginginkan perceraian mereka. Tiara. Dan satu lagi untuk kali ini ... Maya. Luna mendesah panjang diiringi seringai sinis, seraya menatap tempat tidur cottage yang sedang ia huni sekarang. Ia meletakkan gelas ke meja, menepuk kedua pipi guna memupuk kesadaran meski telah banyak minum. Dengan langkah gontai, Luna menghampiri tempat tidur dengan ukuran king size, berbalut bed cover putih bersih. Ia sempat melepas rok tutu dan kemeja tosca, kemudian menggantinya dengan jas tidur.
Ranjang melesak saat Luna menghempaskan tubuh di sana. Gemerincing hiasan gantung berbahan logam dengan ornament bulan dan matahari terdengar di muka jendela karena tertiup angin. Luna memiringkan tubuh, menatap ke arah jendela yang memang sengaja ia buka.
"Jika kamu kembali, aku mohon jangan pergi lagi," racau Luna.
Mata Luna mulai terasa berat, kepalanya juga berdenyut karena banyak minum. Ia benar-benar mabuk sekarang. Kedua pipinya memerah dan terasa panas. Perlahan pandangannya memudar, namun ia masih bisa merasakan sentuhan dingin di kedua pipi. Kemudian merasakan sentuhan lembut dan hangat di kening. Aroma itu tercium, wangi lemon yang menyegarkan, dan dekapan itu membuat Luna semakin ingin merapatkan diri. Apa ia mulai bermimpi? Ataukah berhalusinasi karena mabuk berat?
~o0o~
Desisan AC ruangan tak lagi terdengar. Semilir angin dengan wangi pasir pantai menyelinap melalui jendela. Luna mengeratkan selimut ke tubuh. Udara dingin tepian pantai di pagi hari lebih menusuk daripada AC semalam. Namun, tidurnya terusik dengan terang yang memasuki kamar melalui jendela terbuka.
Perlahan, Luna mengerjapkan mata, sedikit menggeliat untuk meregangkan tubuh yang kaku. Luna terkesiap saat wangi kopi tercium cuping hidungnya. Apa Roy datang? Atau ....
Luna menggelengkan kepala. Semalam ia mabuk, bagaimana mungkin ia sadar dengan sekitar. Ia mengusap wajah dengan kedua tangan dan berbalik ke arah sisi kanan ranjang. Mata Luna mengerjap saat kedua telapak tangannya tak lagi menutup wajah. Travel bag? Jas hitam di sisi ranjang?
Tidak. Ini tidak salah lagi. Luna segera menyingkap selimut, mengencangkan pita jas tidurnya seraya bangkit dari tiduran. Ia meraih jas hitam di sisi ranjang sembari merogoh sandal busa menggunakan kakinya di bawah ranjang. Perlahan ia dekatkan jas ke hidung, membaui setiap wangi yang tertempel di sana. Lemon!
Luna meletakkan kembali jas ke sisi ranjang, menatap nanar ke setiap sudut cottage yang ia huni. Manik mata Luna berhenti menjelajah ruangan saat menemukan pintu depan sedikit terbuka. Bibir Luna melengkung, mengalahkan indahnya lengkungan bulan sabit. Beberapa detik ia merasa gugup dan cemas. Jantungnya berdebar seirama langkah kaki perlahan menuju pintu. Dan saat ia membuka pintu lebih lebar ....
"Ditya ...."
Sosok itu menoleh, dan tersenyum menyambut Luna.
~o0o~
Repost: 09-12-2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top