-Tiga-
Taksi yang Luna tumpangi turun di sebuah rumah bergaya minimalis dengan cat dinding bergaya shaby chic. Sudah setahun ini Luna tinggal di rumah kecil ini sendiri saja. Kadang saja Cinta menginap jika memang ia sedang ada waktu menemani Luna. Pekerjaan Cinta sebagai make up artist membuatnya sibuk memenuhi panggilan jadwal syuting jajaran para artist.
Luna sendiri sebenarnya tak masalah tinggal sendirian. Ia memang sudah berkeputusan bulat untuk mandiri. Hardian sudah lepas tangan dan Luna sengaja tak pernah meminta apa pun dari sang papa. Luna harus bisa membuktikan bahwa ia tak lagi tergantung dengan materi dari limpahan keluarga Hardian.
Luna melongok dompet setelah turun dari taksi dan membayar ongkos.
"Yaaah, hari ini boros karena pakai taksi ke mana-mana," gumam Luna lesu.
Bukan tanpa alasan ia mewajibkan hidup irit. Semua ini tentu saja karena ia harus mengurus bengkaknya kartu kredit semasa gaya hidup hedon-nya dulu. Luna hampir menguras habis tabungan, ia juga sedikit demi sedikit melelang beberapa koleksi sepatu dan tas miliknya dulu. Oke, Luna terlilit utang yang banyak sekarang. Jadi, mau tidak mau Luna wajib berhemat.
Luna berjalan melewati pagar dengan tubuh lesu. Bahunya bahkan sudah terkulai lemas. Ia semakin jengah saat merogoh sling bag-nya mencari sesuatu.
"Ya Tuhan, kunci rumahku?" erangnya sembari terus mengorek isi tas dan menumpahkan segala isi ke meja kecil di teras.
Frustrasi tak menemukan kunci rumah, ia membentur-benturkan kening ke meja berulang-ulang. "Kenapa hari ini sial sekali?" rutuknya hampir menangis.
Luna yang sedang duduk bersimpuh di lantai sembari meratapi segalanya terdiam saat menemukan sepasang kaki jenjang berdiri di depannya. Perlahan Luna mendongak, menatap sosok jangkung yang tersenyum dengan sebelah tangan mengulurkan gantungan kunci Kate Spade.
"Terjatuh di depan kompleks," ujarnya.
Luna buru-buru berdiri. Hanya saja, kejadian tak terduga muncul dan tak mau kompromi dengan kesialan Luna yang sudah bertubi-tubi hari ini. High heels di kaki kanan Luna tiba-tiba patah, membuat ia sempat oleng. Aaditya dengan sigap memegang kedua lengan Luna. Kesialan lain yang muncul lebih membahayakan adalah saat tanpa sengaja mata Luna menatap ke dalam manik mata Aaditya. Susah payah ia menepis luapan kenangan seharian ini, sekarang ia harus susah payah menepis pesona manik mata Aaditya yang sudah tak halal lagi baginya.
Keduanya bergeming, masih mempertahankan jarak terdekat mereka tanpa melepas tatapan sedetik pun. Sepertinya setelah setahun berlalu, sekarang Tuhan akan menghempaskan mereka berdua dalam kenangan lalu. Cukup.
Luna berdeham membuyarkan keadaan. "Maaf," gumam Luna sambil membungkuk melepas high heels-nya yang patah. "Astaga, patah," rengek Luna tanpa sadar. Dulu saat ia masih menjadi milik Aaditya, Luna kerap merengek hal yang bersangkutan dengan barang-barang kesayangannya.
Aaditya tersenyum melihat ekspresi Luna yang tak berubah saat mendapati sepatu kesayangannya patah. "Masih punya yang lain, kan?"
"Tidak, aku sudah ...." Luna menghentikan perkataannya. Kembali menegakkan tubuh seraya menyelipkan rambut ke balik telinga. Ia berdeham dan mengalihkan pembicaraan. "Dari mana kamu tahu aku tinggal di sini?" tanya Luna, tangannya sibuk memasukkan kembali isi tas ke dalam perut sling bag.
"Bu Dewi," sahut Aaditya. Mata Aaditya menelusur ke seluruh isi halaman rumah Luna. Memandang aneka pot bunga aster dan mawar yang tertata rapi di teras. Rumah Luna tampak rapi dan menyenangkan. "Tidak mempersilakan aku masuk?" celetuk Aaditya kemudian.
Luna tertegun sejenak. "O-oh, iya," ucap Luna kemudian. Ia memutar kunci pintu dan mempersilakan Aaditya untuk masuk. "Maaf, berantakan." Luna memunguti kertas yang terserak di meja ruang santai merangkap ruang tamu.
Aaditya sempat memungut beberapa lembar kertas. Ia tersenyum saat melihat gambar rancangan gaun dan tas. "Kamu yang buat?"
"Hanya iseng di waktu luang," sahut Luna dari arah pantry. Ia kembali ke ruang santai dengan dua kaleng softdrink.
"Sejak kapan suka membuat rancangan begitu?" Aaditya bertanya sambil membuka kaleng softdrink.
Luna meringis. "Sejak ... bekerja di butik Bu Dewi," jawab Luna.
Tidak ada kursi lain selain sofa panjang bernuansa soft pink dengan sebuah meja kaca. Jadi, mau tidak mau Luna harus duduk bersisian dengan Aaditya yang tampak tenang menikmati minuman dingin dan mengamati setiap sisi rumah Luna.
"Maaf, rumahku tak begitu besar. Jadi ...."
"Ada obeng tidak?"
Luna tertegun. "Ya?"
Aaditya tidak langsung menjawab, ia beringsut dari sofa dan berjalan menuju jendela di samping sofa. "Kamu tinggal sama siapa di rumah ini?" tanyanya sembari menggoyang pengait kunci jendela yang hampir lepas.
"Oh, sendirian," sahut Luna dengan alis berkerut.
"Ambilkan aku obeng," pinta Aaditya.
Bibir Luna membulat saat memahami maksud Aaditya yang berniat membetulkan pengait kunci jendela. Ia bergegas ke dapur dan mengambil sebuah obeng dari laci dapur. Beberapa menit Aaditya sibuk mengencangkan baut pengait kunci yang hampir lepas itu. Luna sesekali menatap Aaditya.
Bagi Luna, Aaditya masih sama seperti yang dulu. Selalu perhatian dengan hal sepele di rumah. Bahkan tak ada perubahan dalam hal fisik. Alis mata yang tegas, bulu mata lentik yang mempertegas manik mata hitam, namun terlihat kecokelatan saat tertimpa sinar terang. Bibir yang selalu mengulum senyum ramah berpadu dengan deretan gigi yang rapi seputih mutiara. Dan satu lagi yang Luna suka. Wangi parfum beraroma lemon yang menyegarkan.
Luna tersenyum memperhatikan kesemuanya. Belum lagi bahu lebar Aaditya di mana dulu Luna sering bermanja-manja di sana. Menyurukkan wajah di punggung laki-laki berparas Asia tersebut meski sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Berbeda dengan sekarang, ia tak bisa lagi bermanja-manja padanya.
"Sudah beres," celetuk Aaditya membuyarkan lamunan Luna.
Luna tersadar dari kesibukan pikiran sendiri akan Aaditya. "Terima kasih," gumam Luna pelan.
"Bayar." Aaditya menahan senyum. Laki-laki ini masih pandai bergurau.
Kedua alis Luna terangkat tak paham.
"Kamu harus membayarku karena telah membenarkan kunci jendelamu," terang Aaditya lebih jelas.
Luna terkekeh saat menyadari gurauan.
"Aku serius," imbuh Aaditya lagi.
Luna melipat kedua tangan di depan dada, berpura-pura memikirkan bayaran yang pantas. "Aku sedang berhemat, tidak ada uang banyak," canda Luna. Meski dalam hati Luna membenarkan bahwa ia memang sedang kekeringan keuangan.
"Aah, aku anggap kamu berhutang padaku. Bagaimana kalau secangkir kopi?" pinta Aaditya. "Besok? Secangkir kopi sebagai upah mereparasi jendelamu ini, bagaimana?"
Luna menggigit bibir kemudian menggeleng pelan.
"Ya Tuhan, ternyata tak semudah di awal pertemuan kita. Dulu kamu mengangguk saja saat aku ajak menemaniku minum kopi," kelekar Aaditya.
"Aku tidak sanggup membelikan kopi terbaik di kafe elit, Ditya," ucap Luna jujur. Meski demikian, ia tetap menunjukkan senyum terbaiknya.
"Aku tidak memintamu membelikan kopi terbaik di kafe, Luna. Aku mau kopi buatanmu," timpal Aaditya. "Aku rasa belum pernah ada kopi seenak buatanmu."
Luna bergeming beberapa detik. Namun ia tertawa kecil sembari menutup mulut agar tak lepas tawa geli yang ia tahan. "Astaga, aku bahkan pernah salah memasukkan garam ke dalam cangkir kopimu."
Aaditya terkekeh. Ia masih ingat seberapa ceroboh Luna. Hanya saja tak bisa ia mungkiri bahwa kopi buatan mantan istrinya ini selalu nikmat. Dengan catatan Luna tak salah menuangkan garam.
Keduanya kembali terdiam saling menatap untuk beberapa detik, kemudian melempar pandangan ke luar jendela.
"Sudah berapa lama tinggal di sini?" Aaditya kembali membuka percakapan.
"Mmm, satu tahun," sahut Luna.
Aaditya menoleh, menatap Luna tak percaya. Itu tandanya Luna memilih hengkang dari naungan keluarga Hardian semenjak mereka bercerai. "Kenapa?"
Luna menggeleng dan tersenyum. Ia tidak ingin menceritakan pada Aaditya bahwa ia kacau setelah bercerai. Kekacauan yang teramat membuatnya terpuruk. Menyadari betapa bodoh ia memilih kebebasan hedon daripada menuruti setiap perkataan suami. Luna berjanji akan mengubah gaya hidup dan memperbaiki kekacauan yang ia timbulkan sendiri. Ia harus sanggup meski tanpa Hardian maupun Aaditya; dua laki-laki yang pernah ia repotkan dan ia lukai secara bersamaan.
Dering ponsel Aaditya di saku celana chino yang ia kenakan terdengar nyaring. Ia segera mengangkat telepon.
"Iya, Ma?"
"...."
"Iya, aku tahu. Sebentar lagi aku pulang," sahut Aaditya sebelum akhirnya ia mengakhiri panggilan telepon.
Luna sempat menangkap Aaditya yang menghela napas pelan. "Mama?"
Aaditya tersenyum dan mengagguk. "Aku pulang dulu, ya? Jangan lupa dengan kopinya. Besok aku menghubungimu lagi."
Luna mengangguk, mengantar Aaditya hingga teras rumah. Ia masih menatap lurus ke depan sampai sosok Aaditya itu masuk ke dalam mobil dan pergi. Helaan napas ia embuskan perlahan guna membuang rasa tak nyaman. Luna tahu, Tiara, mama Aaditya yang tak begitu suka dengan dirinya. Apalagi semenjak Luna bercerai dari putra sulung Tiara. Wanita paruh baya itu semakin tak bersimpati dengan Luna.
Luna menggelengkan kepala kuat-kuat. Tidak, Luna! Ini hanya masa lalu yang lewat. Harus yakin semua akan tetap berjalan apa adanya dan tidak akan kembali ke masa yang dulu. Titik.
~o0o~
(02-10-2017)
Vomment, please. ^^
Maaf baru sempat update. Semoga masih berkenan lanjut membaca dan menunggu. Terima kasih. ^_^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top