-Sepuluh-

Setumpuk map di meja Aaditya masih tak tersentuh. Aaditya sibuk memikirkan keberaniannya semalam. Bisa dibilang sikapnya berengsek, tapi ia tidak peduli. Yang ia pikirkan sekarang adalah, bagaimana kabar Luna hari ini? Apa wanita itu juga sekacau Aaditya? Apa wanita itu masih terbayang kenekatan mantan suami yang kurang ajar ini?

Aaditya menghela napas. Setidaknya sore ini harus bertemu dengan Luna. Ia pasti sedang kesal atau bahkan marah padanya. Jam dinding di ruangan kerja serba abu-abu itu sudah menujukkan pukul lima sore. Seharusnya Luna sebentar lagi pulang kerja. Aaditya berkemas, mengabaikan setumpuk pekerjaan yang sedari tadi melambai.

Pintu ruang kerja terbuka bebarengan dengan ketukan pelan. Sesosok laki-laki berlesung pipi melongokkan kepala di sebalik pintu. Ia menunjukkan cengiran khas, menampakkan deretan gigi seputih mutiara.

"Oiy, Bintang! Ngapain?" cecar Aaditya pada adik semata wayangnya.

Bintang menutup pintu kembali seraya menyugar rambut. "Mau pulang, Bang?"

Aaditya hanya nyengir seraya meraih jas hitam dari sandaran kursi. "Iya, sih," sahutnya pendek sembari menggaruk kepala yang tak gatal.

"Maksud lo?" timpal Bintang. Ia sempat membuka kulkas di pojok ruangan Aaditya.

"Apanya?"

"Itu tadi ada 'sih', maksudnya apaan? Niat pulang enggak?" cecar Bintang.

Aaditya mendesah malas. Sudah pasti Tiara telah membujuk Bintang untuk memberi wejangan. Terkadang Bintang memang lebih dewasa ketimbang sang abang yang kerap mengedepankan ego. Aaditya kembali duduk di kursi, sementara Bintang duduk di sofa sambil menikmati sekaleng jus jeruk.

"Mau ketemu Luna?" terka Bintang telak tepat sasaran.

"Mama minta elo buat nasehatin gue?"

"Bukan gitu, Bang. Gue nggak bermaskud nasehatin, tapi setidaknya gue nggak mau elo salah langkah," ujar Bintang hati-hati. Ia takut Aaditya tersinggung.

Aaditya masih diam, berusaha mendengarkan perhatian sang adik.

"Setidaknya kalo masih cinta sama Luna, selesaiin perkara Maya dulu, Bang. Cara elo yang mengedepankan ego nggak ada baiknya. Cara lo malah nyakitin Luna sama Maya," lanjut Bintang. Ia kembali meneguk jus jeruk sembari menanti reaksi Aaditya.

Aaditya mendesah malas. "Lo tahu sendiri, 'kan, gue dari awal udah jujur sama Maya belum bisa lupain mantan istri gue?"

"Kalo masih cinta Luna, kenapa dulu waktu pertemuan keluarga kita sama keluarga Maya, lo main setuju aja, Bang?" Bintang menggelengkan kepala tak habis pikir.

"Iya, gue ngerti kalo salah," sesal Aaditya. Namun, penyesalan itu tak lekas membuatnya urung untuk meraih kembali Luna. Ia berjanji dalam hatinya akan segera menyelesaikan perkara Maya, sebelum acara menyematkan cincin di jari manis Maya.

~o0o~

Aaditya tergesa memasuki area stasiun. Ia terlambat ke butik Bu Dewi, Luna pasti sudah akan pulang. Kata Bu Dewi, Luna biasa berangkat dan pulang bekerja menggunakan commuter line. Bu Dewi? Aaditya sedikit tak suka padanya. Wajahnya selalu tampak mengejek setiap orang yang mengajaknya bicara. Meski demikian, Aaditya cukup berterima kasih wanita itu selalu menjawab informasi tentang Luna.

Mata Aaditya mengedar ke seluruh penjuru stasiun. Ia hampir menyerah saat menemukan wanita tengah terkantuk-kantuk di kursi tunggu penumpang. Ah, pasti Luna tidak bisa tidur semalam. Perlahan Aaditya mendekat, akan tetapi Luna sama sekali tak menyadari sekitar. Kepalanya sebentar-sebentar terteleng ke kiri dengan mata terpejam. Sebelah tangan Aaditya terulur, menyangga kepala Luna yang semakin miring. Kemudian melekatkannya ke bahu seketika ia duduk di sebelah Luna. Aaditya tersenyum seraya menyandarkan dagu di puncak kepala berambut khas cat ombre dengan wangi yang lembut. Entah wanita ini menyadari atau tidak, kedua tangan Aaditya sudah melingkar padanya.

~o0o~

Luna terperanjat. Ia ketiduran di stasiun hingga terlewatkan kereta yang akan ia tumpangi. Dan lagi, bahu siapa ini? Luna mendongak dan terperenyak saat menemukan senyum di bibir pria dengan wangi khas lemon favorit Luna.

"Astaga! Ditya?" gumamnya seraya merapikan rambut yang berantakan.

"Lumayan, satu jam menghilangkan kantuk," tukas Aaditya di sela senyuman.

"Maaf," lirih Luna dengan kepala tertunduk dan rona di kedua pipi.

Sesungguhnya, bila ia mengikuti kata batin yang sedari pagi tadi menyebut nama Aaditya. Luna ingin sekali menghambur ke dalam pelukan laki-laki berwajah tegas ini. Meluapkan segala keluh kesah yang sejak lama membuatnya sesak. Hanya saja, Luna tak ingin disebut sebagai jalang seperti kata Tiara setahun yang lalu. Tidak. Sekali ucapan itu terdengar sudah cukup meluruhkan kekuatan Luna untuk tetap tegar.

"Keretanya sudah lewat setengah jam yang lalu. Mau pulang sekarang?" tawar Aaditya seraya merogoh kunci mobil dari saku jas kerjanya.

Luna segera bangkit dari tempat duduk. "Iya, aku naik taksi saja. Terima kasih," pungkas Luna. Ia menganggukkan kepala sebelum berbalik dan meninggalkan Aaditya.

"Yakin mau naik taksi? Kamu bisa lebih irit ongkos kalau mau aku antar pulang." Aaditya tersenyum saat melihat Luna menghentikan langkah. Kemudian menghampirinya.

Tawa Aaditya tertahan saat terdengar suara perut keroncongan. "Dan sepertinya ada yang belum makan," sindir Aaditya.

Luna menggigit bibir, perlahan mendongak. "Aku lapar," gumam Luna, nelangsa. Ia lupa seharian ini sama sekali tak menyentuh makan siangnya di butik. Pikiran yang kacau dengan mata sembab tentu saja mengurangi nafsu makan.

Kali ini Aaditya tertawa kecil. "Ayo kita makan sebelum pulang," ajak Aaditya.

Namun, Luna masih saja berdiri di tempatnya.

"Ya, ampun. Ayo!" ajak Aaditya kembali sambil meraih tangan Luna dan menggandengnya.

~o0o~

Wangi sup iga sapi tercium cuping hidung. Sekali mengendusnya saja sanggup membuat perut menggeliat liar karena lapar. Ah, entah sudah berapa lama Luna tak memakan sup iga sapi langganannya bersama Aaditya semasa dulu. Tanpa mereka sadari, nostalgia berlangsung tanpa kompromi.

"Kamu masih suka ke sini?" tanya Luna sembari menyendok kuah sup perlahan.

"Mmm ... enggak. Setahun ini aku sibuk di London. Dan baru mulai kembali bekerja di perusahaan keluarga sekitar dua bulan ini."

"London? Ngapain?" cecar Luna. Kali ini ia berbicara dengan kunyahan wortel di mulut.

Aaditya hanya tersenyum dan mengedikkan bahu. "Mau jawaban jujur apa bohong?"

Luna menghentikan kunyahan dan menatap Aaditya datar. "Jujurlah, masa bohong."

Aaditya menghela napas. "Melupakan kamu, tapi sia-sia," sahut Aaditya. Ia mengabaikan tatapan Luna yang penuh tanya dengan mulai melahap sup.

Jawaban Aaditya sedikit meragukan batin Luna. Jika laki-laki ini merindukannya, kenapa ada Maya dalam hidupnya? Tidak bisakah Aaditya mempertahankannya saja? Tidak. Bukan salah Aaditya. Bukankah Luna sendiri yang meminta bercerai? Luna menggelengkan kepala kuat-kuat.

"Lo bisa aja jujur sama dia kalo lo mau."

Kata-kata Cinta terngiang. Mungkin jujur adalah cara yang bisa membuat segalanya cepat terselesaikan. Namun, kejujuran apa yang harus ia sampaikan? Sementara Luna sendiri masih dalam keadaan terombang-ambing kebingungan dengan semua yang terjadi di masa lalu. Tidak. Ia tidak boleh membawa serta Aaditya dalam pusara masalahnya. Melibatkan Aaditya sama saja akan mendatangkan perkara dengan Tiara. Jika benar predikat jalang yang Tiara berikan, maka Luna merasa sangat tidak pantas bersanding dengan laki-laki sebaik Aaditya.

"Kenapa? Kenyang?" Teguran Aaditya membuyarkan lamunan panjang Luna.

"O-oh, nggak apa-apa," sahut Luna kembali menyeruput kuah sup dari sendok.

Dering ponsel memaksa Aaditya menghentikan makan dan merogoh ponsel dari saku celananya.

"Iya, May?"

Sapaan Aaditya membuat gerakan tangan Luna mengambang di udara. Ia meletakkan sendok ke dalam mangkuk. Telinganya berubah menjadi pendengar yang baik, menguping.

"Lagi makan, nggak usah nyamperin, bentar lagi pulang."

"..."

"Bicarakan sama mama, aku sibuk," pungkas Aaditya. Pembicaraan itu berakhir setelah Aaditya mengucapkan selamat malam.

Aaditya menoleh ke arah Luna. Luna yang semula memang berniat menguping berdeham dan menatap nanar menghindari tatapan Aaditya.

"Nggak ada yang penting, nggak usah nguping," sindir Aaditya telak.

Terang saja perkataan tersebut membuat Luna mati kutu. Kepergok menguping pembicaraan mantan suaminya dengan calon istri barunya sungguh memalukan. "Ah, enggak," sangkal Luna sembari menyelipkan sedotan di sela bibir.

Aaditya terkekeh, semangkuk sup yang masih utuh ia sodorkan pada Luna. "Habiskan," pintanya.

Luna mendelik, kepalanya menggeleng kuat menolak tawaran Aaditya. "Aku sedang tidak berbadan dua. Satu saja cukup."

"Tapi dulu setiap kali ke sini kamu menghabiskan dua porsi," desak Aaditya.

Luna memutar bola matanya malas. "Itu dulu bukan aku yang minta, Ditya."

Aaditya tertawa kecil. "Kalau begitu kita habiskan berdua saja."

Luna mengedikkan kedua alis seraya menyeruput jus jeruk. Untuk sejenak Luna terlupakan masalah pertemuanya dengan Tiara. Keduanya saling bernostalgia, mengingat tingkah pola kehidupan mereka yang telah kandas, namun manis untuk dikenang. Bahkan ketegangan dan kecanggungan di antara mereka perlahan mulai mencair dan kembali akrab.

Aaditya mengembuskan napas di akhir cerita. "Hubungan kita memang berawal dari insiden kesalahan. Tapi bukan berarti aku menyesali kehadirannya. Aku menyayanginya. Sangat," ujar Aaditya sendu. "Meski belum sempat kita mengenalnya lebih baik," pungkasnya.

"Aku mengenalnya dengan baik, Ditya. Dia menyayangimu," ucap Luna lirih.

Keduanya saling menelisik manik mata. Ada kepedihan di sana. Pernikahan mereka memang seharusnya tak terjadi bila kesalahan itu tak ada. Hanya saja keduanya berani bersumpah, meski demikian adanya, mereka memang saling mencintai. Cara mereka saja yang salah dalam memperlakukan cinta pada awalnya.

~o0o~

(02-11-2017)

Vomment, please. ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top