-Sembilan Belas-
Luna menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Hari ini adalah hari di mana ia harus menguatkan hatinya. Jalanan masih tampak lengang, saat ia duduk seraya memangku sebuah kotak berisikan gaun di kursi penumpang sebuah taksi. Ya, tentu saja semua tahu gaun untuk siapa. Maya, calon istri baru mantan suaminya.
Luna menggigit bibir. Degup jantungnya terus mengentak dada. Ia menatap nanar pada gaun berwarna putih dengan ornament ruffles di lengan kanan hingga pinggang. Luna masih mengingat detail gaun itu. Dengan tangan dan kreasi yang ia pikir teramat matang, hingga siapa pun yang melihat Maya kelak pasti terpesona.
Termasuk Aaditya. Iya, kan? Kedua tangan Luna saling meremas jemari di atas kotak bertutup transparan. Semua akan berakhir hari ini juga. Setelah ia mengantar gaun indah ini pada calon pengantin Aaditya, Luna harap mereka tidak akan pernah bertemu kembali. Apa pun alasannya itu, pikiran dan hati Luna tak mengizinkan ada nama Aaditya dalam kehidupan mendatang.
Luna segera mengulurkan selembar uang lima puluh ribu seketika taksi berhenti di depan sebuah rumah. Ia sedikit kerepotan saat membawa kotak di tangan kanan dan kantong jas di tangan kiri. Bibir tipis berpoles lip mate nude menyunggingkan senyum begitu sopir taksi membantunya membukakan pintu.
"Terima kasih," lirih Luna seraya menganggukkan kepala. Sopir taksi hanya menanggapinya dengan balasan senyum dan berlalu, sedikit membungkukkan badan.
Gemeletuk pump shoes yang menapaki halaman berpaving terdengar nyaring. Luna melangkah perlahan mendekati pintu utama. Pintunya tak tertutup rapat. Jika dulu ia sempat biasa masuk dan keluar rumah tanpa canggung, tidak dengan sekarang. Rumah mantan mertuanya yang tampak megah dengan cat berwarna krem ini tampak masih sama. Di sisi setiap halaman tumbuh tanaman bougenvile dan beberapa alamanda yang sedang bermekaran. Belum lagi pojok teras, sebuah ayunan panjang di mana dulu ia kerap menghabiskan sore bersama Aaditya sebelum mereka memutuskan membeli rumah sendiri. Semua masih sama, tidak ada yang berubah, kecuali statusnya.
Luna menghela napas sebentar sebelum ia putuskan kembali fokus pada pintu di hadapannya. Namun, ia tertegun begitu pada celah pintu terbuka itu tampak laki-laki yang sedang memasang kancing lengan kemejanya. Ia belum menyadari kedatangan Luna. Pukul delapan pagi adalah waktu Aaditya berangkat bekerja.
Luna menelan ludah susah payah, jantungnya berdegup tak keruan. Selalu saja begini. Sebelumnya ia sudah berniat mengubur dalam-dalam semua tentang Aaditya. Akan tetapi, sekilas saja sosok itu terlihat, semua pertahanan Luna runtuh.
Astaga! Luna merutuk dalam hati. Ia berdecak sebentar sebelum susah payah dengan tangan yang membawa kantong jas menekan bel. Aaditya yang semula sibuk di ruang tamu sembari memasang kancing lengan kemejanya menoleh.
Keduanya sempat menahan tatapan mereka yang berserobok selama beberapa detik. Hingga senyuman di bibir Aaditya muncul, Luna segera melempar pandangan ke lain arah. Seorang asisten rumah tangga hampir menghampiri pintu saat Aaditya mencegah dan memintanya untuk kembali ke dapur.
"Biar saya saja, Bi," ucap Aaditya. "Buatkan minum saja untuk saya dan seorang tamu. Oke?"
"Baik, Tuan," sahut wanita berambut kelabu, kemudian berlalu.
Luna tahu itu adalah Bi Darmi—asisten rumah tangga keluarga Wijaya—yang telah bekerja puluhan tahun di rumah ini.
Tubuh Luna sedikit menegang ketika Aaditya menghampiri pintu dan membukanya lebih lebar. Laki-laki dengan setelan kantor itu tampak tersenyum dengan binar kelegaan di kedua matanya. Empat hari Luna menghindarinya, mengabaikan telepon dan menonaktifkan semua jaringan media sosial, membuat Aaditya sedikit khawatir.
"Selamat pagi, Tuan. Dari Butik Bu Dewi mau mengantarkan gaun pesanan," ucap Luna setelah ia menarik napas sebelum berkata.
"Kenapa menghindar? Tidakkah bisa kamu aktifkan saja ponselmu? Membalas setiap pesanku meski hanya dengan kalimat singkat? Waktu di studio foto itu—"
"Bisakah Anda menerima barang pesanan ini. Maaf saya sedikit kerepotan," potong Luna. Ia menjulurkan kotak dan kantong jas.
Aaditya mengembuskan napas kasar. Ia sudah hampir menerima kotak saat tiba-tiba dari arah halaman masuk sebuah mobil berwarna merah—mobil Maya. Aaditya tampak frustrasi, ia menurunkan tangan kemudian berkacak pinggang. Iris matanya menatap Luna, seolah memberi isyarat jangan pergi ke mana-mana sebelum aku menjelaskan sesuatu.
Luna menggigit kedua pipi bagian dalam, lalu mengangguk setuju.
"Hai, Sayang!" Maya bergegas turun dari mobil, membanting pintu mobil dengan gerakan cepat. Ia tak memberikan kesempatan pada Luna maupun Aaditya untuk menyapanya. Setelah wanita dengan rambut hitam pekat sepunggung itu tepat di depan Aaditya, ia sedikit berjinjit, memberikan kecupan kecil di sebelah pipi calon suaminya.
Luna menunduk dan seketika itu juga berpaling, menahan gejolak perih yang baru saja ia rasakan beberapa hari lalu. Sementara Aaditya hanya terpekur, tak bisa menolak mengingat status hubungannya dengan Maya memang sudah bisa dikatakan serius. Meskipun Aaditya belum yakin dengan keseriusan itu.
"Oh, Luna. Gimana?" sapanya dengan kedua tangan melingkari lengan kokoh Aaditya.
Aaditya melepaskan lingkaran tangan Maya. "Masuk dulu, kita bicara di dalam," pintanya sembari meraih kotak dari tangan Luna.
Maya sempat mengangkat sebelah ujung bibirnya, tersenyum sinis sebelum ia menyusul Aaditya. Sementara Luna hanya menghela napas sembari memejamkan mata sejenak.
Semoga ... aku kuat.
~o0o~
Laki-laki dengan setelan jas serba hitam itu turun dari mobil. Ia menatap sekeliling dari balik kacamata hitam sejenak. Beberapa anak dengan variasi umur yang berbeda tampak riang di sebuah halaman berumput hijau. Mereka terlihat asyik berkebun, menata pot dari bahan daur ulang, dan mengaduk pupuk dengan tanah menggunakan sekop.
Roy tersenyum. Ia sempat seperti mereka, tinggal di sebuah panti asuhan karena kedua orang tuanya tak sanggup membiayai hidupnya. Hanya saja panti asuhan ini lebih tertata dan luas. Mengingat bangunan ini bernaung di bawah beberapa perusahan besar di Jakarta.
Tanpa ragu Roy melangkah masuk, melepas kacamata hitam agar tak terlihat begitu menyeramkan. Pekerjaannya sebagai bodyguard di keluarga Hardian menuntu dirinya selalu berpenampilan sangar. Langkah Roy terhenti tepat di sisi wanita tua yang tengah memotong daun dari tanaman di pot besar.
"Selamat pagi, Nyonya," sapanya ramah.
Wanita berambut kelabu itu menoleh. Ia sedikit ternganga menyadari kehadiran Roy. "Roy?"
~o0o~
Maryam berdiri di sisi jendela, menatap ke luar, mengamati anak-anak panti yang masih asyik berkebun.
"Aku lelah, Roy. Selama bertahun-tahun menyimpan semua kenangan buruk itu demi Luna," katanya dengan kedua tangan saling meremas.
"Tapi, Nyonya, cobalah untuk mengerti. Tuan Hardian sudah tidak memiliki siapa pun kecuali Luna. Tidakkah kita lupakan masa lalu saja dan—"
"Tidak semudah itu, Roy!" sergah Maryam. "Andai ini bukan keinginan adikku, aku pun tak sudi menyembunyikan kebejatan Hardian terhadap adikku hingga lahirlah Luna!" Amarah Maryam melonjak, napasnya terengah begitu saja. Mengenang masa lalu keluarganya sudah cukup membuatnya sesak, haruskah ia membeberkan semua pada Luna dan mengingkari janji terhadap Sasmita?
Roy menghela napas. Ia bangkit dari duduk dan menuntun Maryam yang mulai gemetar menahan tangis untuk segera duduk. Roy meraih segelas air putih di meja, kemudian memberikannya pada wanita yang mulai menitikkan tetes bening di sudut mata.
"Maaf membuatmu bersedih, Nyonya," sesal Roy.
Maryam meletakkan gelas kembali ke meja, setelah ia menegukkannya sedikit. Wanita bersanggul khas Jawa itu menggeleng pelan. "Tidak apa, kamu tidak bersalah. Bagaimana keadaan Luna? Apa dia sehat?"
Roy tersenyum tipis. "Dia sehat, Nyonya. Hanya saja, dia tidak mau pulang sebelum Tuan Hardian mau menjelaskan semua tentang ibunya."
Maryam sama tersenyum tipis. "Andai Hardian mau mengakui semuanya. Apa dia malu mengakui perbuatannya di depan anaknya sendiri?"
"Maksud Nyonya?"
Maryam menarik napas dalam, mengembuskannya perlahan bersamaan dengan pikirannya yang menerawang. Luna membutuhkan pertolongannya sekarang. Semoga Sasmita tidak marah dan tetap tenang dalam pelukan Tuhan.
~o0o~
Maryam memeluk adiknya dengan erat. Sang ayah tak kunjung puas menyabetkan sapu lidi ke tubuh Sasmita yang kian bersimbah keringat dan bilur biru. Sementara sang ibu terus tergugu di kursi seraya meremas dadanya.
"Jangan, Ayah! Hentikan! Sasmita bisa terluka lebih banyak lagi!" seru Maryam seraya terus memeluk, menjadikan tubuhnya sebagai tameng untuk adikknya.
"Anak kurang ajar! Bikin malu! Katakan, siapa yang menghamilimu?!" Ayah semakin beringas memukuli tubuh kedua anak gadisnya.
Sasmita hanya menggerung dengan tangis, terus menggeleng tak mengakui ayah dari anak yang ia kandung. Hingga ayahnya lelah dengan sendirinya dan melempar sapu ke sembarang arah. Kemudian meninggalkan ruang keluarga seraya membanting pintu kamar. Ibu menatap putrinya nelangsa, tetapi sejumput kecewa mendalam itu tak bisa ia elakkan.
Maryam menuntun Sasmita untuk berdiri dan membawa ke kamarnya. Dengan tangan gemetar ia meraih handuk kecil dari dalam lemari, lalu berlari ke dapur mengambil air hangat. Air matanya terus berderai, meratapi bilur biru dan memerah di lengan Sasmita yang duduk bersandar di kepala ranjang. Perlahan ia membersihkan luka sedikit demi sedikit.
Gerakan Maryam terhenti saat Sasmita meringis kesakitan. Saking geramnya terhadap gadis lemah ini, sang kakak melempar haduk kembali ke wadah air hingga air terciprat ke seprai ranjang.
"Berhenti melindungi nama baik laki-laki itu, Mita! Mbak tahu siapa yang melakukan ini!" pekiknya tertahan.
Sasmita hanya tersenyum tipis dengan sisa tenaganya. "Aku mohon, Mbak. Jangan katakana pada siapa pun. Aku mencintainya, Mbak. Tapi aku juga tidak ingin jadi orang ketiga di antara Mas Hardian dan Mbak Tiara."
Maryam mencengkeram kedua lengan Sasmita. "Aku percaya kamu tidak mungkin melakukan hal serendah itu sampai janin itu ada dalam rahimmu. Katakan yang sebenarnya ... apa Hardian merenggut kehormatanmu dengan paksa?" Mata Maryam menatap ke dalam manik mata Sasmita, nyalang.
Bulir bening di sudut mata Sasmita kembali luruh. Namun, perlahan ia mengangguk, membenarkan perkataan sang kakak. Maryam ternganga, lidahnya kelu tak mampu berucap. Matanya pun mulai berkaca-kaca dan cengkeraman di lengan wanita bodoh ini melemah.
Ia pikir Hardian teramat mencintai adiknya, tapi kenapa semua berubah tak sejalan. Apa yang sebenarnya terjadi dengan laki-laki itu? Setahunya, Sasmita bahagia menjalin hubungan dengan Hardian. Keduanya saling mencintai, tapi kenapa Hardian tega melakukan ini semua pada Sasmita?
Semua belum sempat terjawab, karena saat itu, tiba-tiba ayah masuk ke kamar, menyeret Sasmita ke luar rumah. Ayah mengusir Sasmita dari rumah, tidak peduli dengan tangisan Maryam yang terus memohon, tidak juga peduli dengan tangisan ibu yang kian mengeras tak tahu harus berbuat apa. Sasmita hanya terisak seraya memohon ampun. Tak jarang kakinya tersandung apa pun yang ia lewati, saking kerasnya seretan ayah. Ayah menutup pintu, membiarkan Sasmita mengetuk pintu dan menangis. Namun, emosi Ayah tak kuasa meluruhkan belas kasihnya. Sasmita menyerah.
Dan Sasmita ... memilih benar-benar pergi dari keluarganya.
~o0o~
Repost ulang tanggal: 01-09-2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top