-Sebelas-

Secangkir teh hijau tampak mengepulkan uap hangat. Suasana pagi bermandikan sinar matahari selalu menjadi hal asyik untuk Hardian, pria paruh baya berwajah sendu. Ia rindu tawa dan betapa cerewetnya sang putri berambut gelombang itu. Berceloteh tentang keceriaan anak-anak panti asuhan dan Maryam yang berhati lembut.

Ia menghela napas, mengulurkan sebelah tangan meraih cangkir teh.

"Selamat pagi, Tuan," sapa seorang pria berambut cepak, lengkap dengan setelan jas rapi.

Hardian menoleh usai menyesap sedikit tehnya. "Bagaimana keadaanya?"

"Semua baik, Tuan. Semalam Nona Luna pulang dengan Tuan Aaditya," terangnya.

Hardian sedikit terkejut. Aaditya? Benarkah putrinya menjalin hubungan kembali dengan mantan suaminya?

"Apa ada kejadian penting?"

"Mereka hanya makan bersama. Dan bercerita tentang Sebastian," jawabnya sabar.

"Hmm, Sebastian. Ah, aku lupa sudah lama tidak mengunjungi Sebastian. Anak itu seharusnya menjadi pengikat mereka berdua." Hardian menyandarkan punggung ke sandaran kursi. "Roy, besok antarkan aku mengunjungi Sebastian," pintanya.

"Baik, Tuan." Roy membuka buku catatannya. "Sebelum rapat, pukul 9 pagi kita bisa berkunjung ke sana."

Hardian mengangguk pelan, kemudian kembali menyesap teh hangat yang mulai dingin.

~o0o~

Cinta membuka pintu kamar Luna perlahan. Sedikit nelangsa melihat sahabatnya sejak tadi terus merenung, duduk di tepian jendela seraya menatap sebuah album foto. Jemarinya mengelus gambar hitam dengan bayangan sosok manusia yang mulai berbentuk.

"Luna," panggil Cinta seraya menepuk pelan bahu Luna. Ia sama duduk di tepi jendela saat Luna menggeser posisi duduknya. "Lo nggak pergi?"

Luna tersenyum tipis, bangkit dari duduk dan meletakkan album ke meja. "Iya, ini mau siap-siap."

"Sama Aaditya?"

Pergerakan tangan Luna yang sedang memilih pakaian di lemari terhenti. Ia berbalik menatap Cinta dengan kedua tangan berkacak di pinggang. "Meskipun semalam gue pulang sama Aaditya, bukan berarti gue udaah janjian sama dia, 'kan?"

Cinta mendesah, melipat kedua tangan di depan dada kemudian mengangguk-anggukkan kepala. "Kalo gue jadi elo, udah pergi jauh dari Jakarta, Lun."

Luna mengedikkan bahu sembari melepas dress hitam dari gantungan pakaian. "Bukan Luna namanya kalo lari dari masalah. Masih ada banyak hal yang nahan gue di sini, Cin."

Lagi-lagi Cinta mendesah. Siapa sangka Luna yang menyadang gelar Ratu Hedon memiliki segudang kisah kelam. Luna Sasmita. Seorang anak dari panti asuhan, tumbuh menjadi remaja dengan mimpi yang menggebu. Entah takdir apa yang sedang mempermainkan Luna. Pertemuan dan pernikahannya dengan Aaditya, justru mengempaskan Luna ke dalam kubangan masa lalu yang belum terungkap.

"Gue pergi dulu, ya?" pamit Luna. Ia sempat meraih buket bunga di meja yang sudah ia persiapkan sejak pagi tadi.

Cinta mengangguk mantap.

~o0o~

Luna duduk di bangku halte, menunggu taksi yang telah ia pesan secara online sebelumnya. Sesekali beberapa pasangan muda-mudi lewat, saling bergelayut manja. Ada pula segerombolan gadis saling tertawa sambil bergosip hasil buruan shoping mereka. Sebelah ujung bibir Luna terangkat. Hedonis tak terkendali. Jika demikian, akan banyak Luna berikutnya. Bahkan Luna hampir melakukan aborsi bila tak ada Cinta yang menguatkan. Dan ... Aaditya yang menginginkan janin yang mereka buat tetap hidup.

Tiga tahun lalu, Aaditya yang semula sedang menghadiri rapat direksi mendadak mengabaikan pekerjaan. Ia berusaha secepat mungkin menemui Luna yang tengah duduk manis di ruang tunggu pasien.

Saat Luna hampir memasuki ruangan dokter, dengan sigap Aaditya mencegahnnya. Menjauhkan wanita yang tengah pucat pasi dari ruangan di mana kuretase akan berlangsung.

"Menikahlah denganku," ucap Aaditya.

Luna mengerjap. "Kenapa?"

Embusan napas kasar terdengar begitu saja. "Tentu saja karena aku mencintaimu dan aku menginginkan anak kita lahir. Aku sudah cukup berdosa telah membuatnya ada sebelum waktunya. Apa harus kutambah dosa lagi dengan membunuhnya? Apa kamu gila? Aku tak peduli dengan nama baik keluarga besar kita. Semua sudah telanjur terjadi, dan aku ingin memperbaikinya. Bukan menghilangkan jejaknya."

Mata Luna memanas teringat lamaran Aaditya. Sekarang meski mereka sudah berpisah, apakah Aaditya masih mengharapkan putranya? Masih ingatkah laki-laki itu dengan hari kelahiran putranya?

Ah, Tuhan memang selalu memiliki rencana yang indah. Luna tak bisa membayangkan bila Sebastian ada di antara mereka. Ia pasti sedih menerima kenyataan bahwa orang tuanya harus bercerai. Mungkin ada baiknya Tuhan memisahkan Sebastian dari Luna dan Aaditya. Ya, ini yang terbaik, bukan?

~o0o~

Hardian turun dari mobilnya. Perlahan Roy mengulurkan tangan hendak membantunya berjalan. Suasana pemakaman masih tampak sepi. Hardian mengangkat sebelah tangannya, memberi tanda pada Roy bahwa ia bisa berjalan sendiri. Ia memang sudah semakin tua. Tubuhnya tak lagi setegap dulu. Bahkan guratan alis di atas kelopak matanya hampir memutih.

"Tunggu di sini saja, Roy. Terima kasih atas bantuannya," gumamnya pelan

Roy mengangguk patuh dan mempersilakan sang tuan untuk berjalan sendiri. "Panggil saya bila ada yang Anda butuhkan, Tuan."

Hardian mengangguk dan berlalu dengan sebuket bunga di tangan kirinya. Ia berjalan melalui jajaran nisan secara perlahan. Wangi bunga kemboja merebak, menusuk cuping hidung siapa saja yang lewat. Bunga kemboja memang menjadi ciri khas pemakaman.

Hardian berenti di sebuah nisan berwarna hitam. Sebastian Wijaya. Ia tersenyum membacanya. Cucunya sempat terlahir, merasakan dunia meski hanya selang beberapa jam saja setelah ia lahir. Hardian membungkuk, meletakkan sebuket bunga di atas nisan cucunya.

"Pagi, Pa."

Sapaan itu membuat Hardian menoleh. Sosok putrinya berdiri tepat di belakangnya. Sorot matanya masih sama, tetap tegar meski menyimpan banyak luka.

~o0o~

(04-11-2017)

Vomment, please. ^^

Boleh saya bertanya sedikit? Menurut kalian, alur Luna (The Queen of Hedon) ini sudah menarik belum? Atau ada hal yang perlu saya perbaiki? Sekian terima kasih. ^_^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top