-Satu-
Dering ponsel di nakas mengusik tidur panjang Luna. Ia masih bergelung dengan selimut tebal di kamar bergaya shaby chic. Luna mengumpat kesal pada deringan ponsel yang tak kunjung berhenti di Minggu pagi ini. Sial sekali, bekerja sebagai asisten desainer di butik milik wanita tambun itu tak pernah ada waktu libur. Bahkan weekend-nya sering berjalan layaknya hari kerja.
"Luunnaaaa ...! Antarkan gaun pesanan ke pemesan! Sekarang!"
Luna menjauhkan ponsel dari telinga saat pekikan suara dari seberang sana menusuk gendang telinga.
"Iya, tapi ...."
"Sekarang Luna, jangan membantah! Aku tunggu tiga puluh menit dari sekarang."
Luna mengembuskan napas kasar, melempar ponsel ke ranjang saat Bu Dewi mengakhiri panggilan. Oh, demi Tuhan! Aku bisa gila bekerja dengan cara dia seperti ini! Luna merutuki keadaan. Ia bergegas mandi, kemudian sarapan roti sembari berlarian mengejar waktu setelah memesan taksi melalui aplikasi online.
Siapa sangka seorang Luna Sasmita—putri dari pengusaha sukses bernama Hardian—bekerja sebagai asisten desainer. Sebelumnya Luna tak terpikirkan untuk bekerja begini. Ya, ia memilih berhenti sebagai seorang manager HRD di perusahaan Hardian. Selain kepiawaiannya dalam bidang manajemen, Luna dulu adalah seorang fashion blogger dan pandai merancang trend fashion yang kreatif. Jadi, hanya kepiawaian dalam dunia fashion ini yang mampu ia andalkan untuk beralih pekerjaan.
Niatnya berhenti dari perusahaan Hardian adalah karena suatu hal—mengubah hidup yang penuh kekacauan karena sikap hedon yang ia miliki. Gaji berlimpah dan semua fasilitas dari sang papa membuat ia kelewat batas menikmati hidup. Hobi shoping berlebihan membuat kartu kredit kerap membengkak. Hardian sudah tak sanggup lagi mengurus putri manjanya.
Tidak hanya itu, sikap hedon-nya juga telah mejauhkan kehidupan Luna dari orang-orang yang ia cintai—termasuk Aaditya.
Luna menghela napas. Sudah setahun berlalu ia berpisah dengan laki-laki itu, tetapi mengingat namanya saja masih membuat dadanya sesak. Seperti ditimbun runtuhan longsor pegunungan batu. Kali ini Luna menggigit bibir, mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Kenangan bersama Aaditya kembali berputar-putar di kepala. Semua karena kebodohannya, semua karena ia tak sempat menghargai Aaditya sebagai suami. Ya, Luna selalu menyalahkan diri sendiri semenjak perpisahannya dengan Aaditya.
"Sudah sampai, Mbak." Suara sopir taksi yang ditumpangi membuyarkan lamunan Luna.
"O-oh, iya. Makasih, Pak," ucap Luna tergagap. Ia turun setelah memberi selembar uang lima puluh ribu.
Ah, sial! Harusnnya akan lebih murah bila ia berangkat lebih awal dengan commuterline. Ia jadi tidak bisa berhemat untuk hari ini.
~o0o~
"Kenapa aku bisa mempekerjakan wanita selelet dirimu? Ah, andai saja kau bukan anak dari Hardian, mungkin aku sudah memecatmu," seloroh Bu Dewi sembari meletakkan cangkir teh hijau ke meja kerja.
Luna menggigit bibir dengan wajah tertunduk. Ingin sekali berteriak bahwa ini adalah jatahnya libur. Kenapa pula ia masih dipekerjakan?
"Sudah sana berangkat, antar gaun itu di alamat yang tertera di paper bag," perintah Bu Dewi. Sebelah telapak tangannya mengibas-ngibas di udara membuat gerakan mengusir.
Luna mengangguk cepat dan berlari kecil meraih paper bag di meja. Ia tak ingin mendengar semburan Bu Dewi yang kerap membuat sekitar layaknya hujan air liur. Oh, demi Tuhan! Itu sangat menjijikkan.
~o0o~
"Blok D No. 25," gumam Luna sembari mengamati nomor rumah di sisi pagar. Setelah ia memastikan itu benar, Luna mengangguk mantap memasuki pagar.
Rumah bergaya modern itu tampak sepi. Tidak ada satpam yang berjaga. Luna sudah toleh kanan kiri tapi nihil. Tak ada seorang pun di sana. Luna berkacak pinggang sambil mengembuskan napas lelah. Ia bersiap memencet bel di sisi pintu saat seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu.
"Cari siapa, Bu?" tanyanya sembari mengangguk ramah.
Luna mengerjap, mungkin itu pembantu rumah tangga di sini. "Mmm, mau mengantar gaun, Bi, dari butik Ibu Dewi," sahut Luna sama ramahnya.
"Oh, silakan masuk. Sudah ditunggu di dalam."
Luna mengangguk dan melangkah mengikuti wanita berambut kelabu itu masuk. Luna menelan ludah. Saat itu ada seorang wanita dan laki-laki yang sedang asyik bermain PS4 duduk di karpet saling berdempetan. Ah, tidak! Lebih tepatnya si wanita yang bergelayut manja di lengan lelaki itu sembari bermain stick PS4. Oh, Tuhan! Derita wanita berumur yang tak memiliki pasangan selalu begini setiap melihat kemesraan orang! Luna merutuk dalam hati.
"Non, ada yang mau mengantar gaun katanya," ucap wanita tua sambil duduk bersimpuh di lantai.
Wanita dan pria itu menoleh ke arah Luna. Seketika hati Luna mencelos, ingin segera berlari menjauhi kenyataan yang ada di depannya. Dua orang dalam masa lalunya tiba-tiba hadir kembali. Oh, Tuhan! Mengapa takdir begitu kejam membuatnya kesusahan bernapas seperti ini. Saat itu juga, tatapan mereka saling bersirobok dan terjun ke dalam kenangan masa lalu.
~o0o~
Suasana sebuah ball room hotel tampak ramai. Semua saling berbisik dan beradu argumen tentang perhiasan batu permata putih mengkilat. Sejenis acara lelang sedang diadakan oleh desainer perhiasan ternama saat itu. Semua pecinta fashion dan perhiasan tentu saling beradu materi demi mendapatkan perhiasan tersebut.
Tidak dengan dua orang yang sedang duduk berdampingan dengan cemas. Mereka berdua bukan pecinta fashion juga perhiasan. Mereka hanya segelintir orang yang ingin berusaha mendapatkan keuntungan setelah lelang ini berhasil mereka dapat.
"Inget, Dit. Nanti kalau kita yang menang lelang, kita jual lagi ke tanteku. Keuntungannya kita bagi dua," celoteh Maya seraya memandang barang lelang di depan sana dengan mata berbinar.
Aaditya hanya menoleh sekilas, tersenyum kemudian terkekeh. "Iya, tahu."
Bersamaan dengan berhentinya dengungan bisik-bisik dan adu argumen, pintu ball room terbuka. Semua mata tertuju pada sesosok wanita mengenakan dress hitam di atas lutut. Kedua bahu putih mulusnya terekspos. Wajahnya belum begitu tampak jelas karena topi bundar yang lebar berwarna senada gaun yang ia kenakan. Hand bag berlogo Hermesh tampak tergantung dilengan kanan. High heels anggun bersol merah khas Christian Louboutin membuat ia semakin terlihat seksi.
"Dia siapa?" gumam Aaditya tanpa melepas pandangan dari sosok yang berdiri di tengah ruangan mencari tempat duduk kosong.
"Kau tidak tahu? Ck, dasar terlalu polos. Dia Luna, anaknya Pak Hardian, si ratu hedon!" terang Maya dengan suara berbisik.
Aaditya tak menggubris penjelasan Maya. Ia fokus dengan wanita yang kini tersenyum padanya dan mendekat di kursi kosong sebelah Aaditya.
"Boleh aku duduk di sini?" tanyanya.
Aaditya tak bersuara, ia hanya tersenyum dan mengangguk. Maya mendengus sebal. Sebelum ini, ia tak pernah melihat Aaditya sebegitu ramah tersenyum pada wanita. Bukan berarti Maya cemburu, buat apa cemburu. Mereka sudah bersahabat sejak SMA dan keluarga juga sudah layaknya saudara. Sungguh belum ada niatan untuk menumbuhkan cinta.
Acara lelang dimulai. Semua bersiap dengan papan masing-masing. Lelang dimulai dari angka sepuluh juta rupiah. Aaditya bersiap dengan angka lima belas lebih tinggi dari penawar lain. Maya melebarkan bola mata saat melihat papan Luna. Dua puluh juta!
Maya tak terima, ia segera menyikut lengat Aaditya. Aaditya menurunkan papan menggantinya dengan angka yang lebih fantastis. Namun, bukan ratu hedon namanya bila ia mau terkalahkan. Pada akhirnya para peminat barang lelang selalu harus pulang dengan tangan kosong bila si ratu hedon hadir dalam acara lelang. Semua tampak berbisik tak suka. Siapa yang tak kenal Luna. Putri tunggal pewaris tahta keluarga Hardian, pengusaha sukses terkaya. Si ratu hedon dengan hobi kehidupan glamour serba mewah dan apa pun yang ia minta, seolah hanya mengejapkan mata tercapai.
Luna tampak gembira dengan kotak perhiasan di tangannya. Ia berjalan dengan kepala menatap lurus ke depan dan dagu terangkat - bangga.
Aaditya tersenyum masih mengamati wanita yang kini tengah keluar dari area ball room. "Tunggu di sini, aku segera kembali," pesan Aaditya sembari berlalu.
"Oiy, mau ke mana?" desis Maya kesal.
Aaditya sudah berlarian kecil, mengikuti langkah anggun Luna yang menuju mobil sport mewah di area parkir. Luna hampir menyalakan mesin mobil saat Aaditya mengetuk kaca pintu mobil. Alis Luna terlipat dengan kedua mata menyipit. Ia segera menurunkan kaca jendela mobil.
"Ya?" Luna tersenyum.
Aaditya mengulurkan tangan kanan. "Aaditya," ucapnya memperkenalkan diri.
Luna menjabat tangan Aaditya. "Luna. Ada yang bisa saya bantu?"
Aaditya menggeleng. "Tidak, hanya ingin mengucapkan sampai ketemu lagi besok."
"O-oh, ya," sahut Luna dengan kedua alis saling bertaut. Ia sebenarnya tak mengerti dengan perkataan Aaditya. Apa mereka sudah sering bertemu? Atau Aaditya hanya iseng belaka?
"Jika kita besok bertemu lagi, maukah kamu menemaniku minum kopi?"
Kerutan di kening Luna semakin dalam. Oke, kali ini Luna yakin Aaditya adalah orang yang aneh. Demi menghindar dan segera pergi dari hadapan laki-laki berbahu lebar dan tegap itu, Luna mengangguk diiringi kekehan tak mengerti.
Lengkungan senyum di bibir tipis Aaditya semakin jelas saat ia melambaikan tangan. Kali ini, ia yakin dengan apa yang ia lihat adalah keajaiban dunia. Wanita anggun yang modis, tapi dari mata gadis itu tampak ada sesuatu yang menggetarkan Aaditya. Aaditya belum tahu pasti ada apa dalam tatapan mata Luna. Hanya saja, ia yakin ada yang istimewa dalam diri Luna yang tak terbaca siapa pun kecuali Aaditya seorang.
~o0o~
(24-09-2017)
Vomment, please. ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top