-Lima Belas-

Luna sibuk dengan laptopnya. Ia masih megerjakan beberapa artikel lagi untuk Aaditya. Luna sudah mendapatkan sampel beberapa produk kecantikan dari perusahaan Aaditya. Beberapa kali Luna menyemprotkan parfum ke pergelangan tangan, kemudian menciumnya.

"Wangi yang segar dan tahan lama," gumam Luna seraya mengetikkan sederet kalimat.

Aktivitas mengetiknya terhenti saat ponselnya berdenting. Luna sempat mendecakkan lidah karena kesal. Dengan malas ia mengulurkan tangan, meraih ponsel di sisi meja yang cukup jauh.

Bu Dewi: "Besok pagi jangan lupa acara foto prewedding Mbak Maya."

Luna menggigit bibir. Ya Tuhan, apa ia kuat melalui ini semua? Jantung Luna berdenyut tak keruan-nyeri. Ia meletakkan kembali ponsel ke meja, menangkupkan kedua telapak tangan di pipi. Akan seperti apa acara foto prewedding Aaditya dan Maya? Apa Aaditya juga akan menatap Maya dengan mesra? Memeluk pinggang Maya? Atau bahkan ... menciumnya?

Luna menggelengkan kepala kuat-kuat. Itulah yang Aaditya lakukan saat mereka prewedding dulu. Mengingatnya, membuat Luna tak kuasa menahan diri untuk membuka sebuah folder di laptopnya. Lengkungan di bibir Luna muncul. Beberapa menit ia merebahkan kepala di atas lengannya seraya menatap foto dengan tampilan slide show. Jika dulu Aaditya merengkuhnya, tapi esok pagi laki-laki berbahu lebar itu akan merengkuh Maya.

"Katakan padaku, Ditya. Haruskah akuh tetap kuat berdiri saat kamu memeluk wanita lain?" Luna bergumam, telunjuknya menyentuh layar laptop, mengikuti bentuk wajah laki-laki yang sempat mengisi hidupnya bersama Sebastian.

**

Gemeletuk kitten heels Tiara terdengar beradu dengan lantai. Ia tengah merapikan jalinan craft di lehernya. Bercermin demi mengawasi bentuk sanggul mungil di tengkuk tak berantakan. Pagi ini sesuai rencana Maya, ia harus bisa membujuk Aaditya melakukan foto prewedding lebih awal.

Lenggangan langkahnya tampak berirama dengan dagunya yang terangkat angkuh. Ia menghampiri Aaditya yang masih sibuk menghabiskan segelas susu di ruang makan.

"Kita berangkat sekarang," titahnya seraya menjejalkan ponsel ke dalam handbag berlogo Gucci.

Aaditya meletakkan gelas ke meja. "Ke mana?" tanyanya bingung.

"Tentu saja foto prewedding kamu dan Maya. Aku sudah meminta Bu Dewi mengurus asistennya untuk memilihkan gaun yang cocok," jelas Tiara. Senyum sinis terlempar begitu saja seketika Aaditya membulatkan mata.

"Ma, bisa nggak, sih, kita tidak melibatkan Luna? Luna itu, kan-"

"Mantan istri, Ditya! Jadi, dia bukan siapa-siapa lagi!" ucap Tiara lantang.

"Aku tahu, Ma. Setidaknya menghargai perasaan Luna juga perlu. Bukan perkara mudah baginya untuk-"

"Mama tidak mau tahu! Kamu sadar diri, dong. Luna yang meminta perceraian kalian, bukan? Pikirkan perasaan Maya sekarang, bukan memikirkan jandamu itu," pungkas Tiara. Ia berlalu begitu saja tanpa mau melanjutkan pembicaraan lagi.

Aaditya memejamkan mata, menahan emosi dengan mengembuskan napas kasar. Tiara dan Maya sudah keterlaluan. Ia bangkit dari kursi, menyambar kunci mobil di atas kulkas dengan gusar.

**

Luna menggosok kedua telapak tangan-cemas. Siapa saja yang bisa memahami Luna pasti mengerti. Bukan perkara mudah melakukan ini semua. Meski Luna telah berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini bukan apa-apa dan ia wajib tegar. Tetap saja kecemasan itu muncul. Membayangkan Aaditya berpelukan bersama wanita lain membuat jantung Luna terasa diremas.

Maya masih merias diri di ruang rias studio foto yang telah Bu Dewi persiapkan tidak jauh dari butik. Sementara Aaditya sudah siap dengan setelan jas hitamnya, duduk menunggu pasangan. Ya Tuhan, Luna hampir gila. Terjepit dalam kondisi seperti ini membuatnya ingin berlari sejauh-jauhnya. Atau bila saja bisa, ia ingin menjadi buih seperti putri duyung saja yang kehilangan pangeran karena menikah dengan wanita lain.

Luna menggigit bibir, menatap Aaditya dengan saksama. Hingga Aaditya tersadar bahwa ia sedang diperhatikan. Aaditya menghela napas menghampiri Luna yang tengah meremas ujung bolero-nya.

"Please, jangan memaksakan dirimu. Pulanglah-"

"Aku tidak apa-apa. Sungguh," potong Luna.

"Luna-"

"Tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku baik-baik saja, Ditya," sergah Luna lagi. Ia memaksakan senyum tipis di bibir berlipstik nude.

Keduanya saling menjauhkan diri saat Tiara yang menuntun Maya keluar dari ruang rias. Luna menatap takjub. Bagi Luna, setiap calon pengantin itu cantik. Maya terlihat memesona dengan gaun seba putih menjuntai hingga ke lantai.

"Maya cantik," gumam Luna.

"Maaf, meski kamu berkata begitu, aku tidak akan pernah mengubah pendirianku," sahut Aaditya sama bergumam.

Luna menoleh, mengerjap kebingungan dengan perkataan Aaditya. Maksudnya? Luna bertanya dengan tatapan matanya. Sedangkan Aaditya hanya menjawabnya dengan kedikan kedua alis.

Fotografer sudah bersiap dengan kamera, memberikan perintah agar pasangan bersiap untuk berfoto.

"Luna, bisakah kamu mengarahkanku bagaimana gaya yang tepat untuk berfoto dengan gaun ini?" Maya tersenyum manis. Namun, di balik senyumnya terasa pahit bagi Luna.

"Oh, iya, tentu Luna lebih tahu karena dia yang memilihkan gaun ini dari butik Bu Dewi," imbuh Tiara. Bibir berlipstik merah itu sama tersenyum manis, tapi pahit untuk Luna.

Luna menggigit bibir. Ia menghela napas sejenak guna menghilangkan rasa gelisah. Aaditya mengembuskan napas kasar saat Luna dengan mudahnya mendekat padanya dan Maya.

"Maaf," ucap Luna seraya meraih tangan kanan Maya dan meletakkannya di pundak Aaditya.

Maya tersenyum puas ketika Luna meraih tangan Aaditya dan meletakkan di pinggang Maya. Demi Tuhan, Luna ingin segera menghilang dari dunia ini.

Semula Luna bisa bertahan. Berpura-pura memasang senyum bahagia bahwa pilihan gaunnya tepat dan sempurna untuk mereka berdua. Hingga foto terakhir, pertahanan Luna luruh.

"Mm, terakhir! Bisa membuat pose lebih mesra, maksudku-maaf-sedikit ciuman kilat saja mungkin," kelekar fotografer, sedikit malu mengatakannya.

Aaditya mengerjap, menatap Luna agar wanita itu memaafkannya. Namun, Luna sudah tertunduk dalam beberapa detik.

Hingga Tiara mendekat pada Luna dan berbisik. "Maaf merepotkanmu."

Tiara melenggang menghampiri Maya dan Aaditya. Ia memberikan tatapan ultimatum pada putra sulungnya. Setelah ia melempar senyum pada Maya dan mengelus pipi calon menantunya, ia kembali duduk di sofa tunggu.

Luna mendongak. Ia berusaha bertahan. Tidak. Ia tidak boleh kalah. Hanya saja saat fotografer melempar kilatan kamera saat itu juga, Aaditya dan Maya sudah saling melekatkan bibirnya. Luna masih bergeming, tubuhnya kaku tak bereaksi, tapi jantungnya seperti mencelos dari tempatnya. Membawa deburan gejolak emosi yang membuatnya luluh-lantak. Ia menunduk sesekali memalingkan pandangan. Mengembuskan napas kasar atau bahkan meremas sisi rok tutu yang ia kenakan.

**

Dalam gelapnya ruang santai, pantulan cahaya layar laptop menerangi Luna. Ia masih merebah di sofa. Bola mata hitamnya masih tergambar apa yang ia lihat. Semakin lekat ia melihat foto kenangan bersama Aaditya, gambaran foto prewedding Aaditya mencium Maya semakin tergambar jelas.

Mata sembab Luna mengaburkan bayangan matanya. Ia tak sanggup lagi melihat foto-foto kenangannya bersama Aaditya. Sekarang, pelukan laki-laki itu bukan miliknya lagi, ciuman hangat itu bukan untuknya lagi. Akan tetapi ... untuk Maya ... calon istri Aaditya yang baru.

Luna menutup wajah dengan telapak tangan, terisak sendirian dengan bahu bergetar. Tubuhnya semakin meringkuk meratapi kepedihan. Entah sudah berapa kali ketukan di depan pintu rumahnya terdengar. Luna abaikan. Ia tahu, Aaditya tengah di depan rumahnya dan berulang kali mengatakan maaf.

**

Aaditya bersandar di depan pintu rumah bergaya shaby. Ia sudah berusaha mengetuknya, namun Luna tak kunjung membiarkannya masuk. Ia tahu bahwa dirinya telah menyakiti Luna. Sungguh ia sama sekali tak memulainya, Maya yang memulai. Di depan fotografer, bagaimana mungkin ia menolak? Ia bisa saja menjadi sorotan orang-orang studio foto bila bersikap seolah peduli pada Luna, bukan pada calon istrinya. Tiara juga akan semakin memojokkan Luna bila ia malah mengejar Luna yang dengan tergesa pulang selesai pemotretan.

"Luna, maaf. Aku tahu kamu di dalam. Aku mohon bicaralah," pinta Aaditya putus asa. "Lun," panggilnya lagi.

Hening, namun samar-samar Aaditya mendengar isak tangis Luna. Aaditya menghela napas, sesak. Ia sudah melekatkan kening pada daun pintu. Berharap Luna masih mau membiarkannya masuk dan menjelaskan segalanya, bahwa Aaditya Wijaya belum mampu memberikan hatinya selain pada Luna Sasmita. Meski Maya menerobos paksa relung hati Aaditya, tapi relung itu tak tersentuh sama sekali. Semua yang ia rasakan bersama Maya, hambar.

**

(01-10-2017)

**

Halo, Kak. :)
LUNA sudah tersedia dalam versi e-book. Bagi yang berkenan baca kisah lengkapnya, bisa beli via Google Play.

Terima kasih. 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top