Empat Belas

Luna menenteng map berisi lembaran desain gaun pesanan Maya. Ia sudah siap sejak tadi. Sarapan juga sudah berhasil ia pendam ke dalam perutnya. Ia tidak boleh terlambat hari ini. Segera ke butik, selesaikan pola gaun, kemudian pergi mengurus bisnis blog-nya.

Langkah Luna terhenti di ruang tamu. Cinta mencegahnya. Kening Luna berkerut, ia sudah hampir terlambat mengejar jam kereta pagi ini.

"Telat gue, Cin," keluh Luna.

"Semalem Aaditya ke sini?" Cinta mencecar seraya menunjuk jaket pria di sofa ruang tamu.

Luna mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Namun, sebuah anggukan ia pilih sebagai jawaban.

"Terus?"

"Ya udah, nggak ada apa-apa. Kita cuma ngabisin kopi sama sekotak macaroon aja, kok," timpalku. "Udah ya, gue telat, nih!" Luna bergegas tanpa memperhatikan raut wajah Cinta yang menyimpan sejuta tanya.

Cinta mendesah, menatap punggung Luna yang pergi begitu saja. Semoga saja Tiara segera sadar bahwa Luna dan Aaditya masih saling mencintai, sehingga kesalahan yang pernah mereka perbuat tak terulang di masa sekarang.

**

Luna masih sibuk menggunting pola di meja. Pikirannya sungguh kacau mengingat semalam apa yang telah ia lakukan bersama Aaditya. Luna meletakkan gunting sambil menggebrak meja. Kemudian ia menutup wajahnya.

Mereka memang tidak melakukan hal buruk apa pun. Sungguh, Luna berani bersumpah. Bagaimanapun Luna bukan tipe wanita perebut laki-laki orang. Ia akan berusaha sekuat mungkin menahan diri untuk tidak merebut Aaditya dari rengkuhan Maya. Akan tetapi semalam—Luna menggigit bibirnya. Semalam ia hampir tak bisa menahan diri saat Aaditya tiba-tiba bersandar padanya. Kemudian ... ia hampir merelakan bibirnya untuk kedua kali dalam posisi sebagai mantan suami-istri. Andai ponsel Aaditya tak berdenting, mungkin semua bisa saja terjadi.

Luna mengembuskan napas kasar. Ia kembali meraih pola, memasangnya dengan jarum di atas kain, dan—

"Auuww!" pekik Luna saat jarum tanpa sengaja menusuk jemari lentiknya. Sial! Konsentrasinya buyar hari ini. Luna menegakkan tubuh, menjilat bibirnya yang terasa kering, kemudian menarik dan mengembuskan napas perlahan.

Suara gemerincing lonceng pintu butik terdengar nyaring. Luna menoleh ke arah pintu. Sosok dengan rambut hitam pekat dengan setelan blazer di atas lutut itu menghampiri Luna dengan dagu terangkat. Akan ada cerita apa lagi hari ini?

"Selamat pagi, Nona Luna," sapanya sinis.

Luna mengangguk dan tersenyum tipis. "Mau lihat gaunnya? Bisa kamu lihat, masih dalam bentuk pola."

"Kenapa lambat sekali? Apa karena terlalu terbawa perasaan?" seringainya.

Luna tertawa hambar. Luna mendekat dan berbisik, "Bagaimana tidak terbawa perasaan, bila calon tunanganmu itu kerap mendatangiku, Nyonya ... Aaditya?"

Maya mengeratkan geretak gigi gerahamnya. Niatannya membuat Luna kesal justru berbalik padanya.

"Ups, aku salah, ya?" ejek Luna puas. "Maaf, salah sekali caramu ingin membuatku terpuruk. Kamu tahu, kan, aku terbiasa sekali menerima cacian, tapi bukan berarti suka diremehkan apalagi direndahkan."

Suara pintu ruang Bu Dewi yang terbuka mencairkan ketegangan keduanya. Luna kembali meraih pola dan berpura-pura melanjutkan pekerjaannya.

"Oh, Mbak Maya. Ada yang bisa kami bantu?" Bu Dewi memasang senyum terbaiknya seraya menunjuk sebuah sofa, mengajak Maya untuk duduk.

Maya tersenyum kemudian mendaratkan pantat ke sofa. "Saya mau meminta Luna untuk menjadi konsultan gaun prewedding saya, Bu."

Astaga! Gunting yang sedang bergerak memotong kain di tangan Luna mendadak berhenti. Apa sebenarnya yang diinginkan Maya? Pikiran Maya terlalu dangkal. Apa ia sengaja untuk mengetes seberapa tahan Aaditya saat sering bersinggungan dengan mantan istrinya? Bukankah akan lebih baik Maya percaya saja terhadap Aaditya, bukannya mengingatkan Aaditya pada masa lalunya, apalagi mengujinya. Itu konyol.

"Oh, kapan?" tanya Bu Dewi. "Bagaimana, Lun? Kamu bisa?"

Luna tampak berpikir sejenak, matanya mengerjap menatap Maya tak habis pikir. Sementara Maya tersenyum penuh kemenangan. Hingga Luna merasa dipermainkan begini. Baiklah, Luna memilih mengikuti permainan Maya. Sebuah anggukan dan senyum simpul ia tunjukkan sebagai jawaban.

Detik itu juga, senyum Maya menghilang. Tanpa Maya sadari ia telah membuat bayang-bayang Luna di mata Aaditya semakin jelas. Ia pikir mulanya, Luna akan begitu mudah untuk mundur dan memilih angkat tangan untuk mengurusi segala macam gaun pertunangan mantan suaminya. Namun, kenyataan berkata lain. Luna bukan tipe wanita yang mudah ditekan untuk mundur dan enyah.

**

Luna hampir mati kebosanan menunggu di Kafe Batavia. Sudah hampir satu jam ia menunggu, tapi orang yang katanya mau membicarakan artikel di blog Luna belum kunjung muncul. Bahkan dua cangkir ice coffee sudah tandas. Padahal, tadi ia meninggalkan pekerjaan memotong pola yang belum selesai.

Oke, Luna menyerah! Ia hampir bangkit saat sesosok pria diikuti seorang wanita masuk ke kafe dan menghampirinya. Mata Luna mengerjap, tak percaya dengan siapa yang datang menemuinya untuk menjalin kerjasama.

"Selamat sore, Mbak Luna," sapa wanita yang Luna pikir adalah sekretaris laki-laki yang tengah tersenyum padanya.

Ia mengulurkan tangan, berharap saling berjabat tangan. Luna masih saja mengerjap bingung menunduk menatap uluran tangannya.

"Di-Ditya?" Luna setengah tak percaya seraya menjabat tangan Aaditya.

"Ya, silakan duduk kembali." Aaditya mempersilakan Luna duduk.

Luna kembali duduk, ia memejamkan mata sejenak berusaha mengatur napas sebelum angkat bicara. "Kamu—"

"Lupakan masalah pribadi. Bisakah kita bekerja secara profesional?" potong Aaditya. Ia mengangkat kedua alisnya—memberikan kode pada Luna bahwa ini bukan waktu yang tepat berbicara urusan pribadi di depan sekretarisnya.

Luna mengeluarkan map-nya, menunjukkan artikel tentang produk parfum yang ia buat. Beberapa menit Aaditya membaca dan membicarakan dengan sekretarisnya. Seperti apa yang dikatakan Aaditya, ia berusaha profesional bekerja. Namun, tak bisa Luna mungkiri bahwa semakin ia sering bertemu dengan Aaditya, justru semakin sulit menampik perasaannya terhadap Aaditya.

**

Aaditya sudah pernah mengatakan bahwa ia akan memulainya kembali. Tak peduli bagaimana akhirnya nanti. Ia akan berusaha menghentikan rencana Tiara untuk mempercepat pertunangannya dengan Maya. Ia tahu ini tidak adil untuk Maya, tapi akan lebih tidak adil bila Maya harus menerima cinta semu dari Aaditya. Pertunangan itu harus batal.

"Kamu baru memulai blog ini lagi? Kenapa dulu berhenti?" tanya Aaditya mengusir ketegangan Luna yang terus gelisah.

"O-oh, saya sibuk bekerja di butik," jawab Luna sekenanya.

Aaditya hanya mengangguk-anggukkan kepala seraya menatap artikel di depannya. Meski Aaditya sendiri selalu tidak puas dengan jawaban Luna. Ia percaya ada sesuatu yang menahan Luna untuk bercerita keadaannya selama setahun berpisah. Aaditya bisa melihat dari mata Luna saat berbicara. Mata itu selalu menghindarinya bila Aaditya melontarkan sejuta tanya. Ada banyak hal yang Luna tutupi mengapa wanita ini mengubah drastis hidupnya. Aaditya bahkan paham seberapa cinta Luna terhadap dunia fashion blogger-nya. Sangat tidak mungkin Luna berhenti menjadi fashion blogger hanya karena alasan sibuk.

"Saya rasa ide refashion, Mbak Luna itu juga kreatif." Liyanti, sekretaris Aaditya itu ikut menambahi obrolan.

"Eh, benarkah? Saya hanya iseng saja, sekadar kembali menghidupkan blog yang telah lama saya tinggalkan," terang Luna. Ia tersenyum tipis sembari melipat kedua tangan di atas meja.

"Aku berani invest bila kamu serius dan sanggup membuat desain fashion-mu sendiri," tukas Aaditya. Ia sudah meletakkan artikel ke meja dan menatap Luna dengan serius.

"Hah? Ta-tapi ... tapi saya masih bekerja di butik Bu Dewi, Ditya, eh, Pak ... Ditya." Luna memalingkan wajah, merutuki kecanggungannya dengan menggigit bibir.

Aaditya menahan tawa geli saat memperhatikan ekspresi canggung Luna. "Aku yakin Bu Dewi setuju bila kamu resign dan membuka brand butikmu sendiri."

Luna membulatkan matanya, menatap Aaditya tak percaya. "Saya ... umm—"

"Kita bicarakan nanti saja," potong Aaditya. "Aku suka artikel ini, untuk pembayaran nanti Liyanti yang urus."

"Baik, Pak," sahut Liyanti.

"Ada yang mau ditanyakan lagi, Nona Luna?" Aaditya mencondongkan tubuh ke depan, menatap Luna yang kian gelisah menerima serangan cara Aaditya mempertahankan dirinya.

Luna berdeham, meraih gelas ice coffee-nya yang tandas. Kemudian menghisap habis hingga tetes terakhir menggunakan sedotannya. "Tidak, Dit ... eh, Pak," ucapnya gugup.

Lagi-lagi Aaditya menahan tawa geli. Ia tahu, sebentar lagi ia akan mendapat semburan protes dari Luna setelah pertemuan ini selesai. Akan tetapi, Aaditya tidak peduli.

**

(30-11-2017)

Vomment, please. :)

Hai, apa kabar? Maaf lama tidak update. Semoga masih setia menunggu dan membaca Luna dan Aaditya, ya. Maaf bila ada typo atau kalimat yang kurang pas, mohon diingatkan. Terima kasih.

Salam,

Author

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top